Indonesia di Persimpangan Jalan: Melanjutkan UUD 1945 Amandemen atau Kembali ke UUD 1945 Asli dan Menyempurnakannya ?
Jakarta 11 Agustus 2024
Oleh :
Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, Carb. *)
Pendahuluan.
Indonesia saat ini berada pada titik kritis dalam perjalanan konstitusionalnya. Pilihan untuk melanjutkan dengan UUD 1945 hasil amandemen atau kembali ke UUD 1945 asli sebelum melakukan penyempurnaan lebih lanjut ?. Hal ini menjadi topik perdebatan yang semakin relevan di tengah dinamika politik dan sosial yang berkembang. Perdebatan ini tidak hanya mencerminkan tantangan yang dihadapi bangsa dalam menjaga keselarasan antara konstitusi dan Pancasila, tetapi juga menggambarkan kekhawatiran yang mendalam tentang masa depan negara ini. Dengan perubahan signifikan yang telah dilakukan pada konstitusi, banyak pihak merasa bahwa beberapa elemen penting yang awalnya dimaksudkan untuk menjaga stabilitas negara kini telah hilang atau setidaknya terabaikan.
Latar Belakang Sejarah: Dari UUD 1945 Asli hingga Amandemen
UUD 1945 asli dirumuskan dalam konteks yang sangat unik, di mana Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya dari penjajahan. Pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno memperkenalkan gagasan tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dalam pidatonya di depan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pancasila diusulkan sebagai landasan filosofis yang mencakup lima sila: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Gagasan ini mencerminkan kebutuhan untuk membangun sebuah negara yang inklusif dan berkeadilan sosial, yang mampu menyatukan berbagai kelompok etnis, agama, dan budaya di Indonesia.[1]
Setelah itu, pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan yang dibentuk oleh BPUPKI berjumlah 9 (Sembilan) orang yang terdiri dari 4 (empat) perwakilan kelompok nasionalis dan 5 perwakilan kelompok Islam menghasilkan Piagam Jakarta, yang menyempurnakan rumusan Pancasila 1 JUni 1945. Piagam ini memperkenalkan konsep "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya," yang kemudian diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" pada 18 Agustus 1945 ketika UUD 1945 disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Perubahan ini dilakukan untuk mengakomodasi pluralitas masyarakat Indonesia dan memastikan bahwa konstitusi yang dihasilkan dapat diterima oleh semua pihak. Perubahan ini pula memperlihatkan pengorbanan kelompok Islam demi tercapainya Persatuan dan kemerdekaan Indonesia. UUD 1945 yang disahkan terdiri dari Pembukaan yang memuat Pancasila, Batang Tubuh dengan 37 pasal, penjelasan yang memberikan interpretasi resmi terhadap isi konstitusi, memastikan bahwa setiap pasal dipahami dan diterapkan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, serta aturan peralihan dan aturan tambahan yang dirancang untuk memastikan transisi yang mulus dari pemerintahan kolonial ke pemerintahan Indonesia yang merdeka.[2]
Namun, perjalanan konstitusi ini tidak selalu mulus. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949, Indonesia mengadopsi Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Perubahan ini mencerminkan ketidakstabilan politik yang terjadi pada masa itu, di mana sistem parlementer yang diterapkan tidak mampu menciptakan stabilitas yang diharapkan. Ketidakstabilan ini diperburuk oleh kegagalan Konstituante dalam merumuskan konstitusi baru, yang akhirnya memuncak pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam dekrit ini, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai konstitusi resmi Indonesia.[3]
Orde Baru dan Penggunaan UUD 1945 sebagai Alat Legitimasi.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 digunakan oleh Presiden Soeharto sebagai alat legitimasi untuk memperkuat kekuasaan dan mengekang oposisi. Dalam kerangka ini, Pancasila dipromosikan secara intensif sebagai ideologi negara yang tidak boleh diganggu gugat. Pemerintah menggunakan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar untuk memonopoli kekuasaan, sementara pada saat yang sama mengabaikan banyak prinsip demokrasi yang tertanam dalam konstitusi. Sebagai contoh, Orde Baru menggunakan prinsip "Demokrasi Pancasila" untuk melegitimasi tindakan otoriter, yang pada akhirnya mengaburkan makna sebenarnya dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.[4]
Selama masa ini, interpretasi terhadap UUD 1945 sering kali disesuaikan dengan kepentingan politik pemerintah. Hal ini berarti bahwa prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi landasan konstitusi sering kali diabaikan atau dimanipulasi untuk kepentingan rezim yang berkuasa.[5]Akibatnya, Pancasila lebih sering digunakan sebagai alat politik daripada sebagai panduan moral dan etika bagi bangsa, yang menyebabkan distorsi dalam penerapan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Reformasi 1998 dan Amandemen UUD 1945.
Kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 membuka jalan bagi Reformasi, yang membawa perubahan besar dalam tata kelola negara Indonesia. Era Reformasi memberikan peluang bagi masyarakat untuk menuntut perubahan yang lebih demokratis dan transparan dalam pemerintahan. Salah satu hasil dari tuntutan ini adalah amandemen UUD 1945, yang dilakukan dalam empat tahap antara tahun 1999 dan 2002. Amandemen ini bertujuan untuk memperkuat demokrasi, mengakui hak asasi manusia secara lebih luas, dan memperkenalkan lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah.[6]
Namun, meskipun amandemen ini bertujuan untuk memperbaiki konstitusi, mereka juga membawa tantangan baru. Salah satu perubahan paling kontroversial adalah penghapusan bagian penjelasan yang sebelumnya memberikan interpretasi resmi terhadap setiap pasal dalam UUD 1945. Tanpa penjelasan ini, ruang interpretasi menjadi lebih luas dan berpotensi menyebabkan ketidakkonsistenan dalam penerapan konstitusi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.[7] Selain itu, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang berfungsi sebagai lembaga penasihat tertinggi bagi Presiden, dianggap telah mengurangi mekanisme checks and balances yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dalam pemerintahan.[8]
Adanya Penjelasan dalam UUD 1945 Asli.
UUD 1945 asli dilengkapi dengan Penjelasan yang mencakup penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal. Penjelasan ini memberikan interpretasi resmi terhadap setiap bagian dari konstitusi dan mengaitkannya secara langsung dengan nilai-nilai Pancasila.
Penjelasan hilang dalam UUD 1945 Amandemen:
Salah satu perubahan terbesar dalam amandemen UUD 1945 adalah penghapusan penjelasan tersebut. UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi memiliki penjelasan yang secara eksplisit mengarahkan bagaimana pasal-pasal dalam konstitusi harus dipahami dan diterapkan sesuai dengan Pancasila.
Akibat hilangnya Penjelasan terhadap Pancasila:
Terjadinya Ketidakpastian Hukum: Tanpa penjelasan, interpretasi terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 hasil amandemen menjadi lebih terbuka dan bergantung pada pandangan lembaga-lembaga negara, terutama Mahkamah Konstitusi. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, karena tidak ada lagi panduan eksplisit yang memastikan bahwa setiap pasal diinterpretasikan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Potensi Penyimpangan dari Pancasila: Dengan hilangnya penjelasan, ada risiko bahwa pasal-pasal tertentu dapat diinterpretasikan dengan cara yang menyimpang dari esensi Pancasila. Penafsiran yang tidak konsisten dapat terjadi, terutama jika tidak ada penjelasan resmi yang mengaitkan pasal-pasal tersebut dengan prinsip-prinsip Pancasila seperti keadilan sosial, persatuan, dan kedaulatan rakyat.
Pengurangan Konsistensi Ideologis: Penjelasan dalam UUD 1945 asli berfungsi untuk menjaga konsistensi ideologis antara konstitusi dan Pancasila. Tanpa penjelasan ini, UUD 1945 hasil amandemen bisa mengalami inkonsistensi dalam penerapan nilai-nilai Pancasila, terutama ketika menghadapi perubahan sosial, politik, dan ekonomi.
Adanya Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam UUD 1945 asli.
Dalam UUD 1945 asli, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) adalah lembaga negara yang berfungsi untuk memberikan nasihat kepada Presiden dalam hal-hal yang dianggap penting oleh negara. DPA berperan sebagai salah satu mekanisme checks and balances dalam sistem pemerintahan yang meruopakan prinsip “hikmat kebijaksanaan” dalam Sila Keempat Pancasila.
DPA hilang dalam UUD 1945 Amandemen:
Amandemen UUD 1945 menghapus DPA dan menggantinya dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), yang memiliki peran lebih terbatas dan tidak setara secara konstitusional dengan DPA.
Akibat hilangnya DPA terhadap Pancasila:
- Pengurangan Checks and Balances: Tanpa DPA, kekuasaan Presiden menjadi lebih terkonsentrasi. Hal ini dapat menimbulkan risiko pengambilan keputusan yang kurang terinformasi atau kurang bijaksana, yang bisa mengabaikan prinsip “hikmat kebijaksanaan” dalam Sila Keempat Pancasila.
- Penurunan Legitimasi Nasihat: Hilangnya DPA mengurangi legitimasi nasihat yang diterima oleh Presiden. Ini dapat berdampak pada kualitas keputusan yang diambil, yang mungkin tidak selalu sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab, seperti yang diamanatkan oleh Pancasila.
Adanya Utusan Golongan dalam UUD 1945 Asli:
Dalam UUD 1945 asli, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), perwakilan daerah, dan utusan golongan. Utusan golongan ini termasuk perwakilan dari kelompok-kelompok sosial yang tidak terwakili melalui partai politik, seperti kelompok agama, profesi, dan lain-lain.
Utusan Golongan hilang dalam UUD 1945 Amandemen:
Amandemen UUD 1945 menghilangkan utusan golongan, menjadikan MPR hanya terdiri dari anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Akibat terhadap Pancasila:
- Pengurangan Representasi Kelompok Non-Politik: Tanpa utusan golongan, kelompok-kelompok sosial yang tidak terwakili oleh partai politik atau daerah kehilangan saluran resmi dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional. Ini dapat menyebabkan berkurangnya representasi berbagai kepentingan masyarakat yang lebih luas, yang bertentangan dengan semangat “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dalam Sila Keempat Pancasila.
- Potensi Ketidakadilan Sosial: Penghapusan utusan golongan dapat mengurangi keadilan sosial dalam representasi politik, yang berisiko menimbulkan kebijakan yang tidak sepenuhnya adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia, bertentangan dengan Sila Kelima Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pro dan Kontra: Melanjutkan Amandemen atau Kembali ke UUD 1945 Asli ?
Perdebatan antara melanjutkan dengan UUD 1945 hasil amandemen atau kembali ke UUD 1945 asli mencerminkan dua pandangan yang berbeda tentang bagaimana Indonesia harus melangkah ke depan. Di satu sisi, mereka yang mendukung UUD 1945 hasil amandemen berpendapat bahwa amandemen ini telah membawa konstitusi lebih dekat dengan standar demokrasi modern dan memungkinkan negara untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Mereka juga berpendapat bahwa amandemen ini telah memperkuat hak asasi manusia dan memperkenalkan mekanisme checks and balances yang lebih baik dibandingkan dengan UUD 1945 asli.[9]
Di sisi lain, mereka yang mendukung kembali ke UUD 1945 asli berpendapat bahwa amandemen ini telah mengorbankan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi asli. Mereka merasa bahwa UUD 1945 asli, meskipun tidak sempurna, lebih mampu mencerminkan semangat Pancasila dan memberikan dasar yang lebih stabil untuk pemerintahan. Selain itu, mereka berpendapat bahwa kembalinya penjelasan resmi dan DPA akan mengembalikan mekanisme checks and balances yang hilang selama amandemen.[10]
Implikasi dari Setiap Pilihan
Jika Indonesia memilih untuk melanjutkan dengan UUD 1945 hasil amandemen, tantangan utamanya adalah memastikan bahwa konstitusi ini tetap relevan dengan perkembangan zaman tanpa mengorbankan nilai-nilai fundamental yang telah menjadi fondasi negara. Ini berarti bahwa perlu ada upaya berkelanjutan untuk menyesuaikan konstitusi dengan kebutuhan masyarakat, sambil memastikan bahwa interpretasi konstitusi tetap konsisten dengan Pancasila. Selain itu, perlu ada pengawasan ketat terhadap mekanisme checks and balances untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.[11]
Sebaliknya, jika Indonesia memilih untuk kembali ke UUD 1945 asli, tantangannya adalah bagaimana menyempurnakan konstitusi ini tanpa menghilangkan esensi dan semangat Pancasila. Ini mungkin memerlukan penambahan pasal-pasal baru yang disesuaikan dengan perkembangan zaman, tetapi dengan tetap menjaga nilai-nilai dasar yang terkandung dalam konstitusi asli. Kembalinya, penjelasan resmi dan DPA juga dapat membantu menjaga stabilitas dan integritas sistem pemerintahan, serta memastikan bahwa setiap perubahan yang dilakukan pada konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan sejalan dengan Pancasila.[12]
Kesimpulan
Indonesia berada di persimpangan jalan yang kritis dalam perjalanan konstitusionalnya. Pilihan antara melanjutkan dengan UUD 1945 hasil amandemen atau kembali ke UUD 1945 asli lalu menyempurnakannya adalah keputusan yang memiliki dampak besar bagi masa depan negara ini. Apapun pilihan yang diambil, penting bagi bangsa Indonesia untuk mempertimbangkan pilihan yang tidak hanya menjawab tantangan zaman, tetapi juga menjaga integritas dan orisinalitas Pancasila sebagai dasar negara. Langkah yang bijak mungkin adalah kembali ke UUD 1945 asli sebelum melakukan penyempurnaan lebih lanjut, karena ini dapat menawarkan jalan yang lebih jelas dan terarah untuk memastikan bahwa setiap perubahan yang dilakukan pada konstitusi tetap sejalan dengan nilai-nilai yang telah menjadi fondasi negara sejak awal. Dengan pendekatan yang hati-hati dan inklusif, Indonesia dapat memastikan bahwa konstitusinya tetap relevan dan konsisten dengan semangat Pancasila, sehingga dapat menjadi panduan yang kokoh dalam menghadapi dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang terus berkembang.
Daftar Pustaka :
- Sukarno, "Pidato Lahirnya Pancasila," 1 Juni 1945, dalam Lahirnya Pancasila, disunting oleh M. Yamin (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1947), 15-17.
- Ibid., 18-21.
- Mohammad Hatta, Memoir: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1981), 95-98.
- Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), 215-219.
- Ibid., 220.
- Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), 88-90.
- Bambang Widjojanto, Demokrasi di Persimpangan Jalan: Studi Kasus Penghapusan DPA (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), 120-125.
- Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), 92.
- Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), 220.
- Mohammad Hatta, Memoir: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1981), 97.
- Bambang Widjojanto, Demokrasi di Persimpangan Jalan: Studi Kasus Penghapusan DPA (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), 122.
- Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), 222.
[1] Sukarno, "Pidato Lahirnya Pancasila," 1 Juni 1945, dalam Lahirnya Pancasila, disunting oleh M. Yamin (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1947), 15-17.
[2] Ibid., 18-21.
[3] Mohammad Hatta, Memoir: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1981), 95-98.
[4] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), 215-219.
[5] Ibid., 220.
[6] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), 88-90.
[7] Bambang Widjojanto, Demokrasi di Persimpangan Jalan: Studi Kasus Penghapusan DPA (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), 120-125.
[8] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), 92.
[9] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), 220.
[10] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), 88-90; Bambang Widjojanto, Demokrasi di Persimpangan Jalan: Studi Kasus Penghapusan DPA (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), 120-125.
[11] Bambang Widjojanto, Demokrasi di Persimpangan Jalan: Studi Kasus Penghapusan DPA (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), 122.
[12] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), 222.
*) Kabais TNI 2011-2013
Paparan yang sangat bermanfaat sekali bagi negara kita, semoga tulisan Bpk ini dapat tersampaikan ke pihak2 terkait, semoga membawa perubahan utk negeri ini.
BalasHapus