15 Juli 2025

Insiden Cidahu dan Ujian Toleransi Kita: Ketika Simbol Agama Dilecehkan, Persatuan Bangsa Terluka

Insiden Cidahu dan Ujian Toleransi Kita: Ketika Simbol Agama Dilecehkan, Persatuan Bangsa Terluka

Jakarta 15 Juli 2025
Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*) 

Peristiwa perusakan simbol salib di pemakaman warga Kristen di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, menjadi cermin retaknya toleransi di tingkat akar rumput. Sejumlah warga, yang diduga intoleran terhadap kehadiran simbol keagamaan di lingkungan mereka, memaksa pihak keluarga jenazah untuk menurunkan salib dari makam yang telah dipasang. Ironisnya, tekanan ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, tapi dibiarkan—bahkan difasilitasi secara pasif—oleh aparat desa dan pihak keamanan lokal.

Sikap Polisi dan Pejabat Desa: Gagal Hadir Melindungi Minoritas

Video yang viral di media sosial menunjukkan aparatur desa dan anggota kepolisian berada di lokasi, menyaksikan penurunan salib tanpa mengambil tindakan tegas untuk mencegahnya. Bahkan, berdasarkan kesaksian keluarga jenazah, pejabat desa justru menyarankan agar simbol salib tersebut tidak dipasang demi "menghindari kegaduhan".

Ini adalah bentuk pembiaran yang berbahaya. Alih-alih melindungi hak warga negara untuk menjalankan kepercayaan dan keyakinannya sebagaimana dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945, para aparat justru tunduk pada tekanan mayoritas. Sikap seperti ini menciptakan preseden buruk: bahwa minoritas tidak mendapat perlindungan yang adil dari negara.

Sementara itu, pihak kepolisian, dalam pernyataan resminya, menyatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi "karena miskomunikasi" dan bahwa proses mediasi telah dilakukan. Namun narasi semacam ini justru melemahkan keadilan. Karena dalam konteks hukum dan intelijen, perusakan atau pemaksaan penghilangan simbol agama bukan sekadar miskomunikasi, melainkan indikasi ideologi intoleran yang hidup di tengah masyarakat.

Dampak Intelijen: Indikasi Radikalisasi Lokal

Dari perspektif intelijen, kasus ini menunjukkan adanya infiltrasi ideologi eksklusif di lingkungan lokal. Ketika masyarakat secara bersama-sama menolak simbol agama tertentu, dan pejabat setempat tidak membela konstitusi, maka kita menghadapi lingkungan yang mulai terkonsolidasi dalam intoleransi.

Gejala semacam ini dapat menjadi pintu masuk radikalisasi lebih lanjut—baik berbasis agama maupun politik identitas. Jika tidak ditangani sejak dini, akan muncul "wilayah steril toleransi", yaitu wilayah-wilayah di mana kelompok minoritas harus menyesuaikan diri atau menyingkir.

Kondisi ini bukan hanya berbahaya bagi keamanan lokal, tetapi juga mengancam integrasi nasional. Persatuan Indonesia sangat bergantung pada kepercayaan bahwa negara melindungi semua golongan. Ketika perlindungan itu tidak hadir di daerah, maka negara akan kehilangan kepercayaan rakyatnya.

Solusi Hukum dan Kebijakan

Untuk mencegah peristiwa serupa terulang, diperlukan beberapa langkah konkret:

  1. Proses Hukum Tegas
    Kepolisian harus menindak tegas para pelaku intimidasi dan perusakan simbol agama berdasarkan Pasal 156a KUHP, serta pasal-pasal lain yang relevan dalam UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
  2. Evaluasi Aparatur Desa dan Kepolisian Lokal
    Pejabat yang tidak menjalankan fungsinya dalam melindungi warga harus diperiksa dan dibina ulang, bahkan bila perlu diberi sanksi administratif.
  3. Penguatan Intelijen Komunitas (Community Intelligence)
    Aparat intelijen daerah perlu membangun pemetaan ideologi intoleran berbasis RT/RW untuk mencegah berkembangnya sel eksklusivisme.
  4. Pendidikan Multikultural di Daerah
    Pemerintah daerah dan pusat harus bersama-sama mengarusutamakan pendidikan toleransi di lingkungan sekolah, pesantren, dan forum masyarakat.


Penutup: Toleransi adalah Pilar Persatuan

Indonesia tidak akan runtuh karena perbedaan. Justru bangsa ini lahir dari keberanian untuk menerima perbedaan dan menjadikannya kekuatan. Kasus Cidahu harus menjadi cambuk bagi kita semua, bahwa persatuan tidak bisa dijaga hanya dengan pidato dan upacara—tapi dengan tindakan nyata melindungi setiap warga, apapun agamanya.

Negara tidak boleh kalah oleh tekanan massa. Jika simbol keagamaan pun tak bisa dilindungi, maka yang berikutnya bisa jadi adalah hak hidup, hak beribadah, bahkan hak untuk menjadi warga negara.

*)Kabais TNI 2011-2013

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar