30 Mei 2025

“Helsinki di Ujung Kenangan”

 

“Helsinki di Ujung kenangan”

oleh Soleman B. Ponto, terinspirasi MoU Helsinki

Di ujung kenangan yang lelah
dan di balik jendela kaca berembun Finlandia,
dua tangan yang pernah saling menuding
akhirnya bertemu...
bukan untuk menarik pelatuk,
tapi untuk menandatangani janji pulang ke rumah.

Helsinki,
kau tak punya tugu pahlawan Aceh,
kau tak mengerti rencong, kopi, dan tanah basah
yang menyimpan isak anak-anak Lhokseumawe.
Namun di kota salju itulah,
sejarah memilih duduk diam,
dan berkata: “Damai itu tidak harus satu bangsa dua negara,
cukup satu hati dua pengertian.”

MoU bukan mantra, bukan akta warisan
Ia hanya selembar kertas
yang membungkus rindu pada kemanusiaan
yang terlalu lama tertahan di hutan-hutan sunyi
dan di rumah-rumah tanpa ayah pulang.

Dan kini,
di kampung yang dulu bergetar oleh suara tembakan,
anak-anak mulai belajar menulis kata baru:
“Pemilu, partai lokal, dan otonomi.”
Mereka tak lagi menggambar helikopter tempur,
tapi bendera Aceh berkibar di antara merah putih
tanpa rasa takut dikira makar.

MoU tidak punya masa berlaku,
karena damai,
seharusnya tidak mengenal tanggal kedaluwarsa.
Ia hanya mengenal setia —
setia pada janji,
setia pada luka yang tak ingin diulang,
setia pada cita-cita agar tanah rencong
tak lagi basah oleh air mata yang salah alamat.

Dan bila kelak,
ada yang ingin merobek isi janji itu,
ingatlah:
tinta yang tertulis di Helsinki
berasal dari darah yang tak ingin tumpah lagi.

20 Mei 2025

SURAT TERBUKA KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

 SURAT TERBUKA KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Tentang Bahaya Pemisahan Keuangan BUMN dari Keuangan Negara

Kepada Yth.
Para Hakim Konstitusi
di
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jalan Medan Merdeka Barat No. 6
Jakarta Pusat 10110

Dengan hormat,

Kami sebagai bagian dari masyarakat akademik dan warga negara yang menjunjung tinggi prinsip negara hukum, menyampaikan keprihatinan serius dan penolakan tegas atas keberlakuan Pasal 3H ayat (2), Pasal 3X ayat (1), Pasal 4B, Pasal 9G, dan Pasal 87 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN), yang kini tengah diuji materiil di hadapan Mahkamah Konstitusi.

Substansi Keberatan Kami

Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa:

  • Keuangan dan kerugian BUMN serta Danantara bukan bagian dari keuangan negara;

  • Pegawai dan pejabat BUMN bukanlah penyelenggara negara.

Kami berpandangan bahwa ketentuan-ketentuan ini bertentangan secara substansial dan sistematis dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya:

  • Pasal 1 ayat (3): Indonesia adalah negara hukum;

  • Pasal 28D ayat (1): Jaminan kepastian hukum yang adil;

  • Pasal 23: Pengelolaan APBN dan keuangan negara dilakukan secara transparan dan akuntabel;

  • Pasal 33: Kekayaan negara dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Argumentasi Konstitusional

  1. Pemisahan keuangan BUMN dari keuangan negara secara hukum menghilangkan ruang pertanggungjawaban publik. Padahal BUMN berasal dari investasi negara dan tunduk pada prinsip akuntabilitas publik.

  2. Penghapusan status “penyelenggara negara” dari pejabat BUMN membuka celah korupsi, karena mereka tidak lagi wajib melapor harta kekayaan dan tidak berada dalam ruang pengawasan lembaga penegak hukum seperti KPK.

  3. Ketentuan-ketentuan tersebut juga menciptakan pertentangan antarundang-undang (UU BUMN vs UU Keuangan Negara dan UU Tipikor), serta mengganggu sistem perundang-undangan nasional.

Permohonan Kami

Dengan ini, kami memohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia agar:

  1. Menyatakan Pasal 3H ayat (2), Pasal 3X ayat (1), Pasal 4B, Pasal 9G, dan Pasal 87 ayat (5) UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

  2. Menegaskan bahwa BUMN adalah entitas milik negara yang dibiayai oleh negara dan harus tunduk pada prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang terbuka, akuntabel, dan diawasi oleh publik.

  3. Menegaskan bahwa pejabat BUMN adalah bagian dari penyelenggara negara karena mereka mengelola dana publik dan kekayaan negara.

Penutup

Kami percaya bahwa Mahkamah Konstitusi adalah penjaga terakhir konstitusi dan pilar tegaknya negara hukum. Kami berharap MK akan berdiri tegak di atas konstitusi dan nurani rakyat, serta tidak membiarkan negara kabur dari tanggung jawabnya kepada rakyat.

Atas perhatian dan keberanian para Hakim Konstitusi dalam menjaga konstitusi, kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB


17 Mei 2025

Pandangan Politik Purnawirawan TNI dalam Bingkai Kesetiaan pada Negara, bagaikan Bayonet dan Keris

Pandangan Politik Purnawirawan TNI dalam Bingkai Kesetiaan pada Negara, bagaikan Bayonet dan Keris

Jakarta 17 Mei 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB

Pendahuluan.
Di medan perang, seorang prajurit TNI mengenal satu hal: kejelasan. Komando adalah kepastian, musuh adalah nyata, dan tujuan adalah membela negara, apa pun taruhannya. Mereka ditempa dalam sistem yang menuntut ketegasan tanpa keraguan, loyalitas tanpa syarat, dan keberanian tanpa batas. Dari tempaan itulah lahir jiwa-jiwa tangguh yang tak hanya memanggul senjata, tapi juga nilai: kehormatan, pengabdian, dan persatuan. Mereka adalah bayonet—tajam, lurus, dan hanya mengenal satu arah: ke depan.

Namun waktu berjalan. Masa tugas berlalu. Seragam dilipat, senjata disimpan, dan kehidupan sipil menyambut mereka. Di dunia baru ini, mereka tidak lagi berjalan dalam barisan komando, melainkan di antara suara-suara yang beragam, tafsir hukum yang bercabang, dan politik yang tak selalu tegas. Dunia ini bukan lagi dunia bayonet—dunia ini adalah dunia keris: berliku, berlapis makna, indah namun rumit, tajam namun tidak selalu menusuk lurus.

Sebagian purnawirawan memilih tetap memegang prinsip bayonet: bersuara lantang, meluruskan arah, menantang penyimpangan. Sebagian lainnya memahami perlunya keris: lentur dalam strategi, bijak dalam langkah, dan memilih mengawal negara dari dalam sistem. Maka tampaklah perbedaan pandangan di antara mereka—perbedaan yang sering kali disalahartikan sebagai perpecahan.

Padahal, sesungguhnya mereka tetap satu. Jiwa mereka tetap berpijak pada sumpah prajurit, nilai-nilai Sapta Marga, dan semangat untuk menjaga republik. Yang berbeda bukanlah niat, melainkan cara. Bukan tujuan, melainkan pendekatan.

Artikel ini ditulis untuk menyelami dinamika batin dan psikologi sosial para purnawirawan TNI yang kini tampil dengan ragam suara di tengah pusaran demokrasi. Ini adalah upaya untuk memahami bahwa bayonet dan keris bukan simbol pertentangan, tetapi dua sisi dari satu jiwa: tegas dalam prinsip, namun bijak dalam menghadapi zaman.

1. Jiwa yang Terbentuk oleh Komando: Lurus seperti Bayonet
Bayonet bukan sekadar logam yang diasah tajam. Dalam dunia militer, ia adalah simbol dari sikap hidup: lurus, tegas, dan setia. Begitulah para prajurit TNI dibentuk. Mereka tidak dilatih untuk membantah, melainkan untuk menuntaskan misi. Tidak diajarkan untuk menimbang untung rugi pribadi, melainkan membela kehormatan bangsa. Dalam dunia militer, ketegasan adalah bentuk tertinggi dari pengabdian, dan kepatuhan adalah cerminan kepercayaan terhadap sistem.

 Dalam ruang ini, para prajurit tumbuh sebagai pribadi yang satu irama. Mereka tak butuh debat untuk melangkah, cukup satu komando dari atasan. Tidak ada ruang abu-abu. Hitam dan putih begitu jelas. Dan selama mereka berada dalam lingkungan itu, kesatuan adalah nafas bersama.

Namun, dunia sipil tidak mengenal satu komando. Demokrasi tidak berjalan dengan aba-aba, melainkan dengan tafsir dan kompromi. Di sinilah pergolakan dimulai.

2. Setelah Seragam Dilipat: Dunia Meliuk seperti Keris.
Saat seorang prajurit menanggalkan seragam dan memasuki dunia sipil, ia memasuki realitas yang sama sekali berbeda. Dunia yang tak lagi mengenal rantai komando, tapi dipenuhi dengan perdebatan, opini, dan tarik menarik kepentingan. Dunia ini penuh simbol dan strategi. Dunia yang tidak berjalan lurus, melainkan berkelok—seperti keris yang indah tapi tajam, lembut tapi mematikan bila salah dipahami.

Hukum dalam dunia sipil tidak selalu diterapkan seperti disiplin militer. Hukum bisa ditafsirkan, diperdebatkan, bahkan kadang dimanfaatkan. Di sinilah kegelisahan itu lahir. Seorang purnawirawan yang seumur hidupnya menjunjung tegaknya konstitusi bisa menjadi kecewa ketika melihat hukum dipakai sebagai alat kekuasaan. Bagi mereka, itu bukan sekadar pelanggaran, tapi pengkhianatan terhadap nilai-nilai perjuangan yang dulu mereka bela.

Di sinilah kita mulai melihat dua reaksi berbeda dari para purnawirawan.

3. Dua Jalan, Satu Arah: Perbedaan sebagai Strategi, Bukan Perpecahan.
Sebagian purnawirawan memilih untuk bersuara keras. Mereka hadir dalam forum-forum yang menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah, terhadap tafsir hukum yang dianggap menyimpang, bahkan terhadap proses politik yang mereka nilai mencederai demokrasi. Mereka merasa terpanggil untuk kembali berjuang, bukan dengan senjata, tapi dengan suara dan sikap moral.

Namun di sisi lain, ada pula purnawirawan yang memilih jalan berbeda. Mereka bergabung dengan pemerintahan, duduk di kursi strategis, membantu menyusun kebijakan, dan percaya bahwa perubahan besar hanya bisa dilakukan dari dalam sistem. Bagi mereka, stabilitas adalah pilar pembangunan. Mereka percaya bahwa negara yang terus diguncang konflik tak akan mampu berdiri kuat.

Dari luar, dua sikap ini tampak bertolak belakang. Tapi bila kita cermati lebih dalam, keduanya sesungguhnya memiliki akar yang sama: cinta tanah air, kepedulian pada rakyat, dan komitmen menjaga NKRI.

 Perbedaan itu bukan perpecahan. Ia adalah bentuk dari kebijaksanaan dalam strategi. Bayonet dan keris sama-sama senjata. Yang satu menusuk lurus ke depan, yang satu melukai dari sisi tak terduga. Tapi keduanya hanya digunakan demi satu tujuan: menang dalam perjuangan.

4. Penyebab Psikososial Perbedaan Pandangan.
Mengapa perbedaan ini bisa muncul begitu nyata? Ada beberapa faktor yang dapat kita pahami dari kacamata psikologi dan sosiologi:

a. Peralihan dari Struktur Hierarkis ke Ruang Demokratis.
Di dunia militer, tidak ada banyak ruang untuk tafsir. Segalanya pasti. Tapi di dunia sipil, setiap kebijakan bisa diperdebatkan, setiap hukum bisa ditafsirkan. Ketika prajurit masuk ke dunia itu, sebagian menyesuaikan diri dengan baik, sebagian lainnya merasa perlu bersikap untuk meluruskan apa yang mereka anggap telah melenceng.

b. Jaringan Sosial dan Politik Pasca-Pensiun.
Setelah pensiun, para purnawirawan tidak lagi berada dalam satu institusi. Mereka masuk ke berbagai kelompok: partai politik, lembaga swadaya masyarakat, sektor bisnis, hingga media. Lingkungan baru ini memengaruhi cara pandang mereka, termasuk posisi politik mereka.

c. Pengalaman Tugas yang Berbeda.
Seorang mantan jenderal yang lama bertugas di daerah konflik mungkin memiliki kepekaan tinggi terhadap isu disintegrasi bangsa. Sementara mereka yang banyak berkutat dalam diplomasi pertahanan bisa jadi lebih kompromistis dan moderat dalam menyikapi situasi nasional. Pengalaman tugas ini sangat menentukan.

d. Respons terhadap Situasi Hukum dan Pemerintahan.
Ada purnawirawan yang melihat hukum hari ini tidak lagi menjadi alat keadilan, melainkan alat kekuasaan. Ada pula yang melihat bahwa situasi tidak seburuk itu dan bahwa negara masih berada di jalur yang benar. Keduanya sama-sama didorong oleh kepedulian terhadap masa depan bangsa, hanya berbeda dalam penilaian dan pendekatannya.

5. Jiwa Prajurit Tak Pernah Purna.
Yang perlu dipahami oleh masyarakat luas adalah bahwa status "purnawirawan" hanya berlaku secara administratif. Jiwa kejuangan mereka tidak pernah benar-benar berhenti. Nilai-nilai Sapta Marga masih mereka bawa dalam pergaulan sipil. Bedanya, kini mereka berjuang bukan lagi dengan senjata dan strategi militer, tapi dengan suara, tulisan, dan pilihan politik.

Perbedaan mereka adalah ekspresi dari kemerdekaan berpikir yang justru merupakan hasil dari demokrasi yang sehat. Demokrasi memberi ruang untuk berbeda, dan perbedaan di antara mereka adalah bentuk dari kepedulian yang mendalam, bukan perseteruan yang dangkal.

Kesimpulan.
Perbedaan pandangan politik di kalangan purnawirawan TNI bukanlah tanda perpecahan atau lunturnya semangat persatuan, melainkan cerminan dari dinamika baru yang mereka hadapi setelah melepas seragam. Mereka telah berpindah dari dunia militer yang tegak lurus seperti bayonet, ke dunia sipil yang penuh tafsir dan strategi seperti keris. Di ruang demokrasi, suara mereka pun beragam: ada yang memilih jalur kritik terbuka, ada pula yang menempuh strategi dari dalam sistem pemerintahan.

Namun di balik ragam pendekatan tersebut, jiwa mereka tetap satu. Nilai-nilai Sapta Marga, semangat pengabdian kepada bangsa dan negara, serta komitmen terhadap keutuhan NKRI tidak pernah purna. Yang berbeda adalah cara mereka menyuarakan kepedulian itu, tergantung pada latar belakang penugasan, jejaring sosial pasca-dinas, pengalaman hidup, dan pemaknaan terhadap kondisi bangsa hari ini.

Perbedaan bukanlah pengkhianatan. Justru di dalam perbedaan tersebut, terkandung semangat untuk terus menjaga republik dari berbagai sudut dan pendekatan. Maka, memahami para purnawirawan tidak cukup hanya dengan melihat posisi politik mereka hari ini, tetapi dengan memahami perjalanan panjang mereka sebagai prajurit yang dulu siap mati demi Merah Putih—dan kini, tetap berjuang demi tegaknya keadilan dan kedaulatan negara, meski tanpa senjata.

Bayonet dan keris bukan pertentangan. Keduanya adalah alat perjuangan. Dan para purnawirawan adalah penjaga republik, yang kini melangkah dalam ragam arah, tetapi tetap menuju satu tujuan: Indonesia yang utuh, adil, dan berdaulat.

 

16 Mei 2025

Dari Pantja Sila ke Dasar Negara

Dari Pantja Sila ke Dasar Negara

Jakarta 16 Mei 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

Dari Pancasila ke Dasar Negara

Sebentar lagi, bangsa Indonesia akan memperingati 1 Juni, hari ketika Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI tahun 1945 menyampaikan pidato bersejarah yang memperkenalkan "Pantja Sila" sebagai dasar negara. Dalam pidato tersebut, Soekarno menguraikan lima prinsip yang terdiri atas: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan.

Pidato itu menandai dimulainya proses perumusan arah ideologis bangsa Indonesia yang akan segera merdeka.

Setelah "Pantja Sila" (Lima Sila) diterima atas usulan noodmaatregel dari Soekarno sebagai NAMA falsafah dasar negara pada 1 Juni 1945, maka untuk merumuskan lima sila "Pantja Sila" itu Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat sebelum berakhir persidangan BPUPKI membentuk Panitia Delapan yang terdiri dari :

1.⁠ ⁠Ir. Soekarno, 

2.⁠ ⁠Drs. Mohammad Hatta, 

3.⁠ ⁠Ki Bagus Hadikusumo, 

4.⁠ ⁠Mr. Muhammad Yamin, 

5.⁠ ⁠Mr. A.A. Maramis, 

6.⁠ ⁠R. Otto Iskandardinata, 

7.⁠ ⁠Mas Soetardjo Kartohadikusumo, dan 

8.⁠ ⁠K.H.A. Wahid Hasyim. 


Panitia ini dibentuk untuk mengkaji dan merumuskan dasar negara setelah sidang pertama BPUPKI.
Namun hingga sidang BPUPKI ditutup pada 1 Juni 1945, belum dihasilkan rumusan tertulis yang resmi. Untuk itu, Soekarno sebagai ketua panitia delapan atas inisiatif sendiri dan mendapat masukan dari anggota-anggota BPUPKI, membentuk panitia baru,  yaitu sebuah tim kecil beranggotakan sembilan orang dari berbagai latar belakang politik dan agama. Tim ini dikenal sebagai Panitia Sembilan.

Panitia Sembilan terdiri atas:

1. Ir. Soekarno

2. Drs. Mohammad Hatta

3. Mr. A.A. Maramis

4. Mr. Achmad Soebardjo

5. Mr. Mohammad Yamin

6. KH. Wahid Hasyim

7. H. Agus Salim

8. Abikoesno Tjokrosoejoso

9. Abdul Kahar Muzakkir

Setelah melakukan beberapa kali pertemuan, pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan menghasilkan sebuah naskah bersejarah yang dinamakan Piagam Jakarta. Dalam naskah itu resmi tertulis pertama kali mengenai Dasar Negara Indonesia.

Isi Piagam Jakarta diawali dengan pernyataan kemerdekaan dan tujuan negara, serta diakhiri dengan lima dasar negara sebagai berikut:

Mukadimah Piagam Jakarta (22 Juni 1945)

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada:

1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Piagam Jakarta inilah yang menjadi sumber utama dalam penyusunan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketika kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, maka keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945, PPKI bersidang dan mengesahkan UUD 1945.

Naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI secara keseluruhan mengikuti struktur dan isi Piagam Jakarta, dengan satu perubahan penting, yaitu pada sila pertama dasar negara.

Perubahan tersebut adalah:

- Dari: "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"

- Menjadi: "Ketuhanan Yang Maha Esa"

Perubahan ini dilakukan menjelang pengesahan UUD 1945 pada 18 Agustus. Setelah perubahan itu, naskah Piagam Jakarta yang telah memuat seluruh alinea dan isi dasar negara diadopsi menjadi Pembukaan UUD 1945 yang selengkpapny berbunyi :

Pembukaan UUD 1945 (18 Agustus 1945)

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Kesimpulan.

Melalui alur sejarah tersebut, kita mengenali tiga titik penting dalam proses lahirnya dasar negara Indonesia:

- 1 Juni 1945: lahirnya Pancasila, diperkenalkan secara lisan oleh Ir. Soekarno.

- 22 Juni 1945: lahirnya Piagam Jakarta, sebagai rumusan tertulis resmi pertama kali dasar negara yang dihasilkan oleh Panitia Sembilan.

- 18 Agustus 1945: pengesahan UUD 1945 oleh PPKI, yang dijiwai dan bersumber dari naskah Piagam Jakarta, dengan perubahan pada rumusan sila pertama.

Oleh karena itu, apabila 1 Juni telah ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila, dan 18 Agustus dikenang sebagai Hari Lahir UUD 1945, maka tidak ada alasan untuk tidak memperingati tanggal 22 Juni sebagai Hari Lahir Piagam Jakarta. Naskah inilah yang menyambungkan gagasan Pancasila dengan pembentukan hukum dasar negara. Piagam Jakarta adalah penopang utama struktur konstitusi Indonesia.

 *)Kabais TNI 2011-2013

 

13 Mei 2025

Legitimasi Hukum Permintaan Bantuan TNI oleh Kejaksaan dalam Perspektif Teori Hukum dan Filsafat Hukum

Legitimasi Hukum Permintaan Bantuan TNI oleh Kejaksaan dalam Perspektif Teori Hukum dan Filsafat Hukum

Jakarta 7 Mei 2025

oleh: Laksda TNI Soleman B Ponto, ST, SH, MH ,CPM, CPARB*)

I. PENDAHULUAN

Permintaan bantuan pengamanan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) oleh Kejaksaan Republik Indonesia menjadi polemik yang mengandung dimensi hukum, tata negara, serta keamanan nasional. Secara faktual, terdapat kondisi ancaman terhadap integritas dan keselamatan fisik institusi Kejaksaan dan para jaksa, terutama dalam penanganan perkara-perkara besar yang melibatkan kekuatan bersenjata atau jaringan terorganisir. Situasi ini memunculkan pertanyaan: apakah permintaan tersebut dapat dibenarkan secara hukum? Dalam opini ini, penulis akan mengelaborasi isu tersebut dengan pendekatan teori hukum (positivisme, hukum responsif, dan wewenang hukum) serta filsafat hukum (Aristoteles, Hobbes, dan Radbruch).

II. TINJAUAN DARI PERSPEKTIF TEORI HUKUM

1. Teori Positivisme Hukum (Hans Kelsen)

Hans Kelsen menyatakan bahwa norma hukum berlaku jika diturunkan dari norma yang lebih tinggi dalam sistem hierarki hukum. Dalam konteks permintaan bantuan TNI oleh Kejaksaan, walaupun tidak ada norma eksplisit dalam UU Kejaksaan, tindakan tersebut dapat didasarkan pada:

- Pasal 10 dan Pasal 30 UUD 1945 yang menyebutkan fungsi Presiden dan TNI dalam menjaga keamanan dan pertahanan negara.

- Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengatur tugas OMSP (Operasi Militer Selain Perang), termasuk pengamanan objek vital nasional.

Secara positivistik, tindakan Kejaksaan sah jika bersumber dari norma yang lebih tinggi dan tidak bertentangan dengan sistem hukum yang ada.

2. Teori Hukum Responsif (Philippe Nonet & Philip Selznick)

Teori hukum responsif menekankan bahwa hukum harus adaptif terhadap kebutuhan sosial dan realitas empiris. Ancaman terhadap Kejaksaan dapat melemahkan fungsi penegakan hukum dan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Dalam situasi tersebut, hukum tidak boleh kaku atau bersifat prosedural semata. Permintaan bantuan kepada TNI adalah bentuk respons terhadap kebutuhan riil, demi menjamin eksistensi dan fungsi lembaga hukum.

3. Teori Wewenang Hukum (H.L.A. Hart)

Menurut H.L.A. Hart, sistem hukum terdiri dari aturan primer (perintah substantif) dan aturan sekunder (prosedur pelaksanaan). Permintaan bantuan kepada TNI oleh Kejaksaan dapat dikategorikan sebagai penggunaan aturan sekunder, yaitu dalam hal pelaksanaan tugas penegakan hukum yang menghadapi hambatan keamanan. Sepanjang tindakan tersebut tidak bertentangan dengan aturan primer, maka secara normatif ia dapat diterima.

III. TINJAUAN DARI PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM

1. Aristoteles dan Keadilan Protektif

Aristoteles membagi keadilan menjadi keadilan distributif dan korektif, namun dalam konteks negara modern dapat ditarik konsep keadilan protektif, yaitu negara wajib melindungi instrumen-instrumen keadilan dari ancaman kekerasan. Jika jaksa tidak dapat bekerja karena rasa takut terhadap ancaman, maka negara telah gagal menjalankan keadilan.

2. Thomas Hobbes dan Leviathan

Dalam teori Hobbes, negara dibentuk untuk menghindari kekacauan dan menjamin keselamatan warganya dari ancaman. Negara memiliki legitimasi penuh untuk menggunakan seluruh perangkat kekuatannya, termasuk militer, untuk memastikan stabilitas. Dalam kerangka Leviathan, TNI adalah bagian dari kekuatan negara yang sah untuk dikerahkan demi menjaga institusi hukum dari potensi kekerasan yang tidak dapat ditangani oleh kepolisian.

3. Gustav Radbruch dan Supremasi Keadilan

Radbruch menyatakan bahwa hukum yang ekstrem tidak adil bukanlah hukum. Dalam kondisi darurat, supremasi keadilan harus didahulukan dibanding kepastian hukum prosedural. Jika Kejaksaan menghadapi ancaman dan negara tidak memberikan perlindungan, maka hal itu merupakan pelanggaran terhadap prinsip keadilan itu sendiri. Bantuan TNI bukan pelanggaran hukum, tetapi pemulihan terhadap keadilan yang lebih tinggi.

IV. ANALOGI DENGAN PASAL 34 UU KEPABEANAN

Pasal 34 UU 39/2007 tentang perubahan atas UU 11/ 1995 tentang Cukai memberikan dasar eksplisit kepada pejabat bea dan cukai untuk meminta bantuan TNI dan Polri. Jika lembaga administratif seperti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diizinkan secara hukum untuk meminta dukungan kekuatan militer, maka analoginya Kejaksaan yang berperan sebagai institusi inti penegakan hukum tentu lebih layak dan mendesak untuk memperoleh bantuan serupa dalam menghadapi risiko sistemik terhadap tugas konstitusionalnya.

 

V. KESIMPULAN

Permintaan bantuan pengamanan dari TNI oleh Kejaksaan RI dapat dibenarkan secara hukum berdasarkan pendekatan positivistik (sumber norma dari UU TNI dan UUD 1945), responsif (menjawab kebutuhan perlindungan institusi hukum), dan teori wewenang hukum. Dalam perspektif filsafat hukum, hal ini adalah perwujudan dari keadilan protektif (Aristoteles), kekuasaan sah negara (Hobbes), dan supremasi nilai keadilan atas prosedur (Radbruch). Analogi dengan Pasal 34 UU Kepabeanan memperkuat argumentasi legal bahwa kerjasama antara institusi sipil dan militer dalam konteks pengamanan bukanlah penyimpangan hukum, melainkan pelaksanaan prinsip negara hukum yang adil, kuat, dan responsif.

Demikian opini hukum ini disusun untuk memberikan landasan yuridis dan filosofis bagi tindakan koordinatif dan preventif antara Kejaksaan dan TNI demi menjaga supremasi hukum di Indonesia.

*)KABAIS TNI 2011-2013

 

 

12 Mei 2025

Prajurit Tua dan Negeri Pelupa: Kami Rebut, Kalian Duduki – Jangan Paksa Kami Bangkit Lagi

Prajurit Tua dan Negeri Pelupa: Kami Rebut, Kalian Duduki – Jangan Paksa Kami Bangkit Lagi

Jakarta 12 Mei 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPARB, CPM*)

Sejarah berdirinya Indonesia bukanlah kisah lembaga-lembaga sipil yang tertib berdiskusi di meja perundingan, melainkan narasi tentang darah, tanah, dan senjata. Ketika Proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan, Indonesia belum memiliki negara—belum ada birokrasi, belum ada hukum yang berjalan, belum ada kepolisian. Yang ada hanya semangat merdeka, senjata peninggalan Jepang, dan keberanian anak-anak bangsa yang mengangkat senjata demi mempertahankan setiap jengkal tanah air. Maka, militer—dalam bentuk laskar, tentara rakyat, dan eks PETA—bukan hanya pembela negara, tapi pendiri de facto republik ini.

Militer Merebut dan Mengisi Kekuasaan

Pada awal kemerdekaan, wilayah Indonesia tidak otomatis dikuasai oleh pemerintahan pusat di Jakarta. Banyak daerah yang dipertahankan dan dikuasai oleh kekuatan bersenjata lokal. Militer muncul sebagai kekuatan terorganisir pertama yang bukan hanya melawan penjajah, tetapi juga menjaga stabilitas sosial. Militer mengisi kekosongan kekuasaan, mengelola logistik, mengatur distribusi pangan, menjaga keamanan desa dan kota, bahkan kadang menjadi penguasa administratif di daerah-daerah yang belum tersentuh struktur sipil.

Inilah fase ketika militer Indonesia memainkan peran historis yang khas: merebut wilayah, lalu menundukkan kekuasaan demi negara.

Pergeseran ke Pemerintahan Sipil dan Pemasungan Militer

Namun, seiring berjalannya waktu, negara harus ditata ulang agar menjadi negara hukum. Maka dimulailah proses pembentukan pemerintahan sipil dan konstitusi. Militer secara perlahan "dimasukkan ke kandang", bukan lagi kekuatan politik, tetapi menjadi alat pertahanan. Apalagi setelah reformasi 1998, militer bukan hanya ditarik dari parlemen dan jabatan sipil, tapi juga dihapuskan hak politiknya secara sistematis.

Kini militer digambarkan seperti "herder penjaga pagar": dijaga ketat, hanya dilepas bila ada ancaman. Ia dilarang menggonggong terlalu keras, apalagi menggigit—meski yang datang mengancam adalah herder asing atau anjing liar dari dalam negeri sendiri. Sementara sebagian masyarakat sipil mulai memandang sinis militer sebagai masa lalu yang kelam.

Prajurit Tua yang Bangkit Bicara

Namun sejarah tidak berhenti di sana. Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena purnawirawan TNI—yang sering dijuluki “prajurit tua”—kembali muncul ke ruang publik. Mereka bersuara. Mereka membuat pernyataan. Mereka mengingatkan negara bahwa dahulu mereka bertempur, terluka, dan mengorbankan jiwa raga demi tanah air yang kini dikelola oleh para sipil muda yang tak pernah merasakan beratnya sepatu lars dan dinginnya laras senjata.

Sayangnya, suara mereka tidak selalu disambut dengan hormat. Sebagian dianggap mengganggu, dicibir sebagai oportunis, bahkan difitnah haus kekuasaan. Ada yang menyebut mereka "sudah ompong", "ketinggalan zaman", atau "tidak tahu diri". Padahal, prajurit tua tidak ingin merebut kekuasaan kembali. Mereka hanya ingin mengingatkan.

Mereka tahu mereka sudah tua. Tapi siapa bilang taring prajurit tua tidak lagi tajam? Seperti komodo yang lamban tapi mematikan, para purnawirawan ini punya pengalaman, jaringan, dan pemahaman tentang negara yang jauh melampaui usia pensiun mereka.

Menghargai Akar, Bukan Menguburnya

Negara ini berdiri bukan hanya karena pena dan pidato. Ia berdiri karena ada prajurit-prajurit muda yang dulu bersedia mati agar merah putih tetap berkibar. Kini mereka menjadi prajurit tua yang bersuara bukan karena haus kekuasaan, tapi karena cinta tanah air yang belum usai.

Mengurung militer adalah kewajiban negara demokratis. Tapi melupakan sejarah peran militer, dan mencemooh prajurit tua yang mengingatkan—itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap akar berdirinya republik ini. Demokrasi yang baik bukan yang membungkam sejarah, melainkan yang berdiri tegak di atas hormat terhadap pengorbanan.

Negeri ini berdiri bukan dari debat seminar, bukan dari diskusi akademik, bukan dari rapat-rapat di gedung ber-AC. Negeri ini lahir dari dentuman senjata dan jeritan luka. Kamilah—prajurit-prajurit muda kala itu—yang membayar harga kemerdekaan dengan darah dan nyawa. Kalian hanya tinggal menempatinya. Tapi mengapa kini kami dicemooh, dijadikan kambing hitam, seolah kami adalah beban sejarah?

Kami yang Merebut, Kalian yang Menikmati

Saat Republik ini diproklamasikan, tak ada struktur negara. Yang ada hanya semangat dan senjata. Maka kami rebut wilayah dari Belanda dan sekutunya. Kami bukan hanya bertempur—kami mendirikan tatanan, menjaga kota, mengatur logistik, dan menegakkan hukum ketika hukum belum ada. Kami lah pilar pertama bangsa ini.

Sekarang, ketika kalian telah nyaman duduk di atas fondasi yang kami bangun, kalian bilang kami tua, kami tidak relevan, bahkan disebut ancaman demokrasi. Ironis. Kalian duduk di atas kursi yang kami rebutkan, tapi meludah ke wajah kami yang sudah renta.

UU TNI Diperbaiki, Kalian Ribut

Ketika Undang-Undang TNI direvisi untuk memperkuat peran pertahanan dan menyesuaikan dengan ancaman masa kini, kalian ribut: “Militer mau kembali ke politik!” Padahal tidak ada satu pasal pun yang menyebut kami ingin merebut kekuasaan sipil.

Kalian ribut saat UU TNI direvisi, tapi diam ketika korupsi merajalela. Diam ketika aparat hukum dikendalikan oleh kepentingan. Diam ketika para pengkhianat bangsa menjual sumber daya ke asing.

Kejaksaan Dilindungi, Kalian Ribut

Ketika prajurit TNI berjaga di kejaksaan—bukan untuk politik, tapi karena ancaman nyata terhadap para jaksa yang berani—kalian ribut lagi: “Militer mau intervensi hukum!” Apakah kalian lupa, bahwa dalam sejarah bangsa ini, militer selalu hadir saat negara terancam? Bukan untuk menguasai, tapi untuk menjaga.

Kalau bukan kami yang menjaga, siapa? Kalian? Yang sibuk debat di media sosial? Yang hanya bisa mengkritik tanpa solusi?

Korupsi Merajalela, Kalian Diam

Ketika negara disusupi maling berseragam rapi, yang menggasak anggaran pembangunan, dana pendidikan, dan bantuan sosial—kalian diam seribu bahasa. Tapi ketika kami—prajurit tua yang sudah pensiun—bicara, mengingatkan, menyuarakan nurani, kalian hina kami: "Sudah tua, pensiun saja!"

Kalian marah saat kami bicara. Tapi kalian diam saat negeri ini dilumat tikus-tikus berdasi.

Kami Bukan Mesin. Kami Manusia yang Pernah Membela Negeri Ini

Militer bukan robot. Kami bukan boneka. Kami manusia. Kami punya hati, punya luka, punya kenangan, dan yang paling penting—kami punya jasa.

Kalian pikir karena kami sudah pensiun, kami tak tahu apa-apa? Salah besar. Justru karena kami sudah selesai dengan ambisi pribadi, kami bisa melihat dengan jernih. Kami bicara bukan untuk kekuasaan, tapi untuk peringatan.

Ingat, Semut Saja Menggigit

Kalau terus kalian sudutkan, kalian hina, kalian tendang harga diri kami—jangan salahkan bila kami menggigit. Bahkan semut jika diinjak pun menggigit. Apalagi kami, prajurit tua, yang masih punya nyali dan masih punya semangat. Jangan paksa kami berdiri lagi hanya untuk menyelamatkan negeri dari tangan kalian sendiri.

Kalian Terlalu Cepat Lupa

Kalian nikmati negeri ini seperti warisan keluarga, lupa siapa yang membangun rumahnya. Kalian duduk di lembaga yang dulu kami lindungi dengan darah. Kalian bersorak dalam demokrasi, tapi lupa siapa yang menjaga batas negara agar demokrasi bisa hidup.

Kami tidak butuh pengakuan. Tapi jangan kalian aniaya dengan fitnah dan cemooh. Kami bukan musuh. Tapi kami juga bukan penonton. Kami adalah penjaga. Bila panggilan datang, kami siap kembali berdiri.

“Kami bukan hantu masa lalu. Kami adalah bayang-bayang sejarah yang selalu ada untuk mengingatkan. Jika kalian terus buta, maka kami akan menjadi suara yang tak bisa kalian bungkam”.

*)KABAIS TNI 2011-2013

Ketika Jaksa Terancam, Negara Harus Bertindak

  Ketika Jaksa Terancam, Negara Harus Bertindak

Jakarta 12 mei 2025

Oleh: Soleman B. Ponto

Purnawirawan Laksda TNI, Mantan Kepala BAIS TNI 2011–2013

Kejaksaan adalah benteng terakhir negara dalam menegakkan hukum dan memberantas kejahatan. Namun, tidak banyak disadari bahwa institusi ini sering menjadi sasaran ancaman—bukan hanya tekanan politik, tetapi juga intimidasi bersenjata dari kelompok-kelompok yang merasa terancam oleh proses hukum.

Di tengah situasi seperti itu, muncul pertanyaan: siapa yang menjaga para penegak hukum ketika mereka sedang menjalankan tugas menegakkan keadilan?

Kita tahu bahwa Polri memiliki tugas utama menjaga ketertiban masyarakat. Mereka hadir di tengah masyarakat untuk mengatur lalu lintas, menangani demonstrasi, menjaga unjuk rasa, dan menangkap pelaku kejahatan umum. Namun, ketika ancaman terhadap Kejaksaan bukan lagi sekadar keributan massa, melainkan teror, sabotase, atau balas dendam sistematis, maka skala ancamannya sudah melampaui fungsi polisi.

Di titik inilah peran TNI menjadi relevan. TNI tidak ditugaskan untuk mengatur lalu lintas atau mengamankan demonstrasi. TNI hadir untuk menjaga dan mewujudkan keamanan negara, khususnya bila terdapat ancaman strategis terhadap institusi vital negara.

Kita harus menyadari: ancaman terhadap Kejaksaan bersifat permanen, karena Kejaksaan berurusan dengan koruptor, mafia, jaringan terorganisir, bahkan pelanggar HAM. Tidak sedikit jaksa yang diteror, diikuti, bahkan ditargetkan. Dalam konteks seperti ini, sangat masuk akal jika negara melibatkan kekuatan militer untuk melindungi institusi ini secara fisik.

Peran TNI tentu harus dibatasi dan dikendalikan. Mereka tidak boleh mencampuri proses hukum, tidak boleh menekan jaksa, dan tidak boleh menjadi alat kekuasaan. TNI cukup menjalankan perannya dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yakni pengamanan objek vital strategis. Gedung Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri, bisa dikategorikan sebagai objek vital, karena fungsinya menyangkut keselamatan hukum negara.

Kita tidak bicara tentang “militerisasi penegakan hukum”, tapi tentang perlindungan strategis terhadap aparat penegak hukum yang berisiko tinggi.

Masyarakat harus paham, bahwa negara hukum bukan sekadar soal tertib hukum, tapi juga keamanan hukum. Supaya hukum bisa ditegakkan dengan adil, maka penegaknya harus merasa aman. Maka ketika jaksa terancam, kehadiran tentara bukanlah penyimpangan, melainkan bentuk tanggung jawab negara.

Jangan sampai kita membiarkan jaksa bertugas dalam ketakutan, sementara negara menutup mata. Jika negara tidak melindungi para penegak hukum, lalu siapa lagi?

Kejaksaan, Garda Hukum Negara: Saatnya Militer Turun Melindungi

 Kejaksaan, Garda Hukum Negara: Saatnya Militer Turun Melindungi

Jakarta 12 Mei 2025

oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, S.T., S.H., M.H., CPM, CParb*)

Dalam senyap mereka bekerja. Di balik sorotan publik, para jaksa menjalankan tugas suci negara—menegakkan hukum, menuntut keadilan, menyingkap kejahatan. Namun, ketika hukum dilawan dengan peluru, ketika jaksa menjadi sasaran ancaman, intimidasi, bahkan pembunuhan karakter dan fisik—maka negara harus menunjukkan taringnya. Negara tidak boleh tinggal diam. Negara harus menanggapi ancaman terhadap jaksa seperti ancaman terhadap panglima perang.

Hukum Harus Dijaga Dengan Kekuatan

Kejaksaan bukan sekadar institusi administratif. Ia adalah tombak keadilan, alat negara untuk menjerat para pengkhianat hukum. Tapi seberapa tajam tombak itu bila ia dibiarkan sendiri menghadapi kekuatan jahat yang terorganisir, bersenjata, dan brutal? Maka, dalam situasi tertentu, di saat hukum ditantang dengan kekuatan kekerasan, jawabannya bukan lagi hukum saja, tapi juga kekuatan bersenjata negara: Tentara Nasional Indonesia.

Mengapa Militer Harus Turun?

Bukan untuk mengambil alih peran kejaksaan untuk mengamankan diri sendiri, tetapi untuk mengamankan proses hukum, mengawal penegak hukum, dan menciptakan efek gentar bagi siapa pun yang berniat mengacaukan jalannya keadilan.

Kita tidak sedang berbicara soal keseharian. Kita berbicara tentang kasus-kasus luar biasa: mafia narkoba, terorisme, kartel kejahatan terorganisir, bahkan oknum berseragam atau berkekuatan politik yang hendak membungkam para penegak hukum.

Jaksa adalah garis depan melawan pembusukan negara. Ketika garis itu diserang, negara harus memobilisasi pertahanannya.

Landasan Legal dan Filosofis

Pasal 30 UUD 1945 menegaskan peran TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan, dan juga dapat dikerahkan dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk membantu tugas pemerintah dalam mengatasi ancaman terhadap objek vital dan penegak hukum.

UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI mengamanatkan TNI untuk membantu tugas kepolisian dan menjaga stabilitas nasional. Ketika kejaksaan adalah bagian dari sistem hukum negara, maka melindunginya adalah bagian dari stabilitas negara.

Landasan filosofinya jelas: Tanpa perlindungan terhadap penegak hukum, negara akan kehilangan gigi dan akhirnya runtuh dari dalam.

Contoh Negara Lain: Ketika Militer Menjaga Jaksa

- Italia (1990-an): Pasca pembunuhan Jaksa Giovanni Falcone oleh mafia Sisilia, pemerintah Italia mengerahkan militer ke Sisilia. Mafia pun gentar. Keberanian para jaksa dibayar lunas oleh kekuatan negara yang nyata.

- Kolombia: Dalam perang melawan kartel narkoba, militer secara langsung menjaga jalannya persidangan dan penyidikan kasus-kasus narkotika besar. Pesan yang dikirim jelas: “Ganggu proses hukum, hadapi tentara.”

- Filipina: Militer digunakan untuk melindungi jaksa dan pengadilan dari serangan kelompok pemberontak dan kartel narkoba, sebagai bentuk perlindungan menyeluruh atas sistem hukum.

Menghasilkan Daya Gentar (Deterrence)

Musuh hukum tak lagi takut pada pidana. Mereka takut pada kehadiran kekuatan. Maka kehadiran TNI bukan sekadar pengamanan fisik, melainkan pesan strategis: “Siapa yang menyentuh jaksa, menyentuh negara.” Di sinilah letak pentingnya pelibatan TNI. Negara tidak boleh tampil lemah. Negara harus hadir sebagai tembok baja yang melindungi para pejuangnya di medan hukum.

Kesimpulan: Negara Tidak Boleh Diam.

Kita sedang menghadapi era perang hibrida: kejahatan bercampur politik, hukum bercampur ancaman. Negara tak bisa membiarkan kejaksaan bertarung sendirian. Jika kita ingin hukum ditegakkan, maka pelindung hukum pun harus dijaga. Dan penjaganya—adalah mereka yang bersumpah setia kepada merah putih, mereka yang siap mati demi kedaulatan: TNI.

Bukan untuk mengintervensi hukum. Tapi untuk memastikan hukum tetap hidup dan bekerja di medan yang penuh ancaman.

*) Kepala BAIS TNI 2011–2013

 

 

 

 

Tidak Ada Dualisme Intelijen di Indonesia: Memahami Fungsi Sesuai Strukturnya

Tidak Ada Dualisme Intelijen di Indonesia: Memahami Fungsi Sesuai Strukturnya

Jakarta 12 mei 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, S.T., S.H., M.H.

Kepala BAIS TNI 2011–2013

Saya, Soleman B. Ponto, menegaskan bahwa keliru dan menyesatkan jika ada yang berpendapat bahwa telah terjadi dualisme intelijen antara BIN dan BAIS. Justru pemisahan kewenangan intelijen antara lembaga-lembaga negara adalah bentuk penguatan sistem sesuai fungsinya masing-masing. Tidak ada satu pun norma dalam sistem hukum Indonesia yang menyatakan bahwa intelijen harus bersifat tunggal dan tersentralisasi mutlak.

Memang seharusnya begitu. TNI memiliki BAIS yang bertanggung jawab dalam bidang intelijen pertahanan negara, Presiden memiliki BIN untuk urusan strategis dan keamanan nasional secara umum, Polri punya Badan Intelijen Keamanan (BIK) untuk mendukung tugas penegakan hukum dan ketertiban masyarakat, dan Kejaksaan memiliki JAMINTEL untuk kebutuhan intelijen yustisial. Ini bukan bentuk konflik, melainkan keragaman fungsional dalam satu kerangka sistem keamanan nasional.

Intelijen Bukan Satu Kepala, Tapi Satu Tujuan

Masing-masing lembaga negara memiliki tugas yang berbeda, dan karena itu, kebutuhannya terhadap intelijen pun berbeda. Militer tidak bisa bergantung pada intelijen sipil, begitu juga penegakan hukum tidak bisa disandarkan pada informasi yang bersifat strategis-politik. Justru karena itu, adanya badan intelijen khusus di tiap lembaga adalah kebutuhan struktural dan profesional.

Apa yang harus diperkuat bukanlah penyatuan lembaga, tetapi peningkatan mekanisme koordinasi, integrasi sistem informasi, dan penajaman fungsi antarintelijen negara. BIN sudah memiliki fungsi koordinatif sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 67 Tahun 2019. Koordinasi bukan subordinasi. Koordinasi berarti bekerja bersama, bukan di bawah satu komando absolut.

Mengapa Harus Dipertahankan?

•⁠  ⁠Menghindari Konsentrasi Kekuasaan: Bila seluruh fungsi intelijen disatukan dalam satu lembaga, maka akan muncul risiko abuse of power dan kehilangan independensi masing-masing sektor.

•⁠  ⁠Menjamin Efektivitas Tugas Pokok: BAIS hanya bisa optimal jika berada di bawah struktur militer. Demikian juga BIN yang bekerja di ranah sipil dan strategis pemerintahan.

•⁠  ⁠Menjaga Netralitas Institusi: Pembagian ini menjaga agar intelijen tidak dijadikan alat politik oleh satu pusat kekuasaan tertentu.

Kesimpulan

Saya tegaskan kembali, tidak ada dualisme intelijen antara BAIS dan BIN. Yang ada adalah diferensiasi fungsi yang memang diperlukan oleh struktur ketatanegaraan dan sistem pertahanan nasional kita. Jangan sampai diskursus publik diseret ke arah penyederhanaan yang justru bisa melemahkan sistem yang sudah berjalan baik.

Kalau ada yang melihat sistem intelijen sebagai terpecah atau terbelah, maka yang perlu ditinjau adalah pemahamannya tentang struktur negara, bukan struktur intelijen itu sendiri.

11 Mei 2025

Pancasila dan UUD 1945: Retak di Dasar Negara, Ancaman Serius bagi Kohesi Nasional

Pancasila dan UUD 1945: Retak di Dasar Negara, Ancaman Serius bagi Kohesi Nasional

Jakarta 11 Mei 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb

(Kepala BAIS TNI 2011–2013)

Pasal 190 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara, dan setiap orang yang menyatakan keinginan menggantinya dengan ideologi lain di muka umum dapat dipidana. Pasal ini seolah menegaskan bahwa dasar negara kita sudah final. Tapi benarkah demikian?

Jika kita kembali ke sumber hukum tertinggi kita—Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Alinea keempat Pembukaan—maka akan kita temukan sesuatu yang menarik: rumusan kelima sila Pancasila memang termuat secara eksplisit, tetapi istilah “Pancasila” tidak pernah disebutkan.

Tak hanya itu, dalam seluruh batang tubuh UUD 1945, istilah "Pancasila" bahkan tidak muncul sekali pun. Artinya, secara normatif-konstitusional, tidak ada pasal dalam UUD 1945 yang menyebut Pancasila sebagai dasar negara.

Ini menimbulkan pertanyaan serius: Mana yang sesungguhnya dasar negara Indonesia—Pancasila seperti yang dimaksud dalam KUHP, atau Alinea keempat UUD 1945 yang memuat lima sila secara deskriptif?

Simbol yang Tak Lagi Sejalan dengan Sistem

Inilah celah kritis yang selama ini tertutup oleh euforia seremonial. Pancasila diagungkan dalam pidato, diperingati tiap 1 Juni, dan dihafal oleh pelajar di seluruh negeri. Namun dalam sistem hukum dan praktik bernegara, Pancasila tidak diberi tempat sebagai norma konstitusional yang mengikat secara eksplisit.

Yang menjadi dasar negara secara hukum positif hanyalah Alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Sementara Pancasila sebagai istilah justru hidup dalam peraturan di bawah UUD, termasuk KUHP, Tap MPR, dan UU lainnya.

Inilah yang menimbulkan ketidaksesuaian antara simbol dan sistem. Dan bila terus dibiarkan, kontradiksi ini akan memicu krisis kohesi nasional—karena rakyat tidak lagi tahu apa sebenarnya dasar bersama mereka sebagai bangsa.

Negara Tanpa Dasar atau Dasar yang Rapuh

Sejarah bangsa mana pun menunjukkan bahwa negara hanya bertahan jika memiliki cohesion force—kekuatan pemersatu yang hidup dan dijalankan. Bila cohesion force itu hanya disimpan dalam pasal pidana atau upacara formal, maka negara kehilangan fondasi moralnya.

Rakyat akan patuh karena takut, bukan karena percaya. Pemimpin akan bicara soal Pancasila, tetapi tidak menjadikannya acuan kebijakan. Hukum akan memaksa cinta terhadap sesuatu yang tidak pernah diperjuangkan oleh negara itu sendiri.

Dan saat itulah negara akan mulai roboh dari dalam—bukan karena diserang dari luar, tetapi karena kehilangan pondasi yang menyatukan elemen-elemen bangsa.

Solusi Konstitusional: Amandemen UUD 1945

Tidak cukup menjaga Pancasila dengan ancaman pidana. Tidak cukup memajang simbolnya di dinding sekolah atau kantor pemerintahan. Kita membutuhkan kepastian hukum dan konstitusional bahwa Pancasila benar-benar dasar negara, bukan sekadar julukan.

Satu-satunya cara untuk mengakhiri paradoks ini adalah dengan melakukan amandemen UUD 1945, menyisipkan satu pasal eksplisit:

“Negara Republik Indonesia berdasar atas Pancasila sebagai dasar negara.”

Pasal ini akan mengikat semua produk hukum di bawahnya, sekaligus memperjelas bahwa Pancasila bukan hanya simbol ideologi, tetapi benar-benar norma fundamental yang hidup dalam sistem hukum dan pemerintahan.

Penutup: Saatnya Kembali ke Fondasi yang Tegas

Jika bangsa ini ingin tetap utuh, maka fondasi kebangsaannya tidak boleh dibiarkan mengambang. Negara membutuhkan dasar yang tidak hanya disebut, tetapi dijalankan. Dan dasar itu tidak boleh berubah-ubah tergantung tafsir politik yang berkuasa.

Karena ketika dasar negara tidak lagi jelas atau hanya dijadikan alat kekuasaan, maka negara kehilangan kekuatan kohesinya—dan bila cohesion force itu runtuh, maka negara akan menyusul roboh.

Maka, pilihannya bukan lagi sekadar wacana, tetapi keputusan politik konstitusional: Amandemen atau Kehampaan.

10 Mei 2025

Ketika Para Purnawirawan Bicara dan Kita Semua Diam

Ketika Para Purnawirawan Bicara dan Kita Semua Diam

Jakarta 10 Mei 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

Purnawirawan sebagai Pemecah Spiral of Silence dalam Demokrasi Indonesia

Beberapa waktu lalu, sekelompok purnawirawan TNI membacakan sejumlah tuntutan kepada pemerintah. Tuntutan mereka tidak main-main: mengevaluasi proses pemilihan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, memulihkan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi, serta menekankan pentingnya kembali ke semangat konstitusi dan reformasi 1998. Mereka turun ke jalan, berorasi, membacakan maklumat, dan menatap wajah bangsa yang sedang sunyi.

Sikap ini tentu mengundang berbagai reaksi. Ada yang memuji, ada pula yang mencibir. Tapi yang lebih menarik—dan sebetulnya mengkhawatirkan—adalah diamnya mayoritas rakyat. Di tengah tuntutan yang substansial itu, suara rakyat justru tidak terdengar. Tidak banyak aktivis berbicara, tidak banyak akademisi menanggapi, bahkan media pun meliput dengan hati-hati.

Fenomena ini bukan tanpa nama. Dalam teori komunikasi politik, ini disebut sebagai spiral of silence.

Konsep ini dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neumann, yang menjelaskan bahwa orang cenderung diam jika merasa pandangannya berbeda dari opini yang dominan atau jika takut mengalami isolasi sosial. Di Indonesia, ini kian nyata. Banyak pegawai negeri, guru, wartawan, bahkan dosen, lebih memilih diam daripada berbicara. Takut dianggap “radikal”, takut kehilangan pekerjaan, takut dicap anti-pemerintah.

Diam kolektif ini menciptakan ilusi konsensus. Seolah-olah semua setuju, padahal banyak yang sebenarnya terluka, kecewa, dan kehilangan harapan. Dalam kondisi ini, satu-satunya harapan datang dari mereka yang tidak lagi punya beban birokrasi: para purnawirawan.

Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, mencuat sebagai sorotan nasional ketika diusung menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024. Masalah utama bukan pada sosoknya secara pribadi, melainkan pada proses hukum dan etika yang membuka jalan bagi pencalonannya.

Sebelum Oktober 2023, batas usia minimal untuk mencalonkan diri sebagai capres/cawapres adalah 40 tahun. Namun Mahkamah Konstitusi tiba-tiba mengeluarkan putusan yang mengubah syarat tersebut: orang di bawah 40 tahun boleh mencalonkan diri asalkan pernah menjabat sebagai kepala daerah. Putusan ini sangat spesifik dan terkesan diarahkan pada Gibran—karena saat itu ia menjabat Wali Kota Solo dan berusia 36 tahun.

Masalahnya menjadi serius karena Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu adalah Anwar Usman, paman Gibran, yang kemudian dijatuhi sanksi etik oleh Majelis Kehormatan MK. Meskipun Anwar menyatakan tidak ikut memutus perkara, publik menilai adanya konflik kepentingan dan rekayasa hukum yang mencederai konstitusi.

Inilah titik yang memicu aksi purnawirawan: proses politik yang tampak dikuasai oleh kepentingan keluarga, hukum yang dimanipulasi, dan demokrasi yang terasa dikendalikan dari balik layar kekuasaan.

Bagi sebagian orang, aksi purnawirawan dianggap politis atau ambisius. Tapi secara psikologis, tindakan mereka justru merupakan bentuk koreksi moral terhadap arah negara. Mereka yang telah mengabdikan hidupnya untuk membela republik ini merasa terpanggil kembali, bukan karena kekuasaan, tapi karena negara yang mereka bela dulu terasa berubah wajah.

Dalam dunia militer, nilai-nilai seperti kejujuran, kehormatan, disiplin, dan cinta tanah air adalah fondasi. Ketika nilai-nilai itu dilanggar—terutama oleh institusi tertinggi seperti Mahkamah Konstitusi—purnawirawan merasakan yang disebut sebagai moral injury, yakni luka batin akibat pengkhianatan terhadap nilai yang diyakini suci.

Dan karena mereka tidak lagi terikat jabatan, mereka bisa bersuara. Mereka adalah anomali positif dalam spiral of silence—mereka memecah sunyi, agar republik tidak tertidur dalam ilusi.

Bayangkan jika para purnawirawan pun memilih diam. Tidak ada lagi kelompok yang punya legitimasi moral dan keberanian struktural untuk berbicara. Tidak ada lagi suara korektif dari dalam. Yang tersisa hanyalah kesunyian yang menyesatkan.

Dan seperti panci tekanan tanpa katup, diam kolektif bisa berujung pada ledakan sosial yang tak terkendali. Kita telah melihatnya di banyak negara—dari Orde Baru 1998, ke Tunisia 2010, hingga Sri Lanka 2022.

Purnawirawan yang bicara bukan musuh negara. Mereka adalah cermin nurani bangsa. Mereka mengingatkan bahwa kekuasaan bukan segalanya, dan konstitusi bukan mainan.

Dalam negara demokrasi, kritik bukan ancaman. Justru sunyilah yang paling berbahaya. Maka ketika para penjaga republik sudah bicara, tugas kita bukan mengejek atau menertawakan, tapi mendengarkan, merenung, dan mulai berani berbicara.

Karena jika mereka yang telah mempertaruhkan nyawa untuk republik ini saja masih berani bersuara, mengapa kita diam?

Masalah Gibran: Apa yang Sudah Berlalu, dan Apa yang Masih Membekas

Proses pencalonan dan pemilihan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Indonesia memang sudah berlalu. Ia kini resmi menjadi Wapres terpilih dan apa yang dikehendaki oleh proses politik—sekalipun kontroversial—telah tercapai. Bagi sebagian kalangan, ini dianggap sebagai bagian dari dinamika demokrasi. Namun tidak bagi semua orang.

Bagi para purnawirawan dan kelompok masyarakat yang kritis, yang tersisa bukan sekadar hasil pemilu, melainkan luka konstitusional yang belum sembuh. Luka ini bukan karena kalah atau menang dalam kompetisi, tapi karena proses yang dinilai mencederai etika, hukum, dan nilai keadilan. Mereka tidak sedang mempersoalkan pribadi Gibran semata, melainkan kerusakan sistemik yang telah dibiarkan terjadi demi tujuan politik jangka pendek.

Yang membuat para purnawirawan bicara bukan sekadar soal sosok Gibran, melainkan soal bagaimana Mahkamah Konstitusi bisa 'dibengkokkan', bagaimana konflik kepentingan bisa dibiarkan, dan bagaimana demokrasi bisa dikendalikan oleh satu poros kekuasaan tanpa ada pertanggungjawaban moral.

Bagi mereka, ini bukan soal masa lalu, tapi soal masa depan bangsa. Jika pelanggaran etika dan hukum bisa dibenarkan hari ini, maka ke depan bisa lebih parah. Jika suara nurani dibungkam hari ini, maka kelak tak akan ada lagi penjaga republik yang berani bersuara. Inilah yang tersisa, dan inilah alasan mereka memilih turun ke jalan.

Purnawirawan bukan sedang mencari posisi atau panggung. Mereka sedang mencoba menyelamatkan demokrasi dari pembusukan senyap. Apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah, tapi apa yang masih akan terjadi bisa dicegah—dan itu hanya mungkin jika masih ada yang berani bicara.

*)KABAIS TNI 2011-2013