TNI Dirugikan Akibat Putusan MK yang Memperkuat Kewenangan KPK dalam Pasal 42 UU KPK: Analisis Dampak pada Kasus Korupsi yang Melibatkan Sipil dan Militer
Jakarta 30 November 2024
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb *)
Pendahuluan
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperkuat kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menimbulkan implikasi serius dalam sistem hukum Indonesia, khususnya dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan pihak sipil dan militer. Putusan ini memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi jika kasus ditemukan terlebih dahulu oleh KPK, tanpa mempertimbangkan mekanisme peradilan koneksitas. Akibatnya, TNI sering kali menjadi pihak yang dirugikan, karena dualitas peradilan yang dihasilkan oleh putusan tersebut.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami apa itu peradilan koneksitas, bagaimana mekanisme ini bekerja, dan mengapa mekanisme ini gagal diterapkan akibat putusan MK.
Apa Itu Peradilan Koneksitas?
1. Definisi Peradilan Koneksitas
Peradilan koneksitas adalah mekanisme hukum untuk menangani tindak pidana yang melibatkan subjek hukum dari dua yurisdiksi berbeda:
- Peradilan umum, yang menangani warga sipil.
- Peradilan militer, yang menangani anggota TNI aktif.
Mekanisme ini bertujuan untuk:
- Menyelesaikan kasus korupsi secara terintegrasi ketika pelaku tindak pidana berasal dari dua yurisdiksi berbeda.
- Menghindari dualitas peradilan yang dapat menciptakan tumpang tindih atau ketidakadilan dalam penegakan hukum.
- Menjamin keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
2. Dasar Hukum Peradilan Koneksitas
- KUHAP Pasal 89-91:
- Pasal 89: Penyidikan dilakukan oleh penyidik yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.
- Pasal 90: Jaksa Agung menentukan apakah perkara diajukan ke peradilan umum atau peradilan militer.
- Pasal 91: Keputusan Jaksa Agung bersifat final.
- Pasal 35 Ayat (1) huruf g UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan:
- Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengoordinasikan, mengendalikan, dan melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan kasus koneksitas.
- Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor):
- Jaksa Agung bertanggung jawab mengoordinasikan penyidikan dan penuntutan dalam kasus korupsi lintas yurisdiksi.
- Pasal 69 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer:
- Penyidik tindak pidana militer adalah Ankum, Polisi Militer, dan Oditur.
3. Mekanisme Peradilan Koneksitas
Mekanisme ini melibatkan:
- Jaksa Agung sebagai otoritas utama yang menentukan forum pengadilan.
- Penyidikan dan penuntutan terintegrasi, dengan fakta dan bukti yang sama diproses dalam satu yurisdiksi.
- Hakim militer dilibatkan dalam pengadilan umum untuk memastikan bahwa aspek militer dari kasus tersebut ditangani secara proporsional.
Bagaimana Putusan MK Membuat Peradilan Koneksitas Tidak Bisa Terlaksana
1. Pengalihan Kewenangan ke KPK
Putusan MK yang memperkuat Pasal 42 UU KPK memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani kasus korupsi lintas yurisdiksi jika ditemukan terlebih dahulu oleh KPK. Namun, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang menjadi yurisdiksi KPK, merupakan bagian dari peradilan umum yang hanya mengadili orang sipil dan juga hanya melibatkan hakim sipil, sebagaimana diatur dalam UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor.
Dampaknya:
- Hakim militer tidak terlibat, sehingga mekanisme koneksitas yang memerlukan partisipasi hakim militer tidak dapat dijalankan.
- Kasus yang melibatkan sipil dan militer dipecah menjadi dua yurisdiksi:
- Sipil diadili di Pengadilan Tipikor.
- Militer diadili di peradilan militer.
2. Dualitas Peradilan
Putusan MK menciptakan dualitas peradilan yang bertentangan dengan tujuan koneksitas. Akibatnya:
- Tidak ada integrasi fakta dan bukti antara dua pengadilan yang menangani kasus yang sama.
- Pemisahan pertanggungjawaban hukum, di mana tanggung jawab sipil dan militer tidak diproses secara kolektif.
- Kerugian TNI tidak dapat dituntut sepenuhnya, karena pihak sipil diadili secara terpisah.
Contoh Kasus: Peradilan Koneksitas yang Tidak Terlaksana
1. Kasus Pengadaan Alutsista
Fakta kasus:
- Dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista), kontraktor sipil berkolusi dengan pejabat militer untuk memenangkan tender pengadaan melalui penyuapan.
- Barang yang disediakan kontraktor tidak sesuai spesifikasi, sehingga merugikan TNI baik secara operasional maupun finansial.
Akibat dualitas peradilan:
- Kontraktor sipil diadili di Pengadilan Tipikor tanpa melibatkan fakta-fakta yang relevan dengan militer.
- Pejabat militer diadili di peradilan militer dengan fokus pada penerimaan suap, tanpa menilai peran dominan kontraktor sipil.
- TNI tidak dapat menuntut kerugian negara secara terintegrasi, sehingga dampak kasus tidak sepenuhnya terungkap.
2. Kasus Dana Operasional TNI
Fakta kasus:
- Sipil sebagai penyedia jasa mengatur dana operasional fiktif melalui kerja sama dengan pejabat militer. Sebagian besar dana disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
- Sebagian besar kerugian negara diderita oleh TNI, karena dana tersebut tidak tersalurkan untuk kegiatan operasional.
Akibat dualitas peradilan:
- Sipil yang menjadi pelaku utama diadili di Pengadilan Tipikor, sementara militer diadili di peradilan militer.
- Bukti yang seharusnya memperkuat tanggung jawab sipil tidak dapat diintegrasikan karena dualitas pengadilan.
Kerugian Sistemik bagi TNI
- Kehilangan Akses ke Fakta dan Bukti
- Pemisahan peradilan membuat TNI tidak dapat mengakses bukti-bukti di Pengadilan Tipikor yang relevan dengan kasus militer.
- Tidak Ada Penuntutan Kolektif
- TNI tidak dapat menuntut pihak sipil yang sering menjadi aktor utama dalam korupsi yang merugikan TNI.
- Efisiensi Hukum yang Hilang
- Dualitas peradilan memperpanjang proses hukum dan mengurangi efek jera bagi pelaku korupsi lintas yurisdiksi.
Kesimpulan
Putusan MK yang memperkuat kewenangan KPK dalam Pasal 42 UU KPK telah membuat mekanisme peradilan koneksitas tidak dapat terlaksana. Dualitas peradilan yang dihasilkan dari putusan ini sangat merugikan TNI, karena proses hukum menjadi tidak terintegrasi dan kehilangan kemampuan untuk menuntut pihak sipil secara penuh.
Revisi UU KPK dan penguatan peran Jaksa Agung dalam mekanisme koneksitas menjadi langkah mendesak untuk memulihkan keadilan dan memastikan bahwa kasus korupsi lintas yurisdiksi dapat diselesaikan secara adil. Dengan mengembalikan mekanisme koneksitas, sistem peradilan Indonesia dapat kembali menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak, termasuk TNI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar