12 Mei 2025

Tidak Ada Dualisme Intelijen di Indonesia: Memahami Fungsi Sesuai Strukturnya

Tidak Ada Dualisme Intelijen di Indonesia: Memahami Fungsi Sesuai Strukturnya

Jakarta 12 mei 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, S.T., S.H., M.H.

Kepala BAIS TNI 2011–2013

Saya, Soleman B. Ponto, menegaskan bahwa keliru dan menyesatkan jika ada yang berpendapat bahwa telah terjadi dualisme intelijen antara BIN dan BAIS. Justru pemisahan kewenangan intelijen antara lembaga-lembaga negara adalah bentuk penguatan sistem sesuai fungsinya masing-masing. Tidak ada satu pun norma dalam sistem hukum Indonesia yang menyatakan bahwa intelijen harus bersifat tunggal dan tersentralisasi mutlak.

Memang seharusnya begitu. TNI memiliki BAIS yang bertanggung jawab dalam bidang intelijen pertahanan negara, Presiden memiliki BIN untuk urusan strategis dan keamanan nasional secara umum, Polri punya Badan Intelijen Keamanan (BIK) untuk mendukung tugas penegakan hukum dan ketertiban masyarakat, dan Kejaksaan memiliki JAMINTEL untuk kebutuhan intelijen yustisial. Ini bukan bentuk konflik, melainkan keragaman fungsional dalam satu kerangka sistem keamanan nasional.

Intelijen Bukan Satu Kepala, Tapi Satu Tujuan

Masing-masing lembaga negara memiliki tugas yang berbeda, dan karena itu, kebutuhannya terhadap intelijen pun berbeda. Militer tidak bisa bergantung pada intelijen sipil, begitu juga penegakan hukum tidak bisa disandarkan pada informasi yang bersifat strategis-politik. Justru karena itu, adanya badan intelijen khusus di tiap lembaga adalah kebutuhan struktural dan profesional.

Apa yang harus diperkuat bukanlah penyatuan lembaga, tetapi peningkatan mekanisme koordinasi, integrasi sistem informasi, dan penajaman fungsi antarintelijen negara. BIN sudah memiliki fungsi koordinatif sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 67 Tahun 2019. Koordinasi bukan subordinasi. Koordinasi berarti bekerja bersama, bukan di bawah satu komando absolut.

Mengapa Harus Dipertahankan?

•⁠  ⁠Menghindari Konsentrasi Kekuasaan: Bila seluruh fungsi intelijen disatukan dalam satu lembaga, maka akan muncul risiko abuse of power dan kehilangan independensi masing-masing sektor.

•⁠  ⁠Menjamin Efektivitas Tugas Pokok: BAIS hanya bisa optimal jika berada di bawah struktur militer. Demikian juga BIN yang bekerja di ranah sipil dan strategis pemerintahan.

•⁠  ⁠Menjaga Netralitas Institusi: Pembagian ini menjaga agar intelijen tidak dijadikan alat politik oleh satu pusat kekuasaan tertentu.

Kesimpulan

Saya tegaskan kembali, tidak ada dualisme intelijen antara BAIS dan BIN. Yang ada adalah diferensiasi fungsi yang memang diperlukan oleh struktur ketatanegaraan dan sistem pertahanan nasional kita. Jangan sampai diskursus publik diseret ke arah penyederhanaan yang justru bisa melemahkan sistem yang sudah berjalan baik.

Kalau ada yang melihat sistem intelijen sebagai terpecah atau terbelah, maka yang perlu ditinjau adalah pemahamannya tentang struktur negara, bukan struktur intelijen itu sendiri.

11 Mei 2025

Pancasila dan UUD 1945: Retak di Dasar Negara, Ancaman Serius bagi Kohesi Nasional

Pancasila dan UUD 1945: Retak di Dasar Negara, Ancaman Serius bagi Kohesi Nasional

Jakarta 11 Mei 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb

(Kepala BAIS TNI 2011–2013)

Pasal 190 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara, dan setiap orang yang menyatakan keinginan menggantinya dengan ideologi lain di muka umum dapat dipidana. Pasal ini seolah menegaskan bahwa dasar negara kita sudah final. Tapi benarkah demikian?

Jika kita kembali ke sumber hukum tertinggi kita—Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Alinea keempat Pembukaan—maka akan kita temukan sesuatu yang menarik: rumusan kelima sila Pancasila memang termuat secara eksplisit, tetapi istilah “Pancasila” tidak pernah disebutkan.

Tak hanya itu, dalam seluruh batang tubuh UUD 1945, istilah "Pancasila" bahkan tidak muncul sekali pun. Artinya, secara normatif-konstitusional, tidak ada pasal dalam UUD 1945 yang menyebut Pancasila sebagai dasar negara.

Ini menimbulkan pertanyaan serius: Mana yang sesungguhnya dasar negara Indonesia—Pancasila seperti yang dimaksud dalam KUHP, atau Alinea keempat UUD 1945 yang memuat lima sila secara deskriptif?

Simbol yang Tak Lagi Sejalan dengan Sistem

Inilah celah kritis yang selama ini tertutup oleh euforia seremonial. Pancasila diagungkan dalam pidato, diperingati tiap 1 Juni, dan dihafal oleh pelajar di seluruh negeri. Namun dalam sistem hukum dan praktik bernegara, Pancasila tidak diberi tempat sebagai norma konstitusional yang mengikat secara eksplisit.

Yang menjadi dasar negara secara hukum positif hanyalah Alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Sementara Pancasila sebagai istilah justru hidup dalam peraturan di bawah UUD, termasuk KUHP, Tap MPR, dan UU lainnya.

Inilah yang menimbulkan ketidaksesuaian antara simbol dan sistem. Dan bila terus dibiarkan, kontradiksi ini akan memicu krisis kohesi nasional—karena rakyat tidak lagi tahu apa sebenarnya dasar bersama mereka sebagai bangsa.

Negara Tanpa Dasar atau Dasar yang Rapuh

Sejarah bangsa mana pun menunjukkan bahwa negara hanya bertahan jika memiliki cohesion force—kekuatan pemersatu yang hidup dan dijalankan. Bila cohesion force itu hanya disimpan dalam pasal pidana atau upacara formal, maka negara kehilangan fondasi moralnya.

Rakyat akan patuh karena takut, bukan karena percaya. Pemimpin akan bicara soal Pancasila, tetapi tidak menjadikannya acuan kebijakan. Hukum akan memaksa cinta terhadap sesuatu yang tidak pernah diperjuangkan oleh negara itu sendiri.

Dan saat itulah negara akan mulai roboh dari dalam—bukan karena diserang dari luar, tetapi karena kehilangan pondasi yang menyatukan elemen-elemen bangsa.

Solusi Konstitusional: Amandemen UUD 1945

Tidak cukup menjaga Pancasila dengan ancaman pidana. Tidak cukup memajang simbolnya di dinding sekolah atau kantor pemerintahan. Kita membutuhkan kepastian hukum dan konstitusional bahwa Pancasila benar-benar dasar negara, bukan sekadar julukan.

Satu-satunya cara untuk mengakhiri paradoks ini adalah dengan melakukan amandemen UUD 1945, menyisipkan satu pasal eksplisit:

“Negara Republik Indonesia berdasar atas Pancasila sebagai dasar negara.”

Pasal ini akan mengikat semua produk hukum di bawahnya, sekaligus memperjelas bahwa Pancasila bukan hanya simbol ideologi, tetapi benar-benar norma fundamental yang hidup dalam sistem hukum dan pemerintahan.

Penutup: Saatnya Kembali ke Fondasi yang Tegas

Jika bangsa ini ingin tetap utuh, maka fondasi kebangsaannya tidak boleh dibiarkan mengambang. Negara membutuhkan dasar yang tidak hanya disebut, tetapi dijalankan. Dan dasar itu tidak boleh berubah-ubah tergantung tafsir politik yang berkuasa.

Karena ketika dasar negara tidak lagi jelas atau hanya dijadikan alat kekuasaan, maka negara kehilangan kekuatan kohesinya—dan bila cohesion force itu runtuh, maka negara akan menyusul roboh.

Maka, pilihannya bukan lagi sekadar wacana, tetapi keputusan politik konstitusional: Amandemen atau Kehampaan.

10 Mei 2025

Ketika Para Purnawirawan Bicara dan Kita Semua Diam

Ketika Para Purnawirawan Bicara dan Kita Semua Diam

Jakarta 10 Mei 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

Purnawirawan sebagai Pemecah Spiral of Silence dalam Demokrasi Indonesia

Beberapa waktu lalu, sekelompok purnawirawan TNI membacakan sejumlah tuntutan kepada pemerintah. Tuntutan mereka tidak main-main: mengevaluasi proses pemilihan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, memulihkan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi, serta menekankan pentingnya kembali ke semangat konstitusi dan reformasi 1998. Mereka turun ke jalan, berorasi, membacakan maklumat, dan menatap wajah bangsa yang sedang sunyi.

Sikap ini tentu mengundang berbagai reaksi. Ada yang memuji, ada pula yang mencibir. Tapi yang lebih menarik—dan sebetulnya mengkhawatirkan—adalah diamnya mayoritas rakyat. Di tengah tuntutan yang substansial itu, suara rakyat justru tidak terdengar. Tidak banyak aktivis berbicara, tidak banyak akademisi menanggapi, bahkan media pun meliput dengan hati-hati.

Fenomena ini bukan tanpa nama. Dalam teori komunikasi politik, ini disebut sebagai spiral of silence.

Konsep ini dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neumann, yang menjelaskan bahwa orang cenderung diam jika merasa pandangannya berbeda dari opini yang dominan atau jika takut mengalami isolasi sosial. Di Indonesia, ini kian nyata. Banyak pegawai negeri, guru, wartawan, bahkan dosen, lebih memilih diam daripada berbicara. Takut dianggap “radikal”, takut kehilangan pekerjaan, takut dicap anti-pemerintah.

Diam kolektif ini menciptakan ilusi konsensus. Seolah-olah semua setuju, padahal banyak yang sebenarnya terluka, kecewa, dan kehilangan harapan. Dalam kondisi ini, satu-satunya harapan datang dari mereka yang tidak lagi punya beban birokrasi: para purnawirawan.

Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, mencuat sebagai sorotan nasional ketika diusung menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024. Masalah utama bukan pada sosoknya secara pribadi, melainkan pada proses hukum dan etika yang membuka jalan bagi pencalonannya.

Sebelum Oktober 2023, batas usia minimal untuk mencalonkan diri sebagai capres/cawapres adalah 40 tahun. Namun Mahkamah Konstitusi tiba-tiba mengeluarkan putusan yang mengubah syarat tersebut: orang di bawah 40 tahun boleh mencalonkan diri asalkan pernah menjabat sebagai kepala daerah. Putusan ini sangat spesifik dan terkesan diarahkan pada Gibran—karena saat itu ia menjabat Wali Kota Solo dan berusia 36 tahun.

Masalahnya menjadi serius karena Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu adalah Anwar Usman, paman Gibran, yang kemudian dijatuhi sanksi etik oleh Majelis Kehormatan MK. Meskipun Anwar menyatakan tidak ikut memutus perkara, publik menilai adanya konflik kepentingan dan rekayasa hukum yang mencederai konstitusi.

Inilah titik yang memicu aksi purnawirawan: proses politik yang tampak dikuasai oleh kepentingan keluarga, hukum yang dimanipulasi, dan demokrasi yang terasa dikendalikan dari balik layar kekuasaan.

Bagi sebagian orang, aksi purnawirawan dianggap politis atau ambisius. Tapi secara psikologis, tindakan mereka justru merupakan bentuk koreksi moral terhadap arah negara. Mereka yang telah mengabdikan hidupnya untuk membela republik ini merasa terpanggil kembali, bukan karena kekuasaan, tapi karena negara yang mereka bela dulu terasa berubah wajah.

Dalam dunia militer, nilai-nilai seperti kejujuran, kehormatan, disiplin, dan cinta tanah air adalah fondasi. Ketika nilai-nilai itu dilanggar—terutama oleh institusi tertinggi seperti Mahkamah Konstitusi—purnawirawan merasakan yang disebut sebagai moral injury, yakni luka batin akibat pengkhianatan terhadap nilai yang diyakini suci.

Dan karena mereka tidak lagi terikat jabatan, mereka bisa bersuara. Mereka adalah anomali positif dalam spiral of silence—mereka memecah sunyi, agar republik tidak tertidur dalam ilusi.

Bayangkan jika para purnawirawan pun memilih diam. Tidak ada lagi kelompok yang punya legitimasi moral dan keberanian struktural untuk berbicara. Tidak ada lagi suara korektif dari dalam. Yang tersisa hanyalah kesunyian yang menyesatkan.

Dan seperti panci tekanan tanpa katup, diam kolektif bisa berujung pada ledakan sosial yang tak terkendali. Kita telah melihatnya di banyak negara—dari Orde Baru 1998, ke Tunisia 2010, hingga Sri Lanka 2022.

Purnawirawan yang bicara bukan musuh negara. Mereka adalah cermin nurani bangsa. Mereka mengingatkan bahwa kekuasaan bukan segalanya, dan konstitusi bukan mainan.

Dalam negara demokrasi, kritik bukan ancaman. Justru sunyilah yang paling berbahaya. Maka ketika para penjaga republik sudah bicara, tugas kita bukan mengejek atau menertawakan, tapi mendengarkan, merenung, dan mulai berani berbicara.

Karena jika mereka yang telah mempertaruhkan nyawa untuk republik ini saja masih berani bersuara, mengapa kita diam?

Masalah Gibran: Apa yang Sudah Berlalu, dan Apa yang Masih Membekas

Proses pencalonan dan pemilihan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Indonesia memang sudah berlalu. Ia kini resmi menjadi Wapres terpilih dan apa yang dikehendaki oleh proses politik—sekalipun kontroversial—telah tercapai. Bagi sebagian kalangan, ini dianggap sebagai bagian dari dinamika demokrasi. Namun tidak bagi semua orang.

Bagi para purnawirawan dan kelompok masyarakat yang kritis, yang tersisa bukan sekadar hasil pemilu, melainkan luka konstitusional yang belum sembuh. Luka ini bukan karena kalah atau menang dalam kompetisi, tapi karena proses yang dinilai mencederai etika, hukum, dan nilai keadilan. Mereka tidak sedang mempersoalkan pribadi Gibran semata, melainkan kerusakan sistemik yang telah dibiarkan terjadi demi tujuan politik jangka pendek.

Yang membuat para purnawirawan bicara bukan sekadar soal sosok Gibran, melainkan soal bagaimana Mahkamah Konstitusi bisa 'dibengkokkan', bagaimana konflik kepentingan bisa dibiarkan, dan bagaimana demokrasi bisa dikendalikan oleh satu poros kekuasaan tanpa ada pertanggungjawaban moral.

Bagi mereka, ini bukan soal masa lalu, tapi soal masa depan bangsa. Jika pelanggaran etika dan hukum bisa dibenarkan hari ini, maka ke depan bisa lebih parah. Jika suara nurani dibungkam hari ini, maka kelak tak akan ada lagi penjaga republik yang berani bersuara. Inilah yang tersisa, dan inilah alasan mereka memilih turun ke jalan.

Purnawirawan bukan sedang mencari posisi atau panggung. Mereka sedang mencoba menyelamatkan demokrasi dari pembusukan senyap. Apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah, tapi apa yang masih akan terjadi bisa dicegah—dan itu hanya mungkin jika masih ada yang berani bicara.

*)KABAIS TNI 2011-2013

Menjaga Bangsa dari Keruntuhan: Kegagalan Memaknai Dasar Negara sebagai Ancaman Kohesi Nasional

Menjaga Bangsa dari Keruntuhan: Kegagalan Memaknai Dasar Negara sebagai Ancaman Kohesi Nasional

Jakarta 10 Mei 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, S.T., S.H., M.H., CPM, CParb

(Kepala BAIS TNI 2011–2013)

Pendahuluan

Setiap bangsa membutuhkan landasan nilai bersama yang menjadi kekuatan pemersatu kolektif. Di Indonesia, nilai tersebut diyakini sebagai 'Pancasila'. Namun, istilah ini tidak tertulis secara eksplisit dalam UUD 1945 sebagai dasar negara. Yang tertulis adalah lima sila dalam alinea keempat Pembukaan. Ketidaksesuaian antara simbol (nama) dan isi (sila) telah menimbulkan kerancuan dalam pemahaman masyarakat. Artikel ini akan membahas dampak psikologis, sosiologis, dan konstitusional dari kesenjangan ini.

Analisis Psikologi: Otak Tidak Menerima Makna yang Berubah-ubah

Dalam psikologi kognitif, otak manusia membutuhkan struktur makna yang konsisten untuk dapat diinternalisasi. Penggunaan istilah 'Pancasila' yang multitafsir—kadang berarti Ketuhanan, kadang berarti Persatuan, dan kadang Keadilan Sosial—menyebabkan terjadinya disonansi kognitif. Rakyat kebingungan karena tidak ada acuan tetap yang bisa mereka pahami dan hayati. Hal ini membuat nilai-nilai dasar negara tidak tertanam dalam kesadaran kolektif.

Implikasi Sosiologis dan Pendidikan

Ketidakkonsistenan dalam memaknai dasar negara berdampak langsung pada pendidikan kewarganegaraan. Siswa diajarkan untuk menghafal urutan sila, namun tidak pernah dipandu untuk memahami atau menginternalisasi maknanya. Akibatnya, generasi muda hanya mengenal simbol tanpa substansi. Di tingkat masyarakat, kohesi sosial menjadi rapuh karena tidak ada satu narasi nilai yang dipegang bersama. Ini merupakan gejala awal dari disintegrasi.

Teori Kohesi dan Contoh Negara yang Runtuh

Émile Durkheim menekankan pentingnya solidaritas mekanik dalam mempertahankan kesatuan masyarakat. Benedict Anderson menjelaskan bahwa bangsa adalah komunitas yang 'dibayangkan' berdasarkan narasi bersama. Samuel Huntington dan Francis Fukuyama menunjukkan bahwa tanpa nilai bersama, negara akan mengalami delegitimasi dan disintegrasi. Runtuhnya Uni Soviet (1991), Yugoslavia (1990–1995), dan Sudan (2011) adalah contoh bahwa tanpa dasar negara yang dihayati secara kolektif, negara bisa hancur dari dalam tanpa perlu serangan luar.

Urgensi untuk Indonesia

Jika Indonesia terus mempertahankan istilah 'Pancasila' sebagai simbol tanpa menjabarkan dan menginternalisasi lima sila yang tertulis dalam UUD, maka negara ini akan kehilangan daya ikatnya. Kohesion force bangsa akan hilang, dan pada akhirnya, sebagaimana banyak negara lain dalam sejarah, Indonesia berisiko mengalami keruntuhan bukan karena serangan asing, tetapi karena kehilangan jati dirinya sendiri.

Fenomena di Indonesia: Gejala Disfungsi Kohesi Nilai

Situasi aktual di Indonesia menunjukkan gejala melemahnya kohesi nasional akibat ketidaktegasan makna dasar negara. Beberapa fenomena sosial dan politik berikut memperlihatkan bahwa simbol 'Pancasila' telah digunakan secara serampangan tanpa keterkaitan dengan isi nilai yang tertulis dalam UUD 1945.

Pertama, istilah 'anti-Pancasila' sering digunakan sebagai stempel untuk membungkam lawan politik atau kelompok yang mengkritik kebijakan negara. Tuduhan ini tidak mengacu pada pelanggaran terhadap sila tertentu, melainkan hanya berdasar pada persepsi loyalitas terhadap simbol. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila telah menjadi alat politik, bukan lagi nilai universal yang mengikat seluruh warga negara.

Kedua, beberapa undang-undang strategis seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba dinilai merugikan kelompok rentan dan lingkungan. Seandainya perumusan hukum tersebut berpijak pada sila 'Keadilan Sosial' dan 'Kemanusiaan yang Adil dan Beradab', maka perlindungan terhadap buruh, petani, dan masyarakat adat semestinya menjadi prioritas utama. Namun, nihilnya referensi eksplisit terhadap lima sila menyebabkan hukum tidak berpijak pada nilai dasar negara yang sah.

Ketiga, kurikulum pendidikan kewarganegaraan masih menitikberatkan pada hafalan simbol, bukan penghayatan nilai. Siswa belajar menghafal urutan lima sila tanpa pernah diajak memahami bagaimana sila tersebut diterapkan dalam kehidupan nyata. Ketika generasi muda tidak mengerti apa arti 'Persatuan Indonesia' dalam konteks keberagaman sosial, maka identitas nasional tidak terbentuk dengan kokoh.

Keempat, polarisasi sosial-politik semakin menguat dengan mengatasnamakan Pancasila, padahal tidak ada tolok ukur substantif yang dijadikan dasar. Kontestasi politik elektoral maupun identitas sering dibungkus oleh retorika 'membela Pancasila' atau 'menyelamatkan Pancasila', namun tanpa menyebutkan sila mana yang dijadikan rujukan dan bagaimana penerapannya secara konstitusional.

Kelima, lemahnya pemahaman dasar negara juga tercermin dalam ketidaksinambungan antara visi kebijakan nasional dan struktur pemerintahan daerah. Banyak kepala daerah yang menggunakan jargon Pancasila dalam pidato seremonial, tetapi kebijakannya justru memperkuat eksklusivitas, ketimpangan sosial, dan praktik oligarki.

Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia saat ini berada dalam fase simbolisasi nilai, bukan penghayatan. Tanpa langkah tegas untuk kembali kepada lima sila sebagai nilai dasar yang eksplisit dan operasional, kohesi bangsa akan terus melemah dan potensi disintegrasi akan makin terbuka.

Kesimpulan

Negara hanya dapat berdiri jika memiliki dasar nilai yang jelas, konsisten, dan dipahami bersama. Indonesia memiliki lima sila yang tertulis dalam konstitusi, namun selama istilah 'Pancasila' terus dijadikan simbol tanpa isi yang dapat dipegang, maka bangsa ini akan terus kehilangan arah. Saatnya kembali kepada makna, bukan nama. Hanya dengan itulah bangsa ini bisa bertahan secara utuh, adil, dan berdaulat.

Pancasila, Nama yang Diyakini, Nilai yang Ditinggalkan

 Nama yang Diyakini, Nilai yang Ditinggalkan

oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto

Kami memanggilmu “Pancasila”.

Dengan yakin, dengan bulat, dengan penuh hormat.

Kami katakan engkaulah dasar negara.

Kami pasang gambarmu di dinding kelas, di ruang tamu pejabat, di mimbar orasi politik.

 

Tapi ketika kami buka konstitusi,

kami mencari namamu...

dan tak menemukannya.

 

Yang ada hanyalah lima sila,

berdiri sendiri, terang, satu per satu,

tertulis rapi dalam Pembukaan UUD 1945—

bukan dalam sebutan “Pancasila”,

melainkan dalam isi yang seharusnya kami hayati:

Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Keadilan.

 

Tapi kami, bangsa yang sibuk mencintai lambang,

meninggalkan makna.

 

Kami sibuk menyebutmu,

tapi enggan merinci sila pertama yang telah lama tak hidup di pasar.

Kami memuja namamu,

tapi lupa sila kedua saat melihat manusia digusur demi proyek besar.

Kami menghafal susunanmu,

tapi lupa sila ketiga saat kampanye memecah saudara.

Kami tepuk tangan di seminar kerakyatan,

tapi diam saat suara rakyat dibungkam.

Kami bicara keadilan sosial,

tapi tertawa dalam pesta di tengah kemiskinan.

 

“Pancasila adalah dasar negara,” katanya.

Tapi dasar itu entah di mana—

karena kami tak pernah lagi berpijak pada sila-sila itu.

 

Kami percaya pada namamu,

tapi kami kehilangan akarnya.

 

Kami rayakan hari lahirmu,

tapi tak tahu siapa yang membesarkanmu.

Kami nyanyikan hymnemu,

tapi hidup kami tak mengikuti iramanya.

 

Pancasila, maafkan kami.

Kami memuliakan namamu,

namun kami mengkhianati isi yang tertulis jelas.

 

Karena engkau bukan sekadar nama,

engkau adalah nilai.

Dan jika bangsa ini ingin tetap utuh,

kami harus kembali,

bukan pada sebutanmu,

tapi pada sila-sila yang benar-benar menjadi dasar.

RENUNGAN MENJELANG HARI LAHIRNYA "PANCASILA"

 RENUNGAN MENJELANG HARI LAHIRNYA "PANCASILA"

Jakarta 10 Mei 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, S.T., S.H., M.H., CPM, CParb

(Kepala BAIS TNI 2011–2013)

"Seringkali yang kita jaga adalah simbol, tapi bukan kebenaran. Yang kita rayakan adalah nama, tapi melupakan isinya."

Sebentar lagi bangsa ini akan memperingati Hari Lahir Pancasila. Spanduk akan dibentangkan. Pidato-pidato akan dibacakan. Lagu-lagu akan dikumandangkan. Tapi di tengah gema peringatan itu, izinkan saya bertanya—sebagai seorang prajurit, sebagai seorang ahli hukum, dan sebagai anak bangsa: Apakah yang sebenarnya kita rayakan?

Apakah kita merayakan lima sila yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945? Ataukah kita  sedang memuja sebuah istilah yang tidak pernah ada dalam konstitusi kita?

Kita Telah Jauh Melangkah dari Teks UUD 1945

Bangsa ini, selama puluhan tahun, telah menerima doktrin bahwa "Pancasila adalah dasar negara", tanpa pernah menelusuri ulang:

- Di mana istilah “Pancasila” itu tertulis dalam UUD 1945?

- Apakah ada pasal yang menyatakannya secara eksplisit?

Jawabannya: tidak ada.

Yang tertulis dengan terang dan tegas hanyalah lima sila, satu per satu, dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Itulah yang menjadi dasar negara secara hukum. Tapi entah sejak kapan, kita mengganti lima sila itu dengan satu istilah politis: “Pancasila.”

Kita memotong jalan berpikir hukum demi kenyamanan retorika. Dan dalam diam, kita mengganti teks konstitusi dengan dogma yang tak tertulis.

Akibatnya: Negara Tersesat dalam Keyakinan Simbolik

Karena kesalahan berpikir ini terus dipertahankan, kita kini menghadapi konsekuensi serius:

1. Undang-undang dibuat di atas istilah yang tidak ada dalam konstitusi.

2. Mahasiswa dan pelajar belajar hafalan, bukan kebenaran.

3. Politik mengklaim Pancasila sebagai miliknya, lalu saling menuduh siapa yang lebih Pancasilais.

Renungan: Saatnya Kembali ke Akar.

Selama puluhan tahun, rakyat Indonesia diajarkan bahwa 'Pancasila adalah dasar negara'. Namun, mereka tidak pernah benar-benar diajak memahami apa isi dari dasar itu. Mereka menghafal nama, tapi tidak memahami maknanya. Mereka mencintai istilah, tapi tidak mengenal isinya. Mengapa demikian? Karena secara empirik, yang dapat mereka pegang, lihat, dan baca dalam konstitusi hanyalah lima sila—bukan nama 'Pancasila' itu sendiri.

Ketika rakyat dituntut untuk hidup berdasarkan nilai-nilai kebangsaan, mereka justru dibingungkan oleh doktrin yang tidak mengacu pada teks hukum. Padahal, lima sila dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945—Ketuhanan YME, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan/perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi seluruh rkyat Indonesia—itulah dasar nyata yang seharusnya dijadikan pegangan. Mereka jelas tertulis, mereka terstruktur, dan mereka dapat diinternalisasi secara konkret dalam kehidupan bernegara.

Sebaliknya, istilah 'Pancasila' yang tidak tertulis dalam UUD telah menjadi medan tafsir politis. Ia dijadikan tameng untuk membenarkan atau menyerang siapa pun yang berbeda pandangan. Ia diangkat tinggi-tinggi tanpa kejelasan, hingga menjadi simbol kosong yang kehilangan akar hukumnya. Dan ketika negara menetapkan hukum pidana berdasarkan istilah yang tidak tertulis dalam konstitusi, maka yang terjadi adalah ketidakadilan yang dilegalkan.

Jika hal ini terus dipertahankan, maka akibatnya sangat serius. Pertama, rakyat akan kehilangan pegangan hukum dan moral yang sah. Kedua, pendidikan kewarganegaraan akan terus mengajarkan hafalan simbolik, bukan pemahaman substantif. Ketiga, negara akan tersesat dalam kekuasaan simbol dan kehilangan arah konstitusional. Dan yang paling berbahaya: generasi masa depan akan lahir tanpa fondasi nilai yang dapat dipegang secara sah dan konstitusional.

Maka, dalam semangat Hari Lahir Pancasila ini, marilah kita merenung lebih dalam. Sudah saatnya kita jujur kepada diri kita sendiri dan kepada rakyat: yang menjadi dasar negara bukanlah istilah 'Pancasila' yang tidak tertulis, melainkan lima sila yang secara tegas dan sah telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.

Jika kita ingin menyelamatkan masa depan bangsa ini, kita harus mulai dari dasar. Dan dasar itu bukan retorika, tapi teks hukum. Bukan simbol, tapi nilai yang nyata. Karena hanya dengan kembali pada sila-sila yang tertulis, kita bisa membangun bangsa yang jujur, adil, dan berdaulat berdasarkan konstitusi, bukan berdasarkan doktrin tanpa dasar. 

"Jika kita negara hukum, maka hukumlah yang kita pegang. Bukan kebiasaan. Bukan kebingungan. Dan bukan kebanggaan atas istilah yang tidak pernah dirumuskan secara legal."

Hari Lahir Pancasila seharusnya menjadi momentum kembali ke teks asli UUD 1945. Mari rayakan bukan nama, tapi substansi nilai yang tertulis secara sah:

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradap, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Seruan kepada Bangsa, Kepada para pemimpin, cendekiawan, pendidik, dan seluruh rakyat Indonesia:

Marilah kita jujur.

Marilah kita berani kembali ke akar konstitusi.

Jangan biarkan kita merayakan sesuatu yang tidak pernah kita tulis, tapi mengabaikan apa yang secara sah telah diwariskan oleh para pendiri bangsa.

Jika kita terus bertahan pada kesalahan simbolik ini, maka kita tidak hanya melanggar asas hukum, tetapi juga melahirkan generasi yang kehilangan jejak konstitusionalnya sendiri.

Selamat merenung.

Selamat meninjau kembali.

Karena cinta sejati kepada negara tidak membenarkan kesalahan, tapi mengoreksinya dengan keberanian.

 

4 Mei 2025

Mengapa Indonesia Tidak Mungkin Mewujudkan Coast Guard seperti Negara Lain

 Mengapa Indonesia Tidak Mungkin Mewujudkan Coast Guard seperti Negara Lain

Jakarta 04 Mei 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPARB, CPM*)

Sekarang ini banyak pihak membayangkan bahwa Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, membutuhkan sebuah institusi tunggal seperti “Coast Guard” sebagaimana dimiliki oleh negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Jepang, atau Korea Selatan. Namun, mimpi tersebut pada dasarnya tidak mungkin terwujud dalam sistem hukum Indonesia saat ini. Hal ini bukan sekadar persoalan kelembagaan, tetapi menyangkut perbedaan mendasar dalam sistem hukum yang dianut oleh Indonesia.

Upaya untuk membentuk Coast Guard sebenarnya pernah dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dalam Pasal 276 hingga Pasal 281, UU tersebut mengamanatkan pembentukan Indonesia Coast Guard sebagai institusi tunggal yang bertanggung jawab atas pengawasan dan penegakan hukum di laut. Namun, amanat tersebut tidak pernah terealisasi karena bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Pada akhirnya, seluruh pasal tersebut dihapus melalui Undang-Undang Nomor 66 Tahun 2024.

Penghapusan ini menegaskan bahwa sistem hukum Indonesia tidak memberi ruang terhadap pembentukan lembaga tunggal penjaga laut seperti Coast Guard. Sebaliknya, Indonesia menganut prinsip “single agency, single task”, di mana setiap lembaga hanya memiliki satu fungsi tugas berdasarkan mandat undang-undang yang mengaturnya. Ini sesuai dengan asas fundamental dalam sistem hukum Indonesia: “satu undang-undang satu objek hukum.”

Indonesia menganut sistem hukum civil law, yang menempatkan undang-undang sebagai sumber hukum utama dan menekankan asas kepastian hukum, kejelasan norma, serta pembagian kewenangan secara rigid berdasarkan fungsi institusional. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem common law seperti di Amerika Serikat yang lebih fleksibel dalam mengonsolidasi fungsi institusi ke dalam satu badan seperti United States Coast Guard.

Dalam sistem hukum Indonesia yang menganut tradisi civil law (Eropa Kontinental), dikenal asas fundamental dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu asas “satu Undang-Undang satu objek hukum” atau dikenal pula sebagai prinsip “single act, single subject”. 

Asas ini bermakna bahwa setiap undang-undang hanya memuat satu jenis kewenangan normatif, satu jenis objek hukum, dan satu lingkup kelembagaan yang bertugas. Artinya, tidak mungkin dua undang-undang memuat tugas yang identik, dan tidak mungkin pula dua lembaga menjalankan kewenangan yang tumpang tindih jika pembacaan terhadap norma dilakukan secara sistematik dan sektoral.

Prinsip ini sejalan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mewajibkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada asas kejelasan rumusan dan kedayagunaan serta hasil guna. Penjelasan Umum dari UU ini juga menegaskan bahwa setiap norma hukum harus dibentuk dengan objek hukum yang jelas dan tidak multitafsir.

Dengan demikian, pembentukan lembaga seperti Bakamla yang mencoba menjalankan semua fungsi lembaga lain justru menyalahi asas satu UU satu objek, dan bertentangan dengan sistem hukum Indonesia.

Adapun anggapan telah terjadi tumpang tindih antar lembaga penegak hukum laut, pada dasarnya lebih disebabkan karena kekeliruan membaca dan menafsirkan norma undang-undang. Jika setiap UU dibaca secara holistik, sektoral, dan sistematis, akan terlihat bahwa masing-masing undang-undang mengatur tugas dan kewenangan yang berbeda dan tidak saling tumpang tindih.

Berlandaskan asas ini berarti bahwa tidak akan pernah ada dua undang-undang dengan objek pengaturan dan tugas kelembagaan yang sama. Bila terdapat dua lembaga yang seolah-olah menjalankan tugas serupa, maka itu lebih disebabkan oleh kekeliruan dalam membaca dan menafsirkan norma undang-undang. Sebagai contoh:

- TNI AL menjalankan fungsi pertahanan dan penindakan terhadap ancaman militer dan perompakan berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004.

- Polri mengurusi tindak pidana umum di laut berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002.

- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menangani penyelundupan berdasarkan UU No. 17 Tahun 2006.

- PSDKP menangani kejahatan perikanan berdasarkan UU No. 45 Tahun 2009.

- KPLP sebagai PPNS di Kementerian Perhubungan bertugas sebagai Pengawas Pelayaran berdasarkan UU No. 66 Tahun 2024.

Dengan struktur tersebut, maka fungsi penegakan hukum di laut telah dibagi secara tegas dan legal antar lembaga, dan tidak mungkin digabung ke dalam satu institusi tunggal. Dalam kerangka sistem hukum Indonesia, pembentukan lembaga Coast Guard dengan tugas lintas sektor akan melanggar prinsip legalitas dan menciptakan tumpang tindih norma.

Upaya untuk menyatukan seluruh lembaga penegak hukum di laut melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang menjadi dasar pembentukan Bakamla, justru bertentangan dengan prinsip sistem hukum Indonesia. UU 32/2014 berupaya mengkonsolidasikan kewenangan dari TNI AL, Polri, Bea Cukai, PSDKP, dan KPLP ke dalam satu institusi bernama Bakamla. Namun, tindakan ini tidak selaras dengan asas “satu undang-undang satu objek hukum” dan menyebabkan disharmoni hukum.

Akibatnya, keberadaan Bakamla sebagai lembaga yang lahir dari UU 32/2014 menjadi kabur secara hukum. Ia tidak secara eksplisit ditetapkan sebagai penyidik, tidak beroperasi berdasarkan hukum acara pidana, dan tidak memiliki kedudukan sektoral yang jelas. Justru Bakamla menimbulkan konflik kewenangan dengan institusi lain yang telah memiliki dasar hukum yang lebih kuat dan spesifik.

Bahkan ketika Presiden menyebut Bakamla sebagai embrio Coast Guard, implementasinya tidak pernah terealisasi. Status Bakamla tetap ambigu—tidak sepenuhnya sipil, tidak juga militer—dan kewenangannya tidak dapat dioperasionalisasi tanpa melanggar hukum. Dengan penghapusan pasal-pasal mengenai Coast Guard dalam UU No. 66 Tahun 2024, maka mimpi menjadikan Bakamla sebagai Coast Guard nasional telah ditutup secara hukum.

Prinsip satu Undang-Undang satu tugas adalah karakteristik sistem hukum nasional yang menjamin kejelasan kelembagaan, asas legalitas, dan pembedaan kewenangan penyidikan. Pemahaman ini harus menjadi dasar dalam menilai apakah norma UU No. 32 Tahun 2014 tentang Bakamla telah menimbulkan pelanggaran konstitusionalitas.

Dengan demikian keinginan untuk membentuk Coast Guard seperti di negara-negara lain akan selalu bertentangan dengan sistem hukum nasional. Jalan terbaik bagi Indonesia adalah memperkuat koordinasi antar lembaga penegak hukum yang sudah ada berdasarkan UU sektoral, bukan menyatukannya dalam satu lembaga baru yang tidak memiliki basis hukum konstitusional.

Kesimpulannya, UU No. 32 Tahun 2014 yang mencoba menyatukan seluruh kewenangan lembaga penegak hukum dalam satu badan bukan hanya bertentangan dengan prinsip sistem hukum nasional, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum yang pada akhirnya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan negara hukum dan perlindungan atas kepastian hukum yang adil.

*)KABAIS TNI 2011-2013