29 November 2024

Putusan MK tentang Koneksitas Membenturkan KPK dengan Polisi Militer dan Kejaksaan

Putusan MK tentang Koneksitas Membenturkan KPK dengan Polisi Militer dan Kejaksaan

 

Jakarta 29 November 2024

Oleh  Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb *)

 

Pendahuluan

Pada tanggal 29 November 2024 Mahkama Konstitusi telah membuat Keputusan fenomenal yang mengakibatkan terjadinya benturan kewenangan antara Komisi Pemberantasn Korupsi dengan Kejaksaan dan Polisi Militer (TNI). 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dapat digunakan untuk menangani tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi, termasuk yang melibatkan anggota militer jika kasus ditemukan terlebih dahulu oleh KPK, telah memunculkan persoalan besar dalam penegakan hukum. Putusan ini menciptakan konflik serius antara KPKPolisi Militer, dan Kejaksaan, serta melanggar prinsip kompetensi absolut yang dijamin dalam Pasal 24 UUD 1945.

Putusan ini tidak mempertimbangkan keberadaan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer)UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yang semuanya telah secara rinci mengatur pembagian kewenangan dan yurisdiksi, khususnya dalam mekanisme koneksitas

 

1. Kewenangan Penyidik dalam UU Peradilan Militer

Pasal 69 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menyebutkan bahwa penyidik tindak pidana anggota militer adalah:

  1. Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum),
  2. Polisi Militer, dan
  3. Oditur.

Makna Pasal 69 UU Peradilan Militer

  1. Penyidik internal militer memiliki kewenangan eksklusif untuk menyelidiki tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer, termasuk tindak pidana korupsi.
  2. Penyidikan ini menjadi dasar untuk mempertahankan prinsip kompetensi absolut, yaitu bahwa anggota militer hanya dapat diproses di peradilan militer.

Ketentuan ini sejalan dengan:

  • Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa peradilan di Indonesia terbagi atas peradilan umum, militer, agama, dan tata usaha negara.
  • Pasal 9 UU Peradilan Militer, yang menyatakan bahwa tindak pidana oleh anggota militer tunduk pada peradilan militer.

Namun, putusan MK yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk menyidik tindak pidana anggota militer melanggar ketentuan ini dan mengesampingkan mekanisme yang telah diatur dalam hukum.

 

2. Peran Jaksa Agung dalam Koneksitas: UU Tipikor dan UU Kejaksaan

Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor

UU Tipikor memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menangani kasus koneksitas melalui mekanisme koordinasi dan pengendalian. Isi Pasal 39 menyebutkan:

"Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer."

Makna Pasal 39 UU Tipikor

  1. Jaksa Agung menjadi otoritas utama dalam menentukan bagaimana kasus yang melibatkan yurisdiksi peradilan umum (sipil) dan peradilan militer ditangani.
  2. Mekanisme ini memastikan bahwa proses hukum menghormati prinsip kompetensi absolut, tanpa melanggar yurisdiksi masing-masing peradilan.

 

Pasal 8 Ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

UU Kejaksaan secara eksplisit menyatakan bahwa Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk menangani kasus tindak pidana lintas yurisdiksi melalui mekanisme koneksitas. Pasal ini berbunyi:

"Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengoordinasikan dan mengendalikan penyidikan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer."

Makna Pasal 8 Ayat (2) UU Kejaksaan

  1. Kewenangan Jaksa Agung dalam kasus koneksitas memastikan bahwa proses hukum lintas yurisdiksi berjalan secara terkoordinasi dan tidak melanggar kompetensi absolut.
  2. Pasal ini memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk mengatur mekanisme kerja sama antara Polisi Militer, Kejaksaan, dan peradilan umum.

Namun, hakim MK dalam putusannya tidak mempertimbangkan peran penting Jaksa Agung sebagaimana diatur dalam UU Kejaksaan, sehingga mekanisme koneksitas yang telah diatur secara jelas menjadi terabaikan.

 

3. Pasal 42 UU KPK: Tumpang Tindih Kewenangan

UU KPK memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani kasus korupsi lintas yurisdiksi melalui Pasal 42, yang berbunyi:

"Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum."

Pasal 42 UU KPK memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi. Namun, pasal ini tidak memiliki mekanisme yang jelas untuk menyelesaikan konflik yurisdiksi antara peradilan umum dan peradilan militer. Akibatnya:

  1. KPK cenderung mengabaikan peran Jaksa Agung, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU Tipikor dan Pasal 8 UU Kejaksaan.
  2. Tidak ada jaminan bahwa prinsip kompetensi absolut peradilan militer akan dihormati.

 

4. Hakim MK Tidak Mempertimbangkan UU yang Relevan

Putusan MK ini menunjukkan bahwa hakim MK tidak mempertimbangkan secara memadai keberadaan UU yang relevan, yaitu:

  1. UU Peradilan Militer
    Hakim MK mengabaikan Pasal 69 UU Peradilan Militer, yang memberikan kewenangan penyidikan kepada Ankum, Polisi Militer, dan Oditur untuk kasus anggota militer.
  2. UU Tipikor
    Pasal 39 UU Tipikor memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk mengoordinasikan penyidikan tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi. Mekanisme ini diabaikan oleh putusan MK.
  3. UU Kejaksaan
    Pasal 8 Ayat (2) UU Kejaksaan menegaskan peran Jaksa Agung sebagai pengendali utama dalam penyelesaian konflik yurisdiksi. Hakim MK tidak mempertimbangkan peran sentral ini dalam mekanisme koneksitas.
  4. UUD 1945
    Hakim MK tidak memperhatikan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan pembagian yurisdiksi peradilan berdasarkan subjek hukum. Dengan memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani kasus anggota militer, putusan ini melanggar prinsip kompetensi absolut yang dijamin konstitusi.

 

5. Solusi untuk Menghindari Konflik

  1. Revisi UU KPK
    Pasal 42 UU KPK harus diselaraskan dengan Pasal 69 UU Peradilan Militer, Pasal 39 UU Tipikor, dan Pasal 8 UU Kejaksaan untuk menjaga mekanisme koneksitas yang jelas dan menghormati kompetensi absolut.
  2. Penguatan Mekanisme Koneksitas
    Peraturan pelaksana yang mempertegas peran KPK, Polisi Militer, dan Kejaksaan dalam kasus lintas yurisdiksi harus segera diterbitkan untuk mencegah konflik kelembagaan.
  3. Penegakan Kompetensi Absolut
    Regulasi tambahan harus memastikan bahwa kasus anggota militer tetap diproses di peradilan militer, kecuali ada keputusan koneksitas yang sah.

Kesimpulan

Putusan MK terkait Pasal 42 UU KPK membenturkan KPK dengan Polisi Militer dan Kejaksaan karena tidak mempertimbangkan UU Peradilan MiliterUU TipikorUU Kejaksaan, dan UUD 1945 yang mengatur prinsip kompetensi absolut. Konflik yurisdiksi yang terjadi akibat putusan ini menciptakan ketidakpastian hukum dan melemahkan integritas sistem peradilan.

Revisi UU KPK dan penegasan mekanisme koneksitas menjadi langkah mendesak untuk menjaga efisiensi, keadilan, dan konsistensi dalam penegakan hukum, terutama dalam tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi.

*)Kabais TNI 2011-2013

 

2 komentar:

  1. Luar Biasa analisis yg sangat mendalam

    BalasHapus
  2. Terimakasih Pak, analisa nya,, itu sebabnya orang hukum KPK perlu belajar lagi

    BalasHapus