4 Mei 2025

Mengapa Indonesia Tidak Mungkin Mewujudkan Coast Guard seperti Negara Lain

 Mengapa Indonesia Tidak Mungkin Mewujudkan Coast Guard seperti Negara Lain

Jakarta 04 Mei 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPARB, CPM*)

Sekarang ini banyak pihak membayangkan bahwa Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, membutuhkan sebuah institusi tunggal seperti “Coast Guard” sebagaimana dimiliki oleh negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Jepang, atau Korea Selatan. Namun, mimpi tersebut pada dasarnya tidak mungkin terwujud dalam sistem hukum Indonesia saat ini. Hal ini bukan sekadar persoalan kelembagaan, tetapi menyangkut perbedaan mendasar dalam sistem hukum yang dianut oleh Indonesia.

Upaya untuk membentuk Coast Guard sebenarnya pernah dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dalam Pasal 276 hingga Pasal 281, UU tersebut mengamanatkan pembentukan Indonesia Coast Guard sebagai institusi tunggal yang bertanggung jawab atas pengawasan dan penegakan hukum di laut. Namun, amanat tersebut tidak pernah terealisasi karena bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Pada akhirnya, seluruh pasal tersebut dihapus melalui Undang-Undang Nomor 66 Tahun 2024.

Penghapusan ini menegaskan bahwa sistem hukum Indonesia tidak memberi ruang terhadap pembentukan lembaga tunggal penjaga laut seperti Coast Guard. Sebaliknya, Indonesia menganut prinsip “single agency, single task”, di mana setiap lembaga hanya memiliki satu fungsi tugas berdasarkan mandat undang-undang yang mengaturnya. Ini sesuai dengan asas fundamental dalam sistem hukum Indonesia: “satu undang-undang satu objek hukum.”

Indonesia menganut sistem hukum civil law, yang menempatkan undang-undang sebagai sumber hukum utama dan menekankan asas kepastian hukum, kejelasan norma, serta pembagian kewenangan secara rigid berdasarkan fungsi institusional. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem common law seperti di Amerika Serikat yang lebih fleksibel dalam mengonsolidasi fungsi institusi ke dalam satu badan seperti United States Coast Guard.

Dalam sistem hukum Indonesia yang menganut tradisi civil law (Eropa Kontinental), dikenal asas fundamental dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu asas “satu Undang-Undang satu objek hukum” atau dikenal pula sebagai prinsip “single act, single subject”. 

Asas ini bermakna bahwa setiap undang-undang hanya memuat satu jenis kewenangan normatif, satu jenis objek hukum, dan satu lingkup kelembagaan yang bertugas. Artinya, tidak mungkin dua undang-undang memuat tugas yang identik, dan tidak mungkin pula dua lembaga menjalankan kewenangan yang tumpang tindih jika pembacaan terhadap norma dilakukan secara sistematik dan sektoral.

Prinsip ini sejalan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mewajibkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada asas kejelasan rumusan dan kedayagunaan serta hasil guna. Penjelasan Umum dari UU ini juga menegaskan bahwa setiap norma hukum harus dibentuk dengan objek hukum yang jelas dan tidak multitafsir.

Dengan demikian, pembentukan lembaga seperti Bakamla yang mencoba menjalankan semua fungsi lembaga lain justru menyalahi asas satu UU satu objek, dan bertentangan dengan sistem hukum Indonesia.

Adapun anggapan telah terjadi tumpang tindih antar lembaga penegak hukum laut, pada dasarnya lebih disebabkan karena kekeliruan membaca dan menafsirkan norma undang-undang. Jika setiap UU dibaca secara holistik, sektoral, dan sistematis, akan terlihat bahwa masing-masing undang-undang mengatur tugas dan kewenangan yang berbeda dan tidak saling tumpang tindih.

Berlandaskan asas ini berarti bahwa tidak akan pernah ada dua undang-undang dengan objek pengaturan dan tugas kelembagaan yang sama. Bila terdapat dua lembaga yang seolah-olah menjalankan tugas serupa, maka itu lebih disebabkan oleh kekeliruan dalam membaca dan menafsirkan norma undang-undang. Sebagai contoh:

- TNI AL menjalankan fungsi pertahanan dan penindakan terhadap ancaman militer dan perompakan berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004.

- Polri mengurusi tindak pidana umum di laut berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002.

- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menangani penyelundupan berdasarkan UU No. 17 Tahun 2006.

- PSDKP menangani kejahatan perikanan berdasarkan UU No. 45 Tahun 2009.

- KPLP sebagai PPNS di Kementerian Perhubungan bertugas sebagai Pengawas Pelayaran berdasarkan UU No. 66 Tahun 2024.

Dengan struktur tersebut, maka fungsi penegakan hukum di laut telah dibagi secara tegas dan legal antar lembaga, dan tidak mungkin digabung ke dalam satu institusi tunggal. Dalam kerangka sistem hukum Indonesia, pembentukan lembaga Coast Guard dengan tugas lintas sektor akan melanggar prinsip legalitas dan menciptakan tumpang tindih norma.

Upaya untuk menyatukan seluruh lembaga penegak hukum di laut melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang menjadi dasar pembentukan Bakamla, justru bertentangan dengan prinsip sistem hukum Indonesia. UU 32/2014 berupaya mengkonsolidasikan kewenangan dari TNI AL, Polri, Bea Cukai, PSDKP, dan KPLP ke dalam satu institusi bernama Bakamla. Namun, tindakan ini tidak selaras dengan asas “satu undang-undang satu objek hukum” dan menyebabkan disharmoni hukum.

Akibatnya, keberadaan Bakamla sebagai lembaga yang lahir dari UU 32/2014 menjadi kabur secara hukum. Ia tidak secara eksplisit ditetapkan sebagai penyidik, tidak beroperasi berdasarkan hukum acara pidana, dan tidak memiliki kedudukan sektoral yang jelas. Justru Bakamla menimbulkan konflik kewenangan dengan institusi lain yang telah memiliki dasar hukum yang lebih kuat dan spesifik.

Bahkan ketika Presiden menyebut Bakamla sebagai embrio Coast Guard, implementasinya tidak pernah terealisasi. Status Bakamla tetap ambigu—tidak sepenuhnya sipil, tidak juga militer—dan kewenangannya tidak dapat dioperasionalisasi tanpa melanggar hukum. Dengan penghapusan pasal-pasal mengenai Coast Guard dalam UU No. 66 Tahun 2024, maka mimpi menjadikan Bakamla sebagai Coast Guard nasional telah ditutup secara hukum.

Prinsip satu Undang-Undang satu tugas adalah karakteristik sistem hukum nasional yang menjamin kejelasan kelembagaan, asas legalitas, dan pembedaan kewenangan penyidikan. Pemahaman ini harus menjadi dasar dalam menilai apakah norma UU No. 32 Tahun 2014 tentang Bakamla telah menimbulkan pelanggaran konstitusionalitas.

Dengan demikian keinginan untuk membentuk Coast Guard seperti di negara-negara lain akan selalu bertentangan dengan sistem hukum nasional. Jalan terbaik bagi Indonesia adalah memperkuat koordinasi antar lembaga penegak hukum yang sudah ada berdasarkan UU sektoral, bukan menyatukannya dalam satu lembaga baru yang tidak memiliki basis hukum konstitusional.

Kesimpulannya, UU No. 32 Tahun 2014 yang mencoba menyatukan seluruh kewenangan lembaga penegak hukum dalam satu badan bukan hanya bertentangan dengan prinsip sistem hukum nasional, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum yang pada akhirnya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan negara hukum dan perlindungan atas kepastian hukum yang adil.

*)KABAIS TNI 2011-2013

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar