10 Oktober 2025

Garibaldi di Laut Nusantara: Gagah di Parade, Tapi Tak Bergigi di ZEEI dan ALKI

 Garibaldi di Laut Nusantara: Gagah di Parade, Tapi Tak Bergigi di ZEEI dan ALKI

Jakarta 10 Okteober 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH

Pendahuluan

Kapal induk selalu membawa aura kekuatan dan kebanggaan nasional. Ia dianggap simbol supremasi laut, kebanggaan armada, dan alat diplomasi keras (hard power). Namun, tidak semua laut memerlukan kapal induk — apalagi laut kepulauan seperti Indonesia.

Ketika kapal induk Giuseppe Garibaldi-class dibicarakan sebagai kemungkinan platform operasi di wilayah Indonesia, banyak pihak tergoda oleh gambaran megahnya: dek penerbangan, hanggar pesawat, dan kemampuan komando gabungan laut–udara. Tetapi di balik semua itu, pertanyaan mendasarnya justru sederhana:
Apakah kapal seperti Garibaldi benar-benar memiliki daya gentar (deterrent effect) di wilayah ZEE dan ALKI Indonesia?

Konteks Operasi di Indonesia

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) bukanlah samudra terbuka.
Keduanya merupakan wilayah strategis dengan perairan dangkal, sempit, dan penuh aktivitas ekonomi serta sipil.

  • ZEE Indonesia membentang di laut Natuna, Arafura, Sulawesi, dan Samudra Hindia – bukan zona pertempuran, melainkan area penegakan hukum ekonomi.
  • ALKI I, II, dan III adalah jalur pelayaran internasional, tempat lalu lintas niaga dunia lewat di antara pulau-pulau Indonesia — penuh kapal niaga, tanker, dan kontainer.

Dalam konteks ini, ancaman utama bukanlah armada tempur musuh, melainkan:
penangkapan ikan ilegal, penyelundupan, pelanggaran batas ZEE, dan infiltrasi non-militer.

Garibaldi-class tidak didesain untuk menghadapi ancaman semacam itu.

Kapasitas Tempur Garibaldi

Garibaldi-class, meskipun disebut “kapal induk”, sejatinya lebih tepat disebut “light carrier / V/STOL cruiser”dengan bobot sekitar 13.000 ton. Ia hanya mampu membawa:

  • ±10–12 pesawat V/STOL (seperti Harrier atau drone tempur ringan),
  • Beberapa helikopter ASW atau SAR,
  • Pertahanan diri dengan rudal Aspide dan meriam 76 mm.

Kapal ini bukan kapal tempur multi-peran modern seperti kapal induk Amerika atau Prancis, melainkan platform transisi yang dirancang untuk mendukung operasi taktis di Laut Tengah.

Selain itu, sistem propulsinya COGAG (Combined Gas and Gas) dengan empat turbin GE LM2500, yang sangat boros bahan bakar.
Hasil perhitungan menunjukkan:

  • Pada 15 knot, BBM ± 6.145 liter/jam → Rp 2,3 miliar per hari.
  • Pada 20 knot, BBM ± 14.581 liter/jam → Rp 5,4 miliar per hari.
  • Setahun beroperasi penuh di wilayah tropis bisa menelan biaya Rp 1–2 triliun hanya untuk BBM.

Artinya, daya gentar Garibaldi lebih banyak terbakar menjadi asap gas panas daripada menjadi kekuatan tempur nyata.

Ketidaksesuaian Lingkungan dan Konsep Operasi

Indonesia tidak memiliki musuh yang perlu dihadapi dengan kapal induk besar.
Wilayah laut Indonesia adalah archipelagic sea domain, bukan theatre of war terbuka.
Garibaldi justru akan kesulitan:

  • Beroperasi di perairan sempit dan dangkal, seperti ALKI II atau Selat Makassar.
  • Bertahan lama di laut tanpa dukungan tanker besar.
  • Mendaratkan pesawat karena udara lembab tropis memperpendek jarak lepas landas dan menurunkan performa mesin pesawat V/STOL.
  • Menjadi sasaran besar dan lamban di perairan yang dipenuhi rudal jarak menengah dan drone modern.

Singkatnya, Garibaldi adalah “kapal besar di laut yang salah.”

Daya Gentar: Realitas atau Ilusi?

Efektivitas daya gentar ditentukan bukan oleh ukuran kapal, tetapi oleh relevansi kekuatan terhadap ancaman dan lingkungan operasionalnya.

  • Di Laut Cina Selatan, daya gentar muncul karena penguasaan domain – radar, drone, kapal cepat, rudal pantai, dan jaringan pengawasan satelit.
  • Di Indonesia, garis pantai panjang dan ribuan pulau membuat fleet kecil dan cepat jauh lebih efektif.

Garibaldi tidak memberi efek gentar terhadap kapal asing yang melanggar ZEE.
Kapal nelayan asing tidak gentar oleh kapal induk — mereka gentar oleh kapal patroli bersenjata yang cepat merapat dan menindak.

Bagi negara besar seperti Tiongkok atau Amerika Serikat, Garibaldi justru tidak menambah keseimbangan strategis.
Sebaliknya, kehadiran kapal sebesar itu di ALKI hanya akan:

  • Meningkatkan biaya logistik dan diplomatik,
  • Membatasi mobilitas armada kecil,
  • Dan memperlihatkan kelemahan strategi alutsista Indonesia — lebih mementingkan simbol daripada fungsi.

Alternatif yang Relevan untuk Indonesia

Daripada mengoperasikan satu Garibaldi, anggaran Rp 1–2 triliun per tahun dapat digunakan untuk:

  • Membangun 6–8 kapal OPV 50–60 meter buatan dalam negeri,
  • Dilengkapi sistem CODOG (diesel + gas) yang efisien,
  • Dapat beroperasi simultan di semua ALKI,
  • Dan memberikan kehadiran nyata (presence) yang lebih luas dan berkelanjutan.

Inilah kekuatan maritim sejati Indonesia: bukan satu kapal besar yang membakar uang, tetapi banyak kapal kecil yang menjaga laut dari Sabang sampai Merauke.

Kesimpulan

Garibaldi mungkin memiliki daya tarik politis, tapi tidak memiliki daya gentar strategis di ZEE dan ALKI Indonesia.
Ia gagah di parade, tapi tak bergigi di laut tropis.

Kapal ini adalah simbol dari paradigma lama — bahwa kekuatan laut diukur dari ukuran kapal, bukan dari kemampuan menjaga laut.
Indonesia membutuhkan kapal patroli cepat, korvet efisien, radar pantai, dan sistem intelijen maritim terintegrasi, bukan kapal induk yang memakan anggaran setara armada baru.

Dalam konteks Indonesia, Garibaldi bukan deterrent, melainkan pemborosan yang terapung di atas ego strategi lama.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar