Pertentangan Revisi Pasal 1 Angka 59 UU No. 17/2008 Tentang Pelayaran dengan Kompetensi Absolut Kementerian Perhubungan: Implikasi Hukum dan Potensi Judicial Review
Jakarta 20 Agustus 2024
oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb *)
I. Pendahuluan
Revisi Pasal 1 Angka 59 dalam UU No. 17/2008 tentang Pelayaran membawa konsekuensi besar, baik dari segi pengaturan keselamatan pelayaran maupun kompetensi lembaga-lembaga terkait, khususnya Kementerian Perhubungan. Selain bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UU No. 17/2008, revisi ini juga bertabrakan dengan prinsip kompetensi absolut yang dimiliki oleh Kementerian Perhubungan, khususnya dalam hal pengaturan, pengawasan, dan penegakan hukum di laut. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah serius terkait pengelolaan keselamatan dan keamanan laut.
Akibat dari revisi ini tidak hanya menciptakan kekosongan hukum dalam penegakan keselamatan maritim, tetapi juga berpotensi melanggar asas kompetensi absolut, yang pada akhirnya dapat membuka ruang untuk dilakukan Judicial Review (uji materi) di Mahkamah Konstitusi.
Makalah ini akan mengelaborasi lebih detil mengenai implikasi revisi Pasal 1 Angka 59 terhadap kompetensi absolut Kementerian Perhubungan, serta menjelaskan potensi Judicial Review yang dapat diakibatkan oleh pertentangan antara revisi tersebut dengan berbagai pasal terkait dan keinginan Presiden Joko Widodo.
II. Paragraf 14 Penjelasan UU No. 17/2008 Tentang Pelayaran
Dalam penjelasan Paragraf 14 UU No. 17/2008 tentang Pelayaran, disebutkan secara eksplisit bahwa Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) dibentuk sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas penjagaan keamanan dan keselamatan di laut. Lembaga ini memiliki peran strategis dalam menegakkan hukum di perairan Indonesia, yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional berada di bawah Kementerian Perhubungan.
Tujuan dari penjelasan Paragraf 14 ini adalah untuk memastikan adanya satu lembaga yang memiliki tanggung jawab penuh dalam menjaga keselamatan dan penegakan hukum di laut, mencegah tumpang tindih kewenangan, dan menciptakan sistem yang lebih terkoordinasi dalam pengelolaan perairan nasional.
Namun, dengan adanya Revisi Pasal 1 Angka 59, fungsi Penjaga Laut dan Pantai diubah menjadi Pengawas Pelayaran, yang hanya memiliki kewenangan administratif dalam pengawasan pelayaran. Revisi ini secara langsung mengabaikan fungsi-fungsi strategis yang diamanatkan oleh Paragraf 14, dan mempersempit ruang lingkup kewenangan lembaga tersebut.
III. Pertentangan Revisi Pasal 1 Angka 59 dengan Pasal-Pasal Lain dalam UU No. 17/2008 Tentang Pelayaran
1. Pertentangan dengan Pasal 276
Pasal 276 menyebutkan bahwa Penjaga Laut dan Pantai memiliki kewenangan strategis dalam menjaga keselamatan dan keamanan di laut serta melakukan penegakan hukum. Dalam Pasal ini, peran Penjaga Laut dan Pantai mencakup pengawasan terhadap pelanggaran hukum di laut, serta memberikan perlindungan bagi perairan Indonesia dari ancaman kriminalitas dan pencemaran laut.
Namun, Revisi Pasal 1 Angka 59 mempersempit fungsi Penjaga Laut dan Pantai menjadi hanya Pengawas Pelayaran, yang tidak memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum di laut atau menangani isu-isu keamanan. Ini bertentangan dengan Pasal 276, yang menuntut adanya kewenangan lebih luas untuk menjaga keselamatan dan keamanan maritim.
2. Pertentangan dengan Pasal 277
Pasal 277 memberikan tanggung jawab kepada Penjaga Laut dan Pantai untuk mengawasi keselamatan pelayaran, pencemaran laut, lalu lintas kapal, serta mendukung eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut. Lembaga ini juga berperan dalam melakukan pencarian dan penyelamatan di laut.
Revisi Pasal 1 Angka 59 sama sekali tidak mencakup peran-peran penting tersebut. Pengawas Pelayaran, sebagaimana diatur dalam revisi, hanya mengurusi hal-hal administratif terkait peraturan pelayaran, tanpa adanya kewenangan untuk melakukan patroli atau penanganan keselamatan di laut. Ini menimbulkan kesenjangan besar antara revisi dengan tujuan Pasal 277.
3. Pertentangan dengan Pasal 278
Pasal 278 memberikan kewenangan penuh kepada Penjaga Laut dan Pantai untuk melakukan patroli laut, pemberhentian kapal, pengejaran seketika (hot pursuit), serta penyidikan atas pelanggaran di laut. Ini termasuk dalam lingkup operasional lembaga yang sangat luas, di mana penegakan hukum menjadi bagian utama.
Revisi Pasal 1 Angka 59 tidak memberikan kewenangan untuk melakukan patroli atau penegakan hukum di laut. Pengawas Pelayaran hanya diatur sebagai lembaga pengawas administratif, yang jelas bertentangan dengan Pasal 278.
4. Pertentangan dengan Pasal 279
Pasal 279 mengatur bahwa Penjaga Laut dan Pantai harus dilengkapi dengan prasarana dan armada yang memadai, termasuk kapal dan pesawat udara negara, untuk menjalankan tugasnya menjaga keamanan dan keselamatan di laut. Dukungan infrastruktur yang memadai menjadi krusial dalam memastikan efektivitas lembaga ini.
Namun, revisi Pasal 1 Angka 59 tidak menyebutkan adanya prasarana atau armada untuk Pengawas Pelayaran, yang membatasi fungsi lembaga tersebut hanya pada pengawasan administratif, tanpa dukungan sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan tugas operasional. Ini menciptakan disparitas besar dalam kesiapan operasional lembaga yang diatur dalam Pasal 279.
5. Pertentangan dengan Pasal 280 dan Pasal 281
Pasal 280 mengatur bahwa petugas yang tidak menggunakan atau menunjukkan identitas yang jelas saat bertugas akan dikenakan sanksi administratif. Sementara itu, Pasal 281 menyatakan bahwa tata kerja Penjaga Laut dan Pantai akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah.
Revisi Pasal 1 Angka 59 tidak memberikan ketentuan terkait penggunaan identitas atau sanksi administratif bagi pelanggaran. Pengawas Pelayaran hanya diatur sebagai lembaga administratif tanpa ruang untuk pengembangan operasional lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 281.
IV. Akibat Revisi Terhadap Kompetensi Absolut Kementerian Perhubungan
Revisi Pasal 1 Angka 59 berdampak langsung terhadap kompetensi absolut Kementerian Perhubungan, yang selama ini memiliki kewenangan penuh dalam pengaturan keselamatan pelayaran, penegakan hukum di laut, dan koordinasi lintas lembaga. Dengan adanya revisi ini, terdapat beberapa dampak serius terhadap kompetensi Kementerian Perhubungan:
- Pengurangan Kewenangan: Revisi ini secara langsung mengurangi peran Kementerian Perhubungan dalam pengawasan maritim, karena Pengawas Pelayaran hanya diatur sebagai lembaga administratif. Kewenangan untuk melakukan patroli, penyelidikan, dan penegakan hukum di laut yang seharusnya berada di bawah Penjaga Laut dan Pantai, kini tidak lagi berada di bawah kendali Kementerian.
- Potensi Tumpang Tindih Kewenangan: Dengan terbatasnya kewenangan Kementerian Perhubungan dalam hal penegakan hukum di laut, ada potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Perhubungan, dan TNI AL. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan dalam implementasi kebijakan maritim dan menurunkan efektivitas penegakan hukum di laut.
- Minimnya Koordinasi: Revisi ini mengurangi peran koordinasi lintas lembaga yang selama ini dipegang oleh Kementerian Perhubungan. Tanpa kewenangan strategis dalam hal penegakan hukum, koordinasi antara Kementerian Perhubungan dengan lembaga-lembaga lain di laut menjadi semakin lemah, yang pada akhirnya dapat memengaruhi upaya nasional dalam menjaga keselamatan dan keamanan di laut.
- Ancaman Terhadap Kedaulatan Maritim: Dengan berkurangnya kompetensi Kementerian Perhubungan dan lemahnya koordinasi antar lembaga, Indonesia dapat menghadapi risiko terhadap kedaulatan maritim. Keamanan perairan yang longgar dapat memunculkan peluang bagi aktivitas ilegal seperti perompakan, penyelundupan, pencurian ikan, dan pencemaran laut.
V. Potensi Judicial Review di Mahkamah Konstitusi
Mengacu pada berbagai pertentangan yang diuraikan di atas, terutama yang terkait dengan kompetensi absolut Kementerian Perhubungan, revisi ini sangat mungkin untuk diajukan ke Mahkamah Konstitusi melalui Judicial Review. Ada beberapa alasan kuat yang dapat mendukung proses ini:
- Inkonstitusionalitas Revisi: Revisi yang membatasi kewenangan lembaga yang diatur dalam UU Pelayaran dapat dianggap bertentangan dengan asas kepastian hukum, yang diatur dalam Pasal 28D UUD 1945. Sebagai lembaga dengan kompetensi absolut, Kementerian Perhubungan memiliki tanggung jawab utama dalam menjaga keselamatan dan keamanan di laut, yang tidak boleh dihapuskan melalui revisi undang-undang yang bersifat administratif.
- Kekosongan Hukum: Revisi Pasal 1 Angka 59 menciptakan kekosongan hukum dalam pengaturan keselamatan pelayaran dan penegakan hukum di laut. Tanpa adanya lembaga yang memiliki kewenangan penuh dalam hal ini, fungsi-fungsi penting yang diatur dalam UU Pelayaran tidak dapat berjalan dengan efektif.
- Pertentangan dengan Visi Presiden: Keinginan Presiden Joko Widodo untuk membentuk Bakamla sebagai Coast Guard yang memiliki kewenangan luas di laut juga dapat dijadikan sebagai argumen dalam Judicial Review, karena revisi ini bertentangan dengan arah kebijakan Presiden.
VI. Kesimpulan
Revisi Pasal 1 Angka 59 UU No. 17/2008 tentang Pelayaran tidak hanya bertentangan dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang yang sama, tetapi juga berdampak langsung terhadap kompetensi absolut Kementerian Perhubungan. Pengurangan kewenangan Kementerian Perhubungan dalam pengawasan maritim, potensi tumpang tindih kewenangan, dan lemahnya koordinasi lintas lembaga dapat berdampak buruk pada keselamatan dan keamanan di laut.
Keinginan Presiden Joko Widodo untuk memperkuat Bakamla sebagai Coast Guard Indonesia juga bertentangan dengan arah revisi ini, yang justru mempersempit fungsi lembaga pengawas. Oleh karena itu, terdapat dasar yang kuat untuk membawa revisi ini ke Mahkamah Konstitusi melalui Judicial Review, guna mengembalikan fungsi dan kewenangan yang lebih strategis kepada Kementerian Perhubungan serta memastikan kepastian hukum dalam pengelolaan perairan Indonesia.
*)KABAIS TNI 2011 - 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar