4 Oktober 2025

Polisi dalam Konstitusi: Mengembalikan Polri ke Jalan Amanat UUD 1945 (SERIAL REFORMASI POLRI)

Polisi dalam Konstitusi: Mengembalikan Polri ke Jalan Amanat UUD 1945 (SERIAL REFORMASI POLRI)

Jakarta 4 Oktober 2025
Oleh : Laksda TNI Purn ADV Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB

“Negara yang kuat bukan negara yang menakuti rakyatnya,
melainkan negara yang rakyatnya tidak takut kepada penegak hukumnya.”
— Prinsip dasar Polisi Pancasila.

Reformasi 1998 adalah janji besar bangsa kepada dirinya sendiri:
bahwa kekuasaan tidak lagi akan menginjak hukum, dan hukum tidak lagi menjadi alat kekuasaan.
Dari rahim janji itu lahirlah pemisahan TNI dan Polri — dua alat negara yang semula bersatu dalam tubuh ABRI.
Namun, setelah dua puluh lima tahun, kita harus bertanya dengan jujur:
apakah Polri hari ini masih berjalan di jalan yang digariskan oleh UUD 1945,
atau telah menjauh dari cahaya konstitusi dan menempuh jalan kekuasaan?

Polri dalam Cermin Konstitusi

Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 menyatakan:

“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”

Kalimat ini sederhana, tetapi di dalamnya tersembunyi visi kenegaraan yang agung.
Pertama, Polri adalah alat negara, bukan alat pemerintah.
Ia tunduk kepada konstitusi, bukan kepada kehendak penguasa.
Kedua, tugasnya bersifat sipil dan kemanusiaan — melindungi, mengayomi, melayani, bukan menindas.
Ketiga, penegakan hukum bukan sekadar soal kekuasaan, tetapi wujud moral dari keadilan sosial.

Polisi dalam pandangan konstitusi bukanlah sosok yang menakutkan,
melainkan sahabat rakyat yang berani menghadapi kekuasaan demi keadilan.
Ia bukan bayangan kekuatan negara, melainkan wajah nurani negara hukum.

Negara Hukum dan Nurani Polisi

Negara hukum tanpa polisi yang bermoral hanya akan melahirkan ketertiban tanpa keadilan.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Di sinilah posisi Polri menjadi suci sekaligus berat:
ia adalah penjaga pintu keadilan (gatekeeper of justice).
Ia berdiri di batas antara hukum dan kekuasaan,
antara hak rakyat dan kepentingan negara.

Namun dalam praktiknya, kita sering melihat hukum bertekuk lutut di depan kekuasaan,
dan polisi justru menjadi alat dari kekuasaan itu sendiri.
Budaya komando yang masih melekat dari masa lalu membuat aparat hukum kehilangan jati diri sipilnya.
Saat hukum menjadi milik penguasa, maka rakyat kehilangan tempat untuk mencari keadilan.

Dari Hobbes ke Pancasila: Polisi dan Kontrak Sosial

Thomas Hobbes membayangkan negara sebagai Leviathan —
makhluk raksasa yang dibentuk untuk menaklukkan ketakutan manusia.
Rousseau kemudian mengingatkan: kekuasaan itu sah hanya jika lahir dari kontrak sosial,
di mana rakyat menyerahkan sebagian kebebasan demi keselamatan bersama.
Pancasila mempertemukan keduanya: negara yang kuat sekaligus berperikemanusiaan.

Dalam kerangka itu, Polri adalah penjaga kontrak sosial Pancasila.
Kekuasaannya sah hanya sejauh ia melindungi manusia, bukan menakut-nakutinya.
Ketika polisi menegakkan hukum tanpa nurani, maka negara kehilangan jantung moralnya.

Empat Tugas Konstitusional Polri yang Mulia

  1. Menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
    — Bukan keamanan penguasa, melainkan rasa tenteram rakyat.
    Polisi bukan bayangan senjata di jalan, tetapi kehadiran yang menenangkan di tengah keresahan.
  2. Melindungi Masyarakat
    — Melindungi berarti menjadi perisai, bahkan dari penyalahgunaan negara.
    Tugas ini bukan teknis, melainkan moral.
  3. Mengayomi dan Melayani
    — Dua kata yang hanya mungkin dijalankan oleh lembaga yang rendah hati.
    Polisi yang baik bukan yang paling ditakuti, tetapi yang paling dicintai karena keadilannya.
  4. Menegakkan Hukum
    — Bukan sekadar menangkap pelaku, tetapi menegakkan rasa keadilan yang hidup di hati rakyat.

Jika keempat tugas ini dihayati, Polri akan kembali menjadi Polisi Konstitusional —
tegas terhadap pelanggaran, lembut terhadap kemanusiaan.

Penyimpangan dan Kehilangan Arah

Kini Polri sering melampaui mandat konstitusinya. Lembaga ini bukan hanya penegak hukum, tetapi juga pelaksana administrasi publik—mengeluarkan SIM, STNK, BPKB, bahkan menjadi pengelola sumber penerimaan negara.
Lebih jauh, anggota aktif Polri kini tersebar di berbagai lembaga: KPK, BNN, BNPT, hingga Kementerian, bakan BUMN
Padahal, TAP MPR VI dan VII Tahun 2000 melarang penugasan di luar struktur tanpa alih status.
Ketika batas itu dilanggar, maka Polri tidak lagi netral, dan rakyat kehilangan pelindung yang bebas dari pengaruh kekuasaan.

Kembali ke Jalan Konstitusi

Reformasi Polri 2025 bukan sekadar perombakan struktur,
tetapi perjalanan pulang ke konstitusi.
Langkah pertama: kembalikan seluruh kewenangan Polri ke dalam empat tugas yang diamanatkan Pasal 30 UUD 1945.
Langkah kedua: pastikan seluruh anggaran Polri berasal dari APBN melalui Kementerian Pertahanan sebagai bagian dari kebijakan umum pertahanan negara (Jakumhanneg).
Langkah ketiga: hentikan penempatan anggota aktif Polri di luar struktur tanpa alih status.
Langkah keempat: bangun kembali etos Polisi Hukum dan Polisi Pancasila yang berani menegakkan keadilan meski terhadap penguasa sekalipun.

Penutup: Nurani Polisi, Nurani Bangsa

“Keadilan tidak akan tegak oleh senjata, tetapi oleh keberanian menegakkan kebenaran.”

Negara hukum berdiri di atas bahu polisi yang jujur.
Ketika Polri menegakkan hukum dengan keadilan, rakyat merasa aman;
ketika Polri menegakkan hukum dengan kekuasaan, rakyat merasa terancam.
Kini bangsa ini menunggu lahirnya kembali Polisi Konstitusional, penegak hukum yang setia pada UUD 1945, penjaga nurani bangsa di tengah gelapnya kekuasaan.

Reformasi Polri bukan sekadar perubahan lembaga,tetapi perjuangan moral untuk mengembalikan kemuliaan hukum.
Hanya dengan itu, janji reformasi 1998 menemukan maknanya, dan bangsa ini memiliki kembali sosok polisi yang dicintai, bukan karena takut, melainkan karena percaya.