Dalam setiap peristiwa “besar” di
dunia dan tentunya juga negeri ini, intel selalu mengiringi. Dari aksi
terorisme hingga perhelatan akbar seperti pemilu. Baru-baru ini, kembali muncul
sinyalemen dari salah satu partai yang menyatakan ada indikasi gerakan
mengacaukan Pemilihan Umum 2014. Informasi itu, menurut dia, diperolehnya
berdasarkan pengumpulan data dan informasi intelijen yang diklaimnya akurat.
Selama ini persepsi yang ditangkap
oleh publik ketika mendengar atau membaca tentang peran intelijen relatif
selalu dialamatkan ke institusi (negara) yang berlabelkan intelijen. Anggapan
ini terbentuk karena selama puluhan tahun, khususnya selama era Orde Baru,
fungsi institusi ini berkonotasi negatif. Akibatnya, ketika kata intelijen
digulirkan kembali pada saat ini, anggapan tersebut seakan masih melekat dan
susah dihilangkan. Selagi tidak ada fakta dan bukti, anggapan bahwa institusi
negara yang berlabel Intelijen berada di balik aksi negatif harus dibuang
jauh-jauh.
Secara harfiah, intelijen mengandung
pengertian kecerdasan, akal, kecerdikan, atau inteligensia. Dengan kata lain,
dalam konteks menjelang Pemilu 2014, ketika ada anggapan terjadi “perang
intelijen”, yang terjadi sebenarnya adalah perang antar-kecerdasan untuk
mencapai tujuan masing-masing. Tiap-tiap partai dan institusi lain menggali
potensi diri, menyiapkan amunisi, mengukur kelemahan lawan, menilai momentum
yang tepat, dan segala macam analisis dengan “kecerdasan” tingkat tinggi untuk
mencapai tujuannya. Tentang hal ini, Sun Tzu sudah pernah berpesan, “Know your
enemy, know yourself; your victory will never be endangered.”
Jika dicermati lebih mendalam
tentang upaya mengacaukan Pemilu 2014, sebenarnya ada sebuah fenomena
kecerdasan (intelijen) tingkat tinggi yang justru seharusnya lebih diperhatikan
daripada “sekadar” soal kotak suara yang terbuat dari kardus. Menurut analisis
penulis, aspek legalitas pemilu akibat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada
23 Januari 2014, bahwa Undang-Undang Nomor 42/2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, adalah sebuah masalah besar. Bisa
jadi hal ini adalah skenario dengan kecerdasan (intelijen) yang amat tinggi.
Mengapa demikian? Karena sudah
jelas, terang-benderang landasan hukum Pemilu 2014 dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat tapi masih
dijadikan dasar hukum. Dengan kata lain, hasil pemilu bisa dinilai
inkonstitusional atau tidak berdasarkan UUD 1945. Pihak-pihak yang menang, baik
presiden, wakil presiden, maupun anggota DPR, semuanya menjadi tidak sah karena
menggunakan produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat. (Tentang hal ini, penulis telah menyajikannya di
Koran Tempo edisi 28 Februari 2014 dengan judul “Peluang Kudeta Konstitusional
2014″)
Anehnya, “saran” MK bahwa dasar
hukum pemilu tersebut bisa dilaksanakan pada 2014, dan mulai berlaku pada 2019
dan pemilihan umum seterusnya diikuti oleh penyelenggara pemilu (pemerintah dan
KPU). Padahal MK tidak berhak dan tidak punya kewenangan sebagaimana diatur
dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 untuk menyatakan waktu berlakunya sebuah undang-undang.
“Kecerdasan” tingkat tinggi seperti inilah yang seharusnya digulirkan oleh
partai politik, akademikus, dan sejumlah elemen bangsa.
Dalam sejarah perjalanan peralihan
kekuasaan di negeri ini, beberapa kali kita dihadapkan pada benturan antara
konstitusi dan kondisi politik. Kita bisa menyaksikan dan membaca dari sejarah
bagaimana situasi politik dan konstitusi yang berlaku pada peralihan kekuasaan
dari Soekarno ke Soeharto, dari Soeharto ke B.J. Habibie, dan dari KH
Abdurahman Wahid ke Megawati Soekarnoputri.
Idealnya, intelijen dari semua
elemen bangsa, baik dari pemerintah maupun partai politik, melakukan sejumlah
langkah. Dalam pandangan penulis, setidaknya ada tiga langkah yang harus
dilaksanakan. Pertama, penyelidikan secara terencana dan terarah dengan
mengumpulkan dan memperoleh informasi yang dibutuhkan, membuat perkiraan
mengenai kemungkinan yang akan dihadapi serta menyusun perencanaan tindakan
yang akan diambil terhadap kemungkinan munculnya peng-(ke)-gagalan Pemilu 2014.
Kedua, pengamanan terhadap semua
usaha, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan yang ditujukan guna menghindari
terjadinya kekacauan dan kehancuran material yang merugikan bangsa. Dan ketiga,
penggalangan, yakni aksi yang diarahkan untuk menciptakan sebuah kondisi
kehidupan berbangsa menjadi aman, tentram, serta demokrasi berjalan sesuai
dengan yang diharapkan dan diterima oleh semua elemen bangsa.
Langkah cerdas ini perlu segera
dirintis dan dilakukan, sebelum (kemungkinan) peristiwa besar yang merugikan
bangsa ini terjadi.
Soleman B Ponto ; Kepala Badan
Intelijen Strategis (ka-BAIS) TNI 2011-2013
(Sumber: TEMPO.CO, 12 April 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar