Indonesia tidak memerlukan Undang-Undang Keamanan Laut: Perspektif Teori Hukum dan Filsafat Hukum
Jakarta 12 November 2024
Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb.*)
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan luas laut 2/3 dari luasnya daratan., telah memiliki berbagai regulasi dan lembaga yang bertanggung jawab dalam menegakkan hukum di perairannya. Pembahasan mengenai perlunya Undang-Undang (UU) khusus tentang keamanan laut sering kali muncul, namun tinjauan mendalam dari sudut pandang teori hukum dan filsafat hukum menunjukkan bahwa UU semacam itu sebenarnya tidak diperlukan. Apalagi semangat pemerintah Indonesia saat ini adalah melakukan penghematan, sehingga mengurangi regulasi dan Lembaga ya tugasnya sudah dilakukan oleh Lembaga yang sudah ada. Artikel ini akan menguraikan argumen-argumen yang mendasari pandangan tersebut.
1. Kerangka Hukum yang Ada Sudah Memadai
Indonesia memiliki kerangka hukum yang mencakup berbagai aspek keamanan laut, termasuk perlindungan, pengawasan, dan penegakan hukum di laut. Beberapa Undang-undang yang sudah ada untuk mewujudkan Keamanan Laut Indonesia antara lain:
- Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang mengatur keselamatan pelayaran.
- Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang mencakup pengelolaan dan perlindungan laut.
- Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menetapkan batas-batas kedaulatan negara di laut.
- Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang mengatur pengelolaan dan pengawasan sumber daya perikanan di perairan Indonesia.
- Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memberikan kerangka hukum bagi perlindungan dan pengelolaan wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil.
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang memberikan kewenangan kepada TNI AL sebagai penyidik di wilayah ZEE untuk menjaga kepentingan nasional dan melindungi sumber daya laut Indonesia.
- Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memberikan kewenangan kepada TNI AL untuk menegakkan kedaulatan di laut dan menjalankan fungsi pertahanan di wilayah laut Indonesia.
- Undang-Undang No. 66 Tahun 2024 yang mengatur bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Hubla, yaitu Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP), memiliki wewenang sebagai penyidik terkait pengawasan dan pelanggaran hukum di bidang pelayaran.
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memberi Polri wewenang dalam melakukan penyidikan dan penegakan hukum pidana di wilayah laut.
- Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang mencakup pengawasan dan penegakan hukum di laut terkait kegiatan kepabeanan.
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia yang mengatur pengelolaan dan yurisdiksi atas landas kontinen, termasuk ketentuan penyidikan yang dilakukan oleh aparat berwenang seperti TNI AL dan PPNS yang ditunjuk sesuai ketentuan yang berlaku.
Selain itu, Undang-undang ini didukung oleh berbagai kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab sesuai bidangnya, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk pengawasan perikanan, TNI AL untuk pertahanan, dan Kementerian Perhubungan untuk aspek pelayaran. Polri dibidang pidana umum. Demikian juga dengan pelanggaran hukum yang tidak terkait dengan pelayaran, kewenangan penegakan hukumnya telah dibagi habis kepada masing-masing kementerian dan lembaga terkait.
2. Filosofi Pembagian Kewenangan: Efisiensi dan Redundansi
Dalam filsafat hukum, prinsip efisiensi dan pencegahan redundansi sangat penting. Konsep ini menekankan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang tidak menciptakan duplikasi fungsi antar lembaga, yang justru dapat menghambat efektivitas penegakan hukum. Indonesia telah membagi habis kewenangan penegakan hukum laut kepada kementerian terkait:
- TNI AL bertanggung jawab atas aspek pertahanan, kedaulatan, dan keamanan strategis, termasuk penegakan hukum di ZEE berdasarkan UU No. 5 Tahun 1983 dan UU No. 34 Tahun 2004.
- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertugas mengawasi dan menegakkan hukum terkait perikanan.
- Polri menjalankan fungsi penyidikan tindak pidana umum di wilayah perairan sesuai dengan KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- KPLP berperan dalam penyidikan pelanggaran yang terkait dengan aspek pidana pelayaran sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan peraturan terkait lainnya.
Dengan adanya pembagian tugas ini, maka adanya Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebagai lembaga terpisah dengan fungsi serupa cenderung mengarah pada tumpang tindih wewenang.
3. Perspektif Teori Hukum: Prinsip Legalitas dan Penegakan Hukum yang Efektif
Teori hukum Hans Kelsen mengenai hirarki norma hukum menunjukkan bahwa suatu norma hukum harus disusun secara hierarkis dan saling melengkapi. Jika fungsi dan peran hukum sudah tertata rapi dalam sistem hukum nasional, pembentukan UU baru yang menciptakan badan atau fungsi tambahan akan mengakibatkan inkonsistensi dalam penegakan hukum.
Jeremy Bentham, dalam teorinya tentang utilitarianisme, menekankan pentingnya hukum yang membawa manfaat terbesar bagi masyarakat. Penambahan UU keamanan laut dan diikuti dengan legitimasi keberadaan Bakamla justru dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan konflik yurisdiksi, yang berpotensi merugikan efektivitas penegakan hukum.
4. Filsafat Hukum: Kepastian Hukum dan Otoritas Negara
Kepastian hukum (legal certainty) adalah prinsip fundamental dalam filsafat hukum yang menekankan bahwa hukum harus jelas dan dapat diandalkan. Kementerian dan lembaga yang sudah ada memiliki kewenangan jelas sesuai dengan bidang masing-masing. Keberadaan Bakamla dapat mengaburkan garis otoritas yang seharusnya tegas.
John Austin, dalam teorinya tentang perintah hukum (command theory), menyatakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa yang memiliki otoritas. Dengan adanya lembaga-lembaga yang sudah memiliki otoritas spesifik seperti TNI AL, KKP, Polri, dan KPLP, penambahan Bakamla berpotensi melemahkan perintah hukum yang seharusnya tunggal dan terstruktur.
5. Keamanan sebagai Outcome yang Tidak Dapat Diatur
Salah satu alasan mendasar mengapa UU keamanan laut tidak diperlukan adalah karena keamanan itu sendiri bukanlah suatu tindakan yang dapat diatur secara langsung melalui undang-undang, melainkan merupakan hasil (outcome) dari serangkaian upaya penegakan hukum, pengawasan, dan koordinasi. Keamanan merupakan hasil akhir dari implementasi yang efektif dari peraturan yang ada, bukan produk yang dapat dihasilkan hanya dengan membuat UU baru. Oleh karena itu, fokus seharusnya pada peningkatan kerja sama dan efektivitas penegakan hukum oleh lembaga-lembaga yang sudah ada, bukan pada pembuatan undang-undang baru yang berpotensi menciptakan tumpang tindih.
6. Dampak Potensial UU Keamanan Laut terhadap Peran Penyidik dilaut.
Landasan hukum yang ada, seperti KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sudah memberikan kewenangan kepada Polri sebagai penegak hukum umum, termasuk di wilayah perairan, dalam tindak kriminal. Di sisi lain, UU No. 66 Tahun 2024 tentang Revisi ke tiga UU No. 17 Thaun 2008 tentang Pelayaran telah menetapkan KPLP sebagai penyidik yang fokus pada pelanggaran pidana pelayaran. Sementara UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI memberikan kewenangan kepada TNI AL untuk menegakkan hukum dan kedaulatan di wilayah laut yang lebih luas. Mengubah kerangka ini dengan UU baru yang mengatur peran tambahan dapat mengakibatkan inkonsistensi dalam penegakan hukum dan mengaburkan garis otoritas.
7. Implikasi Pembentukan UU Keamanan Laut terhadap Bakamla
Karena UU Keamanan Laut sebenarnya tidak diperlukan, keberadaan Bakamla sebagai lembaga terpisah juga menjadi tidak relevan. Tugas dan fungsi Bakamla, yang mencakup pengawasan dan penegakan hukum di laut, pada kenyataannya sudah diemban oleh lembaga-lembaga seperti Polri dan KPLP yang memiliki landasan hukum dan wewenang yang jelas.
Kesimpulan
UU Keamanan Laut tidak diperlukan karena berpotensi menimbulkan tumpang tindih dengan tugas Polisi Perairan yang selama ini telah menjalankan fungsi keamanan dan penyidikan di laut. Keberadaan Bakamla juga tidak lagi relevan karena semua aspek keamanan laut telah terbagi habis pada lembaga-lembaga terkait sesuai bidang dan wewenangnya masing-masing, termasuk kewenangan TNI AL dalam penegakan hukum dan kedaulatan berdasarkan UU ZEE dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, serta KPLP sebagai pengawas dan penegakan peraturan perundangan dibisang Pelayaran berdasarkan UU No. 66 tahun 2024 tentang Revisi ke tiga UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
*) Kabais TNI 2011-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar