4 Juli 2014

Legalitas DKP dan Profesionalisme TNI

Oleh Laksda TNI Soleman B. Ponto ST, MH,
Kabais TNI 2011-2013

Ringkasan
Bersaksi bagi tim DKP dan membela diri bagi Prabowo, semuanya adalah proses yang  hanya dapat dilakukan di pengadilan HAM, karena tindak pidana yang dilakukan oleh Prabowo masuk dalam katagori Pelanggaran HAM berat.Membela diri di pengadilan HAM adalah satu-satunya jalan bagi Prabowo untuk membersihkan namanya dari tuduhan sebagai pelanggar HAM. Apabila hal ini tidak dilakukannya, maka ia akan terus tersandera oleh predikat pelanggara HAM yang akan terus menempel di namanya.

JAKARTA, 4 Juli 2014. Sejak beredarnya Surat Rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang isinya merekomendasikan diberhentikannya Letjen TNI Prabowo Subianto dari dinas militer, telah muncul berbagai tanggapan. Ada yang menilai bahwa DKP tidak sah, ada pula yang menilai suratr ekomendasi itu palsu. Selain itu, ada juga yang mempersoalkan bahwa Letjen TNI Prabowo Subianto tidak dipecat, tapi diberhentikan dengan hormat, ada pula yang mengatakan bahwa beliau diberhentikan dengan tidak hormat dll. Untuk menjawab hal itu, perlu diperhatikan fakta-fakta sebagai berikut :

DKP dari masa ke masa
Pada tahun 1952 silam Menhan Sri Sultan HB IX membentuk Dewan Kehormatan untuk menyelesaikan kasus Kolonel Bambang Supeno. Selanjutnya kasus PRRI-Permesta diselesaikan lewat Dewan Kehormatan,  Selanjutnya tahun 1980-an ada kasus Santa Cruz di Timor-Timor. KSAD kala itu membentuk Dewan Kehormatan Perwira dan Mayjen Feisal Tanjung kala itu bertindak sebagai Ketua Dewan Kehormatan Perwira. Tahun 1998 Panglima ABRI dalam menghadapi kasus penculikan juga menggunakan perangkat Dewan Kehormatan Perwira untuk mengetahui sejauh mana perwira menengah maupun perwira tinggi yang terlibat dalam kasus itu, yang pada akhirnya Dewan Kehormatan Perwira mengeluarkan rekomendasi pemecatan Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto dari keprajuritan TNI.

DKP dalam Undang-undang RI
Dari peraturan perundangan RI, DKP pernah diatur dalam Pasal 38 Undang-undang RI nomor 2 tahun 1988 tentang Prajurit ABRI yang selengkapnya berbunyi sbb :
(1)       Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat, karena mempunyai tabiat dan perbuatan lain yang nyata-nyata dapat merugikan disiplin keprajuritan atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
(2)       Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap perwira dilaksanakan setelah mempertimbangkan pendapat Dewan Kehormatan Perwira.
Undang-undang nomor 2 tahun 1988 tentang Prajuruit ABRI ini kemudian diganti dengan Undang-undang RI nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, dimana DKP diatur pada  Pasal 62 yang selengkapnya berbunyi  :

(1)       Prajurit diberhentikan dengan tidak hormat karena mempunyai tabiat dan/atau perbuatan yang nyata-nyata dapat merugikan disiplin keprajuritan atau TNI.

(2)       Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap perwira dilaksanakan setelah mempertimbangkan pendapat Dewan Kehormatan Perwira.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa sebelum secara resmi diatur oleh Undang-undang, DKP sudah pernah digunakan beberapa kali untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul di dalam organisasi tentara. Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian masalah dalam tentara lewat perangkat DKP sudah merupakan kebiasaan.  Dari kebiasaan ini kemudian dilegalkan lewat Undang-undang nomor 2 tahun 1988 tentang Prajurit ABRI, yang kemudian digantikan oleh Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Oleh karena itu, maka keberadaan DKP adalah sah atau legal. Dengan sendirinya maka dokumen yang dihasilkan oleh DKP secara otomatis juga legal. Hal ini terbukti bahwa Letjen TNI Prabowo Subianto akhirnya harus berhenti dari dinas militer karena adanya Surat Rekomendasi dari DKP.

Diberhentikandenganhormat, dipecat dengan hormat, diberhentikan dengan tida khormat, dipecat dengan hormat atau dipecat dengan tidak hormat ???

Dalam surat DKP dengan jelas terbaca bahwa menyarankan agar Letjen Prabowo Subianto diberhentikan dari dinas keprajuritan. Mengingat kasus Prabowo ini terjadi pada tahun 1998, maka Undang-undang yang berlaku saat itu adalahUndang-undang RI nomor 2 tahun 1988 tentang Prajurit ABRI.  Dari bunyi Pasal 38 ayat 1 dan 2, dapat disimpulkan bahwa setiap kasus yang diselesaikan lewat DKP, maka rekomendasinya hanya satu yaitu “DIBERHENTIKAN DENGAN TIDAK HORMAT”
.
Dalam kasus Letjen TNI Prabowo Subianto, kata DIPECAT apakah DENGAN HORMAT atau TIDAK DENGAN HORMAT, itu tidak pernah ditemukan, karena beliau tidak pernah masuk Pengadilan Militer. Kewenangan untuk memecat hanya dimiliki oleh Hakim Militer, sehingga kata DIPECAT apakah itu dengan hormat atau tidak dengan hormat hanya akan ditemukan dalam keputusan hakim militer.

Kewenangan DKP
Kewenangan DKP diatur pada Pasal 38 Undang-undang RI nomor 2 tahun 1988 tentang Prajurit ABRI  atau Pasal 62 Undang-undang RI nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, yaitu untuk MEMBERHENTIKAN DENGAN TIDAK HORMAT Prajurit yang mempunyai tabiat dan perbuatan lain yang nyata-nyata dapat merugikan disiplin keprajuritan atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau TNI. Karena itulah maka bunyi rekomendasi dari surat DKP seharusnya DIBERHENTIKAN DENGAN TIDAK HORMAT sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang. Tapi mengapa bunyinya hanya DIBERHENTIKAN, perlu ditanyakan kepada tim DKP yang saat ini sebagian besar masih hidup.

DKP tidak memiliki kewenangan untuk mengadili pelanggaran tindak pidana. Apabila ditemukan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh Letjen Prabowo Subianto, maka temuan itu harus diberikan kepada yang berwenang yaitu, Pengadilan Militer saat itu atau Pengadilan HAM saat ini karena kasus penculikan masuk dalam katagori Pelanggaran HAM berat.

Keaslian surat rekomendasi DKP
Saat ini ada yang meragukan keaslian dari Surat Rekomendasi DKP yang beredar di masyarakat. Hal itu wajar-wajarsaja. Dalam Surat rekomendasi dari Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Nomor KEP/03/VIII/1998/DKP tanggal 21 Agustus 1998, dinyatakan bahwa Prabowo direkomendasikan untuk diberhentikan dari TNI atas beberapa pelanggarandi antaranya Prabowo dinilai terlibat dalam kasus tindak pidana penculikan para aktivis pro-demokrasi 1997/1998, mengabaikan sistem operasi, hierarki, disiplin dan hukum yang berlaku di lingkungan ABRI.Keabsahan surat ini dijamino leh Letjen TNI Fahrul Razi, yang merupakan wakil Ketua tim DKP. "Tandatangan dan bunyi keputusannya valid," kata Fachrul melalui pesan pendek kepada Tempo, Senin malam, 9 Juni 2014. Demikian juga Pak Wiranto, yang menjabat sebagai Panglima ABRI saat itu juga menyatakan bahwa sebagai Panglima ABRI dalam menghadapi kasus penculikan beliau menggunakan perangkat Dewan Kehormatan Perwira untuk mengetahui sejauh mana perwira menengah maupun perwira tinggi yang terlibat dalam kasus itu. Kemudian pada akhirnya Dewan Kehormatan Perwira mengeluarkan rekomendasi pemecatan Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto dari keprajuritan TNI.

Dengan demikian Wiranto, Fachrul Razi, serta anggota tim DKP lainnya setidaknya merupakan orang yang mengalami sendiri, mendengar sendiri tentang suatu peristiwa (dhi kasus Penculikan yang menyangkut Letjen TNI Prabowo Subianto), sehingga mereka menerima implikasi hukum yaitu harus menjadi saksisebagaimanadiaturpadaPasal 1 angka 27 KUHAP, yaitu :
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.”
Anggota tim DKP wajib menjelaskan tindak pidana yang dilakukan oleh Pak Prabowo. Apabila tim DKP tidak mau menjelaskan dan bersaksi akan hal itu, maka mereka juga akan dihukum sebagai pelanggar HAM berat. Hal ini ditegaskan pada Pasal 6 Konvensi Internasional tentang Perlindungan semua orang dari Penghilangan Paksa,yaitu :
           
1. Setiap  Negara  Pihak   akan  mengambil   langkah-langkah   yang   diperlukan  untuk menghukum orang-orang yang bertanggung jawab, setidaknya bagi:
(a) Setiap orang yang melakukan, memerintahkan, meminta atau menyebabkan upaya-upaya untuk melakukan, sebagai pelaku atau turut berperan dalam penghilangan paksa;
(b)   Seorang atasan yang:
 (i) mengetahui,   atau   secara  sadar  mengabaikan   informasi   yang jelas mengindikasikan bahwa anak buah yang berada dalam kekuasaannya dan pengawasannya melakukan atau akan melakukan kejahatan penghilangan paksa.

Bersaksi bagi tim DKP dan membela diri bagi Prabowo, semuanya adalah proses yang  hanya dapat dilakukan di pengadilan HAM, karena tindak pidana yang dilakukan oleh Prabowo masuk dalam katagori Pelanggaran HAM berat. Ketua Dewan Kehormatan Perwira saat itu adalah Jenderal TNI Subagyo Hadi Siswoyo, Sekretaris Letjen TNI Djamari Chaniago, Wakil Ketua Letjen TNI Fahrul Razi, anggotaLetjen Susilo Bambang Yudhoyono, dan anggota Letjen Yusuf Kartanegara.

Satu-satunya jalan keluar
Membela diri di pengadilan HAM adalah satu-satunya jalan bagi Prabowo untuk membersihkan namanya dari tuduhan sebagai pelanggar HAM. Apabila hal ini tidak dilakukannya, maka ia akan terus tersandera oleh predikat pelanggara HAM yang akan terus menempel di namanya. Akan sangat disayangkan apabila ia terpilih sebagai presiden nantinya, predikat pelanggar HAM masih akan terus ikut besertanya, dan kita rakyat Indonesia juga nantinya akan menanggung malu.

Profesionalisme TNI
Dengan berhentinya Letjen TNI Prabowo dari dinas keprajuritan, maka sejak saat itu ia tidak memiliki hubungan formal lagi dengan TNI. Segala sesuatu yang timbul saat ini dan berhubungan dengan Prabowo, tidak lagi menjadi tanggung jawab TNI. Hal ini dikecualikan apabila ada bukti baru yang menyangkut anggota TNI yang masih aktif saat ini. Apabila bukti baru yang ada itu tidak menyangkut anggota TNI aktif, maka TNI tidak bisa ikut campur. Semuanya diserahkan kepada mekanisme pengadilan HAM, karena kasus Penculikan masuk dalam katagori pelanggaran HAM berat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar