13 Desember 2025

KEWAJIBAN KONSTITUSIONAL KEMENTERIAN/LEMBAGA UNTUK TIDAK MENERIMA ANGGOTA POLRI AKTIF DI LUAR STRUKTUR

KEWAJIBAN KONSTITUSIONAL KEMENTERIAN/LEMBAGA UNTUK TIDAK MENERIMA ANGGOTA POLRI AKTIF DI LUAR STRUKTUR

Jakarta 13 Desember 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.

 

I. Kesalahan Umum: Larangan Dianggap Hanya Mengikat Polri

Kesalahan serius yang sering terjadi adalah menganggap bahwa larangan penempatan Polri aktif di luar struktur setelah putusan MK 114 hanya mengikat Polri sebagai institusi pengirim. Pandangan ini keliru dan bertentangan dengan prinsip dasar negara hukum.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, larangan yang bersumber dari UUD 1945 bersifat dua arah:

  1. melarang pihak yang mengirim, dan
  2. sekaligus melarang pihak yang menerima.

Jika tidak demikian, maka norma konstitusi akan kehilangan daya ikatnya.

II. Dasar Konstitusional yang Mengikat Lembaga Penerima

1. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 – Negara Hukum

Sebagai negara hukum, setiap kementerian, lembaga, dan badan negara hanya boleh bertindak berdasarkan kewenangan yang sah secara konstitusional.

Tidak ada satu pun norma dalam UUD 1945 yang:

  • memberikan kewenangan kepada kementerian/lembaga sipil
  • untuk menampung aparat penegak hukum bersenjata aktif
  • di luar struktur konstitusionalnya.

Maka, menerima Polri aktif tanpa dasar konstitusional adalah perbuatan ultra vires (melampaui kewenangan).

2. Pasal 30 UUD 1945 – Pembatasan Tegas Fungsi Alat Negara

Pasal 30 UUD 1945 secara sadar memisahkan fungsi Polri dan TNI dari fungsi kementerian/lembaga sipil.

Makna konstitusionalnya:

  • kementerian adalah organ administrasi sipil,
  • Polri adalah alat negara khusus dengan fungsi penegakan hukum.

Akibatnya, : Kementerian/lembaga tidak boleh menjadi “struktur bayangan” Polri.

Dengan menerima Polri aktif, lembaga sipil secara langsung:

  • mencampuradukkan fungsi,
  • melanggar pembagian kekuasaan konstitusional,
  • dan merusak prinsip profesionalisme alat negara.

3. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 – Kepastian Hukum dan Akuntabilitas

Penempatan Polri aktif di lembaga lain menciptakan:

  • ketidakjelasan rantai komando,
  • kekaburan pertanggungjawaban hukum,
  • konflik kewenangan.

Kementerian/lembaga wajib menolak kondisi yang menciptakan ketidakpastian hukum, karena konstitusi menjamin kepastian hukum bagi warga negara.

III. Putusan MK No. 114 dan Asas Erga Omnes

Putusan MK No. 114 yang bersifat erga omnes berarti:

Seluruh lembaga negara, tanpa kecuali, terikat untuk mematuhi larangan konstitusional tersebut.

Implikasinya:

  • bukan hanya Polri yang wajib patuh,
  • tetapi semua kementerian, lembaga non-kementerian, badan negara, dan komisi independen.

Dengan demikian:

Setiap lembaga negara di luar struktur Polri secara konstitusional dilarang menerima anggota Polri aktif dalam jabatan apa pun.

Larangan ini otomatis berlaku, tanpa perlu:

  • surat edaran,
  • peraturan menteri,
  • atau izin Kapolri.

IV. Tanggung Jawab Konstitusional Lembaga Penerima

Jika suatu kementerian/lembaga tetap menerima Polri aktif, maka lembaga tersebut:

  1. Melanggar UUD 1945
  2. Melanggar Putusan MK yang bersifat erga omnes
  3. Melakukan penyalahgunaan kewenangan administratif
  4. Ikut serta dalam pembangkangan konstitusional

Artinya, tanggung jawab konstitusional tidak hanya berada pada Kapolri, tetapi juga melekat pada pimpinan lembaga penerima.

Dalam teori hukum tata negara, ini disebut:

shared constitutional liability.

V. Mengapa Ini Penting: Negara Tidak Boleh Membiarkan “Jalan Belakang”

Jika lembaga penerima tidak dibebani kewajiban menolak, maka:

  • konstitusi bisa diakali melalui “penempatan administratif”,
  • larangan konstitusional menjadi formalitas kosong,
  • dan supremasi konstitusi runtuh secara diam-diam.

Negara hukum gugur bukan karena kudeta, tetapi karena pembiaran pelanggaran konstitusi oleh lembaga negara sendiri.

VI. Kesimpulan. 

Karena larangan penempatan Polri aktif di luar struktur bersumber langsung dari UUD 1945 dan ditegaskan oleh Putusan MK No. 114 yang bersifat erga omnes, maka kewajiban konstitusional tidak hanya melekat pada Polri, tetapi juga pada seluruh kementerian, lembaga, dan badan negara untuk menolak dan tidak menerima anggota Polri aktif dalam jabatan apa pun di luar struktur Polri. Setiap penerimaan semacam itu merupakan pelanggaran langsung terhadap UUD 1945.

 

MENGAPA PUTUSAN MK 114 BERARTI POLRI AKTIF TIDAK BOLEH LAGI BERADA DI LUAR STRUKTUR POLRI

MENGAPA PUTUSAN MK 114 BERARTI POLRI AKTIF TIDAK BOLEH LAGI BERADA DI LUAR STRUKTUR POLRI

Jakarta 13 Desember 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPARB, CPM

1. Negara Ini Negara Hukum, Bukan Negara Surat

Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3). Artinya, semua pejabat dan lembaga negara wajib tunduk pada konstitusi, bukan pada surat, perintah internal, atau kebijakan sepihak.

Karena itu, jika Mahkamah Konstitusi sudah memutus, maka tidak ada satu pun lembaga yang boleh mengabaikannya, termasuk kepolisian.

2. Apa Isi Penting Putusan MK Nomor 114?

Putusan MK Nomor 114 menegaskan satu hal yang sangat jelas:

Anggota Polri yang masih aktif hanya boleh bertugas di dalam struktur Polri.

Putusan ini bukan sekadar tafsir undang-undang, tetapi penegasan langsung atas UUD 1945, khususnya Pasal 30 yang mengatur posisi Polri sebagai alat negara penegak hukum sipil.

Artinya:

  • Polri bukan tenaga umum,
  • bukan aparatur yang bisa “dipinjamkan” ke mana saja,
  • dan bukan sumber daya yang bisa ditempatkan di lembaga lain sesuka kebijakan.

3. Berlaku untuk Semua (Erga Omnes)

Putusan MK berlaku erga omnes, artinya:

Mengikat semua orang dan semua lembaga negara, tanpa kecuali.

Bukan hanya Polri yang wajib patuh, tetapi juga:

  • kementerian,
  • lembaga negara,
  • badan pemerintah,
  • dan komisi independen.

Itulah sebabnya  Semua lembaga di luar Polri DILARANG menerima anggota Polri aktif.

4. Mengapa Lembaga Negara Wajib Menolak Polri Aktif?

Karena:

  • lembaga sipil tidak punya dasar konstitusional untuk menampung aparat penegak hukum bersenjata,
  • penerimaan Polri aktif akan menciptakan kekacauan kewenangan,
  • dan merusak prinsip kepastian hukum.

Jika sebuah kementerian atau lembaga tetap menerima Polri aktif, maka lembaga itu ikut melanggar UUD 1945, bukan sekadar “ikut kebijakan”.

5. Lalu Bagaimana dengan Surat atau Kebijakan Kapolri?

Jika ada surat atau kebijakan Kapolri yang masih membuka ruang penempatan Polri aktif di luar struktur, maka secara hukum:

  • surat itu tidak punya kekuatan mengalahkan UUD 1945,
  • tidak bisa mengalahkan Putusan MK,
  • dan tidak menciptakan hak atau kewenangan apa pun.

Dengan kata lain:

Surat tersebut sia-sia secara hukum, tetapi berbahaya secara konstitusi.

Berbahaya karena memberi kesan seolah-olah penegak hukum boleh memilih mana konstitusi yang ingin dipatuhi.

6. Mengapa Ini Berbahaya bagi Negara?

Karena jika penegak hukum sendiri:

  • berani mengabaikan UUD 1945,
  • dan menganggap putusan MK bisa dinegosiasikan,

maka negara hukum runtuh dari dalam.

Negara tidak runtuh karena perang, tetapi karena konstitusi tidak lagi dihormati oleh aparatnya sendiri.

7. Kesimpulan .

Pesan ini intinya jelas dan sederhana:

Putusan MK 114 berarti Polri aktif tidak boleh lagi berada di luar struktur Polri. Semua kementerian dan lembaga negara wajib menolak Polri aktif. Setiap kebijakan yang bertentangan dengan itu bukan hanya melanggar hukum, tetapi melanggar UUD 1945 dan membahayakan negara hukum Indonesia.

Menegakkan putusan MK bukan melemahkan Polri, tetapi menjaga marwah Polri, menjaga konstitusi, dan menjaga masa depan negara.

PELANGGARAN KEDAULATAN HUKUM OLEH KAPOLRI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TUGAS KONSTITUSIONAL TNI

PELANGGARAN KEDAULATAN HUKUM OLEH KAPOLRI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TUGAS KONSTITUSIONAL TNI

Jakarta 13 Desenber 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CP, CPARB.

I. Kedaulatan dalam Negara Hukum Indonesia

Kedaulatan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan hanya kedaulatan teritorial, melainkan juga kedaulatan hukum dan konstitusi. Hal ini ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, serta bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Dengan demikian, kedaulatan negara tidak dapat dilepaskan dari supremasi hukum dan konstitusi. Pelanggaran terhadap undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi—sebagai penjaga konstitusi—pada hakikatnya merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan negara itu sendiri.

II. Posisi Kapolri dan Batas Kewenangan Konstitusional

Kapolri adalah pejabat negara yang memimpin institusi penegak hukum sipil bersenjata. Seluruh kewenangannya bersumber dari undang-undang, bukan dari diskresi pribadi atau kehendak institusional.

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat:

  • final
  • mengikat
  • erga omnes

Artinya, mengikat semua orang dan semua lembaga negara tanpa kecuali, termasuk Kapolri dan seluruh jajaran Polri.

Apabila Kapolri menerbitkan surat, perintah, atau kebijakan yang secara nyata bertentangan dengan undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi, maka tindakan tersebut bukan lagi sekadar kesalahan administratif, melainkan pelanggaran terhadap kedaulatan hukum negara.

III. Pelanggaran Kedaulatan Hukum sebagai Ancaman Sistemik

Kedaulatan hukum mensyaratkan bahwa tidak ada satu pun alat negara yang boleh berdiri di atas hukum. Ketika pimpinan tertinggi kepolisian:

  • mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi,
  • atau menciptakan norma internal yang menegasikan undang-undang,

maka secara substantif terjadi pergeseran locus kedaulatan:
dari konstitusi → ke kehendak institusi.

Ini adalah bentuk usurpasi kedaulatan, karena kewenangan tertinggi dalam menentukan hukum diambil alih secara sepihak oleh institusi yang seharusnya tunduk pada hukum.

IV. Implikasi Serius terhadap Tugas Konstitusional TNI

TNI berdasarkan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI memiliki tugas utama menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi segenap bangsa Indonesia.

Namun, penting ditegaskan:

Kedaulatan yang ditegakkan TNI bukan hanya kedaulatan teritorial, tetapi juga kedaulatan negara secara menyeluruh, termasuk kedaulatan hukum.

Apabila kedaulatan hukum dilanggar dari dalam oleh aparat penegak hukum sipil, maka TNI berada dalam situasi anomali konstitusional yang sangat serius, karena:

  • di satu sisi TNI diwajibkan menjaga kedaulatan negara,
  • di sisi lain, kedaulatan hukum dirusak oleh institusi negara sendiri.

Kondisi ini menciptakan ketegangan laten dalam sistem pertahanan dan keamanan negara, karena fondasi normatif yang menjadi pijakan TNI ikut tergerus.

V. Risiko Distorsi Hubungan Sipil–Militer

Dalam teori hubungan sipil–militer, ketaatan militer kepada otoritas sipil hanya sah apabila otoritas sipil bertindak sesuai hukum dan konstitusi. Ketika aparat sipil bersenjata (Polri) justru:

  • melanggar hukum,
  • mengabaikan putusan pengadilan konstitusi,

maka pesan berbahaya yang muncul adalah bahwa ketaatan terhadap hukum bersifat relatif dan selektif.

Ini bukan berarti TNI akan bertindak di luar konstitusi, tetapi secara objektif keteladanan hukum yang rusak di sektor kepolisian melemahkan prinsip supremasi sipil itu sendiri.

Dalam sejarah berbagai negara, krisis kedaulatan hukum sering menjadi pemicu krisis kedaulatan negara secara menyeluruh.

VI. Kesimpulan.

Oleh karena itu, secara tegas dapat dinyatakan bahwa:

Tindakan Kapolri yang bertentangan dengan undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan hukum negara, yang berdampak serius terhadap stabilitas sistem pertahanan dan keamanan nasional, termasuk pelaksanaan tugas konstitusional TNI dalam menjaga kedaulatan negara.

Penegakan koreksi konstitusional terhadap tindakan tersebut bukanlah pelemahan Polri, melainkan langkah mendesak untuk menjaga kedaulatan hukum, mencegah distorsi hubungan sipil–militer, dan melindungi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari krisis konstitusional yang lebih besar.

 

12 Desember 2025

Pertentangan Perpol 10 Tahun 2025 dengan Pasal 28 Ayat (3) UU Kepolisian

 

Pertentangan Perpol 10 Tahun 2025 dengan Pasal 28 Ayat (3) UU Kepolisian

Jakarta 12 Desember 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.

Pendahuluan.

Terbitnya Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 menimbulkan diskusi publik yang sangat luas. Peraturan ini mengatur pelaksanaan tugas anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di luar struktur organisasi Polri dan secara eksplisit menyebutkan 17 kementerian dan lembaga negara yang dapat diisi oleh anggota Polri aktif.

Pada saat bersamaan, terdapat norma hukum yang sangat jelas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 28 ayat (3), yang berbunyi:

“Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”

Dalam konstruksi hukum, pasal ini adalah norma yang bersifat limitative (pembatasan tegas), bukan norma yang bersifat fleksibel atau terbuka untuk penafsiran bebas.

Karena itu, publik perlu memahami secara akademik mengapa Perpol 10/2025 dipandang bertentangan dengan undang-undang, serta apa implikasinya bagi tata kelola negara hukum, fungsi kepolisian, dan demokrasi.

1. Norma Hukum dalam Pasal 28 Ayat (3) UU Kepolisian Bersifat Tegas dan Mengikat

Secara hukum, Pasal 28 ayat (3) memberikan dua syarat mutlak agar anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar institusi Polri:

  1. mengundurkan diri dari dinas kepolisian, atau
  2. memasuki masa pensiun.

Kedua syarat tersebut menunjukkan bahwa jabatan di luar kepolisian hanya boleh diduduki oleh mantan anggota Polri, bukan anggota aktif. Norma hukum ini disusun untuk menjaga:

  • profesionalisme kepolisian,
  • batas antara ranah sipil dan kepolisian,
  • menghindari konflik kepentingan, dan
  • mencegah tumpang tindih kewenangan.

Dengan demikian, anggota Polri aktif tidak memiliki legal standing untuk menduduki jabatan di kementerian/lembaga apa pun.

2. Perpol 10/2025 Mengizinkan Polisi Aktif Mengisi Jabatan di 17 Kementerian/Lembaga

Perpol 10/2025 menyebutkan bahwa anggota Polri aktif dapat ditempatkan di:

  1. Kemenko Polhukam
  2. Kementerian ESDM
  3. Kemenkumham
  4. Direktorat Imigrasi dan Pemasyarakatan
  5. KLHK
  6. KKP
  7. Kemenhub
  8. BP2MI
  9. Kementerian ATR/BPN
  10. Lemhannas
  11. OJK
  12. PPATK
  13. BNN
  14. BNPT
  15. BIN
  16. BSSN
  17. KPK

Secara hukum, ketentuan ini bertentangan langsung dengan norma yang ditetapkan Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian.

Dengan kata lain, Perpol memperluas kewenangan Polri di luar batas yang ditentukan oleh undang-undang—suatu tindakan yang dalam hukum disebut sebagai pelanggaran hierarki norma (lex superior derogat legi inferiori).

3. Pertentangan Perpol 10/2025 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 114/PUU-XXIII/2025

Putusan MK No. 114 memiliki beberapa konstruksi hukum penting:

  1. Fungsi kepolisian hanya boleh dijalankan dalam struktur organisasi Polri.
  2. Penugasan anggota Polri ke luar struktur berpotensi menimbulkan dualisme komando, dan karena itu tidak boleh dilakukan.
  3. Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding) bagi semua lembaga negara, termasuk Polri.

Dengan demikian, Perpol 10/2025 tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga bertentangan dengan putusan pengadilan konstitusi yang harus dihormati oleh seluruh organ negara.

4. Implikasi Akademik dan Tata Kelola Negara

a. Timbulnya Dualisme Komando

Anggota Polri aktif yang bekerja di kementerian/lembaga berada dalam dua garis komando:

  • komando struktur Polri, dan
  • komando kementerian/lembaga.

Dalam teori organisasi publik, dualisme komando adalah sumber utama kegagalan tata kelola pemerintahan.

b. Hilangnya Batas Fungsi Sipil dan Kepolisian

Secara konseptual, institusi kepolisian menjalankan coercive power (kekuatan koersif negara).
Memasukkan polisi aktif ke ranah kebijakan sipil berpotensi:

  • mempengaruhi objektivitas birokrasi,
  • mengaburkan kewenangan,
  • meningkatkan risiko abuse of power.

c. Erosi Negara Hukum

Kepatuhan aparat penegak hukum terhadap undang-undang adalah fondasi utama negara hukum (rule of law).
Ketika peraturan internal justru bertentangan dengan undang-undang:

  • kepercayaan publik melemah,
  • supremasi hukum terganggu,
  • preseden buruk terbentuk bagi lembaga lain.

5. Kesimpulan.

  1. Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian secara tegas melarang polisi aktif menduduki jabatan di luar struktur kepolisian.
  2. Perpol 10/2025 memperbolehkan hal yang dilarang undang-undang, dan karena itu bertentangan secara formil maupun materiil.
  3. Perpol ini juga bertentangan dengan Putusan MK No. 114, yang menegaskan konsep fungsi kepolisian dalam satu struktur komando tunggal.
  4. Secara akademik, Perpol ini berpotensi melemahkan negara hukum, menciptakan dualisme kewenangan, dan mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan kepolisian.

Dengan pemahaman akademik ini, masyarakat, pemerintah, dan pembuat kebijakan dapat melihat secara lebih jernih bahwa persoalan Perpol 10/2025 bukan sekadar masalah administratif, tetapi menyangkut integritas sistem hukum dan demokrasi Indonesia.