Pandangan Politik Purnawirawan TNI dalam Bingkai Kesetiaan pada Negara, bagaikan Bayonet dan Keris
Jakarta 17 Mei 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
Pendahuluan.
Di medan perang, seorang prajurit TNI mengenal satu hal: kejelasan. Komando adalah kepastian, musuh adalah nyata, dan tujuan adalah membela negara, apa pun taruhannya. Mereka ditempa dalam sistem yang menuntut ketegasan tanpa keraguan, loyalitas tanpa syarat, dan keberanian tanpa batas. Dari tempaan itulah lahir jiwa-jiwa tangguh yang tak hanya memanggul senjata, tapi juga nilai: kehormatan, pengabdian, dan persatuan. Mereka adalah bayonet—tajam, lurus, dan hanya mengenal satu arah: ke depan.
Namun waktu berjalan. Masa tugas berlalu. Seragam dilipat, senjata disimpan, dan kehidupan sipil menyambut mereka. Di dunia baru ini, mereka tidak lagi berjalan dalam barisan komando, melainkan di antara suara-suara yang beragam, tafsir hukum yang bercabang, dan politik yang tak selalu tegas. Dunia ini bukan lagi dunia bayonet—dunia ini adalah dunia keris: berliku, berlapis makna, indah namun rumit, tajam namun tidak selalu menusuk lurus.
Sebagian purnawirawan memilih tetap memegang prinsip bayonet: bersuara lantang, meluruskan arah, menantang penyimpangan. Sebagian lainnya memahami perlunya keris: lentur dalam strategi, bijak dalam langkah, dan memilih mengawal negara dari dalam sistem. Maka tampaklah perbedaan pandangan di antara mereka—perbedaan yang sering kali disalahartikan sebagai perpecahan.
Padahal, sesungguhnya mereka tetap satu. Jiwa mereka tetap berpijak pada sumpah prajurit, nilai-nilai Sapta Marga, dan semangat untuk menjaga republik. Yang berbeda bukanlah niat, melainkan cara. Bukan tujuan, melainkan pendekatan.
Artikel ini ditulis untuk menyelami dinamika batin dan psikologi sosial para purnawirawan TNI yang kini tampil dengan ragam suara di tengah pusaran demokrasi. Ini adalah upaya untuk memahami bahwa bayonet dan keris bukan simbol pertentangan, tetapi dua sisi dari satu jiwa: tegas dalam prinsip, namun bijak dalam menghadapi zaman.
1. Jiwa yang Terbentuk oleh Komando: Lurus seperti Bayonet
Bayonet bukan sekadar logam yang diasah tajam. Dalam dunia militer, ia adalah simbol dari sikap hidup: lurus, tegas, dan setia. Begitulah para prajurit TNI dibentuk. Mereka tidak dilatih untuk membantah, melainkan untuk menuntaskan misi. Tidak diajarkan untuk menimbang untung rugi pribadi, melainkan membela kehormatan bangsa. Dalam dunia militer, ketegasan adalah bentuk tertinggi dari pengabdian, dan kepatuhan adalah cerminan kepercayaan terhadap sistem.
Dalam ruang ini, para prajurit tumbuh sebagai pribadi yang satu irama. Mereka tak butuh debat untuk melangkah, cukup satu komando dari atasan. Tidak ada ruang abu-abu. Hitam dan putih begitu jelas. Dan selama mereka berada dalam lingkungan itu, kesatuan adalah nafas bersama.
Namun, dunia sipil tidak mengenal satu komando. Demokrasi tidak berjalan dengan aba-aba, melainkan dengan tafsir dan kompromi. Di sinilah pergolakan dimulai.
2. Setelah Seragam Dilipat: Dunia Meliuk seperti Keris.
Saat seorang prajurit menanggalkan seragam dan memasuki dunia sipil, ia memasuki realitas yang sama sekali berbeda. Dunia yang tak lagi mengenal rantai komando, tapi dipenuhi dengan perdebatan, opini, dan tarik menarik kepentingan. Dunia ini penuh simbol dan strategi. Dunia yang tidak berjalan lurus, melainkan berkelok—seperti keris yang indah tapi tajam, lembut tapi mematikan bila salah dipahami.
Hukum dalam dunia sipil tidak selalu diterapkan seperti disiplin militer. Hukum bisa ditafsirkan, diperdebatkan, bahkan kadang dimanfaatkan. Di sinilah kegelisahan itu lahir. Seorang purnawirawan yang seumur hidupnya menjunjung tegaknya konstitusi bisa menjadi kecewa ketika melihat hukum dipakai sebagai alat kekuasaan. Bagi mereka, itu bukan sekadar pelanggaran, tapi pengkhianatan terhadap nilai-nilai perjuangan yang dulu mereka bela.
Di sinilah kita mulai melihat dua reaksi berbeda dari para purnawirawan.
3. Dua Jalan, Satu Arah: Perbedaan sebagai Strategi, Bukan Perpecahan.
Sebagian purnawirawan memilih untuk bersuara keras. Mereka hadir dalam forum-forum yang menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah, terhadap tafsir hukum yang dianggap menyimpang, bahkan terhadap proses politik yang mereka nilai mencederai demokrasi. Mereka merasa terpanggil untuk kembali berjuang, bukan dengan senjata, tapi dengan suara dan sikap moral.
Namun di sisi lain, ada pula purnawirawan yang memilih jalan berbeda. Mereka bergabung dengan pemerintahan, duduk di kursi strategis, membantu menyusun kebijakan, dan percaya bahwa perubahan besar hanya bisa dilakukan dari dalam sistem. Bagi mereka, stabilitas adalah pilar pembangunan. Mereka percaya bahwa negara yang terus diguncang konflik tak akan mampu berdiri kuat.
Dari luar, dua sikap ini tampak bertolak belakang. Tapi bila kita cermati lebih dalam, keduanya sesungguhnya memiliki akar yang sama: cinta tanah air, kepedulian pada rakyat, dan komitmen menjaga NKRI.
Perbedaan itu bukan perpecahan. Ia adalah bentuk dari kebijaksanaan dalam strategi. Bayonet dan keris sama-sama senjata. Yang satu menusuk lurus ke depan, yang satu melukai dari sisi tak terduga. Tapi keduanya hanya digunakan demi satu tujuan: menang dalam perjuangan.
4. Penyebab Psikososial Perbedaan Pandangan.
Mengapa perbedaan ini bisa muncul begitu nyata? Ada beberapa faktor yang dapat kita pahami dari kacamata psikologi dan sosiologi:
a. Peralihan dari Struktur Hierarkis ke Ruang Demokratis.
Di dunia militer, tidak ada banyak ruang untuk tafsir. Segalanya pasti. Tapi di dunia sipil, setiap kebijakan bisa diperdebatkan, setiap hukum bisa ditafsirkan. Ketika prajurit masuk ke dunia itu, sebagian menyesuaikan diri dengan baik, sebagian lainnya merasa perlu bersikap untuk meluruskan apa yang mereka anggap telah melenceng.
b. Jaringan Sosial dan Politik Pasca-Pensiun.
Setelah pensiun, para purnawirawan tidak lagi berada dalam satu institusi. Mereka masuk ke berbagai kelompok: partai politik, lembaga swadaya masyarakat, sektor bisnis, hingga media. Lingkungan baru ini memengaruhi cara pandang mereka, termasuk posisi politik mereka.
c. Pengalaman Tugas yang Berbeda.
Seorang mantan jenderal yang lama bertugas di daerah konflik mungkin memiliki kepekaan tinggi terhadap isu disintegrasi bangsa. Sementara mereka yang banyak berkutat dalam diplomasi pertahanan bisa jadi lebih kompromistis dan moderat dalam menyikapi situasi nasional. Pengalaman tugas ini sangat menentukan.
d. Respons terhadap Situasi Hukum dan Pemerintahan.
Ada purnawirawan yang melihat hukum hari ini tidak lagi menjadi alat keadilan, melainkan alat kekuasaan. Ada pula yang melihat bahwa situasi tidak seburuk itu dan bahwa negara masih berada di jalur yang benar. Keduanya sama-sama didorong oleh kepedulian terhadap masa depan bangsa, hanya berbeda dalam penilaian dan pendekatannya.
5. Jiwa Prajurit Tak Pernah Purna.
Yang perlu dipahami oleh masyarakat luas adalah bahwa status "purnawirawan" hanya berlaku secara administratif. Jiwa kejuangan mereka tidak pernah benar-benar berhenti. Nilai-nilai Sapta Marga masih mereka bawa dalam pergaulan sipil. Bedanya, kini mereka berjuang bukan lagi dengan senjata dan strategi militer, tapi dengan suara, tulisan, dan pilihan politik.
Perbedaan mereka adalah ekspresi dari kemerdekaan berpikir yang justru merupakan hasil dari demokrasi yang sehat. Demokrasi memberi ruang untuk berbeda, dan perbedaan di antara mereka adalah bentuk dari kepedulian yang mendalam, bukan perseteruan yang dangkal.
Kesimpulan.
Perbedaan pandangan politik di kalangan purnawirawan TNI bukanlah tanda perpecahan atau lunturnya semangat persatuan, melainkan cerminan dari dinamika baru yang mereka hadapi setelah melepas seragam. Mereka telah berpindah dari dunia militer yang tegak lurus seperti bayonet, ke dunia sipil yang penuh tafsir dan strategi seperti keris. Di ruang demokrasi, suara mereka pun beragam: ada yang memilih jalur kritik terbuka, ada pula yang menempuh strategi dari dalam sistem pemerintahan.
Namun di balik ragam pendekatan tersebut, jiwa mereka tetap satu. Nilai-nilai Sapta Marga, semangat pengabdian kepada bangsa dan negara, serta komitmen terhadap keutuhan NKRI tidak pernah purna. Yang berbeda adalah cara mereka menyuarakan kepedulian itu, tergantung pada latar belakang penugasan, jejaring sosial pasca-dinas, pengalaman hidup, dan pemaknaan terhadap kondisi bangsa hari ini.
Perbedaan bukanlah pengkhianatan. Justru di dalam perbedaan tersebut, terkandung semangat untuk terus menjaga republik dari berbagai sudut dan pendekatan. Maka, memahami para purnawirawan tidak cukup hanya dengan melihat posisi politik mereka hari ini, tetapi dengan memahami perjalanan panjang mereka sebagai prajurit yang dulu siap mati demi Merah Putih—dan kini, tetap berjuang demi tegaknya keadilan dan kedaulatan negara, meski tanpa senjata.
Bayonet dan keris bukan pertentangan. Keduanya adalah alat perjuangan. Dan para purnawirawan adalah penjaga republik, yang kini melangkah dalam ragam arah, tetapi tetap menuju satu tujuan: Indonesia yang utuh, adil, dan berdaulat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar