Pasal 509 KUHP Baru: Ancaman terhadap Profesi Advokat.
Jakarta 20 Juli 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.
Pendahuluan
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan tonggak penting dalam pembaruan sistem hukum pidana nasional. Sebagai pengganti dari Wetboek van Strafrecht peninggalan kolonial Belanda, KUHP baru ini diharapkan menjadi cerminan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi manusia dalam bingkai konstitusi dan Pancasila. Namun, di balik semangat kodifikasi tersebut, terdapat sejumlah ketentuan yang justru berpotensi mengancam prinsip-prinsip dasar negara hukum dan profesi hukum itu sendiri.
Salah satu ketentuan yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan praktisi hukum adalah Pasal 509 KUHP, yang mengatur ancaman pidana terhadap advokat, suami/istri dalam perkara perceraian, serta kreditor dalam perkara pailit, apabila memberikan atau menyampaikan keterangan yang ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, khususnya mengenai tempat tinggal tergugat atau debitur. Pasal ini mengandung frasa yang sangat problematik seperti “patut diduga bertentangan dengan kenyataan,” yang membuka peluang luas bagi tafsir subjektif, kriminalisasi, dan ketidakpastian hukum.
Advokat, sebagai salah satu pilar sistem peradilan, tidak hanya memiliki fungsi pembela hukum, tetapi juga berperan sebagai pengawal keadilan dan penjaga konstitusi. Oleh karena itu, mengkriminalisasi advokat atas dasar kesalahan administratif yang bersumber dari informasi klien, tanpa pembuktian niat jahat atau dolus, bukan hanya melemahkan fungsi advokat, tetapi juga merongrong prinsip due process of law serta melanggar hak atas pembelaan hukum yang dijamin konstitusi.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis secara kritis implikasi yuridis, konstitusional, dan praktis dari Pasal 509 KUHP, serta mengidentifikasi potensi pelanggaran terhadap UUD 1945, UU Advokat, dan prinsip dasar negara hukum. Dengan demikian, diharapkan kajian ini dapat menjadi landasan akademik dan argumentatif dalam mendorong perbaikan atau pengujian konstitusional terhadap ketentuan yang bermasalah tersebut.
1. Substansi Hukum Pasal 509 KUHP Baru
Pasal 509 KUHP menyatakan:
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III:
a. advokat yang memasukkan atau meminta memasukkan dalam surat gugatan atau permohonan cerai atau permohonan pailit, keterangan tentang tempat tinggal atau kediaman tergugat atau debitur, padahal diketahui atau patut diduga bahwa keterangan tersebut bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya;
b. suami atau istri yang mengajukan gugatan atau permohonan cerai yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud dalam huruf a; atau
c. kreditur yang mengajukan permohonan pailit yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud dalam huruf a.”
Dari ketentuan ini, tampak bahwa advokat dapat dipidana hanya karena mencantumkan informasi yang tidak sesuai kenyataan tentang tempat tinggal pihak lawan dalam dokumen hukum. Padahal informasi tersebut biasanya diperoleh langsung dari klien, dan advokat tidak memiliki kewajiban verifikatif seperti notaris atau penyidik.
Dengan kata lain, fungsi advokat sebagai penerima informasi dari klien dalam rangka mendampingi proses hukumkini dibebani risiko pidana, bahkan tanpa harus dibuktikan adanya niat jahat, karena frasa “patut diduga” menciptakan standard yang kabur dan membahayakan.
2. Pelanggaran terhadap Prinsip Lex Certa dan Lex Stricta
Dalam asas hukum pidana dikenal prinsip lex certa (hukum pidana harus jelas dan tidak multitafsir) dan lex stricta (penafsiran hukum pidana tidak boleh diperluas). Pasal 509 bertentangan dengan kedua asas ini karena:
- Menggunakan istilah “patut diduga”, yang tidak memiliki ukuran objektif dan dapat ditafsirkan sewenang-wenang.
- Tidak memberikan definisi atau kriteria yang jelas tentang kapan advokat dianggap patut menduga bahwa keterangan kliennya salah.
- Berpotensi menjerat advokat yang beritikad baik, hanya karena terdapat perbedaan informasi administratif.
Akibatnya, advokat dapat dikriminalisasi hanya karena kesalahan administratif, dan bukan karena niat atau perbuatan jahat yang disengaja.
3. Pertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945: Kepastian Hukum
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Pasal ini menegaskan bahwa negara hukum tidak boleh menggunakan hukum pidana untuk menjerat warga negara — termasuk advokat — dengan ketentuan yang tidak pasti atau membuka ruang tafsir subjektif.
Pasal 509 KUHP justru mengancam kepastian hukum karena:
- Tidak menjelaskan bagaimana cara advokat harus memverifikasi tempat tinggal tergugat atau debitur.
- Tidak membedakan antara advokat yang beritikad baik dan yang memiliki niat jahat (mens rea).
- Memberikan beban pidana atas perbuatan administratif klien, yang seharusnya menjadi tanggung jawab pihak yang memberikan data.
4. Pelanggaran terhadap Hak atas Pembelaan dan Fungsi Advokat
Profesi advokat dijamin dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya:
Pasal 16: “Advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan klien di dalam maupun di luar pengadilan.”
Pasal 509 KUHP bertentangan langsung dengan ketentuan ini karena:
- Memungkinkan advokat dipidana meski bekerja dalam itikad baik.
- Menciptakan rasa takut dalam menjalankan tugas, yang pada akhirnya membungkam peran advokat sebagai pembela hak-hak warga negara.
- Berpotensi dimanfaatkan oleh pihak lawan perkara untuk menggugat balik atau mengkriminalisasi advokat, hanya karena keberatan terhadap isi gugatan.
Ini semua pada akhirnya akan melemahkan sistem peradilan, karena advokat tidak lagi bebas menjalankan perannya dalam mendampingi masyarakat mencari keadilan.
5. Konsekuensi Sosial dan Yuridis
Jika Pasal 509 tidak dihapus atau direvisi secara ketat, akan muncul konsekuensi serius:
- Chilling effect bagi advokat: Mereka akan lebih memilih menolak perkara daripada mengambil risiko pidana.
- Kesenjangan akses terhadap keadilan: Rakyat kecil yang tidak mengerti hukum akan kesulitan mencari advokat yang bersedia membantu.
- Penyalahgunaan hukum: Pihak tertentu bisa menggunakan pasal ini untuk membalas dendam hukum terhadap advokat lawan.
6. Kesimpulan.
Pasal 509 KUHP merupakan bentuk over-kriminalisasi terhadap profesi advokat dan menimbulkan konflik konstitusional karena:
- Bertentangan dengan Pasal 28D dan 28G UUD 1945.
- Melanggar prinsip hukum pidana modern yang mengharuskan kejelasan norma (lex certa).
- Bertentangan dengan UU Advokat dan prinsip negara hukum.
- Mengancam independensi dan integritas sistem peradilan.
7. Penutup
Pasal 509 KUHP, yang tampaknya dimaksudkan untuk mencegah manipulasi data dalam perkara perdata, justru berujung pada kriminalisasi advokat — salah satu profesi inti dalam sistem peradilan pidana dan perdata. Ketentuan ini memperlihatkan kecenderungan pembentuk undang-undang untuk memperluas delik pidana ke dalam ranah yang seharusnya diselesaikan secara etik, disipliner, atau administrasi. Dampaknya sangat serius: melemahkan kebebasan profesi hukum, mengganggu hak konstitusional atas bantuan hukum, dan pada akhirnya merusak prinsip negara hukum yang adil.
Padahal, dalam sistem peradilan yang sehat, advokat harus diberi perlindungan hukum dan otonomi profesional, selama mereka bertindak dengan itikad baik dan menjalankan tugasnya secara wajar. Beban untuk membuktikan keabsahan materi gugatan atau permohonan tidak bisa sepenuhnya dialihkan kepada advokat, karena mereka hanya meneruskan informasi klien yang dinyatakan di bawah sumpah. Apalagi bila dalam banyak kasus, advokat tidak memiliki sarana atau kewenangan untuk melakukan verifikasi faktual terhadap informasi pribadi pihak lawan.
Itulah sebabnya, Pasal 509 KUHP harus ditinjau ulang melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi agar tidak menjadi alat represif terhadap profesi hukum yang justru dibutuhkan untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak konstitusional warga negara.