Reformasi dan Impunitas TNI di Usia ke-80: Hukum Tidak Dapat Menyalahi Konstitusi
Jakarta 5 Okteober 2025
Oleh: Laksda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH
Kepala BAIS TNI 2011-2013
Pengantar :
Delapan puluh tahun usia TNI bukan sekadar perayaan kekuatan militer, tetapi momentum untuk meneguhkan kembali makna disiplin dan ketaatan pada konstitusi.
Di tengah kemajuan profesionalisme, muncul kembali tudingan bahwa TNI kebal hukum — tudingan yang sesungguhnya keliru, karena bukan kehendak TNI yang menentukan forum peradilan, melainkan sistem hukum yang diatur oleh konstitusi.
“Tentara yang kuat bukan karena senjatanya, tetapi karena kesetiaannya pada hukum dan konstitusi.”
1. Konstitusi Menetapkan, Bukan Sekadar Memilih
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 secara tegas menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer.
Empat lingkungan peradilan ini bukan pilihan politik, melainkan pilar konstitusional yang bersifat mutlak.
Dengan demikian, penempatan prajurit aktif TNI di bawah yurisdiksi peradilan militer merupakan kompetensi absolut, bukan kehendak institusi.
Maka gagasan untuk membawa semua prajurit ke peradilan sipil bukan hanya belum bisa, tetapi tidak bisa, kecuali melalui amandemen UUD 1945.
Hukum tidak dapat berjalan di luar konstitusi — dan selama konstitusi masih menempatkan TNI dalam sistem peradilan militer, maka itulah bentuk hukum tertinggi yang harus ditaati.
2. Reformasi Bukan Menghapus, Melainkan Menyempurnakan
Reformasi ABRI tahun 1998 memisahkan TNI dan Polri agar keduanya profesional di bidangnya.
Namun semangat reformasi bukan berarti menghapus peradilan militer.
Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI memang membuka peluang bagi prajurit yang melakukan tindak pidana umum untuk diadili di peradilan umum, tetapi pelaksanaannya tidak dapat dilakukan sepenuhnya karena sistem konstitusi tidak memungkinkan tumpang tindih yurisdiksi.
Artinya, reformasi bukan mengganti forum hukum, melainkan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di dalam forum yang sudah sah.
Peradilan militer harus diperkuat, bukan dibubarkan; diawasi, bukan dicurigai. Karena profesionalisme militer sejati lahir dari disiplin yang dipertanggungjawabkan di bawah hukum.
“Ketika hukum ditegakkan tanpa menyalahi konstitusi, di situlah keadilan dan kehormatan bangsa berdiri tegak.”
3. Sistem yang Membatasi, Bukan Keengganan Institusi
Sering kali publik menuduh TNI melindungi anggotanya karena tidak diadili di pengadilan umum. Padahal, forum peradilan bukan ditentukan oleh kehendak TNI, tetapi oleh sistem hukum nasional.
UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer masih berlaku dan menjadi dasar hukum bagi oditurat serta proses persidangan militer.
Selama undang-undang ini belum diubah, prajurit TNI wajib tunduk padanya.
Inilah esensi dari kompetensi absolut — bahwa setiap jenis perkara hanya dapat diadili oleh forum yang secara hukum diberi kewenangan.
Dengan kata lain, TNI bukan tidak mau diadili di peradilan umum, tetapi tidak bisa, karena konstitusi melarangnya.
4. Peradilan Militer Bukan Benteng Impunitas
Peradilan militer bukanlah tempat untuk berlindung dari hukum, melainkan instrumen disiplin dan keadilan internaldalam sistem pertahanan negara.
Banyak prajurit yang telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan militer. Yang perlu diperbaiki bukan keberadaannya, melainkan keterbukaan dan komunikasi publiknya.
Keadilan yang tertutup mudah disalahpahami; maka peradilan militer harus tampil lebih transparan tanpa mengorbankan rahasia pertahanan.
Reformasi sejati bukan berarti menyeret semua prajurit ke pengadilan sipil, tetapi memastikan peradilan militer bekerja adil dan terbuka.
5. Agenda Reformasi: Prajurit Aktif Tidak Boleh Menjabat di Luar Struktur
Salah satu agenda utama reformasi ABRI tahun 1998 adalah mengakhiri dwifungsi militer — yaitu peran ganda TNI dalam bidang pertahanan dan pemerintahan sipil.
Prinsip ini kemudian ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, khususnya Pasal 47 ayat (1) yang menyatakan:
“Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas militer.”
Sementara Pasal 47 ayat (2) menjelaskan bahwa jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif hanya terbatas pada bidang yang berkaitan langsung dengan pertahanan dan keamanan, dan itupun harus atas penugasan dari Presiden.
Ketentuan ini bersifat imperatif — artinya tidak bisa ditafsirkan lain.
Jabatan di kementerian, BUMN, lembaga sipil, maupun posisi politik, bukan ruang bagi prajurit aktif.
Namun dalam praktik beberapa tahun terakhir, khususnya pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, muncul kembali fenomena penempatan perwira aktif TNI di berbagai lembaga sipil, bahkan di posisi-posisi strategis non-pertahanan.
Fenomena ini dianggap banyak pihak sebagai kemunduran reformasi, karena membuka kembali ruang “peran ganda” yang dulu sudah diakhiri dengan tegas.
6. Koreksi Konstitusional dari Presiden Prabowo
Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, arah itu dikoreksi.
Presiden menegaskan bahwa semua prajurit aktif TNI yang menempati jabatan di luar struktur pertahanan wajib mengundurkan diri atau kembali ke kesatuan.
Langkah ini bukan sekadar penataan administrasi, tetapi pemulihan konstitusional terhadap semangat reformasi TNI.
Kebijakan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pertahanan Negara, yang menegaskan pentingnya profesionalisme TNI dan kejelasan rantai komando.
UU 3/2025 menempatkan TNI secara eksplisit sebagai komponen utama pertahanan negara dengan kewenangan terstruktur di bawah Kementerian Pertahanan.
Artinya, tidak ada lagi alasan bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil, karena setiap jabatan di luar struktur pertahanan berpotensi memecah loyalitas komando dan mengaburkan fungsi TNI sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan.
Langkah Presiden Prabowo Subianto ini adalah koreksi sejarah yang penting — menutup celah penyimpangan yang sempat terbuka di era sebelumnya.
TNI harus kembali menjadi tentara profesional yang fokus pada pertahanan, bukan aktor administratif di lembaga sipil.
“Profesionalisme tentara tidak diukur dari banyaknya jabatan, tetapi dari tegaknya garis komando dan kejernihan loyalitas.”
7. Menyatukan Dua Agenda Reformasi
Dengan demikian, ada dua wajah reformasi TNI yang kini dijalankan secara bersamaan:
- Reformasi struktural, yaitu memastikan prajurit aktif tidak menempati jabatan di luar struktur pertahanan, sesuai Pasal 47 UU 34/2004 dan UU 3/2025; dan
- Reformasi hukum, yaitu memperkuat akuntabilitas peradilan militer agar tidak disalahpahami sebagai bentuk impunitas.
Keduanya bermuara pada satu hal: penguatan profesionalisme dan supremasi konstitusi.
8. TNI di Usia ke-80: Kembali ke Jati Diri Konstitusional
Delapan puluh tahun TNI adalah perjalanan panjang — dari perjuangan bersenjata, reformasi, hingga era modernisasi.
Kini, Presiden Prabowo Subianto menegaskan arah reformasi yang benar: prajurit aktif yang menduduki jabatan di luar struktur pertahanan harus mengundurkan diri atau kembali ke kesatuan.
Langkah ini bukan mundur ke masa lalu, melainkan kembali ke jati diri konstitusional, di mana tentara berdiri tegak di bawah hukum, bukan di atasnya.
TNI yang profesional adalah TNI yang kuat karena tunduk pada hukum.
Ketaatan pada hukum bukan kelemahan, tetapi sumber kekuatan moral dan kehormatan.
“Disiplin adalah bentuk tertinggi keadilan militer, dan ketaatan pada hukum adalah puncak kehormatan seorang prajurit.”
9. Penutup : Setia kepada Negara, Setia pada Hukum
“Ketaatan pada hukum adalah bentuk tertinggi dari patriotisme.”
Peradilan militer adalah bagian sah dari kekuasaan kehakiman Indonesia — sebagaimana peradilan umum, agama, dan TUN.
Selama konstitusi berdiri, sistem itu tidak bisa diubah tanpa merusak keseimbangan negara hukum.
TNI tidak impunitas.
Tidak kebal hukum.
Tidak menolak keadilan.
Yang membuat prajurit diadili di peradilan militer bukan keinginan institusi, melainkan sistem hukum konstitusional yang menempatkan mereka di sana.
Presiden Prabowo telah mengembalikan arah reformasi ke rel yang benar:
prajurit aktif kembali ke kesatuan, dan hukum kembali ke tempat tertingginya.
Dan justru di situlah letak kehormatan seorang prajurit: patuh kepada hukum, karena hukum adalah wujud tertinggi dari kesetiaan kepada negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar