Filsafat Militer Indonesia: Tentara Dibina untuk Perang, Bukan untuk Damai
Sebuah Telaah Filosofis tentang Kekerasan, Kemanusiaan, dan Kedaulatan Negara
Jakarta 7 November 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPSRB
Bab I – Pendahuluan: Antara Hak Asasi dan Kewajiban Asasi
Setiap bangsa ingin damai, tetapi tidak ada damai tanpa kekuatan yang siap mempertahankannya.
Militer dibentuk bukan karena negara menginginkan perang, melainkan karena perdamaian hanya bisa dijaga oleh mereka yang siap berperang.
Tidak ada pembinaan militer untuk masa damai; seluruh pembinaan militer adalah persiapan untuk perang.
Kenyataan ini sering dilupakan oleh banyak pihak yang menilai militer dari perspektif sipil dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam pandangan sipil, kekerasan adalah kejahatan. Dalam pandangan militer, kekerasan yang dikendalikan adalah alat moral tertinggi untuk menjaga kehidupan.
Militer hidup dalam dunia yang tidak mengenal netralitas. Ia berdiri di antara hidup dan mati, antara kedaulatan dan kehancuran.
Karena itu, pembinaan militer tidak bisa dilakukan dengan prinsip kelembutan atau kompromi moral, melainkan dengan disiplin keras dan kekerasan terukur — karena hanya melalui tekanan itulah lahir kekuatan yang tahan uji.
“Perdamaian adalah buah dari kekuatan; bukan dari kelemahan.”
Inilah dasar yang membedakan filsafat militer dari filsafat HAM.
Yang satu menempatkan hak individu sebagai pusat moralitas; yang lain menempatkan kewajiban pengorbanan sebagai puncak kemanusiaan.
Bab II – Landasan Ontologis: Hakikat Keberadaan Militer
Ontologi bertanya: “Apa yang ada?”
Militer ada karena dunia ini tidak pernah benar-benar damai.
Thomas Hobbes dalam Leviathan menulis bahwa keadaan alami manusia adalah bellum omnium contra omnes — perang semua melawan semua.¹
Manusia membentuk negara untuk keluar dari kekacauan itu, dan negara pun membutuhkan alat kekerasan sah — yaitu militer — agar ketertiban dapat dijaga.
Dengan demikian, militer bukanlah ciptaan perang, melainkan syarat ontologis bagi eksistensi negara.
Negara tanpa militer ibarat tubuh tanpa sistem imun: tampak sehat, tetapi mati perlahan.
Ontologi militer didasarkan pada tiga pilar:
- Ancaman selalu ada – baik fisik, ideologis, maupun moral.
- Kekerasan sah adalah hak negara – hanya negara berdaulat yang boleh memakainya.
- Kesiapan perang adalah syarat damai – perdamaian tanpa kekuatan hanyalah ilusi.
Maka, pembinaan militer tidak pernah ditujukan untuk masa damai.
“Damai” dalam konteks militer bukan keadaan pasif, tetapi keadaan siap tempur tanpa peperangan.
Seluruh latihan, doktrin, dan pendidikan prajurit diarahkan untuk menghadapi perang yang selalu mungkin terjadi.
Militer tanpa kesiapan perang bukan penjaga damai, melainkan pengkhianat damai.
Bab III – Landasan Epistemologis: Kekerasan sebagai Metode Pengetahuan
Epistemologi bertanya: “Bagaimana kita tahu?”
Bagi militer, pengetahuan bukan hasil diskusi atau wacana, tetapi hasil penderitaan dan latihan.
Aristoteles menyebut bahwa kebajikan lahir dari kebiasaan.
Dalam militer, kebajikan dibentuk melalui latihan keras, hukuman disiplin, dan ujian fisik serta mental yang berat.
Kekerasan menjadi metode epistemologis — cara mengetahui batas kekuatan manusia.
Nietzsche menulis: *“Apa yang tidak membunuhmu membuatmu lebih kuat.”*²
Militer hidup dari prinsip itu. Kekerasan yang terukur dalam latihan bukan bertujuan menyakiti, melainkan membentuk ketahanan fisik dan moral.
HAM menolak kekerasan karena menganggap manusia sudah baik sejak lahir.
Militer menolak pandangan itu. Ia beranggapan bahwa manusia harus dibentuk agar kuat dan berani menghadapi ancaman.
Kebaikan tidak lahir dari kenyamanan, tetapi dari penderitaan yang diarahkan.
“Disiplin adalah kekerasan yang disucikan oleh tujuan.”
Maka, kekerasan dalam pembinaan militer bukanlah penyimpangan, tetapi metode pendidikan moral tertinggi.
Melalui paksaan, prajurit belajar menguasai diri, menahan rasa takut, dan menempatkan kehormatan di atas rasa sakit.
Bab IV – Landasan Aksiologis: Nilai Kebaikan dalam Kesiapan Perang
Aksiologi membahas nilai dan tujuan.
Bagi HAM, nilai tertinggi adalah kebebasan individu.
Bagi militer, nilai tertinggi adalah pengorbanan demi keselamatan bangsa.
Dalam sistem nilai HAM, paksaan adalah pelanggaran.
Dalam sistem nilai militer, paksaan adalah pendidikan.
HAM memuliakan hak; militer memuliakan kewajiban.
Immanuel Kant menulis bahwa tindakan bermoral adalah tindakan berdasarkan kewajiban, bukan perasaan.³
Prajurit berjuang bukan karena ia ingin, tetapi karena ia wajib.
Ketaatan kepada perintah, meski berarti mengorbankan nyawa, adalah bentuk moralitas tertinggi dalam dunia militer.
Kekerasan yang dijalankan dengan disiplin, di bawah hukum, dan demi tujuan yang sah, bukanlah kejahatan — melainkan puncak keadilan moral.
“Kekerasan yang bermoral adalah dasar bagi kemanusiaan yang kuat.”
Bab V – Pembinaan Militer Hanya untuk Perang
Pembinaan militer tidak pernah dimaksudkan untuk masa damai.
Seluruh sistem pelatihan, kurikulum akademi, dan pembinaan mental diarahkan untuk mempersiapkan perang.
Tidak ada “pendidikan untuk damai” di dalam barak, karena damai bukan keadaan pasif, melainkan hasil dari kesiapan perang yang sempurna.
Setiap aspek pembinaan — fisik, mental, spiritual, taktik, strategi — diarahkan untuk menyiapkan prajurit menghadapi situasi ekstrem.
Bila pembinaan dilunakkan atas nama HAM, maka hasilnya bukan tentara, melainkan pegawai berseragam.
Militer yang dibina untuk damai akan hancur ketika perang datang.
Militer yang dibina untuk perang akan menjaga damai tanpa harus berperang.
Bab VI – Kekerasan Sebagai Unsur Mutlak Pembinaan Militer (Perbandingan Internasional)
Kekerasan yang terukur dalam pembinaan militer bukan hanya khas Indonesia, tetapi norma universal di seluruh dunia.
Baik di Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, maupun Indonesia, semua sistem militer memahami bahwa prajurit tidak akan siap menghadapi kekerasan bila ia tidak dilatih dengan kekerasan.
- AS (US Marines): “Train hard, fight easy.” — kekerasan sebagai pembiasaan psikologis terhadap penderitaan.
- Rusia (Spetsnaz): kekerasan sebagai seleksi moral dan penyucian kehendak.
- Tiongkok (PLA): kekerasan sebagai harmoni kolektif dan disiplin total.
- Indonesia (TNI): kekerasan sebagai pendidikan jiwa korsa, keberanian, dan kemanusiaan yang beradab.
Bab VII – Kritik terhadap HAM: Senjata Halus Melemahkan Militer
HAM, bila diterapkan secara liberal dan absolut, bertentangan dengan filsafat militer.
HAM memuja kebebasan individu, sementara militer hidup dari pengorbanan total individu demi negara.
Di tangan kekuatan asing, isu HAM sering dijadikan instrumen politik untuk melemahkan kedaulatan militer nasional.
Tekanan diplomatik, embargo senjata, dan kampanye media internasional sering menggunakan narasi HAM sebagai alat untuk memaksa negara tunduk pada kepentingan luar.
Negara yang memaksa militernya tunduk pada tafsir HAM asing akan kehilangan dua hal sekaligus:
- Kekuatan tempur, karena pembinaan dilemahkan,
- Kedaulatan, karena keputusan strategisnya diatur opini luar.
“Negara yang takut dituduh melanggar HAM akan kehilangan keberaniannya.
Negara yang kehilangan keberanian akan kehilangan kemerdekaannya.”
Bab VIII – Pertentangan Filsafat HAM dan Filsafat Militer
Filsafat HAM berakar dari individualisme; filsafat militer berakar dari kolektivisme.
HAM menolak kekerasan; militer dibangun di atas kekerasan yang terkendali.
HAM menuhankan hak; militer menuhankan kewajiban.
Aspek | Filsafat HAM | Filsafat Militer |
Ontologis | Manusia individu | Manusia bagian dari negara |
Epistemologis | Empati dan dialog | Disiplin dan paksaan |
Aksiologis | Kebebasan | Pengorbanan |
Politik | Hak individu | Kedaulatan negara |
Moral | Non-kekerasan | Kekerasan bermoral |
Bab IX – Pancasila sebagai Jalan Tengah
Pancasila menolak ekstremitas dua kutub itu.
Ia tidak menolak HAM, tetapi menempatkannya dalam kerangka kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kemanusiaan tanpa kekuatan adalah kelemahan; kekuatan tanpa kemanusiaan adalah kebiadaban.
Pancasila memadukan keduanya.
Kemanusiaan yang beradab hanya dapat dijaga oleh kekuatan yang bermoral.
Maka, pembinaan militer Indonesia harus keras, tetapi beradab; harus disiplin, tetapi bermoral; harus memaksa, tetapi untuk tujuan keadilan.
Bab X – Penutup
Militer dibina untuk perang, bukan untuk damai.
Pembinaan keras adalah syarat lahirnya keberanian dan kekuatan bangsa.
HAM hanya dapat hidup bila ada militer yang siap berperang untuk melindunginya.
Tentara tanpa kekerasan adalah ilusi.
Kekerasan tanpa moral adalah kejahatan.
Tetapi kekerasan yang bermoral adalah dasar bagi kemanusiaan yang sejati.
Referensi :
- Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Oxford University Press, 1996).
- Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality (Cambridge: Cambridge University Press, 2006).
- Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).
- G. W. F. Hegel, Philosophy of Right (Oxford: Oxford University Press, 1967).
- Carl Schmitt, Political Theology (Chicago: University of Chicago Press, 2005).
- Max Weber, Politics as a Vocation (Philadelphia: Fortress Press, 2004).
- Notonagoro, Pancasila Dasar Filsafat Negara (Jakarta: BP7, 1983).