14 Juli 2025

“Kontroversi Pencalonan dan Peluang Pemakzulan Wakil Presiden: Telaah Konstitusional atas Kasus Gibran”

 “Kontroversi Pencalonan dan Peluang Pemakzulan Wakil Presiden: Telaah Konstitusional atas Kasus Gibran”

Jakarta 14 Juli 2025
Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB

Pendahuluan

Perbincangan publik terkait kemungkinan pemakzulan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat, menyusul kontroversi proses pencalonannya yang diputuskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023. Masyarakat mempertanyakan: apakah fakta bahwa pencalonan itu lahir dari putusan yang dibayangi pelanggaran etik berat dapat menjadi dasar pemakzulan?

Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi konstitusi, maka setiap wacana dan tindakan politik harus selalu diletakkan dalam koridor hukum, bukan semata persepsi politik.

Kedudukan Pemakzulan dalam UUD 1945

Pemakzulan Wakil Presiden hanya dapat dilakukan dengan dasar yang sangat terbatas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7A UUD 1945, yaitu apabila yang bersangkutan:

  1. Melakukan pengkhianatan terhadap negara;
  2. Melakukan korupsi, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya;
  3. Melakukan perbuatan tercela; atau
  4. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden.

Proses pemakzulan ini pun tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh Presiden atau lembaga manapun, melainkan harus melalui mekanisme yang ketat dalam Pasal 7B UUD 1945:

  • DPR mengusulkan pemakzulan;
  • Mahkamah Konstitusi memeriksa dan memutus kebenaran tuduhan;
  • MPR memutus pemberhentian dalam sidang paripurna.

Apakah Kontroversi Pencalonan Dapat Menjadi Dasar Pemakzulan?

Secara normatif, Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 adalah final dan mengikat (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945). Meskipun Ketua MK saat itu (Anwar Usman) dinyatakan melanggar etik berat oleh Majelis Kehormatan MK karena konflik kepentingan (Anwar adalah paman Gibran), substansi putusan tetap berlaku dan digunakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengesahkan pencalonan Gibran.

Dengan demikian, secara hukum positiftidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Gibran dalam menerima pencalonannya. Gibran tidak terbukti melakukan pengkhianatan, korupsi, penyuapan, maupun kejahatan berat lainnya. Maka, syarat formil untuk pemakzulan berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 belum terpenuhi.

Namun, Apakah Masih Mungkin Jika Ada Bukti Baru?

Ya, masih mungkin apabila di kemudian hari ditemukan:

  • Bukti bahwa Gibran secara aktif dan sadar terlibat dalam rekayasa hukum, termasuk intervensi terhadap putusan MK;
  • Bukti bahwa ia menggunakan kekuasaan atau fasilitas negara secara melawan hukum untuk mendapatkan pencalonan;
  • Atau jika ditemukan fakta pelanggaran hukum lainnya setelah menjabat.

Dalam hal tersebut, proses pemakzulan bisa diajukan melalui DPR dan harus diuji kebenarannya oleh Mahkamah Konstitusi. Artinya, pemakzulan tetap dapat dilakukan, tetapi harus berbasis pada bukti hukum yang sah, bukan hanya persepsi atau opini politik.

Penutup: Jalan Hukum adalah Jalan Konstitusi

Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka harus diletakkan dalam kerangka hukum yang objektif. Etika publik penting, tetapi tidak otomatis membatalkan hak konstitusional, kecuali ada bukti pelanggaran hukum yang nyata.

Sebagai negara hukum, kita tidak boleh tergoda untuk menggunakan jalur politisasi hukum (political impeachment)yang justru bisa membahayakan legitimasi konstitusional kita sendiri. Jika ada kecurigaan yang kuat, mekanisme hukum harus dijalankan dengan elegan melalui DPR, MK, dan MPR, sebagaimana ditentukan UUD 1945.

Dalam negara hukum yang demokratis, jalan untuk mempertanyakan atau bahkan memberhentikan seorang pejabat tinggi negara bukanlah jalan pintas politik, tetapi harus ditempuh melalui mekanisme konstitusional yang jujur, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kontroversi atas pencalonan Gibran bukanlah alasan cukup untuk memakzulkannya, kecuali dibuktikan telah terjadi pelanggaran hukum yang nyata dan berat.

Sebaliknya, membiarkan proses hukum diabaikan demi kepentingan kekuasaan juga adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi itu sendiri. Maka, menjaga integritas institusi, memperkuat budaya hukum, dan menegakkan etika dalam politik adalah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa demokrasi tidak sekadar menjadi prosedur, tetapi juga menjadi nilai yang hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan, tetapi kekuasaanlah yang harus tunduk kepada hukum.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar