16 Juli 2025

"Wasit Tidak Boleh Dipilih oleh Pemain: Meninjau Ulang Cara Pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi"

 "Wasit Tidak Boleh Dipilih oleh Pemain: Meninjau Ulang Cara Pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi"

Jakarta 16 Juli 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) memegang peran fundamental sebagai penjaga konstitusi (guardian of the constitution). Ia berfungsi mengadili sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus perselisihan hasil pemilu, membubarkan partai politik, dan—yang paling penting—mengadili undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan peran tersebut, MK sejatinya menjadi wasit konstitusi, terutama dalam "pertandingan" antara DPR dan Presiden sebagai dua aktor utama dalam proses legislasi. Dalam kerangka ini, kehadiran hakim-hakim MK yang independen adalah mutlak. Namun, kenyataan hari ini berbicara sebaliknya.

Tiga Lembaga Pengusul: Sebuah Anomali Konstitusional

Pasal 24C UUD 1945 menyebut bahwa jumlah hakim MK adalah sembilan orang yang ditetapkan oleh Presiden, masing-masing tiga diusulkan oleh:

  • Mahkamah Agung (MA),
  • Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
  • dan Presiden sendiri.

Model ini sering dibanggakan sebagai bentuk “keseimbangan kekuasaan”. Namun bila dicermati lebih dalam, ini justru menciptakan kontradiksi internal dalam sistem ketatanegaraan. Bagaimana mungkin MK bisa menjadi wasit yang adil jika tiga di antara sembilan hakimnya ditunjuk oleh Presiden, dan tiga lainnya oleh DPR—dua pihak yang produknya (undang-undang) akan diadili oleh MK itu sendiri?

Dalam logika sederhana: tidak mungkin pertandingan berjalan adil bila wasitnya dipilih oleh pemain.

Independensi Hakim: Syarat Mutlak Negara Hukum

Prinsip negara hukum (rechtstaat) menghendaki adanya pemisahan kekuasaan (trias politica) yang jelas antara:

  • eksekutif (Presiden),
  • legislatif (DPR),
  • dan yudikatif (MA dan MK).

MK adalah bagian dari kekuasaan yudikatif. Karena itu, pengangkatan hakim MK seharusnya menjadi urusan cabang yudikatif sendiri, bukan campur tangan lembaga eksekutif atau legislatif. Ketika eksekutif dan legislatif bisa menunjuk hakim, maka batas antara kekuasaan mulai kabur, dan MK berpotensi kehilangan legitimasinya di mata publik.

Lebih parah lagi, keputusan MK dalam perkara-perkara strategis bisa selalu dicurigai sebagai “titipan” kepentingan dari pihak-pihak yang mengusulkan hakimnya.

Preseden Buruk dalam Sejarah MK.

Kita tidak kekurangan contoh:

  • Dalam beberapa perkara sengketa hasil Pilpres dan pengujian undang-undang strategis, muncul opini publik yang menyangsikan independensi putusan MK.
  • Bahkan muncul istilah “hakim titipan” — sebuah indikasi bahwa kepercayaan publik terhadap netralitas lembaga ini mulai menipis.

Dan itu terjadi karena satu sebab sederhana: MK telah dijadikan arena politik oleh sistem pengangkatan hakimnya sendiri.

Reformasi yang Mendesak: Kembalikan MK ke Jalurnya.

Oleh karena itu, reformasi pengangkatan hakim MK adalah hal mendesak, dengan beberapa opsi:

  1. Seluruh hakim MK dipilih oleh lembaga yudikatif, misalnya Mahkamah Agung atau melalui Komisi Yudisial.
  2. Mekanisme seleksi terbuka dan independen, yang melibatkan akademisi, masyarakat sipil, dan profesi hukum.
  3. DPR dan Presiden cukup menyetujui hasil seleksi, tanpa mengusulkan langsung nama-nama calon.

Dengan begitu, MK bisa benar-benar menjadi “mahkamah para negarawan” dan bukan “mahkamah kepanjangan kekuasaan”.

Penutup.

Negara ini membutuhkan Mahkamah Konstitusi yang bersih, netral, dan berwibawa. Dan itu hanya bisa dicapai jika kita meyakini satu prinsip: wasit tidak boleh dipilih oleh pemain. Jika kita terus membiarkan sistem ini berjalan, maka konstitusi akan terus dipertaruhkan oleh kepentingan politik jangka pendek.

Sudah saatnya kita memisahkan hakim dari politikus, agar hukum bisa kembali menjadi panglima dalam kehidupan bernegara.

Namun yang lebih mengkhawatirkan dari semua ini bukanlah sekadar cacat etik atau runtuhnya legitimasi Mahkamah Konstitusi. Yang sedang kita hadapi adalah ancaman nyata terhadap keberlangsungan Indonesia sebagai negara hukum dan negara demokrasi.

Mengapa?

Karena keadilan adalah pilar utama bangsa ini berdiri. Negara dibentuk bukan untuk melayani kekuasaan, melainkan untuk menegakkan keadilan. Dan keadilan tidak akan pernah tercapai bila wasitnya berpihak, bila Mahkamah Konstitusi — sebagai penjaga terakhir konstitusi — justru terkooptasi oleh kekuasaan politik yang seharusnya ia awasi.

Kita harus sadar, bahwa sejarah kejatuhan negara-negara besar di dunia tidak selalu dimulai dari kekalahan perang atau krisis ekonomi. Banyak yang runtuh karena rakyat kehilangan kepercayaan kepada lembaga hukumnya. Ketika rakyat melihat bahwa hukum hanya alat bagi penguasa untuk melegitimasi kehendaknya, maka pelan tapi pasti, konstitusi berubah menjadi kertas kosong, dan keadilan tinggal slogan.

Jika Mahkamah Konstitusi — benteng terakhir hukum — dapat direkayasa, maka runtuhlah benteng bangsa ini dari dalam. Yang akan tersisa hanyalah formalitas demokrasi tanpa makna. Pemilu akan tetap digelar, undang-undang akan tetap disahkan, tetapi semuanya kehilangan substansi karena tidak lagi diawasi oleh wasit yang netral.

Inilah peringatan keras bagi kita semua:

Indonesia bisa runtuh bukan karena serangan dari luar, tetapi karena keadilan di dalamnya dihancurkan oleh kompromi dan konflik kepentingan.

Maka, jika kita ingin Indonesia tetap tegak — sebagai negara hukum, negara demokrasi, dan negara yang bermartabat — kita harus mulai dari memperbaiki sistem pengangkatan hakim Mahkamah Konstitusi.

Karena selama wasit masih dipilih oleh pemain, konstitusi akan terus dimainkan — bukan ditegakkan.

*)Kabais TNI 2011-2013

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar