Pasal 2 KUHP Baru dan Ancaman Disintegrasi: Ketika Hukum Adat Menjadi Jalan Menuju Keruntuhan Negara
Jakarta 18 Juli 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*).
Pendahuluan
Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) memberikan pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), yang secara eksplisit disebut sebagai hukum adat yang dapat dijadikan dasar pemidanaan. Namun, dalam penjelasannya, terdapat pembatasan bahwa hukum adat tersebut harus lebih dahulu diformalisasi dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
Ketegangan antara isi pasal dan penjelasan ini tidak hanya menjadi perdebatan akademik, melainkan berpotensi menimbulkan gejolak sosial yang sangat serius, sebagaimana tercermin dalam Kasus Cidahu di Sukabumi, Jawa Barat. Peristiwa ini menunjukkan bahwa ketika hukum adat yang tidak tertulis dihidupkan tanpa batas dan pengawasan yang memadai, maka negara berisiko membiarkan terbentuknya sistem hukum yang paralel, bahkan bertentangan dengan prinsip konstitusional, terutama dalam hal kebebasan beragama dan hak asasi manusia.
Analisis Pasal dan Penjelasan.
Secara tekstual, Pasal 2 KUHP Baru memberikan kekuatan hukum terhadap norma yang hidup dalam masyarakat, sepanjang sesuai Pancasila dan UUD 1945. Tetapi penjelasannya mensyaratkan bahwa norma tersebut hanya dapat digunakan sebagai dasar pidana jika ditetapkan melalui Perda.
Di sinilah letak kontradiksinya: hukum adat bersifat tidak tertulis dan tumbuh dalam praktik sosial, namun untuk bisa diakui secara pidana, negara memaksakan agar ia menjadi tertulis. Pertanyaannya: apakah ketika sudah ditetapkan dalam Perda, ia masih disebut “living law”?
Pasal Lebih Tinggi daripada Penjelasan: Kritik terhadap Pasal 2 UU No. 1 Tahun 2023.
1. Paradoks antara "tidak tertulis" dan "Perda"
- Pasal 2 menyatakan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat, yang secara kodrati adalah hukum tidak tertulis, dapat dijadikan dasar pemidanaan.
- Namun penjelasan mewajibkan legalisasi living law ke dalam bentuk Peraturan Daerah, sehingga mengubah sifat hukum tidak tertulis menjadi tertulis.
Dengan kata lain, penjelasan ini menghapus keaslian hukum adat sebagai norma tidak tertulis, karena hanya bisa berlaku jika sudah dibakukan dalam bentuk Perda.
2. Konsekuensi Normatif
- Penjelasan ini membatasi fleksibilitas hakim dalam menemukan dan menerapkan hukum yang hidup dalam masyarakat secara langsung berdasarkan fakta sosial.
- Hal ini bertentangan dengan semangat living law, di mana hakim seharusnya bisa menemukan norma lokal yang hidup di masyarakat tanpa perlu menunggu adanya Perda.
3. Konsekuensi Praktis
- Banyak masyarakat adat tidak memiliki Perda yang mengatur hukum adatnya, sehingga dalam praktiknya, pasal ini menutup kemungkinan penerapan hukum adat dalam pidana, kecuali daerah sudah menerbitkan Perda.
- Ini berpotensi marginalisasi hukum adat dan membatasi keberagaman sistem hukum lokal dalam kerangka negara kesatuan.
4. Dari Perspektif Hukum Tata Negara
- Ketentuan dalam penjelasan Pasal 2 dapat dipandang berlebihan dan tidak sejalan dengan asas supremasi konstitusi, karena hukum adat telah diakui dalam UUD 1945 (Pasal 18B ayat (2)) meskipun tidak harus dalam bentuk Perda.
Akibat yang terjadi.:
- Penjelasan Pasal 2 UU No. 1/2023 bertentangan secara semantik dengan isi pasalnya sendiri. Pasal mengakui hukum tidak tertulis, tetapi penjelasan mensyaratkan hukum tersebut dibakukan terlebih dahulu menjadi Perda.
- Ini adalah bentuk restriksi formalistik terhadap nilai hukum yang bersifat substantif dan hidup di tengah masyarakat.
- Jika demikian, hukum adat tidak lagi hidup (living), melainkan hanya akan dianggap berlaku jika dibekukan secara administratif.
Kasus Cidahu sebagai Cermin Bahaya Pelaksanaan Hukum Adat
Peristiwa di Cidahu melibatkan kelompok masyarakat yang menjalankan keyakinan lokal yang dianggap menyimpang oleh masyarakat umum, bahkan dianggap menodai agama tertentu. Dalam perspektif hukum pidana positif, tindakan mereka bisa diproses melalui pasal-pasal penodaan agama. Namun dalam kerangka Pasal 2 KUHP Baru, jika norma lokal mereka dianggap sebagai hukum yang hidup, maka justru akan membuka ruang pembenaran terhadap tindakan menyimpang tersebut atas dasar "adat".
Lebih berbahaya lagi, kasus seperti ini bukan tidak mungkin terulang di Aceh, Sumatera Barat, Papua, atau daerah lain yang memiliki karakter hukum adat yang kuat, apalagi bila dikaitkan dengan fanatisme agama atau etnis.
Dalam situasi tersebut, ada potensi:
- Adanya retaliasi antar kelompok dengan dalih membela norma adatnya.
- Tindakan main hakim sendiri dengan mengklaim legitimasi adat.
- Pemidanaan terhadap orang luar komunitas, yang dianggap melanggar hukum lokal, meskipun sebenarnya tidak ada dasar hukum nasional untuk itu.
Pasal 2 KUHP Baru: Ancaman bagi Keutuhan Negara
Ketika negara memberi ruang bagi hukum adat untuk hidup tanpa kendali pusat dan tanpa batasan yang tegas, maka terjadi fragmentasi hukum dalam satu negara kesatuan. Artinya, setiap daerah bisa memiliki sistem pemidanaan sendiri, sesuai dengan adatnya. Jika itu terjadi, maka:
- Prinsip kesatuan sistem hukum pidana nasional akan runtuh.
- Kepastian hukum hilang, karena satu tindakan bisa dipidana di satu daerah, tetapi bebas di daerah lain.
- Wibawa negara nasional tergantikan oleh kewenangan adat lokal.
Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menghancurkan integrasi nasional. Bila norma adat digunakan untuk mengadili penyimpangan agama, bahkan mengancam minoritas dengan legitimasi adat, maka negara akan kehilangan kendali atas perlindungan hak-hak dasar warga negara.
Kesimpulan: Negara dalam Ancaman Pasal 2
Pasal 2 UU No. 1 Tahun 2023, jika ditafsirkan tanpa batas dan tetap memperlakukan hukum adat yang tidak tertulis sebagai dasar pemidanaan, menjadi bom waktu bagi Indonesia. Kasus Cidahu adalah peringatan awal, yang membuktikan bahwa penerapan hukum adat tanpa mekanisme pengendalian negara bisa sangat berbahaya, apalagi jika menyangkut kehidupan beragama dan isu-isu sensitif lainnya.
Rekomendasi:
- Harus ada tafsir konstitusional terhadap Pasal 2 yang mempertegas bahwa hukum adat hanya bisa dijadikan dasar pemidanaan jika benar-benar dikaji, dibatasi, dan ditetapkan negara melalui undang-undang, bukan hanya Perda.
- Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung perlu membuat norma tafsir, bahwa pasal lebih tinggi daripada penjelasannya, dan bahwa tidak semua hukum adat dapat menjadi dasar pemidanaan.
- Revisi Pasal 2 harus dipertimbangkan oleh DPR, untuk memasukkan klausul pengawasan oleh Mahkamah Agung atau lembaga nasional agar tidak menjadi alat kekuasaan lokal yang bisa menghancurkan kerukunan nasional.
*)KABAIS TNI 2011-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar