30 November 2024

Putusan MK Bagaikan Lagu Dangdut: "Kau yang Mulai, Kau yang Mengakhiri"

Putusan MK Bagaikan Lagu Dangdut: "Kau yang Mulai, Kau yang Mengakhiri"

 

Jakarta 30 November 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb.*)

 

Pendahuluan

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK benar-benar mengubah wajah sistem hukum Indonesia. Dengan gaya "kau yang mulai, kau yang mengakhiri," MK memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani kasus korupsi lintas yurisdiksi dari awal hingga akhir, termasuk kasus yang melibatkan sipil dan militer.

Keputusan ini, bagai cerita dalam lagu dangdut, terasa seperti kisah penuh ironi. Kompetensi absolut, yang menjadi dasar sistem hukum, dikesampingkan begitu saja, seolah-olah aturan itu hanya formalitas. Bagai seseorang yang memulai cerita cinta dan ingin menyelesaikannya sendiri tanpa mempedulikan perasaan pihak lain, KPK diberi kekuasaan untuk mengurus segalanya. Apakah ini hukum, atau sekadar drama institusi yang mencari panggung?

 

Kompetensi Absolut: Pilar Hukum yang Terpinggirkan

1. Apa Itu Kompetensi Absolut?

Kompetensi Absolut Menurut Konstitusi adalah prinsip yang memastikan bahwa kasus hukum diproses di yurisdiksi yang sesuai. Dasar hukumnya sangat jelas:

  1. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945:

"Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara."

Kompetensi absolut menjelaskan bahwa:

    • Peradilan umum mengadili warga sipil.
    • Peradilan militer mengadili anggota militer.

2.     Pasal 69 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer:

    • Penyidikan kasus yang melibatkan militer harus dilakukan oleh:
      • Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum),
      • Polisi Militer, atau
      • Oditur Militer.

3.     Pasal 2 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor:

    • Pengadilan Tipikor adalah bagian dari peradilan umum yang hanya mengadili warga sipil dengan hakim sipil sepenuhnya.

 

2. Kompetensi Absolut yang Dilanggar

Namun, putusan MK mengubah aturan main ini. Bagai memaksakan gitar melodi di tengah musik keroncong, KPK diberi kewenangan untuk menangani kasus lintas yurisdiksi tanpa peduli siapa yang terlibat. Hakim sipil di Pengadilan Tipikor kini dipaksa mengadili anggota militer, padahal:

  • Pengadilan Tipikor tidak memiliki kompetensi untuk menyentuh kasus militer.
  • Hakimnya tidak memiliki pemahaman tentang aspek militer.

Bagai seekor kucing yang disuruh berenang, hakim sipil dipaksa menilai aspek militer. Bukankah ini menyalahi kodrat peradilan?

 

Putusan MK: Bagaikan Lirik Dangdut

1. Kau yang Mulai, Kau yang Mengabaikan

Putusan MK memberikan KPK kewenangan penuh dari awal hingga akhir, tetapi mengabaikan prinsip kompetensi absolut. KPK kini dapat:

  • Menyidik kasus militer tanpa melibatkan Polisi Militer atau Oditur Militer.
  • Membawa kasus ke Pengadilan Tipikor, meskipun hakim di sana sepenuhnya sipil.

Bagai seorang sopir yang memaksa mobil balap masuk ke jalan berlubang, putusan ini memaksakan kewenangan KPK di ranah yang bukan haknya.

 

2. Kau yang Mengatur, Kau yang Mendominasi

Dengan putusan ini, KPK menjadi lembaga yang seolah-olah tidak memiliki batasan. Jaksa Agung, Polisi Militer, dan Oditur Militer kini hanya menjadi "pemain figuran." Bagai lakon dalam drama, peran utama sepenuhnya dipegang oleh KPK.

Bagai penyanyi tunggal yang mengambil semua nada tanpa memberi ruang bagi musisi lain, KPK kini mendominasi proses hukum, meninggalkan institusi lain tanpa peran.

 

3. Kau yang Memulai, Kau yang Mengakhiri

Putusan ini menghilangkan mekanisme koneksitas, yang selama ini menjadi solusi untuk kasus lintas yurisdiksi. Akibatnya:

  • Kasus sipil dan militer kini dipisah: sipil diadili di Pengadilan Tipikor, sementara militer diadili di peradilan militer.
  • Bukti dari satu yurisdiksi tidak dapat digunakan di yurisdiksi lain.

Bagai membagi kue ulang tahun tetapi melupakan pisau, putusan ini memisahkan kasus tanpa memberikan solusi untuk mengintegrasikan fakta.

 

Contoh Kekonyolan dalam Kasus

1. Kasus Korupsi Dana Operasional

Fakta kasus:

  • Penyedia jasa sipil bekerja sama dengan pejabat militer untuk mencairkan dana operasional fiktif.
  • Sebagian besar kerugian negara diderita oleh TNI, tetapi keuntungan lebih banyak dinikmati oleh sipil.

Dampak putusan MK:

  • Penyedia jasa sipil diadili di Pengadilan Tipikor, tanpa memperhatikan peran militer.
  • Pejabat militer diadili di peradilan militer, tetapi bukti dari pihak sipil tidak dapat digunakan.

Bagai bermain layang-layang dengan tali yang putus, kasus ini tidak pernah benar-benar terhubung.

 

2. Kasus Pengadaan Alutsista

Fakta kasus:

  • Kontraktor sipil memenangkan proyek pengadaan fasilitas TNI melalui praktik suap dengan pejabat militer.
  • Barang yang disediakan tidak sesuai spesifikasi, sehingga merugikan negara.

Dampak putusan MK:

  • Kontraktor sipil diadili di Pengadilan Tipikor, dengan hakim yang tidak memahami aspek militer.
  • Pejabat militer diadili di peradilan militer, tetapi tanpa integrasi bukti dari pihak sipil.

Bagai mencoba menyatukan gitar dan drum tanpa konduktor, kasus ini hanya menjadi pertunjukan tanpa arah.

 

Dampak Sistemik dari Putusan

1. Kompetensi Hakim yang Dipaksa

Bagai memaksa seorang juru masak menjadi dokter bedah, hakim sipil dipaksa menangani aspek militer yang di luar kompetensinya. Akibatnya:

  • Keputusan tidak mencerminkan keadilan.
  • Proses hukum menjadi sekadar formalitas.

 

2. Dualisme yang Tidak Efektif

Putusan ini memisahkan kasus yang seharusnya diselesaikan secara terintegrasi. Bukti dan fakta yang relevan menjadi tidak berguna karena diproses di yurisdiksi yang berbeda.

Bagai membangun rumah dengan cetak biru yang berbeda, hasil akhirnya tidak pernah sesuai harapan.

 

3. Kehilangan Efek Jera

Dengan tidak adanya integrasi proses hukum, para pelaku korupsi lintas yurisdiksi bisa lolos dari tanggung jawab penuh. Mereka hanya diadili secara parsial di yurisdiksi masing-masing.

Bagai tamu yang datang tanpa undangan, mereka keluar dari pengadilan tanpa benar-benar dihukum.

 

Kesimpulan

Putusan MK terkait Pasal 42 UU KPK benar-benar mencerminkan filosofi "kau yang mulai, kau yang mengakhiri."Kompetensi absolut, yang menjadi pilar sistem hukum, diabaikan begitu saja. Hakim sipil dipaksa mengadili kasus militer, sementara mekanisme koneksitas yang seharusnya menjadi solusi tidak digunakan.

Bagai lirik lagu dangdut yang sederhana tapi penuh ironi, putusan ini memperlihatkan kekonyolan dalam sistem hukum kita. Apakah ini benar-benar penegakan hukum, atau hanya sebuah drama hukum tanpa akhir? Untuk mengembalikan keadilan, hukum Indonesia harus kembali menghormati asas kompetensi absolut. Jika tidak, hukum hanya akan menjadi panggung sandiwara, di mana keadilan hanya menjadi penonton.

*) Kabais TNI 2011-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar