RENUNGAN MENJELANG HARI LAHIRNYA "PANCASILA"
Jakarta 10 Mei 2025
Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, S.T., S.H., M.H., CPM, CParb
(Kepala BAIS TNI 2011–2013)
"Seringkali yang kita jaga adalah simbol, tapi bukan kebenaran. Yang kita rayakan adalah nama, tapi melupakan isinya."
Sebentar lagi bangsa ini akan memperingati Hari Lahir Pancasila. Spanduk akan dibentangkan. Pidato-pidato akan dibacakan. Lagu-lagu akan dikumandangkan. Tapi di tengah gema peringatan itu, izinkan saya bertanya—sebagai seorang prajurit, sebagai seorang ahli hukum, dan sebagai anak bangsa: Apakah yang sebenarnya kita rayakan?
Apakah kita merayakan lima sila yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945? Ataukah kita sedang memuja sebuah istilah yang tidak pernah ada dalam konstitusi kita?
Kita Telah Jauh Melangkah dari Teks UUD 1945
Bangsa ini, selama puluhan tahun, telah menerima doktrin bahwa "Pancasila adalah dasar negara", tanpa pernah menelusuri ulang:
- Di mana istilah “Pancasila” itu tertulis dalam UUD 1945?
- Apakah ada pasal yang menyatakannya secara eksplisit?
Jawabannya: tidak ada.
Yang tertulis dengan terang dan tegas hanyalah lima sila, satu per satu, dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Itulah yang menjadi dasar negara secara hukum. Tapi entah sejak kapan, kita mengganti lima sila itu dengan satu istilah politis: “Pancasila.”
Kita memotong jalan berpikir hukum demi kenyamanan retorika. Dan dalam diam, kita mengganti teks konstitusi dengan dogma yang tak tertulis.
Akibatnya: Negara Tersesat dalam Keyakinan Simbolik
Karena kesalahan berpikir ini terus dipertahankan, kita kini menghadapi konsekuensi serius:
1. Undang-undang dibuat di atas istilah yang tidak ada dalam konstitusi.
2. Mahasiswa dan pelajar belajar hafalan, bukan kebenaran.
3. Politik mengklaim Pancasila sebagai miliknya, lalu saling menuduh siapa yang lebih Pancasilais.
Renungan: Saatnya Kembali ke Akar.
Selama puluhan tahun, rakyat Indonesia diajarkan bahwa 'Pancasila adalah dasar negara'. Namun, mereka tidak pernah benar-benar diajak memahami apa isi dari dasar itu. Mereka menghafal nama, tapi tidak memahami maknanya. Mereka mencintai istilah, tapi tidak mengenal isinya. Mengapa demikian? Karena secara empirik, yang dapat mereka pegang, lihat, dan baca dalam konstitusi hanyalah lima sila—bukan nama 'Pancasila' itu sendiri.
Ketika rakyat dituntut untuk hidup berdasarkan nilai-nilai kebangsaan, mereka justru dibingungkan oleh doktrin yang tidak mengacu pada teks hukum. Padahal, lima sila dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945—Ketuhanan YME, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan/perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi seluruh rkyat Indonesia—itulah dasar nyata yang seharusnya dijadikan pegangan. Mereka jelas tertulis, mereka terstruktur, dan mereka dapat diinternalisasi secara konkret dalam kehidupan bernegara.
Sebaliknya, istilah 'Pancasila' yang tidak tertulis dalam UUD telah menjadi medan tafsir politis. Ia dijadikan tameng untuk membenarkan atau menyerang siapa pun yang berbeda pandangan. Ia diangkat tinggi-tinggi tanpa kejelasan, hingga menjadi simbol kosong yang kehilangan akar hukumnya. Dan ketika negara menetapkan hukum pidana berdasarkan istilah yang tidak tertulis dalam konstitusi, maka yang terjadi adalah ketidakadilan yang dilegalkan.
Jika hal ini terus dipertahankan, maka akibatnya sangat serius. Pertama, rakyat akan kehilangan pegangan hukum dan moral yang sah. Kedua, pendidikan kewarganegaraan akan terus mengajarkan hafalan simbolik, bukan pemahaman substantif. Ketiga, negara akan tersesat dalam kekuasaan simbol dan kehilangan arah konstitusional. Dan yang paling berbahaya: generasi masa depan akan lahir tanpa fondasi nilai yang dapat dipegang secara sah dan konstitusional.
Maka, dalam semangat Hari Lahir Pancasila ini, marilah kita merenung lebih dalam. Sudah saatnya kita jujur kepada diri kita sendiri dan kepada rakyat: yang menjadi dasar negara bukanlah istilah 'Pancasila' yang tidak tertulis, melainkan lima sila yang secara tegas dan sah telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.
Jika kita ingin menyelamatkan masa depan bangsa ini, kita harus mulai dari dasar. Dan dasar itu bukan retorika, tapi teks hukum. Bukan simbol, tapi nilai yang nyata. Karena hanya dengan kembali pada sila-sila yang tertulis, kita bisa membangun bangsa yang jujur, adil, dan berdaulat berdasarkan konstitusi, bukan berdasarkan doktrin tanpa dasar.
"Jika kita negara hukum, maka hukumlah yang kita pegang. Bukan kebiasaan. Bukan kebingungan. Dan bukan kebanggaan atas istilah yang tidak pernah dirumuskan secara legal."
Hari Lahir Pancasila seharusnya menjadi momentum kembali ke teks asli UUD 1945. Mari rayakan bukan nama, tapi substansi nilai yang tertulis secara sah:
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradap, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Seruan kepada Bangsa, Kepada para pemimpin, cendekiawan, pendidik, dan seluruh rakyat Indonesia:
Marilah kita jujur.
Marilah kita berani kembali ke akar konstitusi.
Jangan biarkan kita merayakan sesuatu yang tidak pernah kita tulis, tapi mengabaikan apa yang secara sah telah diwariskan oleh para pendiri bangsa.
Jika kita terus bertahan pada kesalahan simbolik ini, maka kita tidak hanya melanggar asas hukum, tetapi juga melahirkan generasi yang kehilangan jejak konstitusionalnya sendiri.
Selamat merenung.
Selamat meninjau kembali.
Karena cinta sejati kepada negara tidak membenarkan kesalahan, tapi mengoreksinya dengan keberanian.
Semangat terus Pak untuk menulis..
BalasHapus