7 November 2025

Filsafat Militer Indonesia: Tentara Dibina untuk Perang, Bukan untuk Damai

 Filsafat Militer Indonesia: Tentara Dibina untuk Perang, Bukan untuk Damai

Sebuah Telaah Filosofis tentang Kekerasan, Kemanusiaan, dan Kedaulatan Negara

Jakarta 7 November 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B  Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPSRB

 

Bab I – Pendahuluan: Antara Hak Asasi dan Kewajiban Asasi

Setiap bangsa ingin damai, tetapi tidak ada damai tanpa kekuatan yang siap mempertahankannya.
Militer dibentuk bukan karena negara menginginkan perang, melainkan karena perdamaian hanya bisa dijaga oleh mereka yang siap berperang.
Tidak ada pembinaan militer untuk masa damai; seluruh pembinaan militer adalah persiapan untuk perang.

Kenyataan ini sering dilupakan oleh banyak pihak yang menilai militer dari perspektif sipil dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam pandangan sipil, kekerasan adalah kejahatan. Dalam pandangan militer, kekerasan yang dikendalikan adalah alat moral tertinggi untuk menjaga kehidupan.

Militer hidup dalam dunia yang tidak mengenal netralitas. Ia berdiri di antara hidup dan mati, antara kedaulatan dan kehancuran.
Karena itu, pembinaan militer tidak bisa dilakukan dengan prinsip kelembutan atau kompromi moral, melainkan dengan disiplin keras dan kekerasan terukur — karena hanya melalui tekanan itulah lahir kekuatan yang tahan uji.

“Perdamaian adalah buah dari kekuatan; bukan dari kelemahan.”

Inilah dasar yang membedakan filsafat militer dari filsafat HAM.
Yang satu menempatkan hak individu sebagai pusat moralitas; yang lain menempatkan kewajiban pengorbanan sebagai puncak kemanusiaan.

Bab II – Landasan Ontologis: Hakikat Keberadaan Militer

Ontologi bertanya: “Apa yang ada?”
Militer ada karena dunia ini tidak pernah benar-benar damai.

Thomas Hobbes dalam Leviathan menulis bahwa keadaan alami manusia adalah bellum omnium contra omnes — perang semua melawan semua.¹
Manusia membentuk negara untuk keluar dari kekacauan itu, dan negara pun membutuhkan alat kekerasan sah — yaitu militer — agar ketertiban dapat dijaga.

Dengan demikian, militer bukanlah ciptaan perang, melainkan syarat ontologis bagi eksistensi negara.
Negara tanpa militer ibarat tubuh tanpa sistem imun: tampak sehat, tetapi mati perlahan.

Ontologi militer didasarkan pada tiga pilar:

  1. Ancaman selalu ada – baik fisik, ideologis, maupun moral.
  2. Kekerasan sah adalah hak negara – hanya negara berdaulat yang boleh memakainya.
  3. Kesiapan perang adalah syarat damai – perdamaian tanpa kekuatan hanyalah ilusi.

Maka, pembinaan militer tidak pernah ditujukan untuk masa damai.
“Damai” dalam konteks militer bukan keadaan pasif, tetapi keadaan siap tempur tanpa peperangan.
Seluruh latihan, doktrin, dan pendidikan prajurit diarahkan untuk menghadapi perang yang selalu mungkin terjadi.

Militer tanpa kesiapan perang bukan penjaga damai, melainkan pengkhianat damai.

Bab III – Landasan Epistemologis: Kekerasan sebagai Metode Pengetahuan

Epistemologi bertanya: “Bagaimana kita tahu?”
Bagi militer, pengetahuan bukan hasil diskusi atau wacana, tetapi hasil penderitaan dan latihan.

Aristoteles menyebut bahwa kebajikan lahir dari kebiasaan.
Dalam militer, kebajikan dibentuk melalui latihan keras, hukuman disiplin, dan ujian fisik serta mental yang berat.
Kekerasan menjadi metode epistemologis — cara mengetahui batas kekuatan manusia.

Nietzsche menulis: *“Apa yang tidak membunuhmu membuatmu lebih kuat.”*²
Militer hidup dari prinsip itu. Kekerasan yang terukur dalam latihan bukan bertujuan menyakiti, melainkan membentuk ketahanan fisik dan moral.

HAM menolak kekerasan karena menganggap manusia sudah baik sejak lahir.
Militer menolak pandangan itu. Ia beranggapan bahwa manusia harus dibentuk agar kuat dan berani menghadapi ancaman.
Kebaikan tidak lahir dari kenyamanan, tetapi dari penderitaan yang diarahkan.

“Disiplin adalah kekerasan yang disucikan oleh tujuan.”

Maka, kekerasan dalam pembinaan militer bukanlah penyimpangan, tetapi metode pendidikan moral tertinggi.
Melalui paksaan, prajurit belajar menguasai diri, menahan rasa takut, dan menempatkan kehormatan di atas rasa sakit.

Bab IV – Landasan Aksiologis: Nilai Kebaikan dalam Kesiapan Perang

Aksiologi membahas nilai dan tujuan.
Bagi HAM, nilai tertinggi adalah kebebasan individu.
Bagi militer, nilai tertinggi adalah pengorbanan demi keselamatan bangsa.

Dalam sistem nilai HAM, paksaan adalah pelanggaran.
Dalam sistem nilai militer, paksaan adalah pendidikan.
HAM memuliakan hak; militer memuliakan kewajiban.

Immanuel Kant menulis bahwa tindakan bermoral adalah tindakan berdasarkan kewajiban, bukan perasaan.³
Prajurit berjuang bukan karena ia ingin, tetapi karena ia wajib.
Ketaatan kepada perintah, meski berarti mengorbankan nyawa, adalah bentuk moralitas tertinggi dalam dunia militer.

Kekerasan yang dijalankan dengan disiplin, di bawah hukum, dan demi tujuan yang sah, bukanlah kejahatan — melainkan puncak keadilan moral.

“Kekerasan yang bermoral adalah dasar bagi kemanusiaan yang kuat.”

Bab V – Pembinaan Militer Hanya untuk Perang

Pembinaan militer tidak pernah dimaksudkan untuk masa damai.
Seluruh sistem pelatihan, kurikulum akademi, dan pembinaan mental diarahkan untuk mempersiapkan perang.
Tidak ada “pendidikan untuk damai” di dalam barak, karena damai bukan keadaan pasif, melainkan hasil dari kesiapan perang yang sempurna.

Setiap aspek pembinaan — fisik, mental, spiritual, taktik, strategi — diarahkan untuk menyiapkan prajurit menghadapi situasi ekstrem.
Bila pembinaan dilunakkan atas nama HAM, maka hasilnya bukan tentara, melainkan pegawai berseragam.

Militer yang dibina untuk damai akan hancur ketika perang datang.
Militer yang dibina untuk perang akan menjaga damai tanpa harus berperang.

Bab VI – Kekerasan Sebagai Unsur Mutlak Pembinaan Militer (Perbandingan Internasional)

Kekerasan yang terukur dalam pembinaan militer bukan hanya khas Indonesia, tetapi norma universal di seluruh dunia.
Baik di Amerika SerikatRusiaTiongkok, maupun Indonesia, semua sistem militer memahami bahwa prajurit tidak akan siap menghadapi kekerasan bila ia tidak dilatih dengan kekerasan.

  1. AS (US Marines): “Train hard, fight easy.” — kekerasan sebagai pembiasaan psikologis terhadap penderitaan.
  2. Rusia (Spetsnaz): kekerasan sebagai seleksi moral dan penyucian kehendak.
  3. Tiongkok (PLA): kekerasan sebagai harmoni kolektif dan disiplin total.
  4. Indonesia (TNI): kekerasan sebagai pendidikan jiwa korsa, keberanian, dan kemanusiaan yang beradab.

Bab VII – Kritik terhadap HAM: Senjata Halus Melemahkan Militer

HAM, bila diterapkan secara liberal dan absolut, bertentangan dengan filsafat militer.
HAM memuja kebebasan individu, sementara militer hidup dari pengorbanan total individu demi negara.

Di tangan kekuatan asing, isu HAM sering dijadikan instrumen politik untuk melemahkan kedaulatan militer nasional.
Tekanan diplomatik, embargo senjata, dan kampanye media internasional sering menggunakan narasi HAM sebagai alat untuk memaksa negara tunduk pada kepentingan luar.

Negara yang memaksa militernya tunduk pada tafsir HAM asing akan kehilangan dua hal sekaligus:

  • Kekuatan tempur, karena pembinaan dilemahkan,
  • Kedaulatan, karena keputusan strategisnya diatur opini luar.

“Negara yang takut dituduh melanggar HAM akan kehilangan keberaniannya.
Negara yang kehilangan keberanian akan kehilangan kemerdekaannya.”

Bab VIII – Pertentangan Filsafat HAM dan Filsafat Militer

Filsafat HAM berakar dari individualisme; filsafat militer berakar dari kolektivisme.
HAM menolak kekerasan; militer dibangun di atas kekerasan yang terkendali.
HAM menuhankan hak; militer menuhankan kewajiban.

Aspek

Filsafat HAM

Filsafat Militer

Ontologis

Manusia individu

Manusia bagian dari negara

Epistemologis

Empati dan dialog

Disiplin dan paksaan

Aksiologis

Kebebasan

Pengorbanan

Politik

Hak individu

Kedaulatan negara

Moral

Non-kekerasan

Kekerasan bermoral

 

Bab IX – Pancasila sebagai Jalan Tengah

Pancasila menolak ekstremitas dua kutub itu.
Ia tidak menolak HAM, tetapi menempatkannya dalam kerangka kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kemanusiaan tanpa kekuatan adalah kelemahan; kekuatan tanpa kemanusiaan adalah kebiadaban.
Pancasila memadukan keduanya.

Kemanusiaan yang beradab hanya dapat dijaga oleh kekuatan yang bermoral.

Maka, pembinaan militer Indonesia harus keras, tetapi beradab; harus disiplin, tetapi bermoral; harus memaksa, tetapi untuk tujuan keadilan.

Bab X – Penutup

Militer dibina untuk perang, bukan untuk damai.
Pembinaan keras adalah syarat lahirnya keberanian dan kekuatan bangsa.
HAM hanya dapat hidup bila ada militer yang siap berperang untuk melindunginya.

Tentara tanpa kekerasan adalah ilusi.
Kekerasan tanpa moral adalah kejahatan.
Tetapi kekerasan yang bermoral adalah dasar bagi kemanusiaan yang sejati.

Referensi :

  1. Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Oxford University Press, 1996).
  2. Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality (Cambridge: Cambridge University Press, 2006).
  3. Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).
  4. G. W. F. Hegel, Philosophy of Right (Oxford: Oxford University Press, 1967).
  5. Carl Schmitt, Political Theology (Chicago: University of Chicago Press, 2005).
  6. Max Weber, Politics as a Vocation (Philadelphia: Fortress Press, 2004).
  7. Notonagoro, Pancasila Dasar Filsafat Negara (Jakarta: BP7, 1983).

 

PEMBINAAN MILITER YANG KERAS: PERSPEKTIF PSIKOLOGIS, KOMANDORIAL, DAN HUKUM MILITER (STUDI KASUS: PRADA LUCKY)

 PEMBINAAN MILITER YANG KERAS: PERSPEKTIF PSIKOLOGIS, KOMANDORIAL, DAN HUKUM MILITER (STUDI KASUS: PRADA LUCKY)

Jakarta 06 November 2025

Oleh : Laksda TNI Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
Kabais TNI 2011-2015

I. Pendahuluan

Sebagai ahli militer dan hukum militer, saya menyatakan bahwa pembinaan dalam dunia militer bersifat keras, terstruktur, dan berbeda secara mendasar dengan pembinaan dalam dunia sipil.

Perbedaan ini lahir dari tujuan militer itu sendiri, yaitu membentuk manusia pejuang yang sanggup hidup dalam tekanan, bahaya, dan kemungkinan kehilangan nyawa demi negara.

Militer hidup dalam sistem rantai komando, di mana ketaatan adalah sumber kekuatan. Oleh karena itu, pembinaan keras bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan strategis untuk mempertahankan disiplin dan keutuhan pasukan.

II. Perbedaan Dunia Militer dan Dunia Sipil

Dunia sipil dibangun atas dasar kebebasan individu, kenyamanan, dan perlindungan hak pribadi.

Sementara dunia militer dibangun atas dasar kesatuan, loyalitas total, dan ketaatan mutlak terhadap perintah.

Dalam dunia sipil, hukuman keras dapat dianggap melanggar hak asasi; tetapi dalam dunia militer, ketegasan adalah bentuk perlindungan terhadap kehormatan dan keselamatan pasukan.

Satu kesalahan individu sipil hanya menimpa dirinya sendiri, sedangkan satu kesalahan seorang prajurit dapat menghancurkan satuan dan menewaskan rekan-rekannya. Karena itu, pelanggaran sekecil apa pun harus ditindak dengan pembinaan keras agar tidak menular dan melemahkan semangat korps.

III. Dasar Psikologis Pembinaan Keras

Kerasnya pembinaan militer memiliki landasan ilmiah dalam teori psikologi.

1.         Teori Stress Inoculation (Donald Meichenbaum, 1977)

Menjelaskan bahwa individu yang terbiasa menghadapi tekanan ekstrem akan membentuk kekebalan mental (mental immunity) terhadap stres dan ketakutan.

Pembinaan keras adalah bentuk “vaksin psikologis” yang melatih prajurit untuk tetap tenang di bawah tekanan perang.

2.         Teori Resilience (Viktor Frankl, 1963)

Ketahanan jiwa tidak lahir dari kenyamanan, tetapi dari penderitaan yang bermakna.

Dalam pembinaan militer, tekanan, rasa sakit, dan ketegangan digunakan secara terukur untuk menanamkan makna perjuangan, loyalitas, dan pengorbanan.

3.         Behavioral Conditioning (B.F. Skinner, 1953)

Disiplin militer dibangun melalui reinforcement atau penguatan perilaku.

Hukuman fisik atau tugas berat dalam pembinaan berfungsi sebagai negative reinforcement agar prajurit belajar menahan diri, taat, dan patuh terhadap komando.

Dengan demikian, pembinaan keras bukanlah penyiksaan, tetapi strategi psikologis yang terbukti efektif untuk membentuk daya tahan tempur (combat resilience).

Apa yang oleh sipil disebut “sadis” sesungguhnya adalah pendidikan mental bertingkat tinggi, di mana rasa sakit dijadikan sarana pembentukan kekuatan batin.

IV. Diskresi Komando: Tidak Ada Format Baku dalam Pembinaan

Dalam sistem militer, tidak ada format tunggal dalam pembinaan.

Setiap komandan memiliki diskresi (command discretion) untuk menentukan metode pembinaan sesuai karakter satuan, kondisi pasukan, dan tingkat kesiapan operasi.

Diskresi komando adalah hak sekaligus tanggung jawab.

Seorang komandan wajib membina anak buahnya agar siap menghadapi segala risiko tugas, dan karena itu, ia memiliki kebebasan untuk menentukan kadar kerasnya pembinaan.

Namun demikian, pembinaan tetap harus dilakukan dalam koridor kedinasan, bukan sebagai pelampiasan pribadi.

Keras yang sah adalah keras yang mendidik; bukan keras yang menyiksa.

V. Persepsi “Sadis”: Bagi Militer Adalah Realistis

Bagi masyarakat sipil, tindakan keras, bentakan, atau hukuman fisik tampak “sadis”.

Namun dalam militer, sadis adalah istilah sipil untuk menggambarkan realisme militer.

Karena perang tidak mengenal kelembutan, dan medan pertempuran tidak mengenal belas kasihan.

Prajurit yang tidak pernah ditempa dengan keras akan mudah menyerah saat ditangkap musuh.

Ia akan cepat mengaku, membocorkan posisi satuannya, dan menghancurkan misi yang dijalankan pasukannya sendiri.

Oleh sebab itu, pembinaan keras bukan hanya penting, tetapi menyelamatkan ribuan nyawa lain.

Itulah sebabnya dalam militer berlaku prinsip:

“Lebih baik menderita dalam latihan, daripada mati dalam pertempuran.”

VI. Kasus Prada Lucky: Di Dalam Barak, Dalam Dinas, Bukan Pembunuhan Berencana

Kasus Prada Lucky harus dilihat dari konteks militer.

Fakta menunjukkan bahwa peristiwa terjadi di dalam barak — artinya di dalam lingkungan dinas dan dalam kerangka pembinaan.

Tidak terdapat niat membunuh yang direncanakan (tidak ada mens rea dolus praemeditatus), sehingga tidak termasuk pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP.

Namun, sesuai Pasal 131 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), atasan yang melakukan pembinaan yang mengakibatkan kematian tetap dapat dijatuhi pidana.

“Apabila tindakan atasan dalam pembinaan mengakibatkan luka berat atau kematian, maka dapat dipidana dengan hukuman paling lama sembilan tahun.”

Dengan demikian:

•          Karena dilakukan di barak, perbuatan tersebut termasuk dalam kedinasan (official duty);

•          Karena tidak ada rencana membunuh, bukan pembunuhan berencana, tetapi perbuatan dalam rangka pembinaan yang berakibat fatal.

•          Oleh karena itu, Pasal 131 ayat (3) KUHPM berlaku sebagai bentuk akuntabilitas komando, bukan kriminalisasi terhadap pembinaan militer.

VII. Aspek Moral dan Tanggung Jawab Komando

Kerasnya pembinaan adalah wujud keyakinan komandan terhadap kemampuan anak buah.

Komandan yang yakin terhadap pasukannya berani membawa mereka ke medan perang; komandan yang ragu berarti gagal membina.

Namun bila kerasnya pembinaan dilakukan tanpa kontrol, tanpa proporsi, atau melampaui batas fisik manusia, maka keras berubah menjadi brutal dan kehilangan nilai pendidikan.

Hukum hadir bukan untuk melemahkan militer, tetapi untuk menjaga kehormatan militer agar keras tetap bermartabat.

VIII. Standar Fisik dan Mental Calon Prajurit

Kerasnya pembinaan militer inilah yang menjadi alasan mengapa setiap calon prajurit TNI wajib memenuhi standar fisik dan mental yang ketat sebelum diterima menjadi anggota.

Seleksi militer tidak hanya menilai kecerdasan atau kemampuan akademik, tetapi juga daya tahan tubuh, kekuatan psikologis, kestabilan emosi, serta kesiapan menghadapi tekanan ekstrem.

Calon yang lemah secara fisik akan hancur di tengah latihan.

Calon yang lemah secara mental akan runtuh di hadapan tekanan komando.

Standar ini bukan bentuk diskriminasi, tetapi upaya preventif untuk memastikan bahwa hanya mereka yang sanggup menjalani sistem pembinaan keras yang boleh mengabdi sebagai tentara.

Militer tidak dapat mentolerir kelemahan fisik maupun mental, karena tugasnya adalah mempertaruhkan nyawa untuk negara.

Dengan kata lain, kesiapan fisik dan mental adalah prasyarat moral sekaligus teknis untuk memasuki dunia militer yang keras dan penuh risiko.

IX. Hubungan Antara Standar Fisik dan Mental dengan Risiko Kematian dalam Pembinaan Keras

Salah satu prinsip dasar dalam dunia militer adalah bahwa pembinaan keras hanya dapat diberikan kepada personel yang telah memenuhi standar fisik dan mental tertentu.

Kerasnya latihan, disiplin, dan sistem hukuman militer didesain untuk individu yang sudah terbukti mampu menanggung tekanan fisik dan psikologis tinggi.

Oleh karena itu, proses seleksi dan pemeriksaan awal (screening) pada saat penerimaan calon prajurit menjadi sangat penting.

Seleksi ini berfungsi untuk menyaring calon yang tidak siap secara fisik maupun mental, agar tidak menjadi korban dari sistem pembinaan militer yang keras.

Apabila seseorang diterima di bawah standar — baik karena kelalaian tim seleksi, tekanan administratif, atau faktor subjektif seperti hubungan keluarga dan status orang tua — maka risiko kematian dalam pembinaan meningkat secara signifikan.

X. Hubungan Standar Fisik–Mental dengan Risiko Kematian

Sistem pembinaan keras diasumsikan diberikan kepada individu yang secara fisiologis dan psikologis siap.

Jika seseorang diterima tanpa memenuhi standar tersebut, maka latihan atau hukuman yang normal bagi prajurit lain bisa menjadi beban fatal baginya.

•          Aspek Fisiologis:

Tubuh yang lemah dapat mengalami gagal jantung, dehidrasi, atau syok panas (heat stroke) saat latihan intensif.

•          Aspek Psikologis:

Individu dengan ketahanan mental rendah cenderung mengalami panik, disosiasi, dan hilang kendali yang memperburuk kondisi fisiknya.

Teori General Adaptation Syndrome (Hans Selye) menjelaskan bahwa stres berlebihan tanpa kemampuan adaptasi akan berakhir pada fase exhaustion, di mana sistem tubuh berhenti bekerja.

Maka, pembinaan keras menuntut kesiapan penuh; ketidaksiapan dapat berakibat fatal.

XI. Penjelasan Medis dan Psikologis: Mengapa Personel di Bawah Standar Rentan Mati dalam Pembinaan

Secara fisiologis, tubuh manusia yang belum terbiasa dengan tekanan ekstrem akan mengalami respon kejut (shock) terhadap beban fisik tinggi, panas ekstrem, dan dehidrasi mendadak yang biasa terjadi dalam pembinaan militer.

Kondisi seperti kelemahan jantung, gangguan elektrolit, anemia laten, atau gangguan adaptasi metabolik dapat menyebabkan kegagalan sistem tubuh saat menjalani latihan keras.

Secara psikologis, individu dengan ketahanan mental rendah (low resilience) akan lebih mudah mengalami panic reaction, kehilangan kendali pernapasan, dan stres akut, yang juga dapat memperburuk kondisi fisik.

Teori General Adaptation Syndrome (Hans Selye, 1950) menjelaskan bahwa stres berlebihan tanpa kemampuan adaptasi menyebabkan tahap exhaustion, di mana sistem tubuh berhenti berfungsi secara normal.

Dalam konteks pembinaan keras militer, calon prajurit di bawah standar dapat mencapai tahap ini lebih cepat, sehingga pembinaan yang normal bagi prajurit lain bisa berakibat fatal bagi dirinya.

XII. Pentingnya Proses Seleksi yang Ketat

Seleksi fisik dan mental berfungsi sebagai filter moral dan medis agar hanya individu yang benar-benar siap yang diterima menjadi prajurit.

Proses ini meliputi:

1.         Pemeriksaan medis menyeluruh: jantung, paru, sistem saraf, daya tahan panas.

2.         Tes psikologi militer: stabilitas emosi, daya tahan stres, agresivitas, dan kemampuan adaptif.

3.         Verifikasi integritas: mencegah intervensi eksternal, nepotisme, atau tekanan keluarga.

Apabila seleksi dilakukan dengan kompromi—misalnya karena tekanan sosial, ekonomi, atau relasi pribadi—maka fungsi pengaman terhadap risiko kematian dalam pembinaan hilang.

XII. Analisis terhadap Kemungkinan Penyimpangan dalam Proses Rekrutmen (Kasus Prada Lucky)

Dalam konteks kasus Prada Lucky, perlu dipertimbangkan kemungkinan bahwa kematian bukan semata akibat metode pembinaan, melainkan juga karena kondisi fisik atau mental yang tidak sesuai standar militer sejak awal.

Berdasarkan informasi umum yang beredar, Prada Lucky diketahui berasal dari keluarga militer.

Secara sosiologis dan administratif, hal seperti ini dapat menimbulkan potensi adanya toleransi atau kelonggaran dalam proses seleksi awal oleh tim penerimaan.

Kemungkinan “kemudahan” atau “kompensasi status keluarga militer” dalam proses rekrutmen bukan hal baru dalam sistem birokrasi militer — walau tentu tidak dibenarkan secara etika maupun doktrin.

Apabila benar terdapat faktor tersebut, maka Prada Lucky sangat mungkin diterima tanpa memenuhi seluruh standar fisik dan mental yang semestinya.

Dalam konteks pembinaan keras yang menjadi bagian dari tradisi militer, individu dengan kondisi fisik atau mental di bawah standar berisiko mengalami kegagalan adaptasi fisiologis dan psikologis terhadap tekanan, sehingga dapat berujung pada kerusakan organ vital, kolaps, atau kematian mendadak.

XIII.  Keterkaitan dengan Tanggung Jawab Hukum dan Moral Komando

Dari perspektif hukum militer, pembinaan keras dalam barak yang berujung pada kematian tetap masuk dalam ruang lingkup Pasal 131 ayat (3) KUHPM.

Namun, bila penyebab kematian juga dipengaruhi oleh kondisi fisik atau mental bawahan yang tidak memenuhi standar sejak awal, maka faktor kelalaian administratif tim seleksi harus dipertimbangkan sebagai sebab ikut (causa concomitans) dalam analisis hukum.

Dalam konteks Prada Lucky:

•          Bila benar bahwa ia tidak memenuhi standar fisik atau mental,

•          Dan bila penerimaannya dipengaruhi oleh hubungan keluarga militer yang menimbulkan kemudahan administrasi, maka faktor kesalahan sistemik pada proses rekrutmen turut berkontribusi terhadap kematian yang terjadi dalam pembinaan.

Artinya, bukan semata-mata metode pembinaan yang harus dipersoalkan, tetapi juga validitas penerimaan personel yang tidak siap menjalani sistem pembinaan keras militer.

XIV. Perspektif Hukum Militer

Pasal 131 ayat (3) KUHPM mengatur:

“Apabila tindakan atasan dalam pembinaan mengakibatkan luka berat atau kematian, maka dapat dipidana dengan hukuman paling lama sembilan tahun.”

Pasal ini menegaskan dua hal:

1.         Pembinaan keras adalah sah selama dilakukan dalam dinas dan dengan tujuan pendidikan militer.

2.         Akibat fatal tetap menimbulkan tanggung jawab hukum, bukan karena niat membunuh, tetapi karena akibat dari pelaksanaan pembinaan.

Dengan demikian, kematian dalam pembinaan dapat terjadi karena:

•          Kelebihan tindakan fisik dalam pembinaan (excess of discipline), atau

•          Kelemahan fisik/mental bawahan yang seharusnya tidak diterima sejak proses seleksi.

Kedua faktor tersebut harus diperiksa secara bersama sebagai sebab hukum.

XV. Pandangan Ahli

1.         Pembinaan keras dalam militer bersifat legal, sah, dan diperlukan, tetapi hanya efektif bila dijalankan terhadap personel yang sudah memenuhi standar fisik dan mental militer.

2.         Personel yang di bawah standar (underqualified) secara fisiologis dan psikologis berpotensi mengalami kegagalan adaptasi dan bahkan kematian dalam pembinaan.

3.         Dalam kasus Prada Lucky, sangat mungkin kematian terjadi karena kombinasi antara kerasnya pembinaan dan lemahnya kondisi fisik/mental sejak awal.

4.         Tim seleksi penerimaan calon prajurit harus dimintai pertanggungjawaban administratif apabila ditemukan adanya kelonggaran penerimaan, terutama bila faktor keluarga atau kedekatan menjadi pertimbangan.

5.         Kematian dalam pembinaan bukan semata akibat kekerasan, tetapi juga akibat ketidaksiapan tubuh dan jiwa menghadapi sistem pelatihan militer yang ekstrem.

XV. Kesimpulan

“Pembinaan keras hanya layak diberikan kepada prajurit yang kuat.

Bila prajurit yang lemah diterima karena kelalaian atau kompromi, maka kerasnya militer akan menjadi maut bagi yang tidak siap.

Karena itu, seleksi adalah benteng pertama, dan pembinaan keras adalah benteng kedua —

keduanya harus berdiri bersama demi kehormatan tentara.”

XVII. Penutup.

1.         Pembinaan militer berbeda secara total dari pembinaan sipil. Ia hidup dari disiplin dan ketaatan, bukan kebebasan individu.

2.         Kerasnya pembinaan memiliki dasar ilmiah dalam psikologi militer: teori stress inoculation, resilience, dan behavioral conditioning.

3.         Tidak ada format baku pembinaan; setiap komandan memiliki diskresi dan tanggung jawab moral untuk menentukan cara terbaik bagi satuannya.

4.         Apa yang tampak “sadis” bagi sipil sesungguhnya merupakan metode pendidikan karakter dan ketahanan mental.

5.         Kasus Prada Lucky terjadi dalam barak dan dalam dinas, sehingga bukan pembunuhan berencana, melainkan pembinaan yang berakibat fatal, yang diatur dalam Pasal 131 ayat (3) KUHPM (pidana maksimum 9 tahun).

6.         Standar fisik dan mental calon prajurit ditetapkan sangat tinggi karena hanya mereka yang mampu menanggung kerasnya pembinaan yang dapat bertahan dalam sistem militer.

7.         Keras dalam militer adalah keharusan, tetapi keras yang kehilangan kendali harus dikoreksi oleh hukum.

8.         “Dalam pandangan sipil, pembinaan militer tampak kejam; dalam pandangan militer, keras adalah kasih sayang dalam bentuk pengorbanan.

Karena hanya melalui tempaan keras lahir prajurit yang tangguh, dan hanya dari prajurit tangguh lahir pasukan yang mampu menegakan kedaulatan, menjaga keutuhan wilayah dan melindungoi segenap bangsa.”