Putusan MK Dilanggar Terang-Terangan, DPR Malah Bertepuk Tangan
Jakarta, 15 Desember 2025
Oleh: Laksda TNI Soleman B. Ponto, ST, SH, MH
Negara hukum runtuh bukan selalu karena kudeta senjata. Ia sering mati perlahan—ketika putusan Mahkamah Konstitusi dilanggar secara terang-terangan, tetapi para wakil rakyat justru berdiri paling depan untuk membelanya. Itulah yang sedang kita saksikan dalam polemik Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2025.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 lahir untuk mengoreksi penyimpangan konstitusional: praktik penempatan anggota Polri aktif di luar struktur kepolisian yang merusak kepastian hukum, mengaburkan rantai komando, dan mencederai prinsip supremasi sipil sebagaimana dijamin oleh Pasal 30 ayat (4) UUD 1945. Putusan ini bersifat final, mengikat, dan berlaku untuk semua (erga omnes). Tidak ada ruang tafsir ulang. Tidak ada mandat delegasi. Tidak ada izin untuk “kreativitas administratif”.
Namun apa yang terjadi?
Alih-alih tunduk, Kapolri menerbitkan Perkap.
Alih-alih mengoreksi, DPR bertepuk tangan.
DPR dan Kekeliruan Fatal Membaca Konstitusi
1. Rudianto Lallo (Komisi III DPR RI) menyebut Perkap 10/2025 sebagai penerjemahan substansi Putusan MK. Pernyataan ini keliru secara mendasar.
Putusan MK bukan naskah kebijakan yang boleh diterjemahkan ulang oleh pejabat administratif. Putusan MK adalah norma konstitusional langsung. Ketika MK menyatakan suatu norma bertentangan dengan UUD 1945, maka tugas semua lembaga negara adalah berhenti, bukan menyusun norma baru dengan kemasan berbeda.
Jika Perkap justru menyusun daftar 17 lembaga yang boleh diisi Polri aktif, maka itu bukan penerjemahan—melainkan pembangkangan normatif. Kapolri tidak diberi kewenangan oleh UUD 1945 maupun Mahkamah Konstitusi untuk menciptakan norma pengganti atas norma yang telah dibatalkan.
2. Soedeson Tandra (Anggota DPR RI) mengatakan Perkap memberi kepastian hukum. Ini adalah logika terbalik yang berbahaya.
Kepastian hukum tidak pernah sah jika dibangun di atas pelanggaran konstitusi. Justru Putusan MK hadir karena praktik lama menciptakan ketidakpastian hukum. Ketika Perkap menghidupkan kembali substansi yang telah dibatalkan MK—dengan alasan “penugasan Kapolri”—maka yang diciptakan bukan kepastian hukum, melainkan kepastian pelanggaran.
Negara hukum tidak mengenal konsep: asal tertib, boleh melanggar UUD.
3. Hasbiallah Ilyas (F-PKB) menyebut Perkap konstitusional karena masih “relevan” dengan tugas Polri. Ini adalah argumen paling berbahaya dalam negara hukum.
Konstitusionalitas tidak diukur dengan rasa relevan, melainkan dengan teks UUD 1945 dan tafsir Mahkamah Konstitusi. Jika “relevansi” ditentukan oleh DPR atau Kapolri, maka tidak ada lagi batas. Semua jabatan sipil bisa dilabeli “relevan”.
Inilah pintu masuk polisi di mana-mana, yang bertentangan langsung dengan:
• Pasal 30 ayat (4) UUD 1945
• TAP MPR VI dan VII Tahun 2000
• Prinsip supremasi sipil dalam negara demokratis
Negara hukum runtuh ketika batas konstitusi diganti dengan selera kekuasaan.
4. Ketika Pakar Ikut Membenarkan.
Situasi ini menjadi jauh lebih serius ketika Rullyandi, yang diperkenalkan sebagai pakar hukum tata negara, menyatakan bahwa:
“Putusan MK tidak melarang penugasan Polri di luar institusi sepanjang masih relevan dengan tugas dan fungsi kepolisian. Oleh karena itu, Perkap 10 Tahun 2025 tidak bertentangan dengan Putusan MK dan justru memberikan kepastian hukum.”
Pernyataan ini keliru secara metodologis dan berbahaya secara konstitusional.
Putusan MK bukan soal daftar larangan eksplisit, melainkan putusan pembatasan konstitusional yang menutup ruang multitafsir. Istilah “sepanjang relevan” tidak dikenal dalam amar maupun pertimbangan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Relevansi bukan ukuran konstitusional.
Dengan membenarkan Perkap yang menciptakan norma baru—berupa daftar lembaga dan jabatan sipil yang boleh diisi Polri aktif—pendapat ini menormalisasi pelanggaran hierarki norma hukum dan melemahkan sifat final dan mengikat putusan MK. Dalam negara hukum, pendapat pakar tidak boleh menundukkan konstitusi.
5. Tepuk Tangan atas Pembangkangan.
Yang paling mengkhawatirkan bukan hanya Perkap itu sendiri, melainkan cara DPR dan sebagian kalangan membelanya. DPR tidak sedang menjalankan fungsi pengawasan, melainkan menormalisasi pelanggaran konstitusi.
Padahal Putusan MK mengikat DPR, mengikat Polri, dan mengikat seluruh kementerian serta lembaga negara. Tidak ada satu pun lembaga negara yang boleh menerima Polri aktif di luar struktur Polri pasca Putusan MK, kecuali diatur ulang melalui undang-undang, bukan melalui Perkap.
Jika Perkap ini dibiarkan:
• Mahkamah Konstitusi kehilangan wibawa
• Konstitusi berubah menjadi dekorasi
• Negara hukum bergeser menjadi negara perintah administratif
Penutup: Ini Bukan Soal Polri, Ini Soal Konstitusi.
Ini bukan serangan terhadap Polri sebagai institusi. Ini adalah pembelaan terhadap konstitusi. Justru demi Polri sebagai penegak hukum, kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi harus ditegakkan tanpa kompromi.
Ketika putusan MK dilanggar terang-terangan, DPR malah bertepuk tangan, dan pakar hukum ikut membenarkan, maka yang sedang kita saksikan bukan perdebatan hukum, melainkan krisis konstitusional.
Dan sejarah selalu mencatat dengan jujur:
negara hukum tidak runtuh oleh musuh dari luar, tetapi oleh pembangkangan dari dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar