24 Juli 2025

KNKT Telah Melanggar Wewenang dan Hukum: Pernyataannya Terkait KM Barcelona 5 Adalah Bentuk Penghakiman Ilegal

KNKT Telah Melanggar Wewenang dan Hukum: Pernyataannya Terkait KM Barcelona 5 Adalah Bentuk Penghakiman Ilegal

Jakarta 24 Juli 2025
Oleh : laksda TNI (Purn) Adv Soleman B Ponto. ST, SH, MH, CPM, CPARB.

Jakarta, 24 Juli 2025 – Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) kembali menunjukkan sikap arogan dan melampaui kewenangannya dengan menyampaikan kepada publik sebuah dugaan bahwa kebakaran KM Barcelona 5 disebabkan oleh cairan dalam salah satu truk. Pernyataan ini tidak hanya prematur, tanpa dasar hukum, dan menyesatkan, tetapi juga merupakan bentuk penghakiman sepihak yang ilegal karena dilakukan di luar kewenangan dan tanpa proses hukum yang sah.

Perlu ditegaskan: KNKT bukan lembaga penyidik, bukan lembaga penegak hukum, dan bukan pengadilan. Ia hanyalah lembaga investigasi teknis yang tunduk pada Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2012. Dengan demikian, KNKT tidak berhak menyampaikan kepada publik dugaan apapun yang menyeret pihak tertentu sebelum proses hukum berjalan.

Tindakan KNKT tersebut:

  • Melanggar prinsip praduga tak bersalah sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
  • Melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), khususnya asas kecermatan, kepastian hukum, dan tidak menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir).
  • Mengintervensi ruang kewenangan aparat penegak hukum dengan membentuk opini publik yang dapat mempengaruhi jalannya proses penyidikan dan peradilan secara tidak sah.

Kami tegaskan:

Pernyataan KNKT tersebut adalah bentuk “vonis publik liar” yang tidak hanya melampaui kewenangan, tetapi juga berpotensi menyebabkan kerugian besar terhadap individu atau perusahaan yang disebut tanpa adanya putusan hukum.

Dalam sistem hukum yang sehat, lembaga seperti KNKT seharusnya hanya melaporkan hasil investigasinya kepada Menteri Perhubungan, bukan kepada media atau masyarakat luas. Publikasi seperti yang dilakukan saat ini bukan hanya pelanggaran prosedur, tetapi juga penghinaan terhadap sistem hukum Indonesia.

Oleh karena itu:

  1. Kami menuntut KNKT mencabut pernyataan tersebut secara terbuka dan resmi.
  2. Kami meminta Menteri Perhubungan menegur keras KNKT atas pelanggaran ini.
  3. Kami menyerukan kepada pihak-pihak yang dirugikan untuk menggugat KNKT secara hukum, baik melalui perdata maupun uji materi ke Mahkamah Konstitusi, karena ini adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan administratif yang nyata.
  4. Jika KNKT terus bertindak seperti ini, maka sebaiknya Presiden mengevaluasi keberadaan dan batasan fungsi lembaga ini secara menyeluruh.

Negara hukum tidak boleh membiarkan lembaga teknis bertindak seperti jaksa, polisi, dan hakim sekaligus. Bila KNKT ingin menyampaikan hasil temuannya ke publik, maka tunggulah sampai proses penyidikan resmi dan pemeriksaan yudisial selesai. Jika tidak, maka KNKT tidak lebih dari lembaga yang mengumbar fitnah atas nama keselamatan.

 

 

KEBAKARAN KM BARCELONA: PENANGANAN HARUS SESUAI HUKUM, BUKAN SESUAI SELERA

KEBAKARAN KM BARCELONA: PENANGANAN HARUS SESUAI HUKUM, BUKAN SESUAI SELERA

Jakarta 24 Juli 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B Ponto, ST, SH, MH

Saya memandang bahwa kejadian kebakaran di KM Barcelona harus diperlakukan sebagai kasus hukum maritim, bukan sekadar kecelakaan biasa atau kasus pidana umum yang bisa ditangani sewenang-wenang oleh aparat tertentu. UU No. 66 Tahun 2024 sebagai perubahan atas UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran telah menetapkan secara tegas dan tidak dapat ditawar bahwa yang berwenang melakukan penyidikan atas kejadian seperti ini adalah penyidik pelayaran, yaitu PPNS di bawah Kementerian Perhubungan, bukan Kepolisian.

1. PENEGAKAN HUKUM HARUS SESUAI WEWENANG, BUKAN NAFSU KUASA

Masuknya aparat Kepolisian secara langsung ke atas kapal tanpa dasar hukum yang sah dan tanpa melalui prosedur penyidikan pelayaran adalah pelanggaran hukum yang serius. Ini bukan hanya soal prosedur, tetapi soal kedaulatan hukum. Siapapun, termasuk aparat penegak hukum, tidak boleh melanggar hukum atas nama hukum. Kalau aparat sendiri yang melanggar undang-undang, maka apa bedanya mereka dengan pelaku kejahatan?

2. KPLP ADALAH PENYIDIK YANG BERWENANG – BUKAN POLISI

Pasal 276 hingga 278 UU No. 66 Tahun 2024 menyatakan dengan jelas bahwa setiap kecelakaan kapal, termasuk kebakaran, wajib diperiksa terlebih dahulu oleh penyidik pelayaran (KPLP)Mahkamah Pelayaran menjadi satu-satunya forum yang berwenang menyatakan ada tidaknya pelanggaran dalam kegiatan pelayaran. Kepolisian hanya dapat masuk setelah ditemukan unsur pidana oleh PPNS pelayaran dan atas dasar pelimpahan. Kalau tidak, tindakan tersebut adalah bentuk abuse of power dan penyalahgunaan wewenang.

3. TINDAKAN SEPIHAK ADALAH PENCEMARAN TERHADAP HUKUM MARITIM NASIONAL

Tindakan sepihak Kepolisian yang masuk tanpa koordinasi dan dasar hukum ke atas KM Barcelona adalah preseden buruk dalam penegakan hukum kelautan. Ini mencederai martabat hukum pelayaran nasional yang sedang dibangun melalui UU No. 66 Tahun 2024. Indonesia adalah negara maritim, bukan negara polisi. Jangan ulangi praktik masa lalu di mana hukum laut dikooptasi oleh kewenangan institusi yang tidak paham laut.

PENUTUP

Sebagai negara hukum, semua pihak wajib tunduk pada undang-undang. Tidak boleh ada aparat—siapapun dia—yang bertindak melampaui batas kewenangannya. Kepolisian tidak boleh langsung masuk kapal yang terbakar tanpa koordinasi dengan KPLP. Kalau hal ini dibiarkan, maka kita sedang menyaksikan pembangkangan terhadap hukum oleh mereka yang seharusnya menjaganya.

Jika bangsa ini ingin menjadi negara maritim yang berdaulat, maka hukum maritim harus dihormati, bukan dilangkahi seenaknya. Saya tegaskan, hormati UU No. 66 Tahun 2024, dan hormati KPLP sebagai penyidik sah dalam urusan pelayaran.

 

 

20 Juli 2025

Pasal 509 KUHP Baru: Ancaman terhadap Profesi Advokat.

Pasal 509 KUHP Baru: Ancaman terhadap Profesi Advokat.

Jakarta 20 Juli 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn)  Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.

Pendahuluan

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan tonggak penting dalam pembaruan sistem hukum pidana nasional. Sebagai pengganti dari Wetboek van Strafrecht peninggalan kolonial Belanda, KUHP baru ini diharapkan menjadi cerminan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi manusia dalam bingkai konstitusi dan Pancasila. Namun, di balik semangat kodifikasi tersebut, terdapat sejumlah ketentuan yang justru berpotensi mengancam prinsip-prinsip dasar negara hukum dan profesi hukum itu sendiri.

Salah satu ketentuan yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan praktisi hukum adalah Pasal 509 KUHP, yang mengatur ancaman pidana terhadap advokat, suami/istri dalam perkara perceraian, serta kreditor dalam perkara pailit, apabila memberikan atau menyampaikan keterangan yang ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, khususnya mengenai tempat tinggal tergugat atau debitur. Pasal ini mengandung frasa yang sangat problematik seperti “patut diduga bertentangan dengan kenyataan,” yang membuka peluang luas bagi tafsir subjektif, kriminalisasi, dan ketidakpastian hukum.

Advokat, sebagai salah satu pilar sistem peradilan, tidak hanya memiliki fungsi pembela hukum, tetapi juga berperan sebagai pengawal keadilan dan penjaga konstitusi. Oleh karena itu, mengkriminalisasi advokat atas dasar kesalahan administratif yang bersumber dari informasi klien, tanpa pembuktian niat jahat atau dolus, bukan hanya melemahkan fungsi advokat, tetapi juga merongrong prinsip due process of law serta melanggar hak atas pembelaan hukum yang dijamin konstitusi.

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis secara kritis implikasi yuridis, konstitusional, dan praktis dari Pasal 509 KUHP, serta mengidentifikasi potensi pelanggaran terhadap UUD 1945UU Advokat, dan prinsip dasar negara hukum. Dengan demikian, diharapkan kajian ini dapat menjadi landasan akademik dan argumentatif dalam mendorong perbaikan atau pengujian konstitusional terhadap ketentuan yang bermasalah tersebut.

1. Substansi Hukum Pasal 509 KUHP Baru

Pasal 509 KUHP menyatakan:

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III:
a. advokat yang memasukkan atau meminta memasukkan dalam surat gugatan atau permohonan cerai atau permohonan pailit, keterangan tentang tempat tinggal atau kediaman tergugat atau debitur, padahal diketahui atau patut diduga bahwa keterangan tersebut bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya;
b. suami atau istri yang mengajukan gugatan atau permohonan cerai yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud dalam huruf a; atau
c. kreditur yang mengajukan permohonan pailit yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud dalam huruf a.”

Dari ketentuan ini, tampak bahwa advokat dapat dipidana hanya karena mencantumkan informasi yang tidak sesuai kenyataan tentang tempat tinggal pihak lawan dalam dokumen hukum. Padahal informasi tersebut biasanya diperoleh langsung dari klien, dan advokat tidak memiliki kewajiban verifikatif seperti notaris atau penyidik.

Dengan kata lain, fungsi advokat sebagai penerima informasi dari klien dalam rangka mendampingi proses hukumkini dibebani risiko pidana, bahkan tanpa harus dibuktikan adanya niat jahat, karena frasa “patut diduga” menciptakan standard yang kabur dan membahayakan.

2. Pelanggaran terhadap Prinsip Lex Certa dan Lex Stricta

Dalam asas hukum pidana dikenal prinsip lex certa (hukum pidana harus jelas dan tidak multitafsir) dan lex stricta (penafsiran hukum pidana tidak boleh diperluas). Pasal 509 bertentangan dengan kedua asas ini karena:

  • Menggunakan istilah “patut diduga”, yang tidak memiliki ukuran objektif dan dapat ditafsirkan sewenang-wenang.
  • Tidak memberikan definisi atau kriteria yang jelas tentang kapan advokat dianggap patut menduga bahwa keterangan kliennya salah.
  • Berpotensi menjerat advokat yang beritikad baik, hanya karena terdapat perbedaan informasi administratif.

Akibatnya, advokat dapat dikriminalisasi hanya karena kesalahan administratif, dan bukan karena niat atau perbuatan jahat yang disengaja.

3. Pertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945: Kepastian Hukum

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Pasal ini menegaskan bahwa negara hukum tidak boleh menggunakan hukum pidana untuk menjerat warga negara — termasuk advokat — dengan ketentuan yang tidak pasti atau membuka ruang tafsir subjektif.

Pasal 509 KUHP justru mengancam kepastian hukum karena:

  • Tidak menjelaskan bagaimana cara advokat harus memverifikasi tempat tinggal tergugat atau debitur.
  • Tidak membedakan antara advokat yang beritikad baik dan yang memiliki niat jahat (mens rea).
  • Memberikan beban pidana atas perbuatan administratif klien, yang seharusnya menjadi tanggung jawab pihak yang memberikan data.

4. Pelanggaran terhadap Hak atas Pembelaan dan Fungsi Advokat

Profesi advokat dijamin dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya:

Pasal 16: “Advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan klien di dalam maupun di luar pengadilan.”

Pasal 509 KUHP bertentangan langsung dengan ketentuan ini karena:

  • Memungkinkan advokat dipidana meski bekerja dalam itikad baik.
  • Menciptakan rasa takut dalam menjalankan tugas, yang pada akhirnya membungkam peran advokat sebagai pembela hak-hak warga negara.
  • Berpotensi dimanfaatkan oleh pihak lawan perkara untuk menggugat balik atau mengkriminalisasi advokat, hanya karena keberatan terhadap isi gugatan.

Ini semua pada akhirnya akan melemahkan sistem peradilan, karena advokat tidak lagi bebas menjalankan perannya dalam mendampingi masyarakat mencari keadilan.

5. Konsekuensi Sosial dan Yuridis

Jika Pasal 509 tidak dihapus atau direvisi secara ketat, akan muncul konsekuensi serius:

  • Chilling effect bagi advokat: Mereka akan lebih memilih menolak perkara daripada mengambil risiko pidana.
  • Kesenjangan akses terhadap keadilan: Rakyat kecil yang tidak mengerti hukum akan kesulitan mencari advokat yang bersedia membantu.
  • Penyalahgunaan hukum: Pihak tertentu bisa menggunakan pasal ini untuk membalas dendam hukum terhadap advokat lawan.

6. Kesimpulan. 

Pasal 509 KUHP merupakan bentuk over-kriminalisasi terhadap profesi advokat dan menimbulkan konflik konstitusional karena:

  • Bertentangan dengan Pasal 28D dan 28G UUD 1945.
  • Melanggar prinsip hukum pidana modern yang mengharuskan kejelasan norma (lex certa).
  • Bertentangan dengan UU Advokat dan prinsip negara hukum.
  • Mengancam independensi dan integritas sistem peradilan.

7. Penutup

Pasal 509 KUHP, yang tampaknya dimaksudkan untuk mencegah manipulasi data dalam perkara perdata, justru berujung pada kriminalisasi advokat — salah satu profesi inti dalam sistem peradilan pidana dan perdata. Ketentuan ini memperlihatkan kecenderungan pembentuk undang-undang untuk memperluas delik pidana ke dalam ranah yang seharusnya diselesaikan secara etik, disipliner, atau administrasi. Dampaknya sangat serius: melemahkan kebebasan profesi hukum, mengganggu hak konstitusional atas bantuan hukum, dan pada akhirnya merusak prinsip negara hukum yang adil.

Padahal, dalam sistem peradilan yang sehat, advokat harus diberi perlindungan hukum dan otonomi profesional, selama mereka bertindak dengan itikad baik dan menjalankan tugasnya secara wajar. Beban untuk membuktikan keabsahan materi gugatan atau permohonan tidak bisa sepenuhnya dialihkan kepada advokat, karena mereka hanya meneruskan informasi klien yang dinyatakan di bawah sumpah. Apalagi bila dalam banyak kasus, advokat tidak memiliki sarana atau kewenangan untuk melakukan verifikasi faktual terhadap informasi pribadi pihak lawan.

Itulah sebabnya, Pasal 509 KUHP harus ditinjau ulang melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi agar tidak menjadi alat represif terhadap profesi hukum yang justru dibutuhkan untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak konstitusional warga negara.

 

"Sidang Sandal Jepit Kiri yang Menyesatkan"

 "Sidang Sandal Jepit Kiri yang Menyesatkan"

Pinggir pantai 20 Juli 2025

Oleh : Nelayan Sangihe, Soleman B Ponto.

Di Pengadilan Negeri Sinar Adat Raya, hari itu disidangkan perkara luar biasa:
Seorang pemuda bernama Udin bin Sugiono didakwa karena memakai sandal jepit kiri lebih dulu sebelum kanan saat hendak pergi ke balai desa.

Jaksa Membacakan Dakwaan:

"Yang Mulia Majelis Hakim,
Terdakwa Udin telah melakukan perbuatan melawan hukum adat dengan memakai sandal jepit sebelah kiri lebih dulu.
Perbuatan ini sangat bertentangan dengan hukum hidup di masyarakat kami, yang mewajibkan selalu memulai langkah dengan kaki kanan sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur."

Hakim mengernyitkan dahi, dan berkata pelan,

“Ini sidang pidana atau lomba Pramuka?”

Pengacara Tersangka Menyanggah:

"Yang Mulia, klien saya tidak tahu-menahu soal adat itu. Dia hanya buru-buru mau beli pulsa. Dan selama ini UU tidak pernah melarang sandal kiri dulu. Bahkan pasal dalam KUHP tidak ada yang membahas sandal!"

Jaksa Menyodorkan Argumentasi Yuridis:

"Justru itu, Yang Mulia!
Kami merujuk pada Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru:
'Hukum yang hidup dalam masyarakat tetap berlaku meskipun tidak diatur dalam undang-undang.'
Dan sesuai Penjelasan Pasal 2, kami sudah punya Perda Adat Nomor 03 Tahun 2024 yang menegaskan:
“Langkah kiri dulu dianggap sebagai penolakan terhadap adat dan penghinaan simbolis terhadap karuhun.”"

Hakim garuk kepala, panitera ketawa tertahan.

Hakim Bertanya Serius:

"Apa akibatnya jika orang melangkah kaki kiri dulu?"

Jaksa:

"Biasanya hujan deras, atau padi gagal panen. Pernah juga WiFi desa jadi lemot. Ini sangat serius, Yang Mulia."

Suasana Sidang Riuh

Saksi ahli adat menyatakan bahwa:

"Udin telah melanggar kesakralan jejak kanan, dan itu sama saja seperti meludah ke arah barat saat matahari tenggelam."

Udin cuma bisa melongo:

“Saya cuma mau beli Indomie, Pak.”

 Putusan Majelis Hakim:

"Dengan ini, majelis menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan telah bersalah melanggar hukum adat lokal berdasarkan Pasal 2 ayat (1) KUHP, dan karena belum ada ketentuan pidana dalam UU tentang sandal, maka digunakan hukum yang hidup di masyarakat."

Putusan:

"Terdakwa dijatuhi hukuman menyapu halaman balai desa selama 3 hari dan wajib pakai sandal kanan dulu selama masa percobaan 1 tahun."

EPILOG:

Kasus ini viral di media sosial. Komentarnya beragam:

  • “Besok jangan-jangan tidur miring ke kiri juga kena pasal adat?”
  • “Untung belum ada perda larangan kentut menghadap utara.”
  • “Negara hukum atau negara sandal?”

Pesan Satir Cerita Ini:

Pasal 2 KUHP yang membolehkan pemidanaan atas dasar “hukum hidup dalam masyarakat” tanpa batasan yang tegasberpotensi melegitimasi hal-hal yang sepele, tak rasional, dan diskriminatif jika tidak ditulis, diuji, dan dibatasi secara konstitusional.

 

 

19 Juli 2025

Kritik terhadap Pasal 2 UU 1/2023 tentang KUHP: Ancaman terhadap Kepastian Hukum dan Konstitusionalitas Pemidanaan

Kritik terhadap Pasal 2 UU 1/2023 tentang KUHP: Ancaman terhadap Kepastian Hukum dan Konstitusionalitas Pemidanaan

Jakarta, 19 Juli 2025
Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
KABAIS TNI 2011-2013

I. Pendahuluan

Sebentar lagi, Indonesia akan resmi memberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan tonggak sejarah dalam reformasi hukum nasional. Disusun selama lebih dari setengah abad, KUHP baru ini menggantikan Wetboek van Strafrecht peninggalan kolonial Belanda dan menjadi cermin semangat bangsa untuk mewujudkan sistem hukum yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, kebhinekaan, dan kedaulatan hukum nasional.

Kita semua, sebagai bangsa, layak menyambutnya dengan harapan dan optimisme. Namun, pada saat yang sama, kita juga dilanda kekhawatiran yang tidak bisa diabaikan. Sebab, di tengah upaya kodifikasi besar ini, terdapat beberapa ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 2023 yang justru berpotensi melemahkan prinsip negara hukum yang demokratis, merusak kepastian hukum, dan membuka ruang pelanggaran hak asasi manusia.

Salah satu pasal yang menimbulkan kegelisahan itu adalah Pasal 2, yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipidana berdasarkan “hukum yang hidup dalam masyarakat” meskipun perbuatannya tidak diatur dalam undang-undang. Ketentuan ini, bila tidak direvisi atau ditafsirkan secara ketat, bukan saja bertentangan dengan asas legalitas yang menjadi fondasi hukum pidana modern, tetapi juga berisiko digunakan untuk membenarkan intoleransi, diskriminasi, dan penyimpangan atas nama hukum adat.

Ketentuan ini tidak hanya problematik secara yuridis, tetapi juga membahayakan prinsip kepastian hukum, keadilan konstitusional, dan persatuan nasional bila terus dipertahankan.

II. Rumusan Pasal yang Dipersoalkan

Pasal 2 ayat (1):

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini. 

III. Penjelasan Pasal 2:

Ayat (1):

Yang dimaksud dengan "hukum yang hidup dalam masyarakat" adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Pasal ini berkaitan dengan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, Peraturan Daerah mengatur mengenai Tindak Pidana adat tersebut.

Ayat (2):

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "berlaku dalam tempat hukum itu hidup" adalah berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana adat di daerah tersebut. Ayat ini mengandung pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat yang keberlakuannya diakui oleh Undang-Undang ini.

Ayat (3):

Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Peraturan Daerah.

IV. Argumentasi Penolakan

1. Bertentangan dengan Asas Legalitas (Pasal 1 ayat (1))

Asas legalitas adalah prinsip dasar dalam hukum pidana:
nullum crimen, nulla poena sine lege praevia et scripta.

Pasal 1 ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika ada dasar hukum tertulis sebelumnya.
Pasal 2 justru membuka ruang pemidanaan tanpa hukum tertulis, yang berarti:

  • Menyimpang dari prinsip hukum modern,
  • Membuka peluang kriminalisasi sepihak,
  • Menimbulkan ketidakpastian dan kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum.

2. Istilah “hukum yang hidup dalam masyarakat” tidak jelas dan rawan disalahgunakan

Pasal ini menggunakan istilah yang kabur dan tidak baku secara yuridis, yaitu “hukum yang hidup dalam masyarakat”, alih-alih menyebut secara eksplisit “hukum adat”. Akibatnya:

  • Tidak ada standar objektif untuk menentukan apa yang termasuk atau tidak termasuk "hukum yang hidup",
  • Potensi klaim sepihak oleh kelompok dominan di suatu wilayah terhadap perilaku minoritas,
  • Munculnya “pasal karet adat” yang bisa membenarkan pengusiran, intimidasi, atau diskriminasi atas nama budaya lokal.

3. Melanggar Prinsip Non-Diskriminasi dan Hak Konstitusional

Pasal 28I UUD 1945 menyatakan bahwa hak atas kebebasan beragama dan kepercayaan adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Pasal 2 membuka peluang pelanggaran HAM jika:

  • Hukum adat digunakan untuk membatasi kebebasan beragama, sebagaimana terjadi dalam kasus Cidahu, Sampang, dan Tolikara,
  • Atau digunakan untuk mengkriminalkan praktik sosial yang tidak sesuai dengan kebiasaan mayoritas lokal.

4. Hukum Adat yang Dituangkan ke dalam Perda Bukan Lagi “Hukum Tidak Tertulis”

Ironisnya, penjelasan Pasal 2 menyebut bahwa hukum adat perlu dituangkan dalam Peraturan Daerah. Maka secara logika:

  • Jika sudah dimuat dalam Perda, itu adalah hukum tertulis,
  • Maka tidak relevan lagi bicara soal pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis.

Pasal 2 menjadi inkonsisten secara internal dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara konseptual.

V. Kesimpulan

Pasal 2 dalam rumusannya sekarang tidak tepat secara yuridis, dan sangat berbahaya secara sosiologis dan konstitusional. Ia:

  • Mengancam asas legalitas,
  • Membuka ruang penyimpangan dan penyalahgunaan hukum adat,
  • Bertentangan dengan nilai-nilai dasar negara hukum, HAM, dan prinsip keadilan konstitusional.

VI. Rekomendasi

  1. Pasal 2 harus direvisi, dengan menyatakan bahwa pemidanaan hanya dapat dilakukan:
    • Berdasarkan hukum adat yang hidup,
    • Yang telah dituangkan secara tertulis dalam Peraturan Daerah,
    • Dan tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, serta prinsip-prinsip hak asasi manusia.
  2. Jika tidak direvisi, maka Pasal 2 sebaiknya dihapus, untuk menghindari:
    • Tumpang tindih dan kontradiksi dengan Pasal 1,
    • Ancaman terhadap prinsip negara hukum yang demokratis.