KOMPAS, 25 Maret 2014. DUNIA sempat heboh gara-gara ulah
Edward Snowden, mantan karyawan kontrak Badan Keamanan Nasional AS, yang
membocorkan aksi penyadapan oleh sejumlah negara terhadap negara-negara
lainnya. Hubungan diplomatik antara negara penyadap dan yang disadap pun sempat
terganggu. Tak terkecuali Indonesia. Hal itu terjadi pada akhir 2013. Lambat laun
cerita tersebut lenyap. Hubungan diplomatik pun kembali cair seperti biasa.
Sayangnya, belum ada (media/lembaga riset) yang mengungkap atau melakukan
investigasi, di balik aksi Snowden adakah peningkatan permintaan atau penjualan
alat anti sadap?
Minggu-minggu ini, berita (heboh)
penyadapan muncul kembali. Kali ini tembakannya lebih terarah ke perusahaan
telekomunikasi di Indonesia. The New York Times edisi 15 Februari 2014
menyebutkan dokumen-dokumen NSA yang dibocorkan Snowden. Menurut dia, pembicaraan
melalui operator Indosat merupakan bagian dari pemantauan intelijen Australia,
bekerja sama dengan NSA, Badan Keamanan Nasional AS. Disebutkan, penyadapan
pembicaraan para pejabat tinggi Indonesia pada 2012 itu merupakan bagian dari
penyadapan melalui operator Indosat. Adapun untuk Telkomsel, intelijen
Australia telah mengantongi 1,8 juta data kunci terenkripsi.
Dinding bertelinga
Seiring berita tersebut, elite PDI-P
juga mengabarkan telah terjadi penyadapan terhadap Gubernur DKI Jakarta Joko
Widodo alias Jokowi. Setidaknya ada tiga titik ditemukan alat sadap ”sederhana”
di kediaman Jokowi. Tak hanya di rumah, di kantornya pun ditemukan alat sadap.
Atas hal ini, Jokowi mengaku tidak ambil pusing karena pembicaraannya tidak ada
yang penting. ”Paling yang nyadap kecewa, kok, omongannya begitu-begitu
saja,” ucap Jokowi seperti dikutip sejumlah media daring.
Jawaban ”spontan” Jokowi
mengindikasikan ia paham dan sadar akan posisinya sebagai pejabat publik yang
relatif populer dan berada dalam ”radar” banyak pihak. Sikap ini seharusnya
juga disadari oleh banyak pihak, khususnya para pemimpin di pemerintahan,
partai, perusahaan dan sejumlah institusi.
Orang tua dulu, ketika belum ada
sarana teknologi komunikasi seperti sekarang, sudah pernah berpesan bahwa ”dinding
bertelinga, dinding bisa bicara”. Itu artinya kita harus berhati-hati dalam
menyampaikan pesan, baik materi pesan, sarana yang digunakan, waktu, cara, dan
lain sebagainya. Tak heran jika sebagian pihak menyampaikan pesan dengan sandi
dan kode yang hanya dipahami orang-orang tertentu. Istilah ”apel malang”, ”apel
washington”, ”futsun” yang pernah terungkap di persidangan membuktikan hal itu.
Dalam sejarahnya, fenomena
sadap-menyadap sudah terjadi sejak ratusan tahun silam. Dalam dunia diplomatik
dan intelijen, proses sadap-menyadap merupakan hal yang ”lumrah” dan normal.
Itu sebabnya di setiap kantor kedutaan besar kita (KBRI) ada kamar sandi yang
menjadi sangat rahasia, khusus untuk orang-orang tertentu dan berfungsi
menyampaikan pesan secara khusus yang—walaupun bisa disadap— tidak bisa
dimengerti oleh sang penyadap. Jika informasi itu ternyata bisa dimengerti oleh
pihak penyadap, berarti ada kesalahan dan masalah besar terhadap kerja petugas
persandian yang menyandi informasi sebelum dikirim ke alamat yang dikehendaki.
Sadar penyadapan pasti selalu ada,
negara maju dan besar sekelas Amerika saja dalam berkomunikasi, selain
melakukan penyandian, juga menulis berita tersebut dengan bahasa Indian kuno.
Dengan begitu, ketika tersadap oleh pihak luar, sang penyadap tidak mampu
membaca dan mengartikannya. Kita pun mampu melakukan dengan bahasa Sanskerta,
misalnya. Pertanyaan besarnya, mau atau tidak melakukan hal tersebut.
Sadap-menyadap layaknya virus yang
ada di mana-mana. Sulit dihindari. Tinggal bagaimana kita memperkuat mental,
sarana, dan antibodi kita. Jangan sampai karena kita takut akan terserang
virus, akhirnya kita mengurung diri di rumah, memutus hubungan dengan
masyarakat luar, yang pada ujungnya merugikan kita sendiri. Terlalu banyak contoh
negara yang karena takut disadap akhirnya mengisolasi diri dan jadi negara yang
terpuruk.
Dari berbagi lini
Atas bocoran Snowden terhadap
perusahaan telekomunikasi nasional, pemerintah menegaskan jika terbukti
membantu penyadapan, sesuai UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi, operator
tersebut terancam ditutup. DPR pun memberikan pernyataan akan memanggil para
petinggi telekomunikasi untuk mendapat klarifikasi. Pada kesempatan lain,
Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menyatakan telah menerima
laporan evaluasi tidak ada penyusup gelap ataupun botnet
(program berbahaya) di jaringan operator telekomunikasi.
Tifatul juga menjelaskan, penyadapan
bisa saja dilakukan dengan mengambil jalan tengah antara ponsel dan base
transceiver station (BTS). Antara BTS dan BTS atau antara BTS dan jaringan
utama, yaitu satelit atau kabel laut. Cara semacam ini bisa jadi tak
diketahui operator telekomunikasi.
Soleman B Ponto, Kepala Badan Intelijen Strategis TNI, 2011-2013
(Sumber: Kompas, 25 Maret 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar