“Kontrak Bakamla USD 125 Juta: Sudah buat Kontrak, Baru Minta Anggaran – Potensi Skandal Seperti Satelit Kemhan”
Jakarta 05 September 2025
Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.
Pendahuluan
Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) diperkirakan telmenandatangani kontrak pembelian National Maritime Security System (NMSS) pada 17 Mei 2023 dengan SRT Marine System Solutions Ltd asal Inggris senilai USD 125 juta atau setara Rp 1,9 triliun
Ironisnya, setelah kontrak dibuat, Bakamla baru mengajukan tambahan anggaran Rp 5,6 triliun kepada DPR RI untuk membangun 35 pos pantau NMSS. Fakta ini memunculkan pertanyaan besar:
- Mengapa Bakamla membuat kontrak sebelum ada anggaran yang jelas?
- Mengapa Bakamla membeli peralatan yang secara hukum bukan kewenangannya?
- Apakah proyek ini berpotensi memunculkan skandal seperti kasus satelit Kemhan?
1. Fakta Kontrak NMSS Bakamla
- Tanggal Kontrak: 17 Mei 2023
- Nomor Kontrak: 001/PPK-NMSS/V/2023
- Nilai Kontrak: USD 125 juta ≈ Rp 1,9 triliun
- Pihak Penjual: SRT Marine System Solutions Ltd, Inggris
- Pihak Pembeli: Badan Keamanan Laut RI (Bakamla)
- Tujuan Kontrak: Pengadaan NMSS yang mencakup:
- Radar dan menara pantau pesisir di 35 titik
- Sistem drone pengawasan
- Pusat data dan pusat komando nasional
- Sistem integrasi kapal patroli
Namun, pada September 2025, Bakamla baru meminta tambahan anggaran Rp 5,6 triliun ke DPR untuk membangun infrastruktur pendukung NMSS.
2. Permasalahan Utama
a. Kontrak Sudah Jalan, Anggaran Belum Ada
- Bakamla menandatangani kontrak internasional dengan pihak asing tanpa kepastian anggaran.
- Padahal, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara menegaskan:
“Setiap pengeluaran negara harus ditetapkan terlebih dahulu dalam APBN dan tidak boleh ada perikatan sebelum anggaran tersedia.”
- Ini berpotensi melanggar Pasal 17 UU Keuangan Negara dan Pasal 23 UU Perbendaharaan Negara.
b. Bakamla Tidak Punya Kewenangan
- UU No. 66 Tahun 2024 tentang Pelayaran:
- Pasal 276–281 menetapkan KPLP (Kesatuan Pengawas Laut dan Pelayaran) sebagai pihak yang berwenang mengoperasikan sistem pengawasan kapal.
- Perpres No. 178/2014 tentang Bakamla:
- Bakamla hanya berwenang koordinasi dan patroli terbatas, bukan sebagai operator utama NMSS.
- Artinya, sekalipun NMSS dibeli, Bakamla tidak bisa mengoperasikannya secara legal.
c. Duplikasi Sistem dan Pemborosan APBN
- Indonesia sudah memiliki:
- Vessel Traffic Service (VTS) di bawah KPLP
- Radar maritim di bawah TNI AL
- NMSS akan menduplikasi sistem yang sudah ada, sehingga memboroskan APBN.
- Jika DPR menyetujui tambahan Rp 5,6 triliun, maka potensi kerugian negara semakin besar.
3. Risiko Jika Kontrak Tidak Dijalankan
Jika kontrak NMSS dibatalkan atau tidak dijalankan, risikonya sangat mirip dengan kasus Satelit Kemhan:
a. Studi Kasus Satelit Kemhan
- Kronologi:
- Kemhan menandatangani kontrak satelit senilai USD 800 juta pada 2015.
- Proyek gagal dijalankan karena anggaran tidak tersedia dan masalah perizinan.
- Vendor asing menggugat Indonesia melalui arbitrase internasional.
- Hasilnya:
- Indonesia kalah dan dihukum membayar lebih dari Rp 8 triliun.
b. Potensi Risiko Sama untuk Bakamla
- Vendor asing: Sama-sama kontrak dengan pihak luar negeri (SRT Marine, Inggris).
- Binding agreement: Kontrak NMSS bersifat Purchase Contract dengan klausul governing law dan arbitrase.
- Jika kontrak tidak dijalankan:
- Vendor berhak menggugat Indonesia ke LCIA atau SIAC.
- Potensi ganti rugi: Rp 3–5 triliun, termasuk denda dan bunga.
- Sama seperti kasus satelit Kemhan, pembayaran diambil dari APBN.
4. Pertanyaan Kunci
- Mengapa Bakamla menandatangani kontrak USD 125 juta tanpa persetujuan DPR?
- Mengapa Bakamla baru minta tambahan Rp 5,6 triliun setelah kontrak berjalan 2 tahun?
- Mengapa Bakamla membeli peralatan yang secara hukum tidak bisa mereka operasikan?
- Apakah ada kajian kelayakan, legal audit, dan analisis tupoksi sebelum kontrak diteken?
- Apakah ada potensi konflik kepentingan atau intervensi vendor asing?
5. DPR Tidak Boleh Diam
Kontrak NMSS bukan sekadar urusan Bakamla. Ini menyangkut:
- APBN Rp 1,9 triliun + tambahan Rp 5,6 triliun.
- Kewenangan kelembagaan antara Bakamla, KPLP, dan TNI AL.
- Potensi kerugian negara triliunan rupiah.
Oleh karena itu, DPR tidak boleh hanya menerima penjelasan internal. DPR wajib memanggil:
- Kepala Bakamla.
- Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) kontrak NMSS.
- Kementerian Keuangan dan Kemenko Polhukam.
6. Publik Harus Diberi Tahu
- DPR wajib mempublikasikan hasil rapat, notulen, dan temuan awal terkait kontrak NMSS.
- Jangan ada kesan deal-deal politik atau perlindungan pejabat tertentu.
- Publik berhak mengetahui:
- Alasan kontrak diteken sebelum ada anggaran.
- Mengapa Bakamla membeli peralatan yang tidak bisa dipakai.
- Apa langkah mitigasi agar tidak terjerat arbitrase internasional.
7. Rekomendasi Tindakan
A. Untuk DPR RI
- Panggil Kepala Bakamla dan PPK NMSS untuk klarifikasi.
- Bekukan sementara pembahasan tambahan anggaran Rp 5,6 triliun.
- Bentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk audit kontrak NMSS.
B. Untuk BPK, Kejaksaan dan KPK
- Audit investigasi terhadap kontrak NMSS senilai USD 125 juta.
- Periksa potensi pemborosan APBN dan indikasi kerugian negara.
C. Untuk Presiden dan Kemenko Polhukam
- Evaluasi peran dan tupoksi Bakamla.
- Jika terbukti melanggar aturan, batalkan kontrak NMSS atau alihfungsikan peralatan ke KPLP.
Kesimpulan
Bakamla sudah membuat kontrak USD 125 juta (Rp 1,9 triliun) tanpa anggaran yang jelas dan tanpa kewenangan hukum.
Sekarang Bakamla meminta tambahan Rp 5,6 triliun.
Jika kontrak tidak dijalankan, risiko gugatan arbitrase internasional sangat besar, dan Indonesia bisa mengalami kerugian seperti kasus Satelit Kemhan.
DPR, BPK, Kejaksaan dan KPK harus segera bertindak untuk mencegah skandal NMSS menjadi beban APBN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar