1 Agustus 2014

Operasi Intelijen yang (Tak Boleh) Gagal


Oleh Laksda TNI Soleman B. Ponto ST, MH,
Kabais TNI 2011-2013
Berangkat tugas dianggap mati,
hilang tidak dicari, kalah dicaci maki,
menang tidak dipuji.

Kutipan diatas adalah semboyan yang terkenal dilingkungan intelijen. Bagi pihak yang memilih berkarier dibidang intelijen, pasti sangat akrab dengan istilah ini. Dan tentunya akan siap menerima konsekuensi seperti semboyan tersebut.

Dalam doktrin operasi intelijen, orang yang menerima perintah disebut agen, sedangkan orang yang memberi perintah disebut agen handlers. Operasi dilakukan dengan sistim Sel. Artinya antara agen dan agen handlers tidak boleh ada bukti sama sekali bahwa mereka memiliki hubungan. Secara resmi diantara keduanya tidak boleh ada hubungan sama sekali. Artinya hubungan diantara keduanya harus dirahasiakan. Apabila agen tertangkap, maka agen handlers secara terbuka akan menyangkalnya.


Penculikan atau Penghilangan Paksa dalam operasi intelijen dikenal sebagai penggalangan keras, yaitu korban dihilangkan sama sekali.

DKP dan Kerja Intelijen
Dari Surat rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang kini beredar luas, dinyatakan bahwa Prabowo Subianto melakukan operasi Intelijen penculikan atau lebih dikenal dengan penghilangan paksa. Dalam dunia intelijen, hal ini bukanlah luar biasa, karena setiap anggota Kopasus memang memiliki kemampuan untuk melaksanakan operasi intelijen.

Dengan demikian bila ditinjau dari sisi operasi Intelijen, maka tidaklah salah pernyataan Wiranto yang menyangkal adanya perintah untuk melakukan operasi penculikan aktivis. Demikian juga anggota tim Mawar, tidaklah salah apabila mereka dalam persidangan menyangkal adanya perintah dari atasan. Mereka menyatakan bahwa penculikan itu dilakukan inisiatif sendiri.

Setidaknya ada tiga hal utama yang menjadi catatan terhadap fenomena ini.
Pertama, operasi intelijen itu menjadi Gagal Total karena terbongkar. Hal ini disebabkan (sebagian) korban yang diculik dilepaskan kembali. Hal ini telah melanggar doktrin operasi intelijen, yaitu korban harus betul–betul hilang tanpa jejak.

Kedua, tim DKP telah mengetahui adanya perintah dari Prabowo (sebagai agen handlers dalam operasi intelijen) sebagai Danjen Kopassus kepada tim Mawar dan tim Merpati.

Ketiga, adanya pengakuan secara tidak langsung dari Prabowo ketika menjawab pertanyaan dari Jusuf Kalla dalam debat pilpres beberapa hari lalu. Prabowo berkata, “atasan saya sudah tahu”. Idealnya, dalam dunia intelijen, jawaban Prabowo terhadap Jusuf Kalla saat debat tersebut adalah, ignore, atau menghindar. Sama halnya dengan jawaban anggota tim mawar yang dalam persidangan menyangkal mendapat perintah dari atasan mereka dalam melakukan penculikan.

Pelanggaran Hukum
Sekali lagi, dari ketiga fenomena diatas dapat disimpulkan bahwa Operasi Intelijen Penculikan aktivis tersebut, menjadi gagal. Dalam operasi intelijen terkenal juga istilah, Tidak ada alasan pembenaran bagi para pelaku operasi intelijen yang gagal. Akibat dari kegagalan operasi itu, maka para pelakunya secara otomatis akan tertuduh sebagai pelanggar hukum.

Hukum-hukum yang dilanggar antara lain, Pasal 55 KUHP: mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Pasal 328 KUHP: Barang siapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Rujukan lainnya, Pasal 333 KUHP ayat (1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. Pasal 4, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Tidak hanya rujukan hukum nasional, pada Pasal 1 Konvensi Internasional tentang Perlindungan semua orang dari Penghilangan Paksa. Dinyatakan, (1)   Tidak seorangpun dapat dihilangkan secara paksa. (2) Tidak ada pengecualian dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan perang atau ancaman perang, ketidakstabilan politik dalam negeri atau keadaan darurat umum lainnya, dapat dijadikan pembenaran tindak penghilangan paksa.

Selain itu, pada Pasal 6 Konvensi Internasional tentang Perlindungan semua orang dari Penghilangan Paksa dinyatakan, Setiap  Negara  Pihak   akan  mengambil   langkah-langkah yang  diperlukan  untuk menghukum orang-orang yang bertanggung jawab, setidaknya bagi (a) Setiap orang yang melakukan, memerintahkan, meminta atau menyebabkan upaya-upaya untuk melakukan, sebagai pelaku atau turut berperan dalam penghilangan paksa; Dan (b)   Seorang atasan yang: mengetahui,   atau   secara  sadar  mengbaikan   informasi   yang jelas mengindikasikan bahwa anak buah yang berada dalam kekuasaannya dan pengawasannya melakukan atau akan melakukan kejahatan penghilangan paksa

Pembelajaran Bagi Intelijen TNI
Atas pelanggaran hukum diatas, konstitusi telah memberikan solusinya. Pada Pasal 4 Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pada pasal 7 UU yang sama dinyatakan bahwa Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi (a) kejahatan genosida dan (b) kejahatan terhadap kemanusiaan. Dan Penghilangan orang secara paksa termasuk dalam kategori diatas.

Merujuk pada doktrin Intelijen dan konsukensi (hukum) nya, maka perlu diberikan catatan penting bahwa gagalnya suatu operasi intelijen dapat berbuntut sangat panjang bagi para pelakunya. Baik itu agen handler maupun agennya sendiri. Baik cepat, maupun lambat.

Oleh karenanya, fenomena kasus penculikan aktivis ini hendaknya menjadi pelajaran bagi setiap pelaku operasi intelijen, khususnya para pelaku operasi intelijen dilingkungan TNI. Doktirn operasi intelijen mutlak untuk dilaksanakan tanpa pengecualian. Terlalu mahal harga sebuah pelanggaran terhadap doktrin operasi intelijen. Disinilah dibutuhkan para intelijen (agen dan agen handler) yang tahu posisi, mengerti peran dan langkah yang harus ditempuh. Dan ini bukan ditempuh melalui pendidikan akademis, tapi pembentukan karakter yang terilhami dari jiwa yang tertanam dengan menjadikan ‘idola’ sebagai rujukannya.

Pasalnya, bila terjadi kegagalan operasi intelijen, tuduhan sebagai pelanggar HAM berat sudah menunggu. Pintu pengadilan HAM terbuka lebar, karena tidak ada alasan pembenaran bagi para pelakunya.

Dan kini nyata dihadapan. Tahun 1998, terdengan berita, Letjen TNI Prabowo Subianto diberhentikan dari dinas militer. Dikabarkan bahwa ia diberhentikan karena diduga terlibat dalam penculikan aktivis, dimana beberapa orang dari yang diculik itu dikembalikan, dan masih adalagi 13 orang aktivis yang belum diketahui rimbanya. Enam Belas tahun berikutnya, public dikejutkan dengan beredarnya Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang menjadi dasar pemberhentian Letjen Prabowo Subianto dari dinas militer.

Salah satu pertimbangan yang digunakan untuk memberhentikan Prabowo Subianto dari dinas militer, sebagaiamana dalam Surat DKP tersebut adalah:

Memerintahkan anggota satgas Mawar, satgas Merpati melalui Kolonel Inf Chairawan (Dan Grup 4) dan Mayor Inf Bambang Kristiono untuk melalukan pengungkapan, penangkapan, dan penahanan aktivis kelompok radikal dan PRD yang diketahuinya bukan menjadi wewenangnya yang mengakibatkan Andi Arif, Aan Rudianto, Mugianto, Nezar Patria, Pius Lustrilanang dan Desmon J. Mahesa menjadi korban.

Kolonel Inf Chairawan, Mayor Inf Bambang, para Perwira dan para Bintara anggota satgas Merpati dan satgas mawar yakin akan kebenaran tugas karena menurut Danjen “sudah dilaporkan ke Pimpinan” dan “atas perintah Pimpinan”.

Semoga aparat penegak hukum dapat menuntaskan kegagalan kerja intelijen ini agar pihak yang terkait tidak lagi tersandera dan bagi para intelijen yunior bisa mengambil pelajaran yang sangat berarti (*)

Tulisan ini dimuat di Majalah Gatra edisi Juni 2014 

5 komentar:

  1. Karena tulisan pak Soleman, saya mau membacanya,, dan ternyata menarik sekali utk saya sebagai ibu rumah tangga., bertambah pengetahuan saya dlm dunia intelejen.
    Tetrima kasih pak Soleman Ponto. May God bless you..

    BalasHapus
  2. Dapatkah saya berperan untuk menjadi Intelegen dari (sipil )

    BalasHapus
  3. Apa saya bisa jadi intelijen . Saya yatim piatu sebatang kara. Saya siap.. 085755394164

    BalasHapus
  4. Apa saya bisa jadi intelijen . Saya yatim piatu sebatang kara. Saya siap.. 085755394164

    BalasHapus