15 November 2024

Menjawab Kekhawatiran Aristyo Darmawan: Diplomasi Indonesia di Laut Natuna Utara

Menjawab Kekhawatiran Aristyo Darmawan: Diplomasi Indonesia di Laut Natuna Utara

 

Jakarta 15 November 2024

Oleh: Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb *)

 

Pernyataan Aristyo Darmawan, dosen hukum internasional Universitas Indonesia dan pakar hukum maritim, mengenai Memorandum of Understanding (MoU) kerja sama pembangunan maritim Indonesia-China di Laut Natuna Utara patut dicermati. Dalam kritiknya, Aristyo menyebut bahwa frasa “pemahaman bersama mengenai pembangunan bersama di wilayah yang tumpang tindih klaimnya” berbahaya karena dapat membuka ruang untuk pengakuan klaim China yang tidak memiliki dasar hukum. Bahkan, ia menyebut langkah ini sebagai “tindakan bodoh.” Sebagai tanggapan, penting untuk menjelaskan landasan diplomasi Indonesia dan membahas secara rasional mengapa kebijakan ini diambil[1].

 

1. MoU Bukan Pengakuan Klaim Nine-Dash Line

Pertama-tama, penting untuk menegaskan bahwa MoU yang ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Xi Jinping bukan pengakuan klaim Nine-Dash Line China. Posisi Indonesia sangat jelas:

  • Nine-Dash Line tidak memiliki dasar hukum di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
  • Keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) pada 2016 juga menegaskan bahwa klaim historis seperti Nine-Dash Line tidak memiliki validitas hukum.

Frasa “wilayah tumpang tindih klaimnya” dalam MoU adalah bagian dari strategi diplomasi untuk mengelola ketegangan, bukan pengakuan terhadap klaim China. Kementerian Luar Negeri telah dengan tegas menyatakan bahwa dokumen ini tidak berdampak pada kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara.

 

2. Diplomasi: Alat untuk Mengelola Ancaman De Facto

Kritik Aristyo yang menyebut langkah ini sebagai “tindakan bodoh” tidak mempertimbangkan realitas geopolitik. Diplomasi adalah instrumen utama untuk mengelola ancaman de facto, seperti kehadiran kapal penjaga pantai China di Laut Natuna Utara. Mengabaikan ancaman ini atau meresponsnya hanya dengan retorika keras dapat memicu eskalasi yang tidak diinginkan.

  • Mengelola Konflik Tanpa Konfrontasi: Langkah diplomasi seperti MoU ini dirancang untuk mengurangi risiko konflik dan menjaga stabilitas kawasan.
  • Mempertahankan Hak De Jure: Indonesia tetap memegang teguh prinsip UNCLOS dan tidak akan menegosiasikan klaim yang bertentangan dengan hukum internasional.

Aristyo keliru jika menganggap bahwa MoU ini berarti pengakuan klaim China. Diplomasi adalah cara untuk memperkuat posisi Indonesia tanpa harus terlibat dalam konfrontasi yang tidak produktif.

 

3. Mengelola Sumber Daya Secara Bijak

Aristyo juga mengkhawatirkan bahwa MoU ini akan membuka pintu untuk berbagi sumber daya seperti perikanan atau minyak dan gas. Pandangan ini perlu diluruskan:

  • Tidak Ada Pengaturan Sumber Daya dalam MoU: MoU ini tidak mencantumkan pengaturan eksploitasi sumber daya. Setiap kerja sama di masa depan akan tetap tunduk pada hukum nasional Indonesia dan hukum internasional.
  • Kontrol Penuh Indonesia: Pemerintah Indonesia memastikan bahwa pengelolaan sumber daya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tetap berada di bawah kendali penuh Indonesia. Tidak ada bagian dari MoU ini yang mengorbankan hak-hak tersebut.

Kerja sama maritim yang diatur dalam MoU ini lebih berfokus pada pengelolaan konflik dan penguatan hubungan bilateral daripada berbagi sumber daya secara langsung.

 

4. Tanggapan atas Tuduhan “Tindakan Bodoh”

Menganggap langkah ini sebagai “tindakan bodoh” adalah kesalahan logika yang serius. Diplomasi bukanlah tanda kelemahan, melainkan alat strategis untuk melindungi kedaulatan dan kepentingan nasional.

  • Mengelola Realitas De Facto: Realitas geopolitik menunjukkan bahwa China adalah kekuatan besar di kawasan ini. Mengabaikan pengaruhnya atau bersikap konfrontatif secara langsung hanya akan merugikan Indonesia.
  • Diplomasi untuk Stabilitas: Langkah ini adalah bagian dari strategi yang lebih besar untuk menjaga stabilitas kawasan dan memperkuat posisi Indonesia secara jangka panjang.

Jika diplomasi strategis seperti ini dianggap “bodoh,” maka kita melupakan bahwa stabilitas dan dialog adalah kunci untuk mengelola ketegangan di dunia yang semakin kompleks.

 

5. Menjaga Kedaulatan dengan Pendekatan Berimbang

Penting untuk memahami bahwa Indonesia tidak bergeser dari posisi prinsipilnya. MoU ini tidak mengubah sikap Indonesia terhadap klaim China, tetapi adalah cara untuk mengelola konflik tanpa mengorbankan kedaulatan.

  • Sikap Tegas Tetap Dijaga: Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen untuk mempertahankan kedaulatan melalui langkah-langkah tegas, dengan kehadiran kapal kapal TNI AL sepanjang tahun diwilayah laut ZEE Indonesia sekitar pulau Natuna. 
  • Diplomasi Berimbang: MoU ini mencerminkan pendekatan yang seimbang antara menjaga stabilitas kawasan dan mempertahankan kedaulatan.

 

6. Kesimpulan: Diplomasi Adalah Pilihan Cerdas

Kritik Aristyo Darmawan terhadap MoU ini didasarkan pada kekhawatiran yang berlebihan dan kurangnya pemahaman terhadap strategi diplomasi modern. Beberapa poin yang perlu ditegaskan:

  1. MoU Bukan Pengakuan: Indonesia tidak mengakui Nine-Dash Line, dan MoU ini tidak mengubah posisi hukum Indonesia.
  2. Diplomasi untuk Mengelola Ancaman: MoU ini adalah cara untuk mengelola ancaman de facto tanpa mengorbankan prinsip hukum internasional.
  3. Kedaulatan Tetap Dijaga: Indonesia tetap mempertahankan kendali penuh atas wilayah ZEE dan sumber dayanya.

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus mampu mengelola konflik dengan cerdas, tanpa kehilangan prinsip atau kedaulatan. Diplomasi adalah alat utama untuk menghadapi tantangan geopolitik, dan langkah ini adalah bagian dari strategi besar untuk memastikan bahwa kepentingan nasional tetap terlindungi. Kritik yang menyebut langkah ini sebagai tindakan bodoh justru mengabaikan realitas global yang memerlukan pendekatan pragmatis dan strategis.

 

*) Kabais TNI 2011 - 2013



[1] https://kbanews.com/hot-news/prabowo-teken-mou-jebakan-cina-pengamat-karena-menlu-minus-pengalaman-dan-tekanan-rombongan-pengusaha/

Joint Statement Indonesia dan China di Laut China Selatan: Tinjauan dari Perspektif Intelijen dan UNCLOS

Joint Statement Indonesia dan China di Laut China Selatan: Tinjauan dari Perspektif Intelijen dan UNCLOS

 

Jakarta 15 November 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb *)

 

Pendahuluan

Laut China Selatan adalah kawasan strategis dengan kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan bagi banyak negara, terutama China dan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Salah satu isu utama yang menimbulkan ketegangan di kawasan ini adalah klaim teritorial China yang dikenal sebagai Nine-Dash Line atau Garis Sembilan Titik. Klaim ini mencakup sebagian besar wilayah Laut China Selatan, termasuk zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna. Klaim ini tidak memiliki dasar hukum menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), namun China tetap mempertahankannya atas dasar sejarah dan pengaruh budaya1.

Pada 9 November 2024, Presiden Prabowo Subianto menandatangani joint statement dengan Presiden China, Xi Jinping, di Beijing. Joint statement ini menegaskan pentingnya kerja sama maritim antara Indonesia dan China, khususnya di Laut China Selatan. Penandatanganan ini tidak mengakui klaim Nine-Dash Line secara hukum, namun mencerminkan keputusan strategis Indonesia dalam menghadapi dinamika kawasan. Hal ini memunculkan berbagai interpretasi dan pertanyaan, termasuk apakah pendekatan Indonesia ini lebih berfokus pada de facto atau de jure.

Makalah ini membahas joint statement tersebut dari perspektif intelijen dan UNCLOS serta implikasinya terhadap posisi Indonesia di kawasan.

 

Perspektif UNCLOS Terhadap Nine-Dash Line

UNCLOS, yang diratifikasi pada tahun 1982, mengatur batas-batas wilayah laut setiap negara dengan menetapkan ZEE sejauh 200 mil laut dari garis pangkal wilayah pesisirnya2. Berdasarkan UNCLOS, Nine-Dash Line yang diklaim oleh China tidak memiliki dasar hukum yang sah karena tidak sesuai dengan aturan batas laut yang diakui secara internasional. UNCLOS tidak mengakui klaim wilayah berdasarkan "hak historis," kecuali ada bukti penguasaan yang sah dan diterima secara internasional3.

Indonesia menegaskan bahwa ZEE di sekitar Natuna adalah wilayah yang sah miliknya sesuai dengan ketentuan UNCLOS. Dari perspektif ini, joint statement yang dikeluarkan Indonesia dan China tidak diartikan sebagai pengakuan terhadap Nine-Dash Line, tetapi sebagai upaya diplomasi untuk menjaga stabilitas kawasan. Namun, beberapa negara ASEAN mungkin memandang pendekatan ini sebagai sikap yang terlalu lunak terhadap China, yang dianggap sebagai ancaman regional.

 

Perspektif Intelijen Terhadap Nine-Dash Line

Dari sudut pandang intelijen, Nine-Dash Line dipandang sebagai ancaman strategis terhadap kedaulatan dan keamanan nasional Indonesia. Intelijen tidak hanya menilai ancaman dari sisi hukum, tetapi juga melihat aktivitas faktual China di wilayah Laut China Selatan sebagai indikasi niat dan kekuatan yang dapat membahayakan kepentingan nasional Indonesia. Secara de facto, kehadiran militer dan patroli China di perairan yang diklaim dalam Nine-Dash Line menunjukkan bahwa ancaman tersebut adalah nyata, meskipun secara de jure tidak diakui oleh UNCLOS4.

Bagi intelijen, setiap klaim atau aktivitas yang menunjukkan ekspansi pengaruh dan kendali oleh negara asing dianggap sebagai ancaman langsung. Aktivitas China di kawasan ini dipandang sebagai bentuk proyeksi kekuatan dan ambisi geopolitik untuk memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara. Intelijen melihat bahwa, terlepas dari pengakuan hukum, China terus melakukan tindakan de facto yang dapat mengikis kontrol Indonesia atas ZEE-nya di Laut Natuna. Dari perspektif ini, Nine-Dash Line bukan hanya klaim kosong, tetapi bukti adanya niat China untuk menguasai wilayah tersebut5.

 

Makna Penandatanganan Joint Statement oleh Presiden Prabowo

Penandatanganan joint statement oleh Presiden Prabowo mencerminkan pilihan strategis untuk memperkuat stabilitas kawasan sambil melindungi kepentingan nasional Indonesia. Langkah ini diambil dengan latar belakang tujuan jangka panjang untuk mempertahankan kedaulatan sekaligus menghindari ketegangan yang tidak perlu dengan China. Penandatanganan ini mencerminkan diplomasi yang pragmatis, di mana Indonesia tetap mempertahankan posisinya sesuai dengan UNCLOS namun memilih pendekatan yang lebih damai dan bersahabat secara de facto.

Penandatanganan ini bukan berarti pengakuan langsung terhadap Nine-Dash Line. Namun, tindakan ini menunjukkan bahwa Indonesia, melalui presidennya, memilih untuk menekankan aspek kerja sama dan stabilitas ekonomi dengan China daripada berkonfrontasi. Pendekatan ini dipandang sebagai cara untuk mengurangi risiko konflik terbuka dan memungkinkan Indonesia membangun kerja sama yang saling menguntungkan dengan China, termasuk dalam sektor ekonomi6.

 

Keuntungan dan Kerugian bagi Indonesia

Keuntungan:

  1. Memperkuat Hubungan Ekonomi dan Diplomatik
    Pendekatan ini membuka peluang investasi dan perdagangan dengan China, memperkuat ekonomi Indonesia sekaligus menciptakan peluang kerja sama yang saling menguntungkan7.
  2. Stabilitas Kawasan dan Regional
    Dengan pendekatan damai ini, Indonesia turut menjaga stabilitas di Laut China Selatan dan mencegah kemungkinan konflik terbuka yang dapat membahayakan negara-negara ASEAN lainnya8.
  3. Posisi Tawar dalam Diplomasi Internasional
    Dengan menunjukkan fleksibilitas dan pragmatisme, Indonesia dapat memperkuat posisinya dalam negosiasi internasional, mengingat pentingnya peran diplomasi dalam mengelola sengketa di Laut China Selatan9.

Kerugian:

  1. Potensi Lemahnya Dukungan ASEAN
    Sikap yang lebih lunak terhadap China dapat dianggap sebagai kompromi, yang berpotensi melemahkan solidaritas ASEAN dalam menghadapi klaim Nine-Dash Line10.
  2. Pengaruh China yang Semakin Besar
    Pendekatan ini dapat memberi peluang bagi China untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan, yang dapat mengikis kontrol Indonesia di Laut Natuna jika tidak dikawal dengan baik oleh kebijakan nasional11.
  3. Risiko Terhadap Kedaulatan Nasional
    Pendekatan ini dapat diinterpretasikan sebagai kelemahan atau tanda kesediaan untuk menerima klaim Nine-Dash Line, yang dapat menimbulkan persepsi negatif mengenai kedaulatan Indonesia di kawasan ini.

 

Pengaruh Kebijakan Indonesia: Apakah Mengutamakan De Facto daripada De Jure?

Penandatanganan joint statement ini menunjukkan bahwa Indonesia berusaha menyeimbangkan antara pendekatan de jure dan de facto dalam mengelola sengketa di Laut China Selatan:

  1. Pendekatan De Facto
    Dengan menandatangani joint statement, Indonesia mengakui bahwa pengaruh China di Laut China Selatan adalah realitas yang perlu dikelola secara diplomatis. Pendekatan de facto memungkinkan Indonesia untuk menjaga hubungan baik dengan China dan menjaga kestabilan kawasan tanpa perlu mengubah sikap resmi berdasarkan UNCLOS.
  2. Pendekatan De Jure
    Sementara itu, Indonesia tetap mempertahankan haknya berdasarkan UNCLOS, yang menolak klaim Nine-Dash Line secara hukum. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia untuk tetap memiliki posisi yang kuat secara internasional dan mendapatkan dukungan dari komunitas internasional yang juga mendukung supremasi hukum di kawasan.

Dengan memilih pendekatan yang seimbang, Indonesia berusaha menghindari konfrontasi langsung yang bisa mengganggu stabilitas nasional dan regional, sekaligus mempertahankan hak-haknya sesuai dengan hukum internasional. Namun, pendekatan ini memiliki tantangan tersendiri, karena harus tetap konsisten antara mempertahankan sikap de jure tanpa mengesampingkan realitas de facto.

 

Keputusan Akhir

Dalam mengambil keputusan akhir, Presiden Prabowo harus menyeimbangkan antara menjaga integritas nasional dan memastikan stabilitas kawasan. Keputusan untuk menandatangani joint statement menunjukkan bahwa kepentingan nasional, termasuk stabilitas dan kerja sama ekonomi, menjadi prioritas utama. Dengan mengedepankan pendekatan diplomatik yang pragmatis, Indonesia menunjukkan fleksibilitas untuk menghadapi dinamika regional yang kompleks, tanpa harus secara eksplisit mengakui klaim Nine-Dash Line.

Keputusan ini diambil untuk menghindari konflik terbuka dengan China dan menjaga stabilitas kawasan, sambil tetap mempertahankan kedaulatan Indonesia di bawah payung hukum UNCLOS. Langkah ini memungkinkan Indonesia untuk tetap memantau aktivitas China dan memperkuat aliansi regional bersama ASEAN, yang akan memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan kekuatan di Laut China Selatan.

 

Kesimpulan

Joint statement yang ditandatangani Presiden Prabowo dengan China di Laut China Selatan mencerminkan pilihan untuk mengutamakan stabilitas dan kepentingan nasional. Meskipun Nine-Dash Line masih dianggap sebagai ancaman oleh negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia tampak mengambil pendekatan de facto melalui diplomasi untuk menjaga hubungan baik dengan China. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mencoba menyeimbangkan antara mempertahankan posisi hukum (de jure) di bawah UNCLOS, dengan mengakui realitas pengaruh China yang semakin besar di kawasan (de facto).

Keputusan ini memiliki keuntungan dalam menjaga stabilitas kawasan dan memperkuat hubungan ekonomi dengan China, tetapi juga menimbulkan risiko kehilangan dukungan ASEAN dalam menghadapi klaim China. Dengan mengambil langkah diplomatik yang hati-hati dan tetap memantau aktivitas China di kawasan tersebut, Indonesia dapat mempertahankan kedaulatannya tanpa mengorbankan stabilitas regional.


Footnotes

  1. Government of China, Ministry of Internal Affairs, "Historical Atlas of China," 1947.  
  2. United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982, Articles 56-57.  
  3. Rothwell, D. R., & Stephens, T. (2010). The International Law of the Sea. Hart Publishing.  
  4. Adam, R. (2021). "The Strategic Implications of the Nine-Dash Line for Southeast Asia." Journal of International Security Studies, 45(3), 145-165.  
  5. Kaplan, R. D. (2014). Asia's Cauldron: The South China Sea and the End of a Stable Pacific. Random House.  
  6. Dupuy, F., & Dupuy, P.-M. (2013). "A Legal Analysis of China's Historic Rights Claim in the South China Sea." American Journal of International Law, 107(1), 124-141.  
  7. Till, G. (2013). Seapower: A Guide for the Twenty-First Century. Routledge.  
  8. ASEAN Secretariat. "ASEAN Outlook on the Indo-Pacific," ASEAN.org, 2019.  
  9. Goh, E. (2007). "Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia." International Security, 32(3), 113-157.  
  10. Huth, P. K. (1996). Standing Your Ground: Territorial Disputes and International Conflict. University of Michigan Press.  
  11. Bader, J. A. (2016). Obama and China's Rise: An Insider's Account of America's Asia Strategy. Brookings Institution Press.  

 

13 November 2024

Pentingnya Transportasi Laut bagi Indonesia: Membangun Infrastruktur Maritim yang Terintegrasi untuk Pertumbuhan Ekonomi

Pentingnya Transportasi Laut bagi Indonesia: Membangun Infrastruktur Maritim yang Terintegrasi untuk Pertumbuhan Ekonomi

 

Jakarta 14 November 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto. ST. SH. MH. CPM. CParb

 

Pendahuluan

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.500 pulau, sangat bergantung pada transportasi laut untuk menghubungkan wilayah-wilayah yang terpencil. Peran transportasi laut tidak hanya sebagai sarana penghubung antar pulau, tetapi juga sebagai elemen penting dalam pengembangan ekonomi nasional. Transportasi laut mendukung sektor-sektor strategis seperti perdagangan, perikanan, dan pariwisata, yang semuanya berperan besar dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia.

Namun, transportasi laut yang kuat tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan infrastruktur yang memadai dan kebijakan yang jelas. Untuk memastikan bahwa transportasi laut dapat berkontribusi optimal terhadap perekonomian, pemerintah Indonesia perlu membangun infrastruktur secara komprehensif dan simultan. Jika salah satu infrastruktur tidak dibangun, maka seluruh sistem transportasi laut akan gagal dan mempengaruhi perekonomian nasional. Dalam artikel ini akan dibahas pentingnya transportasi laut, infrastruktur yang perlu dibangun secara bersama-sama, serta sistem keselamatan dan keamanan yang harus diperkuat.

 

Transportasi Laut sebagai Penggerak Perekonomian Nasional

Transportasi laut memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional. Salah satu peran utamanya adalah menghubungkan wilayah-wilayah Indonesia yang tersebar dan mendukung distribusi barang dan jasa.

  1. Menghubungkan Pulau-Pulau di Indonesia

Indonesia adalah negara kepulauan, dan transportasi laut memainkan peran penting dalam menghubungkan ribuan pulau di seluruh nusantara. Transportasi laut menjadi sarana utama untuk membawa barang-barang pokok, produk pertanian, dan hasil industri dari pulau-pulau yang lebih kecil ke kota-kota besar atau bahkan ke pasar internasional. Tanpa adanya transportasi laut yang efisien, daerah-daerah ini akan terisolasi dan perkembangan ekonominya akan terhambat, yang pada akhirnya berdampak pada perekonomian nasional secara keseluruhan. Oleh karena itu, transportasi laut merupakan sarana vital bagi stabilitas ekonomi Indonesia.¹

  1. Mengurangi Biaya Logistik dan Meningkatkan Daya Saing

Salah satu tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah tingginya biaya logistik, yang menurut laporan Bank Dunia mencapai sekitar 24% dari PDB Indonesia. Biaya logistik yang tinggi ini disebabkan oleh ketidakefisienan dalam sistem transportasi, termasuk kurangnya infrastruktur transportasi laut yang memadai. Dengan memperbaiki infrastruktur pelabuhan dan armada kapal, pemerintah dapat menekan biaya logistik secara signifikan, yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia di pasar global .² Produk-produk lokal akan lebih mudah diekspor dengan biaya yang lebih rendah, meningkatkan pertumbuhan ekspor dan mendukung perekonomian nasional.

  1. Mendukung Perdagangan dan Investasi

Sebagai negara dengan posisi geografis yang strategis, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat perdagangan maritim dunia. Pelabuhan-pelabuhan utama seperti Tanjung Priok di Jakarta dan Tanjung Perak di Surabaya memegang peran penting dalam mendukung perdagangan internasional. Peningkatan kapasitas pelabuhan-pelabuhan ini, serta integrasi mereka dengan jaringan transportasi darat dan logistik digital, akan memfasilitasi arus perdagangan dan meningkatkan daya tarik investasi di sektor maritim. Investasi dalam infrastruktur maritim juga akan berdampak pada peningkatan kapasitas produksi dan distribusi barang dalam negeri.³

  1. Mengembangkan Pariwisata Maritim

Selain perdagangan, transportasi laut juga mendukung pengembangan sektor pariwisata maritim. Destinasi wisata seperti Bali, Lombok, dan Raja Ampat sangat bergantung pada transportasi laut untuk membawa wisatawan dari dan ke wilayah tersebut. Konektivitas laut yang baik akan memastikan bahwa wisatawan dapat mengakses destinasi wisata dengan mudah dan aman, sehingga meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata. Pengembangan sektor ini akan memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal, terutama di daerah-daerah yang bergantung pada pariwisata.⁴

 

Infrastruktur yang Harus Dibangun Secara Bersamaan

Agar transportasi laut dapat berfungsi dengan baik dan berkontribusi optimal terhadap perekonomian, pembangunan infrastruktur harus dilakukan secara komprehensif dan simultan. Pemerintah tidak dapat fokus hanya pada satu elemen infrastruktur tanpa memperhatikan elemen lainnya. Setiap komponen infrastruktur saling terkait, dan kegagalan dalam membangun salah satunya akan berdampak negatif pada keseluruhan sistem transportasi.

  1. Pembangunan Pelabuhan yang Modern dan Terintegrasi

Pelabuhan adalah jantung dari sistem transportasi laut. Pemerintah harus memastikan bahwa pelabuhan-pelabuhan di seluruh Indonesia dibangun dan diperbarui sesuai dengan standar internasional. Pelabuhan-pelabuhan utama seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak harus dilengkapi dengan teknologi modern untuk mempercepat proses bongkar muat dan mengurangi waktu tunggu kapal. Selain itu, pelabuhan-pelabuhan di wilayah timur Indonesia juga harus dikembangkan untuk mendukung konektivitas antarwilayah dan mengurangi ketimpangan ekonomi .⁵

  1. Pengembangan Armada Kapal Nasional

Selain pelabuhan, armada kapal yang memadai juga merupakan kunci utama dalam keberhasilan transportasi laut. Pemerintah perlu mendorong industri galangan kapal dalam negeri untuk memproduksi kapal-kapal angkut, baik kapal kontainer, kapal tanker, maupun kapal penumpang. Dengan armada kapal yang kuat, Indonesia dapat meningkatkan daya saing dalam perdagangan internasional dan mengurangi ketergantungan pada kapal-kapal asing .⁶

  1. Digitalisasi Sistem Logistik Maritim

Pemerintah juga harus mendorong digitalisasi dalam pengelolaan sistem logistik maritim. Dengan memanfaatkan teknologi digital, seperti pelacakan kargo secara real-time dan pengelolaan pelabuhan otomatis, proses distribusi barang dapat dilakukan dengan lebih efisien. Digitalisasi akan membantu mengurangi biaya logistik, mempercepat arus barang, serta memastikan bahwa proses pengiriman barang berjalan dengan lancar dan transparan .⁷


Keselamatan dan Keamanan di Laut

Selain infrastruktur fisik, sistem keselamatan dan keamanan di laut juga harus diperhatikan secara serius. Keselamatan dan keamanan maritim sangat penting untuk memastikan bahwa kapal-kapal yang berlayar dapat tiba di pelabuhan tujuan dengan selamat, baik dalam hal membawa barang maupun penumpang.

  1. Penguatan Sistem Navigasi Laut

Sistem navigasi laut yang canggih akan membantu mengurangi risiko kecelakaan kapal. Pemerintah perlu memperbarui dan membangun infrastruktur navigasi seperti radar, sistem GPS, dan mercusuar di titik-titik strategis perairan Indonesia. Dengan sistem navigasi yang baik, kapal-kapal dapat bernavigasi dengan aman, terutama di perairan yang padat seperti Selat Malaka dan Selat Sunda .⁸

  1. Peningkatan Standar Keselamatan Kapal

Pemerintah juga harus memperketat standar keselamatan kapal. Semua kapal yang beroperasi di perairan Indonesia harus dilengkapi dengan peralatan keselamatan seperti jaket pelampung, sistem pemadam kebakaran, dan peralatan komunikasi darurat. Selain itu, pemerintah harus melakukan inspeksi rutin terhadap kapal-kapal untuk memastikan bahwa standar keselamatan dipatuhi .⁹

  1. Penegakan Keamanan Maritim

Keamanan di laut adalah hal yang sangat penting dalam memastikan kelancaran arus barang dan penumpang. Patroli rutin oleh angkatan laut dan lembaga keamanan maritim lainnya harus diperkuat, terutama di wilayah-wilayah yang rawan pembajakan atau penyelundupan. Penegakan hukum yang ketat akan menciptakan rasa aman bagi pelaku usaha, sehingga meningkatkan kepercayaan terhadap transportasi laut di Indonesia .¹⁰

 

Koordinasi Pembangunan di Bawah Kementerian Perekonomian

Pembangunan transportasi laut tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Perhubungan, tetapi juga harus dikoordinasikan dengan Kementerian Perekonomian. Mengingat dampak ekonomi yang luas, Kementerian Perekonomian harus berperan sebagai pengkoordinasi utama dalam merumuskan kebijakan yang mendukung pengembangan transportasi laut.

Kementerian Perekonomian dapat bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Perindustrian untuk memastikan bahwa pembangunan infrastruktur transportasi laut berjalan secara simultan dan terintegrasi. Jika salah satu elemen infrastruktur gagal dibangun, maka keseluruhan sistem transportasi laut akan terpengaruh, yang pada akhirnya akan berdampak negatif pada perekonomian nasional .¹¹

 

Kesimpulan

Transportasi laut memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pembangunan infrastruktur pelabuhan, armada kapal, serta sistem keselamatan dan keamanan maritim harus dilakukan secara bersama-sama. Jika salah satu elemen infrastruktur ini tidak dibangun, maka seluruh sistem transportasi laut akan terganggu dan berdampak negatif pada perekonomian nasional. Dengan koordinasi yang baik di bawah Kementerian Perekonomian, transportasi laut dapat menjadi pilar utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.


Catatan kaki:

  1. Christopher Findlay, The Maritime Economy in Indonesia (Jakarta: Maritime Economic Institute, 2020), 45.
  2. World Bank, Logistics Performance Index 2023 (Washington D.C.: World Bank Group, 2023), 90.
  3. John Smith, Seaports and Shipbuilding in Developing Countries (Singapore: International Maritime Press, 2019), 120.
  4. Mohammad Supriadi, Policy Coordination in Indonesia’s Maritime Economy (Surabaya: National Economy Press, 2022), 75.
  5. Christopher Findlay, The Maritime Economy in Indonesia, 45.
  6. John Smith, Seaports and Shipbuilding in Developing Countries, 122.
  7. World Bank, Logistics Performance Index 2023, 93.
  8. International Maritime Organization, Safety of Life at Sea (London: IMO Publications, 2021), 150.
  9. Ibid.
  10. Ibid.
  11. Mohammad Supriadi, Policy Coordination in Indonesia’s Maritime Economy, 80.

 

12 November 2024

Coast Guard: Institusi Pengawas Pelayaran dan Penegakan Hukum di Laut

 Coast Guard: Institusi Pengawas Pelayaran dan Penegakan Hukum di Laut

 

Jakarta 12 November 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb.*)

 

Coast Guard, atau "Penjaga Pantai" dalam bahasa Indonesia, adalah institusi yang bertugas mengawasi, mengamankan, dan menjaga keselamatan di perairan nasional suatu negara. Coast Guard bertanggung jawab dalam memantau kapal-kapal yang berlayar, memberikan bantuan darurat bila diperlukan, serta menegakkan hukum terkait pelayaran dan aktivitas maritim lainnya. Namun, penting untuk dipahami bahwa "Coast Guard" hanyalah nama institusi, dan kewenangan yang melekat pada nama ini di setiap negara bergantung pada sistem hukum masing-masing.

 

Fungsi Utama Coast Guard sebagai Pengawas Pelayaran di Dunia Internasional

Pengawas pelayaran adalah lembaga yang bertugas memantau dan memastikan keselamatan serta keamanan seluruh kapal yang melintas di wilayah perairan negara tertentu. Di dunia internasional, fungsi pengawasan ini dijalankan oleh lembaga-lembaga yang dikenal dengan nama Coast Guard, seperti United States Coast Guard (USCG) di Amerika Serikat, Japan Coast Guard (JCG) di Jepang, dan Indian Coast Guard (ICG) di India. Lembaga-lembaga ini menjalankan fungsi pengawasan pelayaran, menjaga keamanan perairan, dan dalam beberapa kasus, memiliki kewenangan sebagai penegak hukum yang bisa menangani pelanggaran di laut.

Namun, "Coast Guard" pada dasarnya hanyalah nama yang digunakan oleh institusi yang berfungsi sebagai pengawas pelayaran dan penjaga keamanan maritim. Kewenangan penegakan hukum yang diberikan pada Coast Guard di setiap negara sepenuhnya diatur oleh peraturan hukum yang berlaku di masing-masing negara. Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Jepang memberikan kewenangan penegakan hukum yang luas kepada Coast Guard mereka, sementara di negara lain, kewenangan ini mungkin hanya terbatas pada pengawasan dan tidak termasuk penegakan hukum.

 

Coast Guard di Indonesia: KPLP sebagai “The Real Coast Guard”

Di Indonesia, Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) merupakan institusi yang bertanggung jawab sebagai pengawas pelayaran dan penjaga keamanan laut. Berbeda dengan Badan Keamanan Laut (Bakamla), yang sering disebut sebagai "Indonesian Coast Guard" tetapi tidak memiliki kewenangan penegakan hukum, KPLP memiliki status sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Hubla) Kementerian Perhubungan. Kewenangan KPLP mencakup pengawasan, pemantauan, serta penegakan hukum terkait pelanggaran pelayaran, menjadikannya sebagai lembaga yang dapat dianggap sebagai "the real Coast Guard" di Indonesia.

KPLP bertanggung jawab langsung untuk mengawasi semua kapal yang berlayar di perairan Indonesia, memastikan kepatuhan terhadap peraturan keselamatan pelayaran, serta melakukan penyidikan dan penindakan hukum apabila ditemukan pelanggaran. Berdasarkan tugas dan kewenangannya, KPLP memenuhi semua kriteria yang diperlukan untuk berperan sebagai institusi Coast Guard, sesuai dengan konsep yang dikenal di dunia internasional. Dengan kewenangan penuh di bidang penyidikan pelanggaran pelayaran, KPLP adalah institusi utama yang bertugas menjaga ketertiban dan keselamatan maritim di Indonesia.

 

Kewenangan KPLP sebagai Penegak Hukum Maritim Berdasarkan Landasan Hukum Indonesia

Kewenangan KPLP sebagai pengawas pelayaran diatur secara khusus dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yang menegaskan bahwa KPLP sebagai PPNS Hubla memiliki kewenangan penuh untuk melakukan penyidikan dan penindakan hukum di bidang pelayaran. Berikut adalah landasan hukum yang mendasari kewenangan KPLP di Indonesia:

  1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran: Menetapkan KPLP sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam penegakan hukum pelayaran melalui peran PPNS Hubla. Undang-undang ini mengamanatkan KPLP untuk melakukan pengawasan, pemantauan, serta penindakan terhadap pelanggaran terkait keselamatan pelayaran.
  2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan: Mengatur pengelolaan wilayah laut dan keamanan perairan di Indonesia. Undang-undang ini memberikan Bakamla tugas patroli keamanan laut, tetapi tidak memberikan kewenangan penegakan hukum yang dimiliki oleh KPLP.
  3. Peraturan Presiden No. 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut (Bakamla): Menetapkan Bakamla sebagai pengawas keamanan laut dan lembaga koordinasi tanpa status penegak hukum. Bakamla tidak diberi wewenang untuk melakukan penyidikan atau penindakan terhadap pelanggaran di laut, sehingga perannya terbatas pada patroli.
  4. Undang-Undang No. 66 Tahun 2024 tentang Revisi Ketiga UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran: Menegaskan bahwa KPLP adalah institusi pengawas pelayaran yang memiliki kewenangan penyidikan dan penindakan hukum di bidang pelayaran, menjadikannya satu-satunya lembaga di Indonesia yang dapat melakukan penyidikan terhadap pelanggaran pelayaran.

 

Mengapa Bakamla Tidak Berhak Menggunakan Nama “Coast Guard”

Penggunaan nama "Coast Guard" oleh Bakamla di Indonesia sering kali menimbulkan persepsi bahwa Bakamla memiliki peran dan kewenangan penegakan hukum di laut. Namun, kenyataannya, berdasarkan Peraturan Presiden No. 178 Tahun 2014 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Bakamla tidak memiliki status penegak hukum. Bakamla hanya bertugas melakukan patroli di laut, tanpa kewenangan untuk melakukan penyidikan atau penindakan hukum terhadap pelanggaran di laut.

Selain itu, Bakamla juga tidak memiliki kewenangan untuk bekerja sama dengan institusi pengawas pelayaran internasional yang memiliki status penegak hukum. Dalam kerja sama internasional di bidang keamanan laut, institusi yang memiliki wewenang penegakan hukum seperti United States Coast Guard atau Japan Coast Guard biasanya diakui sebagai mitra yang sah dalam menjaga ketertiban laut internasional. Tanpa status penegakan hukum, penggunaan nama "Coast Guard" oleh Bakamla dapat menyebabkan kesalahpahaman terkait peran dan kapabilitas lembaga tersebut dalam menjaga keamanan laut.

 

Contoh Kewenangan Coast Guard di Negara Lain

Institusi Coast Guard di negara lain memiliki kewenangan penegakan hukum maritim yang luas, beberapa di antaranya adalah:

  • United States Coast Guard (USCG): Memiliki wewenang penegakan hukum penuh di bawah Title 14 of the U.S. Code, meliputi penegakan hukum federal, pengawasan perikanan, dan pencegahan penyelundupan.
  • Japan Coast Guard (JCG): Beroperasi di bawah Coast Guard Law Jepang dan memiliki wewenang penuh untuk menegakkan hukum di perairan Jepang, termasuk menangani perikanan ilegal dan pencemaran laut.
  • Indian Coast Guard (ICG): Diberi kewenangan oleh Coast Guard Act, 1978, untuk menangani pelanggaran hukum di perairan India, termasuk melakukan penyelidikan dan penahanan terhadap pelanggar.

 

Kesimpulan

Coast Guard pada dasarnya adalah institusi yang bertugas sebagai pengawas pelayaran dan penjaga keamanan laut. Di Indonesia, fungsi ini diemban oleh Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP), yang memiliki kewenangan untuk mengawasi, menyidik, dan menindak pelanggaran hukum di bidang pelayaran. Berdasarkan kewenangan dan peran yang dijalankan, KPLP dapat dianggap sebagai "the real Coast Guard" di Indonesia, karena memenuhi semua kriteria pengawasan pelayaran yang ada pada Coast Guard di negara lain.

Sebaliknya, Badan Keamanan Laut (Bakamla), meskipun menggunakan nama "Indonesian Coast Guard," tidak memiliki kewenangan hukum untuk melakukan penegakan hukum maritim. Bakamla hanya bertugas melakukan patroli dilaut namun tidak memiliki status penyidik. Oleh karena itu, untuk menjaga kejelasan peran lembaga keamanan laut Indonesia dan mencegah kesalahpahaman di tingkat internasional, penggunaan istilah "Coast Guard" pada Bakamla sebaiknya dihentikan

Ke depannya, untuk efisiensi anggaran belanja negara, dapat dipertimbangkan agar Bakamla dibubarkan saja, karena semua tugas Bakamla sudah dilaksanakan oleh institusi lainnya, khususnya KPLP. 

Sekarang ini KPLP sebagai institusi yang memiliki dasar hukum yang jelas untuk menjalankan peran "Coast Guard" dalam pengawasan dan penegakan hukum pelayaran di Indonesia.

*) Kabais TNI 2011-2013

 

 

Indonesia tidak memerlukan Undang-Undang Keamanan Laut: Perspektif Teori Hukum dan Filsafat Hukum

 Indonesia tidak memerlukan Undang-Undang Keamanan Laut:  Perspektif Teori Hukum dan Filsafat Hukum

 

Jakarta 12 November 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb.*)

 

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan luas laut 2/3 dari luasnya daratan., telah memiliki berbagai regulasi dan lembaga yang bertanggung jawab dalam menegakkan hukum di perairannya. Pembahasan mengenai perlunya Undang-Undang (UU) khusus tentang keamanan laut sering kali muncul, namun tinjauan mendalam dari sudut pandang teori hukum dan filsafat hukum menunjukkan bahwa UU semacam itu sebenarnya tidak diperlukan. Apalagi semangat pemerintah Indonesia saat ini adalah melakukan penghematan, sehingga mengurangi regulasi dan Lembaga ya tugasnya sudah dilakukan oleh Lembaga yang sudah ada. Artikel ini akan menguraikan argumen-argumen yang mendasari pandangan tersebut.

 

1. Kerangka Hukum yang Ada Sudah Memadai

Indonesia memiliki kerangka hukum yang mencakup berbagai aspek keamanan laut, termasuk perlindungan, pengawasan, dan penegakan hukum di laut. Beberapa Undang-undang yang sudah ada untuk mewujudkan Keamanan Laut Indonesia antara lain:

  • Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang mengatur keselamatan pelayaran.
  • Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang mencakup pengelolaan dan perlindungan laut.
  • Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menetapkan batas-batas kedaulatan negara di laut.
  • Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang mengatur pengelolaan dan pengawasan sumber daya perikanan di perairan Indonesia.
  • Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memberikan kerangka hukum bagi perlindungan dan pengelolaan wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil.
  • Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang memberikan kewenangan kepada TNI AL sebagai penyidik di wilayah ZEE untuk menjaga kepentingan nasional dan melindungi sumber daya laut Indonesia.
  • Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memberikan kewenangan kepada TNI AL untuk menegakkan kedaulatan di laut dan menjalankan fungsi pertahanan di wilayah laut Indonesia.
  • Undang-Undang No. 66 Tahun 2024 yang mengatur bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Hubla, yaitu Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP), memiliki wewenang sebagai penyidik terkait pengawasan dan pelanggaran hukum di bidang pelayaran.
  • Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memberi Polri wewenang dalam melakukan penyidikan dan penegakan hukum pidana di wilayah laut.
  • Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang mencakup pengawasan dan penegakan hukum di laut terkait kegiatan kepabeanan.
  • Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia yang mengatur pengelolaan dan yurisdiksi atas landas kontinen, termasuk ketentuan penyidikan yang dilakukan oleh aparat berwenang seperti TNI AL dan PPNS yang ditunjuk sesuai ketentuan yang berlaku.

Selain itu, Undang-undang ini didukung oleh berbagai kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab sesuai bidangnya, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk pengawasan perikanan, TNI AL untuk pertahanan, dan Kementerian Perhubungan untuk aspek pelayaran. Polri dibidang pidana umum. Demikian juga dengan pelanggaran hukum yang tidak terkait dengan pelayaran, kewenangan penegakan hukumnya  telah dibagi habis kepada masing-masing kementerian dan lembaga terkait.

 

2. Filosofi Pembagian Kewenangan: Efisiensi dan Redundansi

Dalam filsafat hukum, prinsip efisiensi dan pencegahan redundansi sangat penting. Konsep ini menekankan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang tidak menciptakan duplikasi fungsi antar lembaga, yang justru dapat menghambat efektivitas penegakan hukum. Indonesia telah membagi habis kewenangan penegakan hukum laut kepada kementerian terkait:

  • TNI AL bertanggung jawab atas aspek pertahanan, kedaulatan, dan keamanan strategis, termasuk penegakan hukum di ZEE berdasarkan UU No. 5 Tahun 1983 dan UU No. 34 Tahun 2004.
  • Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertugas mengawasi dan menegakkan hukum terkait perikanan.
  • Polri menjalankan fungsi penyidikan tindak pidana umum di wilayah perairan sesuai dengan KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  • KPLP berperan dalam penyidikan pelanggaran yang terkait dengan aspek pidana pelayaran sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan peraturan terkait lainnya.

Dengan adanya pembagian tugas ini, maka adanya Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebagai lembaga terpisah dengan fungsi serupa cenderung mengarah pada tumpang tindih wewenang.

 

3. Perspektif Teori Hukum: Prinsip Legalitas dan Penegakan Hukum yang Efektif

Teori hukum Hans Kelsen mengenai hirarki norma hukum menunjukkan bahwa suatu norma hukum harus disusun secara hierarkis dan saling melengkapi. Jika fungsi dan peran hukum sudah tertata rapi dalam sistem hukum nasional, pembentukan UU baru yang menciptakan badan atau fungsi tambahan akan mengakibatkan inkonsistensi dalam penegakan hukum.

Jeremy Bentham, dalam teorinya tentang utilitarianisme, menekankan pentingnya hukum yang membawa manfaat terbesar bagi masyarakat. Penambahan UU keamanan laut dan diikuti dengan legitimasi keberadaan Bakamla justru dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan konflik yurisdiksi, yang berpotensi merugikan efektivitas penegakan hukum.

 

4. Filsafat Hukum: Kepastian Hukum dan Otoritas Negara

Kepastian hukum (legal certainty) adalah prinsip fundamental dalam filsafat hukum yang menekankan bahwa hukum harus jelas dan dapat diandalkan. Kementerian dan lembaga yang sudah ada memiliki kewenangan jelas sesuai dengan bidang masing-masing. Keberadaan Bakamla dapat mengaburkan garis otoritas yang seharusnya tegas.

John Austin, dalam teorinya tentang perintah hukum (command theory), menyatakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa yang memiliki otoritas. Dengan adanya lembaga-lembaga yang sudah memiliki otoritas spesifik seperti TNI AL, KKP, Polri, dan KPLP, penambahan Bakamla berpotensi melemahkan perintah hukum yang seharusnya tunggal dan terstruktur.

 

5. Keamanan sebagai Outcome yang Tidak Dapat Diatur

Salah satu alasan mendasar mengapa UU keamanan laut tidak diperlukan adalah karena keamanan itu sendiri bukanlah suatu tindakan yang dapat diatur secara langsung melalui undang-undang, melainkan merupakan hasil (outcome) dari serangkaian upaya penegakan hukum, pengawasan, dan koordinasi. Keamanan merupakan hasil akhir dari implementasi yang efektif dari peraturan yang ada, bukan produk yang dapat dihasilkan hanya dengan membuat UU baru. Oleh karena itu, fokus seharusnya pada peningkatan kerja sama dan efektivitas penegakan hukum oleh lembaga-lembaga yang sudah ada, bukan pada pembuatan undang-undang baru yang berpotensi menciptakan tumpang tindih.

 

6. Dampak Potensial UU Keamanan Laut terhadap Peran Penyidik dilaut.

Landasan hukum yang ada, seperti KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sudah memberikan kewenangan kepada Polri sebagai penegak hukum umum, termasuk di wilayah perairan, dalam tindak kriminal. Di sisi lain, UU No. 66 Tahun 2024 tentang Revisi ke tiga UU No. 17 Thaun 2008 tentang Pelayaran telah menetapkan KPLP sebagai penyidik yang fokus pada pelanggaran pidana pelayaran. Sementara UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI memberikan kewenangan kepada TNI AL untuk menegakkan hukum dan kedaulatan di wilayah laut yang lebih luas. Mengubah kerangka ini dengan UU baru yang mengatur peran tambahan dapat mengakibatkan inkonsistensi dalam penegakan hukum dan mengaburkan garis otoritas.

 

7. Implikasi Pembentukan UU Keamanan Laut terhadap Bakamla

Karena UU Keamanan Laut sebenarnya tidak diperlukan, keberadaan Bakamla sebagai lembaga terpisah juga menjadi tidak relevan. Tugas dan fungsi Bakamla, yang mencakup pengawasan dan penegakan hukum di laut, pada kenyataannya sudah diemban oleh lembaga-lembaga seperti Polri dan KPLP yang memiliki landasan hukum dan wewenang yang jelas. 

 

Kesimpulan

UU Keamanan Laut tidak diperlukan karena berpotensi menimbulkan tumpang tindih dengan tugas Polisi Perairan yang selama ini telah menjalankan fungsi keamanan dan penyidikan di laut. Keberadaan Bakamla juga tidak lagi relevan karena semua aspek keamanan laut telah terbagi habis pada lembaga-lembaga terkait sesuai bidang dan wewenangnya masing-masing, termasuk kewenangan TNI AL dalam penegakan hukum dan kedaulatan berdasarkan UU ZEE dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, serta KPLP sebagai pengawas dan penegakan peraturan perundangan dibisang Pelayaran berdasarkan UU No. 66 tahun 2024 tentang Revisi ke tiga UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.

*) Kabais TNI 2011-2013

 

1 November 2024

Selamat Datang untuk UU No. 66 Tahun 2024: Perubahan Ketiga atas UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Selamat Datang untuk UU No. 66 Tahun 2024: Perubahan Ketiga atas UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Tonggak Bersejarah dalam Penegakan Hukum Pelayaran Indonesia

Jakarta 02 November 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb.*)

 

Tanggal 28 Oktober 2024 mencatatkan sejarah penting bagi dunia pelayaran Indonesia dengan diresmikannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2024, yang merupakan perubahan ketiga atas UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Perubahan ini tidak hanya menjadi angin segar bagi para pengusaha pelayaran, tetapi juga menetapkan kejelasan kewenangan dalam penegakan hukum di perairan nasional.

 

KPLP Sebagai Otoritas Tunggal dalam Pengawasan dan Penegakan Hukum bidang Pelayaran.

Perubahan dalam UU ini menegaskan peran Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) sebagai badan yang memegang kewenangan tunggal dalam pengawasan dan penegakan hukum di bidang pelayaran. Keberadaan PPNS Hubla (Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bawah Kementerian Perhubungan) diakui sebagai satu-satunya entitas berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran hukum di bidang ini.

Pasal 276 Pasal ini menggarisbawahi bahwa Menteri Perhubungan memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan di bidang pelayaran, termasuk aspek keselamatan, keamanan, serta pencegahan pencemaran di laut.

Pasal 277 Menjelaskan bahwa KPLP bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum terkait keselamatan dan keamanan pelayaran serta pencegahan pencemaran. Fungsi ini dilakukan secara eksklusif oleh KPLP, memastikan tidak ada instansi lain yang beroperasi tanpa koordinasi dengan KPLP.

Pasal 278 Mengatur bahwa PPNS Hubla di bawah Kementerian Perhubungan memiliki kewenangan penyidikan atas dugaan pelanggaran hukum di bidang pelayaran. Hal ini mempertegas posisi mereka sebagai satu-satunya penyidik resmi dalam pelanggaran terkait pelayaran.

Pasal 281 Menekankan kewajiban Menteri untuk menetapkan peraturan pelaksanaan yang rinci mengenai pengawasan, penyidikan, dan penerapan sanksi administratif terkait pelanggaran di bidang pelayaran.

 

Implikasi Bagi Dunia Pelayaran

Kelahiran undang-undang ini menandai berakhirnya era di mana pemeriksaan kapal dapat dilakukan oleh berbagai instansi tanpa kendali yang jelas. Dengan adanya UU No. 66 Tahun 2024, KPLP menjadi garda terdepan dalam memastikan kepatuhan terhadap peraturan pelayaran, sementara instansi lain harus tunduk pada koordinasi yang telah ditetapkan.

Pengusaha pelayaran kini memiliki kejelasan hukum yang lebih baik, yang melindungi operasional mereka dari potensi gangguan dan penahanan kapal oleh pihak-pihak di luar KPLP. Jika terjadi tindakan pemeriksaan oleh instansi lain tanpa prosedur yang sah, perusahaan pelayaran memiliki hak untuk mengajukan pra peradilan.

Dengan UU ini, keamanan dan efisiensi pelayaran di perairan Indonesia dapat terjaga, mendukung stabilitas ekonomi nasional dan internasional.

 

Implikasi Bagi Penyidik Instansi Lainnya

Dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2024, penyidik dari instansi lain, seperti TNI AL, dan Polri, harus menyesuaikan peran dan kewenangan mereka dalam konteks penegakan hukum di bidang pelayaran. Berikut adalah implikasi yang dihadapi oleh penyidik dari instansi-instansi tersebut:

  1. Batasan Kewenangan:
    • Undang-undang ini menegaskan bahwa hanya PPNS Hubla di bawah Kementerian Perhubungan yang memiliki kewenangan tunggal untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran peraturan di bidang pelayaran. Penyidik dari instansi lain tidak dapat melakukan penyidikan atau pemeriksaan kapal niaga secara independen tanpa koordinasi dengan KPLP.
    • Hal ini berarti bahwa TNI AL, dan Polri harus menyesuaikan peran mereka dalam kegiatan patroli dan penegakan hukum di laut untuk memastikan tidak melampaui kewenangan yang diatur dalam undang-undang.
  2. Koordinasi yang Lebih Ketat:
    • Instansi lain yang memiliki tugas pengamanan laut, seperti TNI AL yang bertugas menjaga kedaulatan negara, tetap dapat melaksanakan fungsi keamanan maritim, namun setiap aktivitas penegakan hukum di bidang pelayaran harus dilakukan dengan koordinasi bersama KPLP.
    • Polri yang memiliki peran dalam penegakan hukum pidana umum perlu mematuhi aturan ini, sehingga tidak ada lagi penahanan atau pemeriksaan kapal yang melanggar ketentuan UU 66 tahun 2024.
  3. Potensi Pra Peradilan:
    • Jika instansi selain PPNS Hubla melaksanakan tindakan penyidikan atau pemeriksaan kapal tanpa dasar hukum yang sah, hal tersebut dapat dipermasalahkan melalui mekanisme pra peradilan. Pengusaha pelayaran yang merasa dirugikan akibat tindakan penahanan atau pemeriksaan yang tidak sesuai dengan UU No. 66 Tahun 2024 berhak mengajukan gugatan pra peradilan untuk menantang keabsahan tindakan tersebut.

Hal ini menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, di mana undang-undang yang baru, seperti UU No. 66 Tahun 2024: Perubahan Ketiga atas UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran harus diutamakan dibandingkan aturan-aturan yang lama (UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran)

 

Penyesuaian Operasional Instansi Lain

Instansi-instansi yang sebelumnya terlibat dalam penegakan hukum di laut kini harus:

  • Menyelaraskan SOP internal mereka dengan ketentuan yang tertuang dalam UU No. 66 Tahun 2024.
  • Memastikan personel memahami batasan kewenangan mereka dan bekerja sama dengan KPLP dalam upaya penegakan hukum di bidang pelayaran.
  • Menghindari tindakan independen dalam penyidikan kasus pelanggaran di bidang pelayaran yang dapat berpotensi menimbulkan gugatan hukum.

 

Dampak Positif Bagi Kepastian Hukum

Revisi undang-undang ini memberikan kejelasan yang signifikan dalam penegakan hukum di perairan Indonesia, menghindari tumpang tindih kewenangan dan memastikan bahwa pemeriksaan kapal yang berlayar dilakukan secara sah dan sesuai prosedur. Dengan demikian, penegakan hukum di laut menjadi lebih transparan, adil, dan tidak menimbulkan kerugian yang tidak perlu bagi para pelaku usaha pelayaran.

 

Kesimpulan

Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 66 Tahun 2024, Indonesia telah mengambil langkah signifikan dalam meningkatkan kepastian hukum di bidang pelayaran. Kewenangan tunggal yang diberikan kepada PPNS Hubla salah satunya adalah KPLP akan membantu menciptakan koordinasi yang lebih baik dan menghindari tumpang tindih kewenangan yang dapat mengganggu operasional pelayaran. Perusahaan pelayaran pun kini memiliki jaminan hukum yang lebih kuat untuk beroperasi tanpa gangguan dari instansi yang tidak berwenang.

 *) Kabais TNI 2011-2013