19 Juli 2025

Kritik terhadap Pasal 2 UU 1/2023 tentang KUHP: Ancaman terhadap Kepastian Hukum dan Konstitusionalitas Pemidanaan

Kritik terhadap Pasal 2 UU 1/2023 tentang KUHP: Ancaman terhadap Kepastian Hukum dan Konstitusionalitas Pemidanaan

Jakarta, 19 Juli 2025
Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
KABAIS TNI 2011-2013

I. Pendahuluan

Sebentar lagi, Indonesia akan resmi memberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan tonggak sejarah dalam reformasi hukum nasional. Disusun selama lebih dari setengah abad, KUHP baru ini menggantikan Wetboek van Strafrecht peninggalan kolonial Belanda dan menjadi cermin semangat bangsa untuk mewujudkan sistem hukum yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, kebhinekaan, dan kedaulatan hukum nasional.

Kita semua, sebagai bangsa, layak menyambutnya dengan harapan dan optimisme. Namun, pada saat yang sama, kita juga dilanda kekhawatiran yang tidak bisa diabaikan. Sebab, di tengah upaya kodifikasi besar ini, terdapat beberapa ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 2023 yang justru berpotensi melemahkan prinsip negara hukum yang demokratis, merusak kepastian hukum, dan membuka ruang pelanggaran hak asasi manusia.

Salah satu pasal yang menimbulkan kegelisahan itu adalah Pasal 2, yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipidana berdasarkan “hukum yang hidup dalam masyarakat” meskipun perbuatannya tidak diatur dalam undang-undang. Ketentuan ini, bila tidak direvisi atau ditafsirkan secara ketat, bukan saja bertentangan dengan asas legalitas yang menjadi fondasi hukum pidana modern, tetapi juga berisiko digunakan untuk membenarkan intoleransi, diskriminasi, dan penyimpangan atas nama hukum adat.

Ketentuan ini tidak hanya problematik secara yuridis, tetapi juga membahayakan prinsip kepastian hukum, keadilan konstitusional, dan persatuan nasional bila terus dipertahankan.

II. Rumusan Pasal yang Dipersoalkan

Pasal 2 ayat (1):

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini. 

III. Penjelasan Pasal 2:

Ayat (1):

Yang dimaksud dengan "hukum yang hidup dalam masyarakat" adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Pasal ini berkaitan dengan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, Peraturan Daerah mengatur mengenai Tindak Pidana adat tersebut.

Ayat (2):

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "berlaku dalam tempat hukum itu hidup" adalah berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana adat di daerah tersebut. Ayat ini mengandung pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat yang keberlakuannya diakui oleh Undang-Undang ini.

Ayat (3):

Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Peraturan Daerah.

IV. Argumentasi Penolakan

1. Bertentangan dengan Asas Legalitas (Pasal 1 ayat (1))

Asas legalitas adalah prinsip dasar dalam hukum pidana:
nullum crimen, nulla poena sine lege praevia et scripta.

Pasal 1 ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika ada dasar hukum tertulis sebelumnya.
Pasal 2 justru membuka ruang pemidanaan tanpa hukum tertulis, yang berarti:

  • Menyimpang dari prinsip hukum modern,
  • Membuka peluang kriminalisasi sepihak,
  • Menimbulkan ketidakpastian dan kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum.

2. Istilah “hukum yang hidup dalam masyarakat” tidak jelas dan rawan disalahgunakan

Pasal ini menggunakan istilah yang kabur dan tidak baku secara yuridis, yaitu “hukum yang hidup dalam masyarakat”, alih-alih menyebut secara eksplisit “hukum adat”. Akibatnya:

  • Tidak ada standar objektif untuk menentukan apa yang termasuk atau tidak termasuk "hukum yang hidup",
  • Potensi klaim sepihak oleh kelompok dominan di suatu wilayah terhadap perilaku minoritas,
  • Munculnya “pasal karet adat” yang bisa membenarkan pengusiran, intimidasi, atau diskriminasi atas nama budaya lokal.

3. Melanggar Prinsip Non-Diskriminasi dan Hak Konstitusional

Pasal 28I UUD 1945 menyatakan bahwa hak atas kebebasan beragama dan kepercayaan adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Pasal 2 membuka peluang pelanggaran HAM jika:

  • Hukum adat digunakan untuk membatasi kebebasan beragama, sebagaimana terjadi dalam kasus Cidahu, Sampang, dan Tolikara,
  • Atau digunakan untuk mengkriminalkan praktik sosial yang tidak sesuai dengan kebiasaan mayoritas lokal.

4. Hukum Adat yang Dituangkan ke dalam Perda Bukan Lagi “Hukum Tidak Tertulis”

Ironisnya, penjelasan Pasal 2 menyebut bahwa hukum adat perlu dituangkan dalam Peraturan Daerah. Maka secara logika:

  • Jika sudah dimuat dalam Perda, itu adalah hukum tertulis,
  • Maka tidak relevan lagi bicara soal pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis.

Pasal 2 menjadi inkonsisten secara internal dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara konseptual.

V. Kesimpulan

Pasal 2 dalam rumusannya sekarang tidak tepat secara yuridis, dan sangat berbahaya secara sosiologis dan konstitusional. Ia:

  • Mengancam asas legalitas,
  • Membuka ruang penyimpangan dan penyalahgunaan hukum adat,
  • Bertentangan dengan nilai-nilai dasar negara hukum, HAM, dan prinsip keadilan konstitusional.

VI. Rekomendasi

  1. Pasal 2 harus direvisi, dengan menyatakan bahwa pemidanaan hanya dapat dilakukan:
    • Berdasarkan hukum adat yang hidup,
    • Yang telah dituangkan secara tertulis dalam Peraturan Daerah,
    • Dan tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, serta prinsip-prinsip hak asasi manusia.
  2. Jika tidak direvisi, maka Pasal 2 sebaiknya dihapus, untuk menghindari:
    • Tumpang tindih dan kontradiksi dengan Pasal 1,
    • Ancaman terhadap prinsip negara hukum yang demokratis.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar