"Pak RT, Pak Polisi, dan RUU yang Bikin Bingung"
Tepian Sawah Jakarta 08 april 2025
Oleh : Soleman B Ponto, Detektif Romantika
Di suatu hari yang cerah di Desa Hukum Damai, warga berkumpul di balai desa karena ada pengumuman penting. Pak RT berdiri di depan mikrofon sambil membawa setumpuk kertas tebal.
“Warga sekalian, ini ada draft RUU baru tentang kepolisian. Katanya sih, biar tugas Polri makin mantap!” ujar Pak RT.
Tiba-tiba, Pak Polisi desa, sebut saja Pak Dono, berdiri dan bertanya, “Pak RT, saya dengar katanya nanti saya bisa jadi penyidik, jaksa, hakim, bahkan penata rambut sekaligus?”
Warga tertawa. “Maksudnya gimana, Pak Dono?” tanya Bu Tati, penjual gorengan.
“Ya gimana nggak bingung, Bu. Di RUU ini saya boleh nyadap, boleh nangkep, boleh nyidik sendiri tanpa nunggu jaksa, bahkan bisa netapin tersangka. Lah ini kok kayak sinetron ‘Pak Polisi Segalanya’? Saya takut nanti disuruh main saxophone juga!” keluh Pak Dono sambil geleng-geleng.
Pak RT membaca lagi, “Di Pasal 16 ayat baru, Polri bisa ngambil alih perkara kapan aja. Bahkan bisa periksa institusi negara lain!”
Warga bengong. “Lah, kalau gitu KPK gimana? Jaksa kemana? Hakim tidur, kah?” celetuk Pak Dullah, satpam pasar.
“Tunggu-tunggu,” kata Bu RW sambil berdiri, “kalau semua diurus Polri, nanti Pak Polisi desa kita bisa burnout dong. Belum lagi kalau disuruh jaga pos ronda sambil sidang di ruang sidang keliling!”
Seluruh warga pun sepakat: RUU ini terlalu serbabisa. Seolah-olah Pak Polisi adalah superhero tanpa batas. Tapi bukan tanpa risiko.
Pak Ustad pun angkat tangan, “Ingat, kekuasaan tanpa kontrol itu kayak gorengan tanpa minyak: keras, gosong, dan bikin seret.”
Akhirnya, warga menulis surat ke DPR:
“Kami warga Desa Hukum Damai menyarankan agar RUU Polri direvisi. Bukan karena kami tak cinta Polri, tapi karena kami tak mau Pak Dono pingsan karena harus merangkap semua peran dari Batman sampai Notulen Sidang. Terima kasih.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar