23 September 2024

POLEMIK REVISI UNDANG-UNDANG PELAYARAN: IMPLIKASI TERHADAP PENEGAKAN HUKUM DI LAUT

POLEMIK REVISI UNDANG-UNDANG PELAYARAN: IMPLIKASI TERHADAP PENEGAKAN HUKUM DI LAUT

 

Jakarta 23 September 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CP arb*)

 

Revisi Pasal 1 angka 59 dan Pasal 276 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran telah menjadi topik diskusi serius di kalangan pelaku usaha maritim yang nanti akan menanggung akibatnya. Perubahan yang dilakukan dalam revisi ini menimbulkan berbagai pertanyaan terkait konsistensi pemerintah dalam mendukung perdagangan lewat laut dan implikasinya terhadap penegakan hukum di laut. Revisi tersebut memicu pertentangan yang signifikan dengan paragraf 14 penjelasan dan Pasal 277 ayat 2 dalam undang-undang yang sama, yang pada akhirnya berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum.

Pertentangan yang paling mencolok adalah terkait peran Penjaga Laut dan Pantai dalam menjaga keselamatan dan penegakan hukum di laut. Pada Pasal 1 angka 59 revisi, fungsi Penjaga Laut dan Pantai dibatasi hanya pada penjagaan keselamatan dan penegakan hukum di bidang pelayaran. 

Namun, paragraf 14 penjelasan UU Pelayaran memberikan ruang lingkup yang lebih luas, menyatakan bahwa Penjaga Laut dan Pantai juga bertanggung jawab atas penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran, termasuk pengawasan aktivitas masyarakat dan pemerintah di wilayah perairan Indonesia.

Perbedaan ini menimbulkan implikasi serius. Pembatasan fungsi Penjaga Laut dan Pantai dalam Pasal 1 angka 59 yang hanya mencakup keselamatan pelayaran mengabaikan aspek penegakan hukum yang lebih luas di laut. Di sisi lain, paragraf 14 penjelasan menekankan pentingnya peran Penjaga Laut dan Pantai dalam penegakan hukum secara terpadu, guna mencegah tumpang tindih kewenangan di laut. 

Dengan adanya pertentangan ini, potensi terjadi konflik antara institusi yang terlibat dalam penegakan hukum di laut semakin besar. Hal ini tidak hanya merugikan efektivitas penegakan hukum, tetapi juga dapat mengurangi citra Indonesia di mata internasional dan tidak ketinggalan pula akan sangat perugikan para pelaku usaha di laut.

Selain itu, Pasal 276 ayat 1 yang telah direvisi juga bertentangan dengan Pasal 277 ayat 2. Revisi Pasal 276 ayat 1 membatasi fungsi Penjaga Laut dan Pantai hanya pada penjagaan dan penegakan hukum di bidang pelayaran. Sementara itu, Pasal 277 ayat 2 menekankan bahwa Penjaga Laut dan Pantai harus melaksanakan koordinasi penegakan hukum yang mencakup seluruh aktivitas di perairan Indonesia, tidak terbatas pada pelayaran. Dengan demikian, Pasal 276 ayat 1 revisi gagal mencerminkan pentingnya penegakan hukum secara terpadu di laut yang mencakup pengamanan aktivitas masyarakat dan pemerintah, seperti yang diamanatkan oleh Pasal 277 ayat 2.

Pertentangan antara kedua pasal ini menimbulkan dilema serius dalam penegakan hukum dilaut. Dengan fungsi yang dipersempit dalam Pasal 276 ayat 1 revisi, Penjaga Laut dan Pantai tidak lagi memiliki wewenang penuh untuk menangani berbagai masalah di laut yang tidak terkait dengan keselamatan pelayaran. Hal ini berpotensi menciptakan celah dalam penegakan hukum, terutama dalam konteks pengamanan aktivitas non-pelayaran di wilayah perairan Indonesia.

Lebih lanjut, ketidakselarasan antara revisi Pasal 1 angka 59, Pasal 276 ayat 1, paragraf 14 penjelasan, dan Pasal 277 ayat 2 memperlihatkan masalah yang lebih dalam dalam sistem penegakan hukum di laut Indonesia. Perubahan yang tidak konsisten ini mengindikasikan perlunya kajian ulang yang komprehensif terhadap peraturan yang ada. Penegakan hukum di laut memerlukan pendekatan yang terpadu dan koordinasi yang kuat antar institusi. Oleh karena itu, pembatasan fungsi Penjaga Laut dan Pantai dalam revisi pasal-pasal tersebut seharusnya tidak dilakukan secara terburu-buru tanpa mempertimbangkan implikasi yang lebih luas terhadap keselamatan dan keamanan Pelayaran serta keselamatan dan keamanan dilaut Indonesia.

Dalam kesimpulannya, revisi Pasal 1 angka 59 dan Pasal 276 ayat 1 UU Pelayaran harus ditinjau kembali karena menyebabkan pertentangan yang signifikan dengan paragraf 14 penjelasan dan Pasal 277 ayat 2. Perlu ada harmonisasi antara pasal-pasal ini untuk memastikan bahwa penegakan hukum di laut dapat dilaksanakan secara terpadu dan efektif. Ketidakselarasan dalam peraturan perundang-undangan akan menciptakan ketidakpastian hukum dan melemahkan upaya Indonesia dalam menjaga keamanan perairan serta penegakan hukum yang konsisten di wilayah lautnya serta terganggunya usaha dibidang maritim Indonesia.

*)Kabais 2011-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar