30 November 2025

“Ketika Karya Anak Bangsa Menjadi Alat Menghidupkan Penjajahan yang Pernah Kita Lawan”

 “Ketika Karya Anak Bangsa Menjadi Alat Menghidupkan Penjajahan yang Pernah Kita Lawan”

Jakarta 30 November 2025
Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto. ST, SH, MH

 

PRA KATA :

Para pembuat UU menyebut KUHP baru dan KUHAP baru sebagai:
“Karya agung anak bangsa.”

Narasi manis itu dibungkus agar rakyat percaya bahwa dua kitab besar ini adalah kemajuan.
Tetapi ketika kita baca pasal-pasalnya, yang muncul justru bayangan hukum kolonial
hukum yang dulu dipakai Belanda untuk menindas rakyat Hindia Belanda.

Ironinya:

Bangsa Indonesia kini menghidupkan kembali pasal-pasal penjajah,
lalu menyebutnya karya anak bangsa.

Rakyat harus mengerti:
penjajahan modern tidak lagi memakai kapal, serdadu, atau kompeni.
Penjajahan modern memakai pasal-pasal yang membungkam, menggeledah, menahan, dan membatasi rakyat.

Dan itulah yang dilakukan KUHP & KUHAP baru.

**BAGIAN I

PASAL-PASAL KUHP BARU YANG BERJIWA PENJAJAHAN**

**1. Pasal 218–220 KUHP

(Penghinaan Presiden dan Lembaga Negara)**
Dulu: Pasal 134–137 Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda,
dipakai untuk memenjarakan Soekarno.

Sekarang:
Dipakai lagi dalam KUHP baru—hanya diganti bahasa.

Akibat sejarahnya dulu

  • Membungkam tokoh pergerakan
  • Memicu perlawanan
  • Melahirkan rasa benci terhadap pemerintah kolonial
  • Menjadi alasan rakyat mendirikan organisasi bawah tanah

Peringatan untuk Indonesia

Jika kritik dipidana lagi, kita sedang menyalakan api penolakan rakyat.

**2. Pasal 240–241 KUHP

(Penghinaan Pemerintah dan Badan Negara)**
Duplikasi kolonial Pasal 207–208 WvS.

Akibat sejarahnya dulu

  • Surat kabar Indonesia dibredel Belanda
  • Wartawan ditangkap
  • Persepsi publik: hukum = musuh rakyat
  • Ketidakpercayaan total terhadap pemerintah kolonial

Peringatan untuk Indonesia

Pers adalah benteng terakhir demokrasi.
Jika pers dibungkam, kekuasaan melenggang tanpa kontrol.

**3. Pasal 256–258 KUHP

(Pembatasan Unjuk Rasa / Perkumpulan)**
Warisan regulasi kolonial “Reglement op de Volksvergaderingen”.

Akibat sejarahnya dulu

  • Organisasi rakyat dilarang
  • Rapat umum dibubarkan
  • Gerakan kemerdekaan bergerak bawah tanah
  • Penindasan melahirkan radikalisme

Peringatan untuk Indonesia

Jika unjuk rasa dibatasi ketat, demokrasi berubah menjadi formalitas.

**4. Pasal 200–204 KUHP

(Ketertiban Umum – Rust en Orde)**
Jantung penjajahan Belanda: rust en orde (ketertiban lebih penting dari keadilan).

Akibat sejarahnya dulu

  • Penjajah mengutamakan ketertiban demi kekuasaan
  • Hak rakyat diabaikan
  • Penjara penuh rakyat kecil
  • Gerakan perlawanan semakin keras

Peringatan untuk Indonesia

Ketika ketertiban mengalahkan keadilan,
negara berubah menjadi kekuasaan absolut.

**BAGIAN II

PASAL-PASAL KUHAP BARU YANG MENGULANG METODE PENJAJAHAN PROSEDURAL**

**5. Pasal 19 KUHAP

(Penangkapan 7 Hari Tanpa Hakim)**
Mirip teknik kolonial: “preventieve hechtenis”.

Akibat sejarahnya dulu

  • Tokoh pergerakan ditahan tanpa proses
  • Penjara jadi alat politik
  • Rakyat tak percaya aparat
  • Kekacauan sosial meningkat

Peringatan untuk Indonesia

Tanpa pengawasan hakim, penangkapan menjadi alat kekuasaan.

**6. Pasal 22–23 KUHAP

(Penahanan Tanpa Kontrol Yudisial)**

Akibat sejarahnya dulu

  • Penahanan sewenang-wenang
  • Penjara diisi tanpa keadilan
  • Rakyat melihat hukum sebagai musuh

Peringatan untuk Indonesia

Negara hukum runtuh ketika hakim tidak lagi mengawasi aparat.

**7. Pasal 34–35 KUHAP

(Penggeledahan Tanpa Izin Hakim)**

Akibat sejarahnya dulu

  • Aparat kolonial keluar masuk rumah rakyat
  • Tidak ada privasi
  • Rakyat hidup dalam ketakutan

Peringatan untuk Indonesia

Rumah rakyat adalah benteng, bukan tempat aparat bebas masuk.

**8. Pasal 50–53 KUHAP

(Paksaan Tubuh – Bodily Coercion)**

Akibat sejarahnya dulu

  • Rakyat diperlakukan seperti objek
  • Pemeriksaan merendahkan martabat manusia

Peringatan untuk Indonesia

Tidak ada negara modern yang membiarkan tubuh warganya dipaksa tanpa hakim.

**9. Pasal 173–176 KUHAP

(Pengerdilan Praperadilan)**

Akibat sejarahnya dulu

  • Tidak ada mekanisme koreksi
  • Kesewenang-wenangan menjadi rutin
  • Kepercayaan rakyat runtuh

Peringatan untuk Indonesia

Jika praperadilan dilemahkan, jalur kontrol rakyat hilang.

**10. Pasal 380–395 KUHAP

(Sentralisasi Penyidikan)**

Akibat sejarahnya dulu

  • Polisi kolonial berkuasa penuh
  • Penegakan hukum tidak pernah adil
  • Aparat identik dengan penindasan

Peringatan untuk Indonesia

Konsep negara hukum hancur jika penyidikan tanpa kontrol.

**BAGIAN III

PESAN KERAS SEJARAH: PENJAJAHAN HUKUM SELALU MELAHIRKAN KERUNTUHAN**

Apa yang terjadi dulu jika pasal-pasal kolonial ditegakkan?

  • pemberontakan rakyat
  • ketidakpercayaan total terhadap pemerintah
  • aksi melawan hukum
  • pergerakan bawah tanah
  • radikalisasi
  • delegitimasi kekuasaan
  • keruntuhan pemerintahan kolonial

Semua itu berawal dari hukum yang menindas.

Karena itu peringatan ini penting:

Jika Indonesia mengulang hukum kolonial,
maka Indonesia akan mengulang nasib penjajah:
ditolak rakyatnya sendiri.

KESIMPULAN :

Setelah seluruh pasal dibaca, dianalisis, dan dibandingkan dengan sejarah penjajahan, maka kesimpulan akademik paling jujur adalah:

KUHP & KUHAP Baru adalah penjajahan gaya baru.
Bukan oleh bangsa asing, tetapi oleh bangsa sendiri terhadap rakyatnya sendiri.

Dua kitab ini mengulang pasal-pasal kolonial, mengulang metode kolonial,
dan mengulang akibat kolonial yang dulu memicu perlawanan besar rakyat Indonesia.

Jika pemerintah mengatakan “ini karya anak bangsa”,
maka jawabannya adalah:

“Karya anak bangsa yang menyalin cara penjajah mengikat rakyatnya sendiri.”

Dan bangsa ini harus memilih:

  • mengikuti jalan UUD 1945—jalan kemerdekaan
    atau
  • mengikuti jalan KUHP dan KUHAP baru—jalan penindasan yang pernah kita lawan.

 

29 November 2025

“Ketika Wamenkum Mau Membonsai Advokat: Mental Penjajah di Era Republik”

  “Ketika Wamenkum Mau Membonsai Advokat: Mental Penjajah di Era Republik”

Padalarang 29 November 2025
Oleh :Laksda TNI Purn Adv Soleman B Ponto, ST, SH, MH

 

Pengantar.

Sejarah profesi advokat bukan sejarah orang-orang berjas rapi yang duduk di meja mahoni dan menunggu panggilan sidang. Sejarah advokat adalah sejarah perlawanan. Di Indonesia, kita mengenal istilah pokrol bambu: pembela rakyat kecil tanpa gelar, tanpa toga, tanpa institusi, tapi berani berdiri di hadapan kolonial demi membela yang tak berkuasa. Mereka bukan pejabat, bukan birokrat, bukan aparat kekuasaan—tetapi penjaga terakhir keadilan ketika negara justru menindas.

Dari pokrol bambu itulah lahir advokat modern: profesi yang mandat utamanya bukan sekadar “berperkara”, tetapi melawan ketidakadilanmenghadang kesewenang-wenangan, dan menjadi tembok terakhir antara rakyat dengan negara.
Advokat adalah benteng sipil—dan benteng itu kini sedang dicoba untuk dipotong batangnya, dibonsai cabangnya, dan dipendekkan umurnya.

1. Wamenkum Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy Hiariej): Gagasan Mental Penjajah yang Mengulang Sejarah Kolonial.

Pernyataan Eddy Hiariej terang, gamblang, dan tidak bisa dipoles ulang:

Ia mendorong batas usia maksimum advokat.
Bukan kualitas.
Bukan etika.
Bukan kompetensi.
Usia.

Seakan-akan advokat adalah barang kadaluwarsa.

Dan alasan utamanya sangat kolonial:
Karena ia takut kalau mantan Hakim Agung, mantan Jaksa Agung, atau mantan Kapolri menjadi advokat, maka “jaksa-jaksa junior bisa habis karena tekanan psikologis.”

Inilah pola pikir penguasa yang takut bayangannya sendiri.
Ini bukan pola pikir republik.
Ini pola pikir feodal-penjajah yang melihat rakyat dan aparat junior sebagai budak psikologis yang akan roboh hanya karena berhadapan dengan orang yang lebih tua.

Dan lebih parah: ia memakai “Belanda” sebagai pembanding.
Seolah-olah Indonesia harus meniru Belanda dalam hal pembatasan kebebasan sipil.
Padahal sejarah mencatat:
Pokrol bambu dulu justru dibatasi dan dihambat oleh Belanda supaya rakyat tidak punya pembela.

Kini Wamenkum ingin mengulangnya—atas nama penelitian tiga tahun.

2. Membonsai Advokat: Mengerdilkan Perlawanan Sipil

Usia maksimum?
Apa berikutnya?
Tinggi badan advokat?
Atau masa berlaku lidah advokat?

Ketakutan Eddy Hiariej hanya menunjukkan satu hal:
ia tidak mengenal apa itu profesi advokat.

Advokat bukan seperti polisi yang wajib pensiun karena terikat struktur komando.
Bukan seperti jaksa yang tunduk hierarki.
Bukan seperti hakim yang bekerja dalam sistem negara.

Advokat adalah profesi bebas, pilar independen, penjaga keadilan substantif—yang justru harus bebas dari kekuasaan negara.
Mengatur usia maksimum advokat sama dengan:

  • membatasi pikiran;
  • membatasi pengalaman;
  • membatasi kebebasan berprofesi;
  • dan lebih jauh lagi—membatasi kekuatan kontrol rakyat terhadap negara.

Inilah yang membuat ide Wamenkum begitu berbahaya:
Ia ingin mengatur perlawanan.
Ia ingin mengatur kritik.
Ia ingin membonsai advokat supaya tidak terlalu kuat, tidak terlalu senior, tidak terlalu berpengaruh.

Itu bukan reformasi.
Itu regresi hukum.
Itu pola pikir penguasa yang nyaman jika rakyat tetap kecil.

3. Ketakutan Inti Eddy Hiariej: Mentalitas Penjajah Takut pada Rakyat

Pernyataannya yang paling memalukan adalah:

“Kalau mantan hakim agung jadi advokat, jaksa junior bisa habis.”

Siapa yang ia rendahkan?
Jaksa junior atau logika publik?
Apa negara selemah itu sampai mental jaksa, polisi, dan penyidiknya digambarkan seperti rumput kering yang bisa rubuh hanya karena angin advokat pensiunan?

Inilah mental penjajah yang sesungguhnya:

  • takut pada rakyat yang cerdas,
  • takut pada advokat yang berpengalaman,
  • takut pada persidangan yang seimbang,
  • takut jika kekuasaan tidak lagi dominan.

Ia ingin advokat muda saja yang masih bisa diatur.
Ia ingin senior-senior dibatasi.
Ia ingin perlawanan sipil dikerdilkan.

Itu bukan pikiran akademisi.
Itu mentalitas VOC yang takut pada pokrol bambu.

4. Sejarah Berulang: Dulu Penjajah Membatasi Pokrol Bambu, Kini Wamenkum Membatasi Advokat

Dulu Belanda tidak memberi izin pokrol bambu agar rakyat tetap lemah.
Hari ini Eddy Hiariej ingin membatasi usia advokat agar kekuasaan tetap nyaman.

Dulu pokrol bambu berjuang demi keadilan.
Hari ini advokat kembali harus berjuang—karena serangan datang dari penguasa sendiri.

Sejarah tidak pernah mati.
Hanya pelakunya yang berganti.

!!!SERUAN PERLAWANAN UNTUK SELURUH ADVOKAT INDONESIA!!!

Wahai Para advokat, jangan diam. Profesi Advokat bukan hadiah dari negara.
Anda adalah benteng terakhir rakyat ketika semua instrumen negara lumpuh oleh kekuasaan.

Jika hari ini negara berani membatasi umur advokat, besok ia akan membatasi ruang sidang, kemudian membatasi suara advokat, lalu membatasi hak rakyat untuk membela diri.

Bangkitlah. Lawanlah.
Ingat sejarah pokrol bambu—kita berdiri bukan untuk kekuasaan, tetapi untuk keadilan.

Jangan biarkan mental penjajah mengatur profesi yang dilahirkan untuk melawan penindasan.

Setelah Sukses Membonsai Jaksa dan Mengunci KUHAP Baru, Ia Kini Mengincar Advokat

Sebelum berbicara soal pembatasan usia advokat, publik harus paham:
Wamenkum Eddy Hiariej ini bukan baru pertama kali mengusik pilar keadilan.

Ada pola. Dan polanya sangat jelas.

1. Ia ikut mendorong KUHAP Baru yang mengangkat Polri sebagai “penyidik utama”

Di KUHAP Baru, ia membuka jalan agar penyidikan disentralisasi sepenuhnya ke Polri, sementara:

  • Jaksa dimandulkan,
  • Kewenangan penyidikan sektoral dipotong,
  • Praperadilan dipersempit,
  • Penangkapan diperpanjang,
  • Penggeledahan dibuat tanpa izin.

Ini pola kolonial: pusatkan kekuasaan, minimalkan kontrol.

2. Ia mempromosikan narasi: “Polri satu-satunya penegak hukum di Indonesia.”

Ini pernyataan yang secara hukum salah besar, tetapi ia kumandangkan berulang-ulang.
Ia mengabaikan konstitusi yang memisahkan:

  • Penegakan hukum untuk keamanan & ketertiban → Polri
  • Penegakan hukum untuk keadilan → Jaksa, Hakim, dan Advokat

Namun dalam pikirannya, semuanya harus dikembalikan ke satu corong kekuasaan.
Itulah kebodohan hukum yang luar biasa.

Dan ketika kekuasaan di tangan Polri diperkuat melalui revisi KUHAP,

Ia kemudian membatasi jaksa melalui revisi struktur

Peran jaksa dipangkas, dominasi penyidikan diambil, dan jalur koordinasi diputus.
Jaksa—yang secara konstitusional adalah penuntut yang mandiri—diperlakukan seperti bawahan.

Kini, Target Berikutnya: ADVOKAT

Setelah mengurangi peran hakim lewat berbagai regulasi teknis, memandulkan jaksa, dan menyerahkan penyidikan penuh ke polisi, kini Wamenkum menoleh ke satu-satunya benteng yang tersisa:

Advokat.

Dan ia ingin membonsai advokat melalui mekanisme paling primitif:
batas usia.

Ini bukan reformasi.
Ini operasi politik: memotong sayap, membatasi pengaruh, mengerdilkan independensi.

Ia takut advokat senior memiliki wibawa lebih tinggi dari jaksa atau polisi muda.
Ia takut advokat pensiunan hakim agung akan “menakuti” penyidik muda.

Ketakutan ini bukan ketakutan profesional.
Ini ketakutan kekuasaan.

**Inilah Polanya: Semua Penyeimbang Kekuasaan Dibonsai**

Jika kita rangkai polanya:

  1. Hakim dibatasi melalui struktur dan aturan teknis.
  2. Jaksa dimandulkan kewenangannya dalam KUHAP baru.
  3. Penyidikan dipusatkan ke Polri, mematikan model checks and balances.
  4. Polri dinyatakan sebagai satu-satunya “penegak hukum” — suatu kekeliruan fatal.
  5. Dan sekarang… advokat hendak dibatasi umur dan keberadaannya.

Ini bukan kebetulan.
Ini bukan sekadar wacana.
Ini rekayasa politik jangka panjang untuk menciptakan sistem hukum tanpa penyeimbang,
di mana negara (baca: Polri) memegang semua kunci kekuasaan hukum.

Dan itu persis seperti negara kolonial.

*Mental Penjajah: Takut pada Kekuatan Sipil**

Seperti Belanda dulu takut pada pokrol bambu, hari ini Wamenkum takut pada advokat senior.

Argumen “ketemu jaksa junior bisa habis” adalah cerminan mentalitas penjajah: menganggap aparat negara begitu rapuh sehingga harus dilindungi dari rakyat sendiri.

Apa gunanya pendidikan hukum?
Apa gunanya jaksa muda kalau mentalnya dianggap seperti kertas tisu?

Ini penghinaan terhadap aparat.
Ini penghinaan terhadap logika.
Ini penghinaan terhadap rakyat.

Dan semuanya hanya untuk menjustifikasi satu hal:
Pembatasan. Pembonsaiian. Pengerdilan.

INI SAATNYA ADVOKAT MELAWAN

Sudah cukup kekuasaan memotong satu per satu pilar hukum:

  • Hakim dipreteli.
  • Jaksa dipreteli.
  • Regulasi disentralisasi.
  • Polri dipaksa menjadi satu-satunya corong penegakan hukum.
  • Dan sekarang advokat mau dipreteli umur dan martabatnya.

Advokat harus ingat sejarahnya—kita lahir dari perlawanan, bukan dari izin kekuasaan.

Bangkitlah.
Jangan diam.
Jangan biarkan profesi advokat dibonsai hanya demi menegakkan ilusi kekuasaan versi Wamenkum.

Advokat adalah benteng terakhir republik.
Jika benteng ini runtuh, rakyat tidak lagi punya siapa-siapa.

Lawan.
Bicara.
Berdiri.
Jaga sejarah pokrol bambu—dan jangan pernah biarkan mental penjajah kembali berkuasa di era Indonesia Merdeka.

“Advokat bukan dilahirkan untuk tunduk pada negara, tetapi untuk mengingatkan negara pada keadilan.”

 

“KUHAP BARU: KEMBALINYA PARADIGMA KETERTIBAN ALA HUKUM KOLONIAL BELANDA DAN LENYAPNYA ORIENTASI KEADILAN YANG DIUSUNG KUHAP 1981”

 “KUHAP BARU: KEMBALINYA PARADIGMA KETERTIBAN ALA HUKUM KOLONIAL BELANDA DAN LENYAPNYA ORIENTASI KEADILAN YANG DIUSUNG KUHAP 1981”

Padalarang 29 November 2025
Oleh : laksda TNI Purn Soleman B Ponto.

 

I. PENDAHULUAN

Reformasi hukum acara pidana semestinya memperkuat hak asasi manusia, memperluas kontrol terhadap negara, dan memastikan keseimbangan antara kekuasaan penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Namun RUU KUHAP terbaru justru menunjukkan pergeseran fundamental dari orientasi keadilan (justice-oriented)—yang menjadi roh KUHAP 1981—menuju orientasi ketertiban (order-oriented) yang sangat identik dengan sistem kolonial Belanda (HIR dan Sv).

KUHAP 1981 lahir untuk memerdekakan hukum pidana Indonesia dari “hukum acara kolonial yang menindas”. Namun RUU KUHAP baru justru membawa Indonesia mundur ke paradigma kolonial: sentralisasi penyidikan, penguatan upaya paksa, dan pelemahan kontrol yudisial.

II. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

1. KUHAP Lama (UU 8/1981) → Berorientasi KEADILAN

KUHAP lama hadir sebagai koreksi atas HIR/Sv yang kolonial. Tujuan utamanya:

  • mengakhiri penyidikan sewenang-wenang
  • memperkuat praperadilan
  • menjamin due process
  • menegakkan keadilan substantif

Ini sangat jelas dalam Penjelasan Umum KUHAP, yang menyatakan bahwa hukum acara pidana harus:

  • melindungi harkat martabat manusia
  • membatasi kekuasaan negara
  • melindungi tersangka dari tindakan sewenang-wenang

2. HIR / Sv (Belanda) → Berorientasi KETERTIBAN

Ciri utamanya:

  • penyidikan sepenuhnya berada pada polisi/pengawas pemerintah
  • jaksa tidak mengontrol penyidikan
  • upaya paksa luas tanpa kontrol hakim
  • rakyat adalah objek tertib kolonial

HIR digunakan untuk mengamankan pemerintahan kolonial, bukan untuk keadilan substantif.

3. KUHAP Baru → Kembali Berorientasi KETERTIBAN

KUHAP 2025/2026 menghidupkan kembali pola:

  • sentralisasi penyidikan ala kolonial
  • kontrol jaksa dipangkas
  • praperadilan dipersempit
  • ruang upaya paksa diperbesar

Kembalinya paradigma Belanda ini bertentangan dengan spirit UUD 1945 dan Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025.

III. ANALISIS PERBANDINGAN PER PASAL DAN PER PARADIGMA

A. SENTRALISASI PENYIDIKAN.

1. KUHAP Baru

Pasal 6 ayat (2):

Penyidik Polri adalah penyidik utama untuk semua tindak pidana.

PPNS wajib dikoordinasikan dan diawasi Polri (Pasal 7 ayat (3)-(4)).
Ini adalah sentralisasi absolut—ciri hukum kolonial.

2. KUHAP Lama.

Pasal 6 KUHAP lama hanya menyebut penyidik Polri dan PPNS, tetapi tanpa supremasi penyidik utama.
Koordinasi bersifat administratif, bukan struktural-hierarkis.

3. KUHAP Belanda (HIR/Sv)

HIR Pasal 1–3: Polisi adalah alat pemerintah kolonial untuk menjaga orde.
Semua penyidikan dikendalikan pemerintah kolonial → sentralisasi penuh.

KESIMPULAN.

RUU KUHAP = kembali ke model Belanda (ketertiban).
KUHAP lama = model merdeka (keadilan).

B. PENANGKAPAN 7 HARI TANPA KONTROL JAKSA

1. RUU KUHAP Baru

Pasal 60 ayat (1):

Jaksa baru diberi tahu penyidikan setelah 7 hari dimulai.

Artinya:

  • polisi bisa menangkap, memeriksa, menahan → tetapi jaksa baru tahu setelah 7 hari.
  • kontrol keseimbangan hilang.

2. KUHAP Lama.

Penyidik wajib mengirim SPDP “segera”, dan hakim segera menguji legalitas penahanan.
Tidak ada ruang 7 hari tanpa pengawasan.

3. KUHAP Belanda (HIR/Sv).

Sistem kolonial memberi kewenangan luas untuk menahan dan menangkap demi ketertiban.
Tidak ada pengawasan cepat.

KESIMPULAN.

KUHAP BARU  → kembali ke kolonial: penangkapan demi ketertiban, bukan kehati-hatian demi keadilan.


C. PENGGELEDAHAN TANPA IZIN (Pada Fase Penyelidikan)

1. KUHAP Baru

Dalam penyelidikan:

Pasal 5 ayat (2): penyelidik dapat melakukan penggeledahan atas perintah penyidik, tanpa menyebut izin hakim.

Batang Tubuh RUU KUHAP Final Pa…

Pasal 16 ayat (1): penyelidikan mencakup memasuki tempat, pembuntutan, penyamaran
(tidak mewajibkan izin hakim).

2. KUHAP Lama

Pasal 32–37 KUHAP lama wajib izin Ketua PN, kecuali sangat mendesak dan harus dilaporkan.

3. KUHAP Belanda

HIR memberi kewenangan luas untuk “huiszoeking” tanpa pembatasan ketat hakim.
Ini murni paradigma police order maintenance, bukan due process.

KESIMPULAN

KUHAP Baru mengikuti model Belanda (ketertiban), bukan KUHAP lama (keadilan).

D. PEMOTONGAN PRAPERADILAN.

1. RUU KUHAP Baru.

Praperadilan tetap ada, tetapi:

Pasal 27:
Praperadilan hanya bisa menguji penghentian penyidikan setelah gelar perkara.
Ruang uji upaya paksa dipersempit drastis.

2. KUHAP Lama

Pasal 77–83 KUHAP lama → praperadilan mengawal semua tindakan:

  • penangkapan
  • penahanan
  • penggeledahan
  • penyitaan
  • penghentian penyidikan

3. KUHAP Belanda.

HIR tidak mengenal mekanisme kontrol yudisial terhadap tindakan polisi.
Tindakannya bersifat administratif demi ketertiban.

KESIMPULAN.

KUHAP Baru, mengurangi fungsi praperadilan (kontrol keadilan) demi memperkuat ketertiban.

E. PEMANGKASAN KEWENANGAN JAKSA (MANDULISASI DOMINUS LITIS).

1. KUHAP Baru

Banyak ketentuan memotong kewenangan jaksa:

  • Pasal 59 ayat (5): koordinasi hanya 1 kali → jaksa dibatasi.
  • Pasal 60 ayat (1): SPDP 7 hari → jaksa kehilangan kontrol awal.
  • Pasal 62 ayat (5): penyidik boleh memaksa penyerahan perkara meski jaksa belum lengkap.

2. KUHAP Lama

KUHAP lama memposisikan jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis).

3. KUHAP Belanda

Dalam struktur kolonial, jaksa hanyalah “penerima berkas” sementara polisi adalah agen pemerintah kolonial yang dominan.

KESIMPULAN.

RUU KUHAP memundurkan jaksa → kembali ke struktur kolonial yang menempatkan polisi sebagai alat utama ketertiban.


IV. PERBANDINGAN PARADIGMATIK

Aspek

KUHAP Lama 1981

KUHAP Baru

HIR/Sv Belanda

Tujuan hukum

Keadilan

Ketertiban

Ketertiban kolonial

Sentralisasi penyidikan

Tidak

Ya (Polri)

Ya

Kontrol jaksa

Kuat

Lemah

Lemah

Praperadilan

Kuat

Dipersempit

Tidak ada

Penggeledahan

Ketat izin hakim

Longgar

Longgar

Penangkapan

Pengawasan cepat

SPDP 7 hari

Bebas

Perlindungan HAM

Tinggi

Rendah

Rendah

Kesimpulan akademik:
RUU KUHAP kembali kepada paradigma Belanda dan meninggalkan jiwa KUHAP 1981.

V. IMPLIKASI KONSTITUSIONAL.

KUHAP berpotensi bertentangan dengan:

  • Pasal 28D ayat (1) (kepastian & keadilan)
  • Pasal 28G ayat (1) (perlindungan diri dari tindakan sewenang-wenang)
  • Pasal 1 ayat (3) (negara hukum)
  • Putusan MK 21/PUU-XII/2014 (due process hakiki)
  • Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 (penegasan batas pemusatan kewenangan aparat)

VI. KESIMPULAN UMUM

RUU KUHAP adalah kemunduran historiskemunduran filosofis, dan kemunduran konstitusional.
Paradigma keadilan KUHAP 1981 hilang, diganti paradigma ketertiban ala hukum kolonial Belanda.