30 November 2024

Putusan MK Bagaikan Lagu Dangdut: "Kau yang Mulai, Kau yang Mengakhiri"

Putusan MK Bagaikan Lagu Dangdut: "Kau yang Mulai, Kau yang Mengakhiri"

 

Jakarta 30 November 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb.*)

 

Pendahuluan

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK benar-benar mengubah wajah sistem hukum Indonesia. Dengan gaya "kau yang mulai, kau yang mengakhiri," MK memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani kasus korupsi lintas yurisdiksi dari awal hingga akhir, termasuk kasus yang melibatkan sipil dan militer.

Keputusan ini, bagai cerita dalam lagu dangdut, terasa seperti kisah penuh ironi. Kompetensi absolut, yang menjadi dasar sistem hukum, dikesampingkan begitu saja, seolah-olah aturan itu hanya formalitas. Bagai seseorang yang memulai cerita cinta dan ingin menyelesaikannya sendiri tanpa mempedulikan perasaan pihak lain, KPK diberi kekuasaan untuk mengurus segalanya. Apakah ini hukum, atau sekadar drama institusi yang mencari panggung?

 

Kompetensi Absolut: Pilar Hukum yang Terpinggirkan

1. Apa Itu Kompetensi Absolut?

Kompetensi Absolut Menurut Konstitusi adalah prinsip yang memastikan bahwa kasus hukum diproses di yurisdiksi yang sesuai. Dasar hukumnya sangat jelas:

  1. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945:

"Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara."

Kompetensi absolut menjelaskan bahwa:

    • Peradilan umum mengadili warga sipil.
    • Peradilan militer mengadili anggota militer.

2.     Pasal 69 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer:

    • Penyidikan kasus yang melibatkan militer harus dilakukan oleh:
      • Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum),
      • Polisi Militer, atau
      • Oditur Militer.

3.     Pasal 2 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor:

    • Pengadilan Tipikor adalah bagian dari peradilan umum yang hanya mengadili warga sipil dengan hakim sipil sepenuhnya.

 

2. Kompetensi Absolut yang Dilanggar

Namun, putusan MK mengubah aturan main ini. Bagai memaksakan gitar melodi di tengah musik keroncong, KPK diberi kewenangan untuk menangani kasus lintas yurisdiksi tanpa peduli siapa yang terlibat. Hakim sipil di Pengadilan Tipikor kini dipaksa mengadili anggota militer, padahal:

  • Pengadilan Tipikor tidak memiliki kompetensi untuk menyentuh kasus militer.
  • Hakimnya tidak memiliki pemahaman tentang aspek militer.

Bagai seekor kucing yang disuruh berenang, hakim sipil dipaksa menilai aspek militer. Bukankah ini menyalahi kodrat peradilan?

 

Putusan MK: Bagaikan Lirik Dangdut

1. Kau yang Mulai, Kau yang Mengabaikan

Putusan MK memberikan KPK kewenangan penuh dari awal hingga akhir, tetapi mengabaikan prinsip kompetensi absolut. KPK kini dapat:

  • Menyidik kasus militer tanpa melibatkan Polisi Militer atau Oditur Militer.
  • Membawa kasus ke Pengadilan Tipikor, meskipun hakim di sana sepenuhnya sipil.

Bagai seorang sopir yang memaksa mobil balap masuk ke jalan berlubang, putusan ini memaksakan kewenangan KPK di ranah yang bukan haknya.

 

2. Kau yang Mengatur, Kau yang Mendominasi

Dengan putusan ini, KPK menjadi lembaga yang seolah-olah tidak memiliki batasan. Jaksa Agung, Polisi Militer, dan Oditur Militer kini hanya menjadi "pemain figuran." Bagai lakon dalam drama, peran utama sepenuhnya dipegang oleh KPK.

Bagai penyanyi tunggal yang mengambil semua nada tanpa memberi ruang bagi musisi lain, KPK kini mendominasi proses hukum, meninggalkan institusi lain tanpa peran.

 

3. Kau yang Memulai, Kau yang Mengakhiri

Putusan ini menghilangkan mekanisme koneksitas, yang selama ini menjadi solusi untuk kasus lintas yurisdiksi. Akibatnya:

  • Kasus sipil dan militer kini dipisah: sipil diadili di Pengadilan Tipikor, sementara militer diadili di peradilan militer.
  • Bukti dari satu yurisdiksi tidak dapat digunakan di yurisdiksi lain.

Bagai membagi kue ulang tahun tetapi melupakan pisau, putusan ini memisahkan kasus tanpa memberikan solusi untuk mengintegrasikan fakta.

 

Contoh Kekonyolan dalam Kasus

1. Kasus Korupsi Dana Operasional

Fakta kasus:

  • Penyedia jasa sipil bekerja sama dengan pejabat militer untuk mencairkan dana operasional fiktif.
  • Sebagian besar kerugian negara diderita oleh TNI, tetapi keuntungan lebih banyak dinikmati oleh sipil.

Dampak putusan MK:

  • Penyedia jasa sipil diadili di Pengadilan Tipikor, tanpa memperhatikan peran militer.
  • Pejabat militer diadili di peradilan militer, tetapi bukti dari pihak sipil tidak dapat digunakan.

Bagai bermain layang-layang dengan tali yang putus, kasus ini tidak pernah benar-benar terhubung.

 

2. Kasus Pengadaan Alutsista

Fakta kasus:

  • Kontraktor sipil memenangkan proyek pengadaan fasilitas TNI melalui praktik suap dengan pejabat militer.
  • Barang yang disediakan tidak sesuai spesifikasi, sehingga merugikan negara.

Dampak putusan MK:

  • Kontraktor sipil diadili di Pengadilan Tipikor, dengan hakim yang tidak memahami aspek militer.
  • Pejabat militer diadili di peradilan militer, tetapi tanpa integrasi bukti dari pihak sipil.

Bagai mencoba menyatukan gitar dan drum tanpa konduktor, kasus ini hanya menjadi pertunjukan tanpa arah.

 

Dampak Sistemik dari Putusan

1. Kompetensi Hakim yang Dipaksa

Bagai memaksa seorang juru masak menjadi dokter bedah, hakim sipil dipaksa menangani aspek militer yang di luar kompetensinya. Akibatnya:

  • Keputusan tidak mencerminkan keadilan.
  • Proses hukum menjadi sekadar formalitas.

 

2. Dualisme yang Tidak Efektif

Putusan ini memisahkan kasus yang seharusnya diselesaikan secara terintegrasi. Bukti dan fakta yang relevan menjadi tidak berguna karena diproses di yurisdiksi yang berbeda.

Bagai membangun rumah dengan cetak biru yang berbeda, hasil akhirnya tidak pernah sesuai harapan.

 

3. Kehilangan Efek Jera

Dengan tidak adanya integrasi proses hukum, para pelaku korupsi lintas yurisdiksi bisa lolos dari tanggung jawab penuh. Mereka hanya diadili secara parsial di yurisdiksi masing-masing.

Bagai tamu yang datang tanpa undangan, mereka keluar dari pengadilan tanpa benar-benar dihukum.

 

Kesimpulan

Putusan MK terkait Pasal 42 UU KPK benar-benar mencerminkan filosofi "kau yang mulai, kau yang mengakhiri."Kompetensi absolut, yang menjadi pilar sistem hukum, diabaikan begitu saja. Hakim sipil dipaksa mengadili kasus militer, sementara mekanisme koneksitas yang seharusnya menjadi solusi tidak digunakan.

Bagai lirik lagu dangdut yang sederhana tapi penuh ironi, putusan ini memperlihatkan kekonyolan dalam sistem hukum kita. Apakah ini benar-benar penegakan hukum, atau hanya sebuah drama hukum tanpa akhir? Untuk mengembalikan keadilan, hukum Indonesia harus kembali menghormati asas kompetensi absolut. Jika tidak, hukum hanya akan menjadi panggung sandiwara, di mana keadilan hanya menjadi penonton.

*) Kabais TNI 2011-2013

Putusan MK yang Memperkuat Kewenangan KPK dalam Pasal 42 UU KPK Mengabaikan Kompetensi Absolut Lembaga Peradilan

Putusan MK yang Memperkuat Kewenangan KPK dalam Pasal 42 UU KPK Mengabaikan Kompetensi Absolut Lembaga Peradilan

 

Jakarta 30 November 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn)  Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb*)

 

Pendahuluan

Sistem hukum di Indonesia menjunjung tinggi prinsip kompetensi absolut, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945. Kompetensi absolut ini memastikan bahwa yurisdiksi peradilan dipisahkan secara jelas sesuai dengan subjek hukum dan jenis perkara. Dalam hal ini:

  1. Peradilan umum menangani kasus yang melibatkan warga sipil.
  2. Peradilan militer menangani kasus yang melibatkan anggota militer aktif.

Prinsip ini bertujuan untuk memberikan keadilan yang adil, efisien, dan terintegrasi, serta menghormati struktur peradilan yang telah diatur oleh konstitusi.

Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), yang memperkuat kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi lintas yurisdiksi, telah mengabaikan prinsip kompetensi absolut ini. Dengan memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan sipil dan militer, MK melanggar pemisahan yurisdiksi yang diatur oleh UUD 1945 dan melemahkan mekanisme koneksitas yang diatur dalam KUHAP serta undang-undang terkait lainnya.

 

Kompetensi Absolut dalam Sistem Peradilan Indonesia

1. Dasar Hukum Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut lembaga peradilan diatur oleh konstitusi dan berbagai undang-undang organik, antara lain:

  1. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945

"Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara."

Pasal ini menegaskan bahwa pembagian yurisdiksi peradilan di Indonesia didasarkan pada subjek hukum:

    • Peradilan umum untuk warga sipil.
    • Peradilan militer untuk anggota TNI aktif.
  1. Pasal 69 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
    • Menegaskan bahwa penyidik untuk tindak pidana militer adalah:
      • Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum),
      • Polisi Militer, dan
      • Oditur Militer.
  2. Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
    • Memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menangani tindak pidana korupsi yang melibatkan subjek hukum dari peradilan umum dan militer.
  3. Pasal 89-91 KUHAP
    • Memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menentukan yurisdiksi pengadilan dalam kasus koneksitas.

 

2. Mekanisme Koneksitas: Menjaga Kompetensi Absolut

Mekanisme koneksitas adalah cara untuk menangani perkara yang melibatkan subjek hukum dari dua yurisdiksi berbeda (sipil dan militer) tanpa melanggar prinsip kompetensi absolut. Dalam mekanisme ini:

  • Jaksa Agung berwenang menentukan forum pengadilan.
  • Pengadilan koneksitas melibatkan hakim militer di peradilan umum untuk memastikan aspek militer dari kasus tersebut ditangani secara adil.

 

Putusan MK dan Pengabaian Kompetensi Absolut

1. Isi Pasal 42 UU KPK

Pasal 42 UU KPK menyatakan:

"Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum."

2. Putusan MK

MK memutuskan bahwa KPK dapat menangani kasus tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi jika ditemukan terlebih dahulu oleh KPK. Dengan keputusan ini, KPK tidak lagi wajib menyerahkan perkara tersebut kepada Jaksa Agung untuk menentukan forum pengadilan.

3. Dampak pada Kompetensi Absolut

Keputusan ini mengabaikan prinsip kompetensi absolut dalam beberapa hal:

  1. Pemisahan Yurisdiksi Dilanggar
    • Dengan membawa kasus yang melibatkan anggota militer ke Pengadilan Tipikor, KPK melanggar Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, yang menempatkan kasus militer di bawah peradilan militer.
    • Pengadilan Tipikor hanya melibatkan hakim sipil, sehingga tidak memungkinkan partisipasi hakim militer sebagaimana diatur dalam mekanisme koneksitas.
  2. Jaksa Agung Tidak Dilibatkan
    • Putusan ini mengabaikan Pasal 39 UU Tipikor dan Pasal 89-91 KUHAP, yang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk mengoordinasikan dan menentukan forum pengadilan dalam kasus koneksitas.
  3. Pengadilan Tipikor Tidak Memenuhi Kriteria Koneksitas
    • Berdasarkan UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, pengadilan ini hanya dapat mengadili kasus di lingkungan peradilan umum dengan hakim sipil sepenuhnya. Hal ini berbeda dengan pengadilan koneksitas, yang mensyaratkan keterlibatan hakim militer.

 

Contoh Pengabaian Kompetensi Absolut

Kasus Pengadaan Alutsista

Fakta kasus:

  • Kontraktor sipil berkolusi dengan pejabat militer untuk memenangkan tender pengadaan alutsista melalui suap.
  • Barang yang diadakan tidak sesuai spesifikasi, menyebabkan kerugian negara.

Proses hukum:

  • Kontraktor sipil diadili di Pengadilan Tipikor tanpa melibatkan fakta-fakta yang relevan dengan militer.
  • Pejabat militer diadili di peradilan militer, tetapi tanpa bukti-bukti yang lengkap dari pihak sipil.

Pengabaian kompetensi absolut:

  • Kasus seharusnya ditangani secara koneksitas, dengan melibatkan hakim militer di pengadilan umum.
  • Dualitas peradilan menghilangkan integrasi bukti, sehingga tanggung jawab sipil dan militer tidak dapat dituntut secara proporsional.

 

Dampak Sistemik Pengabaian Kompetensi Absolut

  1. Kehilangan Integrasi Proses Hukum
    • Pemisahan yurisdiksi menyebabkan fakta dan bukti yang relevan tidak dapat digunakan secara kolektif.
  2. Dualitas Peradilan yang Tidak Adil
    • Anggota militer sering kali menjadi fokus penyelidikan, sementara warga sipil yang memegang peran dominan dalam korupsi menerima hukuman lebih ringan.
  3. Efek Jera yang Lemah
    • Ketidakjelasan mekanisme koneksitas menciptakan celah hukum, sehingga tidak memberikan efek jera yang memadai bagi pelaku korupsi lintas yurisdiksi.

 

Solusi untuk Memulihkan Kompetensi Absolut

  1. Revisi UU KPK
    • Pasal 42 UU KPK harus diselaraskan dengan KUHAP, UU Tipikor, dan UU Kejaksaan untuk memastikan penghormatan terhadap kompetensi absolut lembaga peradilan.
  2. Penguatan Peran Jaksa Agung
    • Jaksa Agung harus diberi wewenang penuh untuk mengoordinasikan kasus lintas yurisdiksi sesuai dengan Pasal 39 UU Tipikor dan Pasal 35 Ayat (1) huruf g UU Kejaksaan.
  3. Regulasi Pelaksanaan Koneksitas
    • Peraturan tambahan harus memastikan bahwa kasus koneksitas melibatkan hakim militer di pengadilan umum untuk menjaga kompetensi absolut.

 

Kesimpulan

Putusan MK yang memperkuat kewenangan KPK dalam Pasal 42 UU KPK telah mengabaikan prinsip kompetensi absolut yang diatur dalam UUD 1945. Dengan memberikan kewenangan penuh kepada KPK untuk menangani kasus korupsi lintas yurisdiksi, MK menciptakan dualitas peradilan yang melanggar pemisahan yurisdiksi antara peradilan umum dan militer.

Revisi UU KPK dan penguatan mekanisme koneksitas menjadi langkah mendesak untuk memulihkan keadilan dan memastikan bahwa kompetensi absolut lembaga peradilan dihormati. Dengan mengintegrasikan kembali proses hukum, sistem peradilan Indonesia dapat menjaga kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak.

*)Kabais TNI 2011-2013 

TNI Dirugikan Akibat Putusan MK yang Memperkuat Kewenangan KPK dalam Pasal 42 UU KPK: Analisis Dampak pada Kasus Korupsi yang Melibatkan Sipil dan Militer

 TNI Dirugikan Akibat Putusan MK yang Memperkuat Kewenangan KPK dalam Pasal 42 UU KPK: Analisis Dampak pada Kasus Korupsi yang Melibatkan Sipil dan Militer

 

Jakarta 30 November 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb *)

 

Pendahuluan

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperkuat kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menimbulkan implikasi serius dalam sistem hukum Indonesia, khususnya dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan pihak sipil dan militer. Putusan ini memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi jika kasus ditemukan terlebih dahulu oleh KPK, tanpa mempertimbangkan mekanisme peradilan koneksitas. Akibatnya, TNI sering kali menjadi pihak yang dirugikan, karena dualitas peradilan yang dihasilkan oleh putusan tersebut.

Dalam konteks ini, penting untuk memahami apa itu peradilan koneksitas, bagaimana mekanisme ini bekerja, dan mengapa mekanisme ini gagal diterapkan akibat putusan MK.

 

Apa Itu Peradilan Koneksitas?

1. Definisi Peradilan Koneksitas

Peradilan koneksitas adalah mekanisme hukum untuk menangani tindak pidana yang melibatkan subjek hukum dari dua yurisdiksi berbeda:

  1. Peradilan umum, yang menangani warga sipil.
  2. Peradilan militer, yang menangani anggota TNI aktif.

Mekanisme ini bertujuan untuk:

  • Menyelesaikan kasus korupsi secara terintegrasi ketika pelaku tindak pidana berasal dari dua yurisdiksi berbeda.
  • Menghindari dualitas peradilan yang dapat menciptakan tumpang tindih atau ketidakadilan dalam penegakan hukum.
  • Menjamin keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

 

2. Dasar Hukum Peradilan Koneksitas

  1. KUHAP Pasal 89-91:
    • Pasal 89: Penyidikan dilakukan oleh penyidik yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.
    • Pasal 90: Jaksa Agung menentukan apakah perkara diajukan ke peradilan umum atau peradilan militer.
    • Pasal 91: Keputusan Jaksa Agung bersifat final.
  2. Pasal 35 Ayat (1) huruf g UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan:
    • Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengoordinasikan, mengendalikan, dan melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan kasus koneksitas.
  3. Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor):
    • Jaksa Agung bertanggung jawab mengoordinasikan penyidikan dan penuntutan dalam kasus korupsi lintas yurisdiksi.
  4. Pasal 69 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer:
    • Penyidik tindak pidana militer adalah Ankum, Polisi Militer, dan Oditur.

3. Mekanisme Peradilan Koneksitas

Mekanisme ini melibatkan:

  • Jaksa Agung sebagai otoritas utama yang menentukan forum pengadilan.
  • Penyidikan dan penuntutan terintegrasi, dengan fakta dan bukti yang sama diproses dalam satu yurisdiksi.
  • Hakim militer dilibatkan dalam pengadilan umum untuk memastikan bahwa aspek militer dari kasus tersebut ditangani secara proporsional.

 

Bagaimana Putusan MK Membuat Peradilan Koneksitas Tidak Bisa Terlaksana

1. Pengalihan Kewenangan ke KPK

Putusan MK yang memperkuat Pasal 42 UU KPK memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani kasus korupsi lintas yurisdiksi jika ditemukan terlebih dahulu oleh KPK. Namun, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang menjadi yurisdiksi KPK, merupakan bagian dari peradilan umum yang hanya mengadili orang sipil dan juga hanya melibatkan hakim sipil, sebagaimana diatur dalam UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor.

Dampaknya:

  • Hakim militer tidak terlibat, sehingga mekanisme koneksitas yang memerlukan partisipasi hakim militer tidak dapat dijalankan.
  • Kasus yang melibatkan sipil dan militer dipecah menjadi dua yurisdiksi:
    • Sipil diadili di Pengadilan Tipikor.
    • Militer diadili di peradilan militer.

2. Dualitas Peradilan

Putusan MK menciptakan dualitas peradilan yang bertentangan dengan tujuan koneksitas. Akibatnya:

  • Tidak ada integrasi fakta dan bukti antara dua pengadilan yang menangani kasus yang sama.
  • Pemisahan pertanggungjawaban hukum, di mana tanggung jawab sipil dan militer tidak diproses secara kolektif.
  • Kerugian TNI tidak dapat dituntut sepenuhnya, karena pihak sipil diadili secara terpisah.

 

Contoh Kasus: Peradilan Koneksitas yang Tidak Terlaksana

1. Kasus Pengadaan Alutsista

Fakta kasus:

  • Dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista), kontraktor sipil berkolusi dengan pejabat militer untuk memenangkan tender pengadaan melalui penyuapan.
  • Barang yang disediakan kontraktor tidak sesuai spesifikasi, sehingga merugikan TNI baik secara operasional maupun finansial.

Akibat dualitas peradilan:

  • Kontraktor sipil diadili di Pengadilan Tipikor tanpa melibatkan fakta-fakta yang relevan dengan militer.
  • Pejabat militer diadili di peradilan militer dengan fokus pada penerimaan suap, tanpa menilai peran dominan kontraktor sipil.
  • TNI tidak dapat menuntut kerugian negara secara terintegrasi, sehingga dampak kasus tidak sepenuhnya terungkap.

 

2. Kasus Dana Operasional TNI

Fakta kasus:

  • Sipil sebagai penyedia jasa mengatur dana operasional fiktif melalui kerja sama dengan pejabat militer. Sebagian besar dana disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
  • Sebagian besar kerugian negara diderita oleh TNI, karena dana tersebut tidak tersalurkan untuk kegiatan operasional.

Akibat dualitas peradilan:

  • Sipil yang menjadi pelaku utama diadili di Pengadilan Tipikor, sementara militer diadili di peradilan militer.
  • Bukti yang seharusnya memperkuat tanggung jawab sipil tidak dapat diintegrasikan karena dualitas pengadilan.

 

Kerugian Sistemik bagi TNI

  1. Kehilangan Akses ke Fakta dan Bukti
    • Pemisahan peradilan membuat TNI tidak dapat mengakses bukti-bukti di Pengadilan Tipikor yang relevan dengan kasus militer.
  2. Tidak Ada Penuntutan Kolektif
    • TNI tidak dapat menuntut pihak sipil yang sering menjadi aktor utama dalam korupsi yang merugikan TNI.
  3. Efisiensi Hukum yang Hilang
    • Dualitas peradilan memperpanjang proses hukum dan mengurangi efek jera bagi pelaku korupsi lintas yurisdiksi.

 

Kesimpulan

Putusan MK yang memperkuat kewenangan KPK dalam Pasal 42 UU KPK telah membuat mekanisme peradilan koneksitas tidak dapat terlaksana. Dualitas peradilan yang dihasilkan dari putusan ini sangat merugikan TNI, karena proses hukum menjadi tidak terintegrasi dan kehilangan kemampuan untuk menuntut pihak sipil secara penuh.

Revisi UU KPK dan penguatan peran Jaksa Agung dalam mekanisme koneksitas menjadi langkah mendesak untuk memulihkan keadilan dan memastikan bahwa kasus korupsi lintas yurisdiksi dapat diselesaikan secara adil. Dengan mengembalikan mekanisme koneksitas, sistem peradilan Indonesia dapat kembali menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak, termasuk TNI.

*) Kabais TNI 2011-2013