8 April 2025

TANGGAPAN HUKUM TERHADAP PERNYATAAN YANG MENOLAK PENARIKAN PERSONEL TNI DARI BAKAMLA

TANGGAPAN HUKUM TERHADAP PERNYATAAN YANG MENOLAK PENARIKAN PERSONEL TNI DARI BAKAMLA

Oleh :  Soleman B Ponto,

Pernyataan:

"Kami TIDAK SEPENDAPAT dgn tulisan Pak Ponto ini yg meminta menarik personil TNI-AL dari BAKAMLA."

Tanggapan:

Ketidaksepakatan ini jelas datang dari pihak yang tidak memahami struktur hukum positif Indonesia. Permintaan penarikan personel TNI aktif dari Bakamla bukan pendapat pribadi, tetapi berdasar pada norma tegas dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Ketika seseorang menyatakan "tidak sependapat", tetapi tidak merujuk pada ketentuan hukum yang sah, maka pendapat tersebut gugur demi hukum karena tidak memiliki dasar legalitas dan hanya berbentuk opini kosong.

Pernyataan:

"BAKAMLA, BASARNAS dan BNPB adalah beberapa Badan/Lembaga yg merupakan Institusi Sipil yg memang bisa diisi oleh Perwira Militer Aktif sesuai kebutuhan organisasi..."

Tanggapan:

Pernyataan ini salah kaprah dan menyesatkan. Berdasarkan Pasal 47 ayat (2) UU TNI, hanya terdapat 10 lembaga sipil yang secara eksplisit dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, dan BAKAMLA serta BNPB tidak termasuk di dalamnya.
Pernyataan ini membuktikan bahwa penanggap tidak membaca atau tidak memahami isi pasal secara utuh. Tidak cukup hanya menyebut "sesuai kebutuhan organisasi" tanpa menunjuk dasar hukum spesifik. Dalam sistem hukum, “kebutuhan organisasi” bukan landasan legal, melainkan harus tunduk pada norma undang-undang.

Pernyataan:

"...dimana sebelumnya sudah diatur dalam berbagai Peraturan Per-UU-an lain (UU dan Perpres) sebelumnya di Era Pemerintahan Pak SBY dan Pak Jokowi."

Tanggapan:

Pernyataan ini tidak menyebut satu pun nomor atau isi peraturan yang dijadikan dasar hukum. Ini adalah bentuk pernyataan asal bunyi tanpa dasar normatif maupun empirik.
Jika benar ada UU atau Perpres yang mengatur personel militer aktif boleh menjabat di Bakamla secara permanen, seharusnya disebutkan pasal dan nomor peraturannya. Tanpa itu, pernyataan ini tidak lebih dari sekadar asumsi pribadi yang tidak dapat diuji secara hukum.

Pernyataan:

"Dalam Revisi UU-TNI berbagai lembaga tsb, posisinya ditegaskan dan dikuatkan kembali K/L atau Institusi Sipil yg dpt diisi oleh Perwira TNI (Laut, Darat dan Udara) yg memang sudah berjalan efektif lebih dari 10 tahun."

Tanggapan:

Pernyataan ini berisi dua kekeliruan besar:

  1. Revisi UU TNI tahun 2024 justru memperketat, bukan memperlonggar. Dalam revisi tersebut dinyatakan bahwa prajurit hanya dapat ditempatkan di institusi yang menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan, dan itu pun harus dengan Peraturan Presiden dan bersifat sementara.
  2. Lama waktu pelanggaran (“sudah berjalan 10 tahun”tidak menjadikan praktik tersebut legal. Dalam sistem negara hukum, pelanggaran tidak pernah menjadi kebolehan karena telah lama dilakukan. Justru itu menunjukkan pengabaian hukum sistematis.


Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman terhadap hukum administrasi negara dan prinsip legalitas.

Pernyataan:

"Pimpinan Lembaga Sipil tsb (Bakamla, Basarnas dan BNPB) jika dipimpin oleh 'Orang Sipil', terbukti kurang mampu dalam mengkoordinasikan dan mengendalikan kegiatan di lapangan."

Tanggapan:

Pernyataan ini tidak hanya tidak berdasar hukum, tetapi juga mencemarkan nilai-nilai konstitusional.
Pertama, tidak ada data empirik atau bukti tertulis yang mendukung klaim ini. Kedua, efektivitas bukan dasar hukum.
Dalam negara hukum, yang digunakan adalah asas legalitas, bukan efektivitas sepihak. Jika orang sipil dianggap tidak kompeten, maka solusinya adalah peningkatan kualitas SDM sipil, bukan pelanggaran terhadap UU TNI dengan menyusupkan militer ke lembaga sipil secara ilegal.
Pernyataan ini tidak etis, tidak konstitusional, dan menunjukkan sikap anti-sipil yang bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam demokrasi.

Penutup & Penegasan Hukum:

  • Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menyatakan secara tegas bahwa prajurit aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil, kecuali di 10 lembaga tertentu yang disebut secara eksplisit.
  • BAKAMLA tidak termasuk dalam daftar itu. Maka, penempatan personel TNI aktif di Bakamla adalah ilegal.
  • Revisi UU TNI 2024 semakin mempertegas pembatasan ini, bukan melonggarkan.
  • Jika lembaga keamanan laut dibentuk dan berbentuk militer, maka itu bertentangan dengan Pasal 10 dan 30 UUD 1945 yang menyatakan bahwa TNI hanya terdiri dari AD, AL, dan AU.
  • Bila lembaga keamanan laut yang dibentuk adalah sipil, maka penempatan personel militer aktif secara permanen juga bertentangan dengan UU TNI.

Artinya, posisi Bakamla dari dua sisi tetap melanggar: jika Lembaga keamanan Laut adalah lembaga militer → maka akan melanggar UUD; jika Lembaga keamanan Laut adalah Lembaga sipil → maka akan melanggar UU TNI.

Maka, penarikan seluruh personel TNI aktif dari Bakamla adalah langkah yang sah, tepat, dan sesuai dengan hukum positif dan konstitusi.
Sebaliknya, penolakan terhadap hal ini tidak punya dasar hukum, tidak berbasis fakta, dan hanya opini pribadi tanpa nilai yuridis.

 

 

"Pak RT, Pak Polisi, dan RUU yang Bikin Bingung"

"Pak RT, Pak Polisi, dan RUU yang Bikin Bingung"

Tepian Sawah Jakarta 08 april 2025

Oleh : Soleman B Ponto, Detektif Romantika

Di suatu hari yang cerah di Desa Hukum Damai, warga berkumpul di balai desa karena ada pengumuman penting. Pak RT berdiri di depan mikrofon sambil membawa setumpuk kertas tebal.

“Warga sekalian, ini ada draft RUU baru tentang kepolisian. Katanya sih, biar tugas Polri makin mantap!” ujar Pak RT.

Tiba-tiba, Pak Polisi desa, sebut saja Pak Dono, berdiri dan bertanya, “Pak RT, saya dengar katanya nanti saya bisa jadi penyidik, jaksa, hakim, bahkan penata rambut sekaligus?”

Warga tertawa. “Maksudnya gimana, Pak Dono?” tanya Bu Tati, penjual gorengan.

“Ya gimana nggak bingung, Bu. Di RUU ini saya boleh nyadap, boleh nangkep, boleh nyidik sendiri tanpa nunggu jaksa, bahkan bisa netapin tersangka. Lah ini kok kayak sinetron ‘Pak Polisi Segalanya’? Saya takut nanti disuruh main saxophone juga!” keluh Pak Dono sambil geleng-geleng.

Pak RT membaca lagi, “Di Pasal 16 ayat baru, Polri bisa ngambil alih perkara kapan aja. Bahkan bisa periksa institusi negara lain!”

Warga bengong. “Lah, kalau gitu KPK gimana? Jaksa kemana? Hakim tidur, kah?” celetuk Pak Dullah, satpam pasar.

“Tunggu-tunggu,” kata Bu RW sambil berdiri, “kalau semua diurus Polri, nanti Pak Polisi desa kita bisa burnout dong. Belum lagi kalau disuruh jaga pos ronda sambil sidang di ruang sidang keliling!”

Seluruh warga pun sepakat: RUU ini terlalu serbabisa. Seolah-olah Pak Polisi adalah superhero tanpa batas. Tapi bukan tanpa risiko.

Pak Ustad pun angkat tangan, “Ingat, kekuasaan tanpa kontrol itu kayak gorengan tanpa minyak: keras, gosong, dan bikin seret.”

Akhirnya, warga menulis surat ke DPR:

“Kami warga Desa Hukum Damai menyarankan agar RUU Polri direvisi. Bukan karena kami tak cinta Polri, tapi karena kami tak mau Pak Dono pingsan karena harus merangkap semua peran dari Batman sampai Notulen Sidang. Terima kasih.”

 

3 April 2025

SURAT TERBUKA Kepada Yth. Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jendral TNI Agus Subiyanto Di Tempat

SURAT TERBUKA

Kepada Yth.
Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jendral TNI Agus Subiyanto
Di Tempat

Tembusan:
Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali

Perihal: Penegasan Konstitusionalitas Penempatan Personel Militer Aktif dalam Institusi Keamanan Laut

Dengan hormat,

Melalui surat terbuka ini, izinkan kami menyampaikan pandangan dan keprihatinan mendalam atas perkembangan terakhir terkait revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), khususnya pasal-pasal yang mengatur tentang penempatan prajurit aktif dalam institusi Keamanan Laut.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa:

“Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.”

Pasal ini secara jelas dan limitatif menyebut bahwa hanya tiga angkatanAD, AL, dan AU—yang diakui sebagai institusi militer resmi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Artinya, tidak ada ruang konstitusional bagi pembentukan institusi militer baru di luar ketiga angkatan tersebut, termasuk yang mungkin dinamakan “Keamanan Laut”.

Dalam konteks ini, kami menilai bahwa ketentuan dalam revisi UU TNI yang memperbolehkan militer aktif untuk ditempatkan di institusi keamanan laut memiliki potensi tafsir yang berbahaya. Jika penempatan tersebut dimaknai sebagai bentuk pembentukan institusi militer baru yang menjalankan fungsi keamanan secara operasional di laut, maka itu berarti telah terjadi perluasan struktur militer yang bertentangan dengan Pasal 10 UUD 1945.

Dengan demikian, institusi keamanan laut yang dapat ditempati oleh militer aktif dapat ditafsirkan sebagai institusi militer baru, dan karenanya bertentangan secara langsung dengan UUD 1945. Untuk tetap sejalan dengan konstitusi dan menjaga supremasi hukum, institusi keamanan laut yang akan dibentuk atau dijalankan ke depan haruslah merupakan institusi sipil, bukan militer. Dan sebagai institusi sipil, ia tidak boleh diisi atau dipimpin oleh personel militer aktif.

Bakamla sebagai Institusi Sipil Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014

Perlu ditegaskan bahwa Badan Keamanan Laut (Bakamla) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, tepatnya diatur dalam Pasal 59 hingga Pasal 66. Secara kelembagaan, Bakamla berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang merupakan kementerian sipil. Dengan demikian, berdasarkan dasar hukum pendiriannya maupun posisi strukturalnya, Bakamla merupakan institusi sipil, bukan bagian dari militer atau TNI.

Meskipun dalam pelaksanaan tugasnya Bakamla selalu melibatkan personel aktif dari TNI, hal tersebut tidak menjadikan Bakamla sebagai institusi militer, karena tidak berada dalam struktur organisasi TNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UUD 1945, yang menyatakan bahwa hanya Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara yang berada di bawah kekuasaan militer tertinggi Presiden.

Oleh sebab itu, segala upaya untuk menempatkan personel militer aktif di Bakamla tanpa alih status, apalagi jika dijadikan struktur komando operasional militer, adalah tindakan yang bertentangan dengan asas konstitusionalitas dan prinsip supremasi sipil dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Oleh karena itu, kami menyampaikan beberapa seruan penting:

  1. Seluruh personel militer aktif yang saat ini ditempatkan di Bakamla harus segera dikembalikan ke satuan asalnya, khususnya TNI AL, atau mengajukan alih status menjadi pegawai sipil apabila ingin tetap melanjutkan tugasnya di sektor keamanan laut.
  2. Pemerintah bersama TNI perlu memastikan bahwa institusi keamanan laut yang dimaksud dalam UU TNI yang baru tidak melanggar batas konstitusi, dan tetap berada dalam kerangka supremasi sipil.
  3. Segala bentuk penugasan militer aktif di luar struktur TNI yang sah menurut konstitusi harus ditertibkan, guna menghindari terjadinya pelanggaran prinsip negara hukum dan supremasi konstitusi.

Kami percaya bahwa Bapak Panglima TNI dan KSAL memiliki komitmen tinggi terhadap profesionalitas, kepatuhan hukum, dan kehormatan konstitusi. Karena itu, kami berharap penataan struktur keamanan laut Indonesia ke depan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan mengedepankan semangat konstitusionalisme.

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan sebagai kontribusi terhadap penguatan sistem hukum dan tata kelola pertahanan yang taat asas di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hormat kami,

JAKARTA 3 APRIL 2025

Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM , CPARB

 

Bakamla dan Panglima TNI: Saatnya Personel Militer Aktif Mundur demi Tegaknya Konstitusi

Jakarta 3 april 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

Pernyataan tegas Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto baru-baru ini telah menggugah perhatian publik dan para pemangku kepentingan, khususnya terkait penugasan personel militer aktif di lembaga-lembaga sipil. Panglima menekankan bahwa prajurit aktif yang menduduki jabatan di instansi dan lembaga sipil wajib mengundurkan diri atau pensiun dini, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Ketentuan ini secara jelas menyatakan dalam Pasal 47 ayat (1):

“Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.”

Hanya pada ayat (2) diberikan pengecualian terbatas, yaitu untuk jabatan di Kemenko Polhukam, Kementerian Pertahanan, Sekmil Presiden, BIN, BSSN, Lemhannas, Wantannas, SAR Nasional, BNN, dan Mahkamah AgungTidak satu pun menyebut Bakamla sebagai lembaga yang boleh diisi oleh prajurit aktif.

Bakamla: Institusi Sipil di Bawah KKP

Badan Keamanan Laut (Bakamla) selama ini berada dalam struktur sipil, yaitu di bawah koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Dengan kedudukan seperti itu, Bakamla bukanlah lembaga militer. Namun kenyataannya, dalam beberapa tahun terakhir, banyak posisi strategis Bakamla justru diisi oleh perwira aktif TNI, khususnya dari matra laut.

Keberadaan prajurit aktif di lembaga sipil yang tidak diatur sebagai pengecualian dalam UU TNI merupakan pelanggaran hukum. Bahkan kini, dengan penegasan Panglima TNI, status mereka bukan hanya ilegal, tetapi juga harus segera diakhiri. Panglima telah memberikan pilihan tegas: mengundurkan diri dari dinas aktif atau kembali ke kesatuan asal.

Masalah Serius: Penggunaan Nama Coast Guard Tanpa Dasar Hukum

Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, posisi Bakamla menjadi semakin bermasalah karena pada kapal-kapalnya, Bakamla menggunakan sebutan "Indonesian Coast Guard". Penggunaan nama tersebut tidak memiliki dasar hukum, karena istilah Coast Guard tidak pernah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, maupun dalam peraturan perundang-undangan nasional lainnya.

Hal ini menjadi masalah serius dalam perspektif hukum internasional. Mengapa? Karena secara global, "Coast Guard" diasosiasikan sebagai lembaga nasional yang sah, resmi, dan bertanggung jawab di bidang keselamatan dan penegakan hukum maritim, baik dalam hukum nasional maupun konvensi internasional seperti UNCLOS 1982. Ketika Bakamla menggunakan label tersebut tanpa dasar hukum nasional, maka:

  • Indonesia dianggap memalsukan legitimasi kelembagaan;
  • Tindakan Bakamla dapat dikualifikasikan sebagai penyesatan publik internasional (public deception);
  • Dan lebih jauh lagi, berpotensi mempermalukan nama baik Indonesia di forum-forum internasional.

Mendesak: Revisi Total Status Personel dan Legitimasi Kelembagaan

Dalam kondisi saat ini, langkah segera dan tegas harus diambil:

  1. Seluruh personel militer aktif di Bakamla harus mengundurkan diri atau kembali ke TNI, sesuai perintah Panglima TNI dan amanat Pasal 47 UU TNI.
  2. Pemerintah dan DPR harus segera menata ulang dasar hukum dan nomenklatur Bakamla, termasuk penghapusan penggunaan istilah Coast Guard pada kapal-kapal Bakamla jika tidak dimuat secara legal dalam undang-undang nasional.

Ketaatan Hukum Adalah Wujud Pengabdian Tertinggi

TNI adalah institusi kehormatan. Maka, ketaatan pada konstitusi dan undang-undang bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi bagian dari semangat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Tidak seharusnya prajurit aktif ditempatkan pada posisi yang menyalahi hukum, terlebih dalam institusi sipil yang secara keliru menyematkan gelar "Coast Guard".

Saatnya semua pihak—terutama TNI, KKP, dan pembuat undang-undang—menyudahi kebingungan kelembagaan ini dan mengembalikan posisi Indonesia sebagai negara hukum yang konsisten dan kredibel di mata dunia.

Menimbang Konstitusionalitas Institusi Keamanan Laut: Antara Revisi UU TNI dan Amanat UUD 1945

Perdebatan mengenai institusi keamanan laut kembali mencuat pasca revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam revisi tersebut, disebutkan bahwa militer aktif dapat ditempatkan di institusi keamanan laut, yang memunculkan tanda tanya besar: apakah ini berarti pembentukan institusi militer baru di luar Angkatan Darat, Laut, dan Udara?

Untuk menjawabnya, kita harus kembali kepada konstitusi sebagai hukum dasar negara, khususnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

UUD 1945: Institusi Militer Hanya AD, AL, dan AU

Dalam Pasal 10 UUD 1945, ditegaskan bahwa:

“Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.”

Frasa tersebut sangat eksplisit dan limitatif: hanya tiga angkatan yang diakui secara konstitusional sebagai komponen kekuatan militer Indonesia, yaitu Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Dengan demikian, tidak ada ruang konstitusional untuk pembentukan institusi militer keempat, termasuk yang mungkin disebut sebagai “Keamanan Laut” dalam bentuk militeristik.

Bakamla dan Konsekuensi Konstitusional

Badan Keamanan Laut (Bakamla) dibentuk berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, dan secara struktural berada di bawah koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sebagai badan sipil, Bakamla seharusnya bersifat non-militer. Namun, dalam praktiknya selama ini, Bakamla banyak diisi oleh personel TNI aktif, khususnya dari TNI AL.

Dengan adanya revisi UU TNI, yang pada satu sisi membuka ruang penempatan militer aktif di “institusi keamanan laut”, maka muncul potensi benturan dengan Pasal 10 UUD 1945. Jika penempatan tersebut diartikan sebagai bentuk institusi militer baru yang independen, maka ini jelas bertentangan dengan konstitusi, karena hanya AD, AL, dan AU yang diakui secara konstitusional

Artinya, Bakamla tidak mungkin dan tidak boleh menjadi institusi militer. Maka secara logika hukum dan tata negara, institusi “Keamanan Laut” yang dimaksud dalam revisi UU TNI hanya sah apabila berbentuk institusi sipil, bukan militer. Jika tidak, maka keberadaan dan kewenangannya berpotensi inkonstitusional. Dan bila institusi sipil maka tidak dibenarkan di tempati oleh personil militer aktif. Dengan demikian personil militer aktif Bakamla pun tidak bisa mengawaki intitusi ‘Keamanan Laut” bila nanti dibentuk. Dan perlu diingat juga bahwa Indonesia tidak menganut sistim para militer. Tidak ada satu Undang-undangpun yang mengatur para militer. Dengan kata lain para militer di Indonesia itu inkonstitusional.

Implikasi bagi Personel Bakamla

Situasi ini menimbulkan implikasi serius terhadap status personel Bakamla yang berasal dari militer aktif. Berdasarkan semangat konstitusi dan substansi UU TNI yang telah direvisi, penempatan militer aktif di lembaga sipil tidak lagi diperbolehkan.

Dengan demikian, maka seluruh personel militer aktif yang saat ini bertugas di Bakamla harus segera memilih:

  1. Kembali ke satuan asalnya, yakni ke TNI AD, AL, atau AU sesuai rekrutmen asal; atau
  2. Melakukan alih status menjadi pegawai sipil apabila ingin tetap mengabdi di sektor keamanan laut.

Langkah ini harus segera dilakukan sambil menunggu pembentukan atau penegasan kelembagaan dari institusi “Keamanan Laut” yang disebut dalam UU TNI terbaru.

Kesimpulan: Menjaga Konsistensi Konstitusi

Penting untuk menekankan bahwa dalam negara hukum, segala bentuk organisasi negara harus tunduk pada UUD 1945. Dalam konteks ini, revisi UU TNI yang menyebut “Keamanan Laut” tidak boleh dimaknai sebagai pendirian institusi militer baru, karena itu akan melanggar Pasal 10 UUD 1945.

Oleh sebab itu, institusi keamanan laut—apapun bentuk dan namanya—harus bersifat sipil, dan disusun dengan prinsip profesionalitas, supremasi sipil, serta akuntabilitas publik. Pemerintah perlu mempercepat penataan ini agar tidak terjadi kekacauan hukum dan dualisme otoritas di laut Indonesia. Dan yang terpenting, tidak diawaki oleh personil militer aktif.

*)Kabais TNI 2011-2013

 

26 Maret 2025

TNI dan Penanggulangan Narkotik: Realita yang Tak Bisa Dihindari

TNI dan Penanggulangan Narkotik: Realita yang Tak Bisa Dihindari

Jakarta 26 Maret 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

Peredaran narkotik di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan yang signifikan. Alih-alih mereda, kejahatan narkoba justru makin brutal dan menyusup ke segala lini, termasuk lembaga penegak hukum itu sendiri. Fakta-fakta di pengadilan dan investigasi internal kepolisian telah membuktikan: mulai dari oknum Kapolsek, Kasat Narkoba, hingga perwira tinggi Polri berpangkat jenderal bintang dua, terjerat kasus narkoba, baik sebagai pengguna maupun pelindung sindikat.

Kenyataan ini menggugah pertanyaan besar: apakah lembaga negara yang selama ini diberi kewenangan penuh, seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polri, telah benar-benar mampu memberantas narkoba hingga ke akar-akarnya?

Jawaban dari pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab dengan teori. Data dan fakta sudah bicara sendiri. Peredaran narkotik di Indonesia tetap marak, bahkan kian tak terkendali. Dalam situasi darurat seperti ini, semestinya negara merangkul semua kekuatan nasional—termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI)—untuk ambil bagian dalam perang melawan narkoba. Namun ironisnya, setiap kali TNI menunjukkan keseriusannya untuk ikut serta dalam pemberantasan narkotik, respons yang diterima justru penolakan mentah-mentah. Alasannya? TNI dianggap tidak memiliki kewenangan formal.

Padahal, TNI memiliki tanggung jawab moral dan institusional untuk menjaga ketahanan internalnya dari ancaman narkoba. Jika ada prajurit yang terindikasi sebagai pengguna atau pengedar, TNI tidak akan tinggal diam. Operasi internal dilakukan secara tegas. Dan perlu dicatat: tidak ada satu pun institusi negara yang dapat melarang TNI untuk menertibkan anggotanya dari bahaya narkotik.

Namun di sinilah titik rawan yang harus dipahami negara: ketika TNI melakukan operasi internal, tidak tertutup kemungkinan jejak peredaran narkoba yang ditelusuri oleh TNI merambah ke luar institusi militer. Narkoba tidak mengenal batas sipil-militer. Jaringan distribusinya menyebar lintas institusi, wilayah, dan bahkan lintas negara. Maka, operasi TNI pun bisa meluas keluar, mengikuti arus peredaran narkoba yang sebenarnya.

Inilah potensi konflik yang rawan. Ketika TNI bertindak karena kebutuhan menyelamatkan anggota dan institusinya, namun negara tidak memberikan payung hukum yang jelas, maka benturan kewenangan antar-lembaga menjadi tak terhindarkan. Padahal, niat TNI adalah murni untuk menyelamatkan generasi bangsa—termasuk anggotanya sendiri—dari kerusakan akibat narkoba.

Narkoba adalah ancaman nasional. Ia menyasar siapa saja: sipil, polisi, tentara, pelajar, pejabat, hingga rakyat jelata. Jika ancamannya menyeluruh, maka respons negara pun harus menyeluruh. Sudah waktunya negara mengakhiri ego sektoral dalam perang melawan narkoba. Jangan sampai karena persoalan administratif kewenangan, kita justru menutup pintu bagi kekuatan negara yang sebenarnya sanggup membantu.

Memberi ruang formal bagi TNI untuk ambil bagian dalam penanggulangan narkoba bukanlah bentuk militerisasi, melainkan tindakan realistis dalam menghadapi krisis. Negara yang kuat adalah negara yang mampu mengerahkan seluruh elemen kekuatannya untuk menghadapi ancaman besar.

Jika narkoba sudah menyasar jantung pertahanan dan penegakan hukum, maka sudah saatnya kita berkata: cukup. Dan cukup hanya bisa diakhiri jika semua kekuatan bangsa—termasuk TNI—ikut terlibat aktif dan diberi mandat penuh dalam perang melawan narkoba.

*)Kabais TNI 2011-2013

TNI di Ranah Siber Bukan Hal Baru: Hanya Mereka yang Takut TNI Kuat yang Mempermasalahkan

TNI di Ranah Siber Bukan Hal Baru: Hanya Mereka yang Takut TNI Kuat yang Mempermasalahkan

Jakarta 26 Maret 2025 

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM , CPARB

Polemik seputar keterlibatan TNI dalam ruang siber adalah bentuk kemunafikan publik yang tidak paham sejarah, doktrin militer, dan realitas di lapangan. Keterlibatan TNI dalam operasi siber bukan barang baru—ini hanya soal nama dan nomenklatur. Dalam praktik harian, TNI sudah sejak lama beroperasi di ruang digital dan elektromagnetik dengan istilah seperti Electronic Warfare (Perang Elektronika) di TNI AL, Signal Intelligence (SIGINT) di tubuh intelijen TNI, dan kegiatan persandian yang sejak lama menjadi jantung pengamanan komunikasi strategis negara.

Mereka yang menentang kehadiran TNI di ruang siber seolah hidup dalam kebodohan kolektif atau memang dengan sengaja ingin melemahkan pertahanan negara. Apakah mereka tidak tahu bahwa sejak dulu TNI telah memonitor spektrum elektromagnetik musuh? Apakah mereka pura-pura tidak sadar bahwa komunikasi, pergerakan, dan strategi militer modern sangat bergantung pada penguasaan ruang digital?

Persandian adalah napas harian TNI. Kode, enkripsi, pengamanan komunikasi sudah melekat dalam setiap operasi militer, jauh sebelum dunia mengenal istilah "cyber war". Sekarang, ketika TNI diberi dasar hukum dan ruang yang jelas dalam UU untuk beroperasi di ranah siber, justru ada pihak-pihak yang menggonggong dan mencoba membatasi. Siapa mereka? Tidak lain dan tidak bukan adalah mereka yang tidak ingin TNI menjadi kuat. Mereka takut ketika TNI punya kapabilitas penuh untuk mendeteksi, menyerang, dan bertahan dalam medan perang yang tak kasat mata ini.

Mereka ingin memonopoli ruang siber untuk kepentingan politik atau bahkan bisnis pribadi, lalu menyebar opini bahwa TNI akan "melanggar HAM digital" atau "tidak netral" bila masuk ruang siber. Ini tuduhan murahan yang tidak berdasar. Justru dengan keterlibatan TNI, ruang siber Indonesia akan jauh lebih aman dari sabotase, spionase, dan infiltrasi asing.

Jadi, mari kita tegas: keterlibatan TNI dalam ruang siber bukan ancaman, tapi justru bentuk kedaulatan digital.Negara lain bahkan menjadikan militer sebagai kekuatan utama di ruang siber. Mengapa Indonesia harus mundur hanya karena tekanan dari mereka yang takut kehilangan pengaruh?

Hanya mereka yang takut TNI kuat, yang menggugat kehadiran TNI di medan perang siber.

 

Kenapa Kompolnas Dibiayai APBN, Tapi Polri Tidak? Sebuah Celah dalam Undang-Undang

Kenapa Kompolnas Dibiayai APBN, Tapi Polri Tidak? Sebuah Celah dalam Undang-Undang

Jakarta 26 Maret 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, ada satu hal menarik yang mungkin luput dari perhatian banyak orang. Undang-undang ini menyebutkan secara jelas bahwa Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dibiayai oleh APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Tapi anehnya, tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan secara tegas bahwa Polri juga dibiayai dari APBN.

Kenapa ini penting? Bukankah sudah jelas bahwa Polri sebagai lembaga negara pasti dibiayai negara? Memang benar, dalam praktiknya Polri dibiayai negara. Tapi, ketiadaan pasal yang secara eksplisit menyebutkan hal tersebut bisa menimbulkan persoalan besar di kemudian hari. Ini bukan sekadar soal administrasi keuangan, tapi soal legitimasi dan pengawasan publik.

Kompolnas Lebih Jelas daripada Polri?

Kita tahu bahwa Kompolnas adalah lembaga yang tugasnya memberi saran dan masukan kepada Presiden tentang kebijakan kepolisian. Ia bukan lembaga penegak hukum, tidak punya pasukan, tidak menyidik, tidak mengatur lalu lintas, dan tidak menangkap penjahat. Tapi justru pembiayaan Kompolnas diatur dengan sangat tegas dalam Pasal 40 UU Polri, yaitu:

"Segala pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas Komisi Kepolisian Nasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara."

Sementara itu, Polri — yang punya ratusan ribu personel, senjata, kendaraan, dan peran vital menjaga keamanan negara — tidak diatur secara eksplisit soal sumber dananya dalam undang-undang yang sama. Celah ini bisa jadi pintu masuk masalah di masa depan.

Apa Risikonya Kalau Polri Tidak Dibiayai APBN?

Kalau tafsir hukum mengatakan bahwa Polri tidak diwajibkan dibiayai APBN, maka secara teori, Polri bisa mencari dana dari mana saja. Ini berbahaya. Kenapa?

  1. Polri bisa punya “bos lain” selain negara. Jika Polri menerima dana dari swasta atau kelompok tertentu, akan muncul potensi konflik kepentingan. Polri bisa lebih tunduk pada penyandang dana ketimbang pada konstitusi.
  2. Potensi korupsi dan tidak transparan. Dana dari APBN diawasi oleh DPR, BPK, dan publik. Tapi dana dari luar? Siapa yang mengawasi? Di sinilah potensi penyimpangan muncul.
  3. Netralitas Polri terancam. Jika ada kesatuan Polri yang dibiayai oleh pengusaha atau politisi, maka netralitasnya dalam menegakkan hukum bisa dipertanyakan.
  4. Bisa merusak kepercayaan masyarakat. Warga akan bertanya, Polri bekerja untuk siapa? Untuk rakyat, atau untuk donatur?


TNI pun dibiayai APBN

 

BAB VIII UU 34/2004 TTG TNI 

         PEMBIAYAAN

Pasal 66

(1) TNI dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(2) Keperluan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Departemen Pertahanan.

 

Pasal 67

(1) Dalam hal pemenuhan dukungan anggaran TNI, Panglima mengajukan kepada Menteri Pertahanan untuk dibiayai seluruhnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(2) Dalam ...


Saatnya Revisi UU Polri

Masalah ini bisa diatasi dengan menambahkan satu pasal saja dalam UU Polri, yang berbunyi misalnya:

"Segala pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara."

Dengan pasal ini, kita punya kepastian hukum bahwa Polri adalah benar-benar alat negara yang dibiayai negara dan diawasi oleh negara, bukan institusi yang bisa mencari dana ke sana kemari.

Penutup

Dalam sistem demokrasi, pengawasan publik terhadap lembaga penegak hukum adalah syarat mutlak. Salah satu bentuk pengawasan itu adalah lewat mekanisme anggaran negara. Kalau Kompolnas yang hanya lembaga penasihat saja diatur jelas pembiayaannya, maka Polri yang menjalankan fungsi keamanan nasional justru lebih wajib lagi untuk ditegaskan secara eksplisit dalam undang-undang.

Menutup celah hukum ini bukan hanya soal administrasi. Ini soal menjaga netralitas, profesionalisme, dan integritas lembaga yang sangat penting bagi bangsa Indonesia.