Usai menuntaskan tugasnya sebagai Kepala Badan Intelijen
Strategis (BAIS) TNI, Laksamana Muda Soleman B Ponto kian bergairah. Saat ke
redaksi INDOPOS di Gedung Graha Pena, (11/12), dia berbagi cerita mulai cara
kerja intelijen, penyadapan, hingga terorisme.
HUMORIS, cerdas, berwawasan luas, dan ceplas-ceplos. Itulah
kesan pertama ketika berbincang-bincang dengan Soleman B Ponto. Tak ayal, awak
redaksi betah ngobrol berlama-lama, hingga perbincangan selama tiga jam tiada
terasa.
"Don’t lie, but don’t tell the truth," kata Ponto
mengawali pembicaraan ketika ditanya tentang dunia intelijen. "Intelijen
itu jangan bohong, tapi juga jangan menceritakan kebenaran," lanjut Ponto.
Apa maksudnya?
Ponto menjelaskan, sebuah peristiwa bisa terbagi menjadi
empat unsure: kenyataan, informasi, fakta, dan data. Unsur kerja intelijen
sebatas menyampaikan informasi. Sementara terkait fakta dan data itu urusan
penegak hukum.
Jadi, asumsi yang disampaikan seorang intelijen itu hanya
sebagai indikasi menuju pembuktian fakta dan keakurasian data. Sebab itu ia
menjelaskan, informasi yang dikabarkan seorang intelijen itu pastinya bukan kebohongan, tapi dia hanya
sebatas menyampaikan."Intelijen tidak boleh mengatakan fakta sebenarnya,
karena bukan tugasnya lagi untuk membuktikan,” ujar Ponto mengartikan dilema
menjadi seorang intelijen.
Prinsip kerja wartawan pun sudah seperti intelijen. Karena
bermain-main dengan informasi. Perbedaannya hanya sistem penyampaiannya.
Pemberitaan yang ditulis wartawan adalah informasi terbuka. Tentu dilengkapi
fakta dan data-data.Lain halnya jika data yang disampaikannya itu hasil curian. Jadi jelas, tinggal bagaimana sistem itu berlaku. Berita
wartawan itu kan harus melengkapi unsur siapa, apa, bilamana dan di mana. Kalau
tidak dilengkapi tentunya ia takkan menulis berita itu. "Sementara data
yang dimiliki intelijen itu sudah pasti terlarang, karena hasil curian. Kita
tau melanggar, tapi tetap dilakukan, seperti itulah intelijen,” terangnya
sambil terus tertawa mengenang masa jaya dulu.
Bincang-bincang sore itu pun semakin hangat. Dibalik
rambutnya yang kian memutih, ternyata pria kelahiran Sangir, 58 tahun silam itu
langsung akrab di mata kolega INDOPOS. Ia pun tak sungkan membeberkan kelucuan
pola kebijakan para pemangku pemerintahan Indonesia yang menurutnya terkesan
kurang cermat dan terlalu dibuat-buat alias lebay.
Seperti hal diberlakukannya Undang-undang (UU) Intelijen.
Menurut Pontoh, aturan itu tidak ada gunanya. Jika diimplementasikan, aturan UU
itu hanya dua; melarang dan membolehkan. Tugas BAIS ini jelas dilarang, tapi
tetap dilakukan. "Lalu, apa yang mau dilegalkan? Kan semua tidak legal.
Makanya curi-curi itu bagi kita sudah biasa. Itulah hidup di dunia intelijen,
ya seperti itu,"selorohnya.
Pria yang saat ini meneruskan kesibukan sebagai komisaris
Utama PT. INTI (Industri Telekomunikasi) ini pun lantas meneruskan
perbincangan. Prinsip dasar seorang intelijen itu, katanya, bisa memblokade
aksi-aksi bom teroris yang selama ini terjadi. Bahkan, jika benar diterapkan
tak menutup kemungkinan seluruh kasus teroris dapat diselesaikan tanpa harus
terjadi insiden baku tembak.
Mestinya, langkah yang dilakukan itu menutup akses
pembentukan kelompok teroris. Ia menyebutkan, ada tujuh net working kelompok
teroris yang jika dipenggal salah satunya, tentu akan memotong keutuhan
kelompok teroris. Bisa dari keuangannya, pembentukan anggotanya, atau tempat
latihannya. Dengan demikian, eksekusi teror bom akan tersabotase.
Ponto sekali lagi menepuk jidat, mengapa penyelesaian
teroris selama ini malah menyasar sendi-sendi keagamaan. Langkah itu jelas
ditentang oleh mereka yang merasa terintimidasi. Belum lagi, dengan insiden
salah tangkap atau salah sasaran.
Ponto juga tak kuasa menahan tawa. Ia tergelak mengingat
ribut-ribut penyadapan yang belakangan ini ramai. Ponto menilai, presiden
terlalu serius menyikapi. Tindakan menarik Dubes di Australia itu terlalu
berlebihan. Keributan itu semakin memperlihatkan kebodohan kita. "Anggap
saja penyadapan ini hal biasa, mestinya beliau bisa lebih menenangkan
rakyat," ujarnya.
Menurutnya, penyadapan itu bukan hal luar biasa. Sejak dulu,
orang tua kita pun mengingatkan, 'hati-hati dinding pun berbicara! "Itu
bukan hal luar biasa. Itu pekerjaan harian intelijen. Sudah tiap hari terjadi.
Kenapa jadi ribut, yang jadi masalah ketika disadap itu, mereka (Australia)
mengerti atau tidak," terangnya.
Pengalaman Ponto, ketika dia berada di di kapal perang,
pengiriman pesan pun sudah disadap, karena transmisinya lewat udara.
"Makanya yang kita gunakan itu kata sandi. Makanya kita punya Lembaga
Sandi Negara (Lemsaneg)," ujarnya.
Soal sandi-sandi itu disadari para pemain. "Angelina
Sondakh saja minta dikirim Apel Washington’ kalau Fathonah minta dikiriim
pustun. Istilah 'Bunda Puteri' itu bentuk-bentuk sandi, tanyakan ke mereka yang
menggunakan, itu karena mereka sudah tau (kalau disadap)," bebernya.
Pengalaman lainnya, setiap tiga bulan sekali BAIS bertugas
melakukan pengecekan seluruh ruangan di Istana Negara dan Istana Merdeka.
Setiap sudut di ruang rapat, ruang makan diperiksa. Memastikan steril dari
penyadapan. Sampai mesin faks, fotokopi atau apapun itu, katanya bisa disadap.
"Tak hanya telepon SBY, telepon siapa pun sudah bisa
disadap. Kalau intelijen itu mengecek sampai ke biling (penagihan), dari
hubungan itu juga bisa ketahuan siapa yang menggunakan. Untuk mengecoh,
penagihannya kami lempar ke pihak yang tidak dikenal, bisa di berbagai belahan
dunia,” kata Ponto.
ASEP ANANJAYA, Jakarta, INDOPOS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar