9 April 2025

PERTENTANGAN RUU PERUBAHAN UU POLRI DENGAN UUD 1945

PERTENTANGAN RUU PERUBAHAN UU POLRI DENGAN UUD 1945

Jakarta 09 April 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

I. PENDAHULUAN

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah diajukan sebagai bentuk penyesuaian terhadap dinamika sosial, teknologi, dan perkembangan hukum. Namun demikian, terdapat sejumlah ketentuan dalam RUU tersebut yang menimbulkan potensi pertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. RUU ini perlu diuji secara mendalam karena menyangkut prinsip dasar negara hukum, pembagian kekuasaan, hak asasi manusia, dan tatanan sistem hukum nasional.

Selain itu, ditemukan bahwa dalam RUU ini tidak secara eksplisit diatur mengenai sumber pembiayaan Polri dari APBN sebagaimana semestinya ditegaskan dalam undang-undang kelembagaan negara. Hal ini kontras dengan pengaturan mengenai Kompolnas yang justru secara jelas disebutkan mendapatkan anggaran dari APBN.

Potensi Bahaya:

  • Mengabaikan prinsip akuntabilitas keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa semua pengeluaran negara harus ditetapkan dalam APBN.
  • Berpotensi membuka celah pendanaan non-APBN yang tidak dapat diawasi oleh DPR maupun BPK.
  • Melemahkan prinsip transparansi dan pengawasan terhadap belanja aparat penegak hukum.
  • Bertentangan dengan asas negara hukum dan prinsip budgetary control oleh parlemen.
  • Menimbulkan kekaburan mengenai legitimasi operasional dan anggaran institusi kepolisian yang memiliki kewenangan represif.

Dengan tidak disebutkannya pengaturan eksplisit mengenai anggaran Polri dari APBN, maka terdapat risiko serius munculnya sumber-sumber pembiayaan alternatif yang tidak akuntabel serta menimbulkan konflik kepentingan atau bahkan potensi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi struktural.

1. Potensi Konsentrasi Kewenangan Tanpa Mekanisme Checks and Balances

RUU memberikan kewenangan luas kepada Polri dalam bidang:

  • Intelijen keamanan (Intelkam) termasuk pengumpulan informasi, deteksi dini, pengawasan aliran dana,
  • Penindakan di ruang siber,
  • Penyadapan.

🔍 Masalah Konstitusional:

  • RUU ini berpotensi menimbulkan konsentrasi kekuasaan dalam satu institusi, yaitu Polri.
  • Ini bertentangan dengan asas checks and balances dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”

🔧 Catatan Hukum:

  • Tindakan intelijen, penyadapan, dan pemblokiran ruang siber adalah kewenangan yang secara prinsip harus tunduk pada mekanisme peradilan, tidak boleh dilakukan secara bebas.

2. Perluasan Wewenang Polri ke Luar Negeri dan Ruang Siber Tanpa Landasan Konstitusional.

RUU memperluas yurisdiksi Polri hingga:

  • Perwakilan RI di luar negeri,
  • Kapal dan pesawat berbendera Indonesia di wilayah internasional,
  • Ruang Siber.

🔍 Masalah Konstitusional:

  • UUD 1945 tidak memberi mandat eksplisit kepada Polri untuk menjalankan fungsi di luar batas teritorial nasional.
  • Hal ini berpotensi bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara lain, serta prinsip non-intervensi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan persetujuan DPR.

3. Dominasi Polri atas Penyidik Lain Mengikis Independensi Institusi

Pasal 16 dan Pasal 14 RUU menyebutkan Polri memiliki:

  • Kewenangan membina, mengawasi, dan mengendalikan penyidik lain (PPNS, penyidik lembaga khusus),
  • Kewenangan menerima, menolak, atau memberi petunjuk kepada penyidik lembaga lain.

🔍 Masalah Konstitusional:

  • Ini berpotensi mereduksi independensi lembaga-lembaga negara lain, misalnya KPK, Kejaksaan, dan lembaga administrasi sektoral lainnya termasuk penyidik TNI AL.
  • Bertentangan dengan semangat Pasal 24 UUD 1945 mengenai kekuasaan kehakiman yang bebas dari intervensi lembaga lain, serta mengaburkan pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif.

4. Usia Pensiun dan Jabatan Polri: Celah untuk Kepentingan Kekuasaan

RUU memperpanjang usia pensiun perwira tinggi Bintang empat dan pejabat fungsional hingga 65 tahun melalui Keputusan Presiden.

🔍 Masalah Konstitusional:

  • Ini membuka ruang politisasi jabatan Polri, khususnya jika proses perpanjangan tidak disertai kontrol lembaga lain.
  • Bertentangan dengan asas meritokrasi dan sistem rotasi kepemimpinan yang sehat, serta tidak sesuai dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

5. Ancaman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)

Beberapa kewenangan dalam RUU berpotensi melanggar:

  • Hak atas privasi (penyadapan, pengawasan dana),
  • Hak atas informasi dan kebebasan berekspresi (pemutusan akses ruang siber),
  • Prinsip due process of law (tindakan cepat tanpa pengawasan yudisial).

🔍 Masalah Konstitusional:

  • Bertentangan dengan Pasal 28G dan 28I UUD 1945, yang menjamin:
    • Perlindungan atas diri pribadi dan informasi pribadi,
    • Hak untuk bebas dari perlakuan yang sewenang-wenang.

🎯 KESIMPULAN

RUU Perubahan Ketiga atas UU Polri memuat penguatan kelembagaan yang penting. Namun, dari perspektif konstitusional, terdapat sejumlah pasal yang:

  • Berpotensi melanggar prinsip negara hukum dan demokrasi konstitusional,
  • Melemahkan prinsip pemisahan kekuasaan dan independensi kelembagaan,
  • Menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia jika tidak dibarengi mekanisme pengawasan yudisial dan legislatif yang ketat.

Saran:

  • Penataan ulang pasal-pasal yang mengatur wewenang intelijen, ruang siber, penyadapan, dan pengawasan lembaga lain.
  • Perlu mekanisme kontrol oleh DPR dan Mahkamah Agung, termasuk melalui Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang transparan dan akuntabel.
  • Perlu penambahan pasal yang mengatur bahwa seluruh kegiatan Polri dibiayai dari APBN.

*)Kabais TNI 2011-2013

8 April 2025

TANGGAPAN HUKUM TERHADAP PERNYATAAN YANG MENOLAK PENARIKAN PERSONEL TNI DARI BAKAMLA

TANGGAPAN HUKUM TERHADAP PERNYATAAN YANG MENOLAK PENARIKAN PERSONEL TNI DARI BAKAMLA

Oleh :  Soleman B Ponto,

Pernyataan:

"Kami TIDAK SEPENDAPAT dgn tulisan Pak Ponto ini yg meminta menarik personil TNI-AL dari BAKAMLA."

Tanggapan:

Ketidaksepakatan ini jelas datang dari pihak yang tidak memahami struktur hukum positif Indonesia. Permintaan penarikan personel TNI aktif dari Bakamla bukan pendapat pribadi, tetapi berdasar pada norma tegas dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Ketika seseorang menyatakan "tidak sependapat", tetapi tidak merujuk pada ketentuan hukum yang sah, maka pendapat tersebut gugur demi hukum karena tidak memiliki dasar legalitas dan hanya berbentuk opini kosong.

Pernyataan:

"BAKAMLA, BASARNAS dan BNPB adalah beberapa Badan/Lembaga yg merupakan Institusi Sipil yg memang bisa diisi oleh Perwira Militer Aktif sesuai kebutuhan organisasi..."

Tanggapan:

Pernyataan ini salah kaprah dan menyesatkan. Berdasarkan Pasal 47 ayat (2) UU TNI, hanya terdapat 10 lembaga sipil yang secara eksplisit dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, dan BAKAMLA serta BNPB tidak termasuk di dalamnya.
Pernyataan ini membuktikan bahwa penanggap tidak membaca atau tidak memahami isi pasal secara utuh. Tidak cukup hanya menyebut "sesuai kebutuhan organisasi" tanpa menunjuk dasar hukum spesifik. Dalam sistem hukum, “kebutuhan organisasi” bukan landasan legal, melainkan harus tunduk pada norma undang-undang.

Pernyataan:

"...dimana sebelumnya sudah diatur dalam berbagai Peraturan Per-UU-an lain (UU dan Perpres) sebelumnya di Era Pemerintahan Pak SBY dan Pak Jokowi."

Tanggapan:

Pernyataan ini tidak menyebut satu pun nomor atau isi peraturan yang dijadikan dasar hukum. Ini adalah bentuk pernyataan asal bunyi tanpa dasar normatif maupun empirik.
Jika benar ada UU atau Perpres yang mengatur personel militer aktif boleh menjabat di Bakamla secara permanen, seharusnya disebutkan pasal dan nomor peraturannya. Tanpa itu, pernyataan ini tidak lebih dari sekadar asumsi pribadi yang tidak dapat diuji secara hukum.

Pernyataan:

"Dalam Revisi UU-TNI berbagai lembaga tsb, posisinya ditegaskan dan dikuatkan kembali K/L atau Institusi Sipil yg dpt diisi oleh Perwira TNI (Laut, Darat dan Udara) yg memang sudah berjalan efektif lebih dari 10 tahun."

Tanggapan:

Pernyataan ini berisi dua kekeliruan besar:

  1. Revisi UU TNI tahun 2024 justru memperketat, bukan memperlonggar. Dalam revisi tersebut dinyatakan bahwa prajurit hanya dapat ditempatkan di institusi yang menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan, dan itu pun harus dengan Peraturan Presiden dan bersifat sementara.
  2. Lama waktu pelanggaran (“sudah berjalan 10 tahun”tidak menjadikan praktik tersebut legal. Dalam sistem negara hukum, pelanggaran tidak pernah menjadi kebolehan karena telah lama dilakukan. Justru itu menunjukkan pengabaian hukum sistematis.


Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman terhadap hukum administrasi negara dan prinsip legalitas.

Pernyataan:

"Pimpinan Lembaga Sipil tsb (Bakamla, Basarnas dan BNPB) jika dipimpin oleh 'Orang Sipil', terbukti kurang mampu dalam mengkoordinasikan dan mengendalikan kegiatan di lapangan."

Tanggapan:

Pernyataan ini tidak hanya tidak berdasar hukum, tetapi juga mencemarkan nilai-nilai konstitusional.
Pertama, tidak ada data empirik atau bukti tertulis yang mendukung klaim ini. Kedua, efektivitas bukan dasar hukum.
Dalam negara hukum, yang digunakan adalah asas legalitas, bukan efektivitas sepihak. Jika orang sipil dianggap tidak kompeten, maka solusinya adalah peningkatan kualitas SDM sipil, bukan pelanggaran terhadap UU TNI dengan menyusupkan militer ke lembaga sipil secara ilegal.
Pernyataan ini tidak etis, tidak konstitusional, dan menunjukkan sikap anti-sipil yang bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam demokrasi.

Penutup & Penegasan Hukum:

  • Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menyatakan secara tegas bahwa prajurit aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil, kecuali di 10 lembaga tertentu yang disebut secara eksplisit.
  • BAKAMLA tidak termasuk dalam daftar itu. Maka, penempatan personel TNI aktif di Bakamla adalah ilegal.
  • Revisi UU TNI 2024 semakin mempertegas pembatasan ini, bukan melonggarkan.
  • Jika lembaga keamanan laut dibentuk dan berbentuk militer, maka itu bertentangan dengan Pasal 10 dan 30 UUD 1945 yang menyatakan bahwa TNI hanya terdiri dari AD, AL, dan AU.
  • Bila lembaga keamanan laut yang dibentuk adalah sipil, maka penempatan personel militer aktif secara permanen juga bertentangan dengan UU TNI.

Artinya, posisi Bakamla dari dua sisi tetap melanggar: jika Lembaga keamanan Laut adalah lembaga militer → maka akan melanggar UUD; jika Lembaga keamanan Laut adalah Lembaga sipil → maka akan melanggar UU TNI.

Maka, penarikan seluruh personel TNI aktif dari Bakamla adalah langkah yang sah, tepat, dan sesuai dengan hukum positif dan konstitusi.
Sebaliknya, penolakan terhadap hal ini tidak punya dasar hukum, tidak berbasis fakta, dan hanya opini pribadi tanpa nilai yuridis.

 

 

"Pak RT, Pak Polisi, dan RUU yang Bikin Bingung"

"Pak RT, Pak Polisi, dan RUU yang Bikin Bingung"

Tepian Sawah Jakarta 08 april 2025

Oleh : Soleman B Ponto, Detektif Romantika

Di suatu hari yang cerah di Desa Hukum Damai, warga berkumpul di balai desa karena ada pengumuman penting. Pak RT berdiri di depan mikrofon sambil membawa setumpuk kertas tebal.

“Warga sekalian, ini ada draft RUU baru tentang kepolisian. Katanya sih, biar tugas Polri makin mantap!” ujar Pak RT.

Tiba-tiba, Pak Polisi desa, sebut saja Pak Dono, berdiri dan bertanya, “Pak RT, saya dengar katanya nanti saya bisa jadi penyidik, jaksa, hakim, bahkan penata rambut sekaligus?”

Warga tertawa. “Maksudnya gimana, Pak Dono?” tanya Bu Tati, penjual gorengan.

“Ya gimana nggak bingung, Bu. Di RUU ini saya boleh nyadap, boleh nangkep, boleh nyidik sendiri tanpa nunggu jaksa, bahkan bisa netapin tersangka. Lah ini kok kayak sinetron ‘Pak Polisi Segalanya’? Saya takut nanti disuruh main saxophone juga!” keluh Pak Dono sambil geleng-geleng.

Pak RT membaca lagi, “Di Pasal 16 ayat baru, Polri bisa ngambil alih perkara kapan aja. Bahkan bisa periksa institusi negara lain!”

Warga bengong. “Lah, kalau gitu KPK gimana? Jaksa kemana? Hakim tidur, kah?” celetuk Pak Dullah, satpam pasar.

“Tunggu-tunggu,” kata Bu RW sambil berdiri, “kalau semua diurus Polri, nanti Pak Polisi desa kita bisa burnout dong. Belum lagi kalau disuruh jaga pos ronda sambil sidang di ruang sidang keliling!”

Seluruh warga pun sepakat: RUU ini terlalu serbabisa. Seolah-olah Pak Polisi adalah superhero tanpa batas. Tapi bukan tanpa risiko.

Pak Ustad pun angkat tangan, “Ingat, kekuasaan tanpa kontrol itu kayak gorengan tanpa minyak: keras, gosong, dan bikin seret.”

Akhirnya, warga menulis surat ke DPR:

“Kami warga Desa Hukum Damai menyarankan agar RUU Polri direvisi. Bukan karena kami tak cinta Polri, tapi karena kami tak mau Pak Dono pingsan karena harus merangkap semua peran dari Batman sampai Notulen Sidang. Terima kasih.”

 

3 April 2025

SURAT TERBUKA Kepada Yth. Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jendral TNI Agus Subiyanto Di Tempat

SURAT TERBUKA

Kepada Yth.
Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jendral TNI Agus Subiyanto
Di Tempat

Tembusan:
Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali

Perihal: Penegasan Konstitusionalitas Penempatan Personel Militer Aktif dalam Institusi Keamanan Laut

Dengan hormat,

Melalui surat terbuka ini, izinkan kami menyampaikan pandangan dan keprihatinan mendalam atas perkembangan terakhir terkait revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), khususnya pasal-pasal yang mengatur tentang penempatan prajurit aktif dalam institusi Keamanan Laut.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa:

“Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.”

Pasal ini secara jelas dan limitatif menyebut bahwa hanya tiga angkatanAD, AL, dan AU—yang diakui sebagai institusi militer resmi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Artinya, tidak ada ruang konstitusional bagi pembentukan institusi militer baru di luar ketiga angkatan tersebut, termasuk yang mungkin dinamakan “Keamanan Laut”.

Dalam konteks ini, kami menilai bahwa ketentuan dalam revisi UU TNI yang memperbolehkan militer aktif untuk ditempatkan di institusi keamanan laut memiliki potensi tafsir yang berbahaya. Jika penempatan tersebut dimaknai sebagai bentuk pembentukan institusi militer baru yang menjalankan fungsi keamanan secara operasional di laut, maka itu berarti telah terjadi perluasan struktur militer yang bertentangan dengan Pasal 10 UUD 1945.

Dengan demikian, institusi keamanan laut yang dapat ditempati oleh militer aktif dapat ditafsirkan sebagai institusi militer baru, dan karenanya bertentangan secara langsung dengan UUD 1945. Untuk tetap sejalan dengan konstitusi dan menjaga supremasi hukum, institusi keamanan laut yang akan dibentuk atau dijalankan ke depan haruslah merupakan institusi sipil, bukan militer. Dan sebagai institusi sipil, ia tidak boleh diisi atau dipimpin oleh personel militer aktif.

Bakamla sebagai Institusi Sipil Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014

Perlu ditegaskan bahwa Badan Keamanan Laut (Bakamla) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, tepatnya diatur dalam Pasal 59 hingga Pasal 66. Secara kelembagaan, Bakamla berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang merupakan kementerian sipil. Dengan demikian, berdasarkan dasar hukum pendiriannya maupun posisi strukturalnya, Bakamla merupakan institusi sipil, bukan bagian dari militer atau TNI.

Meskipun dalam pelaksanaan tugasnya Bakamla selalu melibatkan personel aktif dari TNI, hal tersebut tidak menjadikan Bakamla sebagai institusi militer, karena tidak berada dalam struktur organisasi TNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UUD 1945, yang menyatakan bahwa hanya Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara yang berada di bawah kekuasaan militer tertinggi Presiden.

Oleh sebab itu, segala upaya untuk menempatkan personel militer aktif di Bakamla tanpa alih status, apalagi jika dijadikan struktur komando operasional militer, adalah tindakan yang bertentangan dengan asas konstitusionalitas dan prinsip supremasi sipil dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Oleh karena itu, kami menyampaikan beberapa seruan penting:

  1. Seluruh personel militer aktif yang saat ini ditempatkan di Bakamla harus segera dikembalikan ke satuan asalnya, khususnya TNI AL, atau mengajukan alih status menjadi pegawai sipil apabila ingin tetap melanjutkan tugasnya di sektor keamanan laut.
  2. Pemerintah bersama TNI perlu memastikan bahwa institusi keamanan laut yang dimaksud dalam UU TNI yang baru tidak melanggar batas konstitusi, dan tetap berada dalam kerangka supremasi sipil.
  3. Segala bentuk penugasan militer aktif di luar struktur TNI yang sah menurut konstitusi harus ditertibkan, guna menghindari terjadinya pelanggaran prinsip negara hukum dan supremasi konstitusi.

Kami percaya bahwa Bapak Panglima TNI dan KSAL memiliki komitmen tinggi terhadap profesionalitas, kepatuhan hukum, dan kehormatan konstitusi. Karena itu, kami berharap penataan struktur keamanan laut Indonesia ke depan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan mengedepankan semangat konstitusionalisme.

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan sebagai kontribusi terhadap penguatan sistem hukum dan tata kelola pertahanan yang taat asas di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hormat kami,

JAKARTA 3 APRIL 2025

Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM , CPARB

 

Bakamla dan Panglima TNI: Saatnya Personel Militer Aktif Mundur demi Tegaknya Konstitusi

Jakarta 3 april 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

Pernyataan tegas Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto baru-baru ini telah menggugah perhatian publik dan para pemangku kepentingan, khususnya terkait penugasan personel militer aktif di lembaga-lembaga sipil. Panglima menekankan bahwa prajurit aktif yang menduduki jabatan di instansi dan lembaga sipil wajib mengundurkan diri atau pensiun dini, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Ketentuan ini secara jelas menyatakan dalam Pasal 47 ayat (1):

“Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.”

Hanya pada ayat (2) diberikan pengecualian terbatas, yaitu untuk jabatan di Kemenko Polhukam, Kementerian Pertahanan, Sekmil Presiden, BIN, BSSN, Lemhannas, Wantannas, SAR Nasional, BNN, dan Mahkamah AgungTidak satu pun menyebut Bakamla sebagai lembaga yang boleh diisi oleh prajurit aktif.

Bakamla: Institusi Sipil di Bawah KKP

Badan Keamanan Laut (Bakamla) selama ini berada dalam struktur sipil, yaitu di bawah koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Dengan kedudukan seperti itu, Bakamla bukanlah lembaga militer. Namun kenyataannya, dalam beberapa tahun terakhir, banyak posisi strategis Bakamla justru diisi oleh perwira aktif TNI, khususnya dari matra laut.

Keberadaan prajurit aktif di lembaga sipil yang tidak diatur sebagai pengecualian dalam UU TNI merupakan pelanggaran hukum. Bahkan kini, dengan penegasan Panglima TNI, status mereka bukan hanya ilegal, tetapi juga harus segera diakhiri. Panglima telah memberikan pilihan tegas: mengundurkan diri dari dinas aktif atau kembali ke kesatuan asal.

Masalah Serius: Penggunaan Nama Coast Guard Tanpa Dasar Hukum

Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, posisi Bakamla menjadi semakin bermasalah karena pada kapal-kapalnya, Bakamla menggunakan sebutan "Indonesian Coast Guard". Penggunaan nama tersebut tidak memiliki dasar hukum, karena istilah Coast Guard tidak pernah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, maupun dalam peraturan perundang-undangan nasional lainnya.

Hal ini menjadi masalah serius dalam perspektif hukum internasional. Mengapa? Karena secara global, "Coast Guard" diasosiasikan sebagai lembaga nasional yang sah, resmi, dan bertanggung jawab di bidang keselamatan dan penegakan hukum maritim, baik dalam hukum nasional maupun konvensi internasional seperti UNCLOS 1982. Ketika Bakamla menggunakan label tersebut tanpa dasar hukum nasional, maka:

  • Indonesia dianggap memalsukan legitimasi kelembagaan;
  • Tindakan Bakamla dapat dikualifikasikan sebagai penyesatan publik internasional (public deception);
  • Dan lebih jauh lagi, berpotensi mempermalukan nama baik Indonesia di forum-forum internasional.

Mendesak: Revisi Total Status Personel dan Legitimasi Kelembagaan

Dalam kondisi saat ini, langkah segera dan tegas harus diambil:

  1. Seluruh personel militer aktif di Bakamla harus mengundurkan diri atau kembali ke TNI, sesuai perintah Panglima TNI dan amanat Pasal 47 UU TNI.
  2. Pemerintah dan DPR harus segera menata ulang dasar hukum dan nomenklatur Bakamla, termasuk penghapusan penggunaan istilah Coast Guard pada kapal-kapal Bakamla jika tidak dimuat secara legal dalam undang-undang nasional.

Ketaatan Hukum Adalah Wujud Pengabdian Tertinggi

TNI adalah institusi kehormatan. Maka, ketaatan pada konstitusi dan undang-undang bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi bagian dari semangat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Tidak seharusnya prajurit aktif ditempatkan pada posisi yang menyalahi hukum, terlebih dalam institusi sipil yang secara keliru menyematkan gelar "Coast Guard".

Saatnya semua pihak—terutama TNI, KKP, dan pembuat undang-undang—menyudahi kebingungan kelembagaan ini dan mengembalikan posisi Indonesia sebagai negara hukum yang konsisten dan kredibel di mata dunia.

Menimbang Konstitusionalitas Institusi Keamanan Laut: Antara Revisi UU TNI dan Amanat UUD 1945

Perdebatan mengenai institusi keamanan laut kembali mencuat pasca revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam revisi tersebut, disebutkan bahwa militer aktif dapat ditempatkan di institusi keamanan laut, yang memunculkan tanda tanya besar: apakah ini berarti pembentukan institusi militer baru di luar Angkatan Darat, Laut, dan Udara?

Untuk menjawabnya, kita harus kembali kepada konstitusi sebagai hukum dasar negara, khususnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

UUD 1945: Institusi Militer Hanya AD, AL, dan AU

Dalam Pasal 10 UUD 1945, ditegaskan bahwa:

“Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.”

Frasa tersebut sangat eksplisit dan limitatif: hanya tiga angkatan yang diakui secara konstitusional sebagai komponen kekuatan militer Indonesia, yaitu Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Dengan demikian, tidak ada ruang konstitusional untuk pembentukan institusi militer keempat, termasuk yang mungkin disebut sebagai “Keamanan Laut” dalam bentuk militeristik.

Bakamla dan Konsekuensi Konstitusional

Badan Keamanan Laut (Bakamla) dibentuk berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, dan secara struktural berada di bawah koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sebagai badan sipil, Bakamla seharusnya bersifat non-militer. Namun, dalam praktiknya selama ini, Bakamla banyak diisi oleh personel TNI aktif, khususnya dari TNI AL.

Dengan adanya revisi UU TNI, yang pada satu sisi membuka ruang penempatan militer aktif di “institusi keamanan laut”, maka muncul potensi benturan dengan Pasal 10 UUD 1945. Jika penempatan tersebut diartikan sebagai bentuk institusi militer baru yang independen, maka ini jelas bertentangan dengan konstitusi, karena hanya AD, AL, dan AU yang diakui secara konstitusional

Artinya, Bakamla tidak mungkin dan tidak boleh menjadi institusi militer. Maka secara logika hukum dan tata negara, institusi “Keamanan Laut” yang dimaksud dalam revisi UU TNI hanya sah apabila berbentuk institusi sipil, bukan militer. Jika tidak, maka keberadaan dan kewenangannya berpotensi inkonstitusional. Dan bila institusi sipil maka tidak dibenarkan di tempati oleh personil militer aktif. Dengan demikian personil militer aktif Bakamla pun tidak bisa mengawaki intitusi ‘Keamanan Laut” bila nanti dibentuk. Dan perlu diingat juga bahwa Indonesia tidak menganut sistim para militer. Tidak ada satu Undang-undangpun yang mengatur para militer. Dengan kata lain para militer di Indonesia itu inkonstitusional.

Implikasi bagi Personel Bakamla

Situasi ini menimbulkan implikasi serius terhadap status personel Bakamla yang berasal dari militer aktif. Berdasarkan semangat konstitusi dan substansi UU TNI yang telah direvisi, penempatan militer aktif di lembaga sipil tidak lagi diperbolehkan.

Dengan demikian, maka seluruh personel militer aktif yang saat ini bertugas di Bakamla harus segera memilih:

  1. Kembali ke satuan asalnya, yakni ke TNI AD, AL, atau AU sesuai rekrutmen asal; atau
  2. Melakukan alih status menjadi pegawai sipil apabila ingin tetap mengabdi di sektor keamanan laut.

Langkah ini harus segera dilakukan sambil menunggu pembentukan atau penegasan kelembagaan dari institusi “Keamanan Laut” yang disebut dalam UU TNI terbaru.

Kesimpulan: Menjaga Konsistensi Konstitusi

Penting untuk menekankan bahwa dalam negara hukum, segala bentuk organisasi negara harus tunduk pada UUD 1945. Dalam konteks ini, revisi UU TNI yang menyebut “Keamanan Laut” tidak boleh dimaknai sebagai pendirian institusi militer baru, karena itu akan melanggar Pasal 10 UUD 1945.

Oleh sebab itu, institusi keamanan laut—apapun bentuk dan namanya—harus bersifat sipil, dan disusun dengan prinsip profesionalitas, supremasi sipil, serta akuntabilitas publik. Pemerintah perlu mempercepat penataan ini agar tidak terjadi kekacauan hukum dan dualisme otoritas di laut Indonesia. Dan yang terpenting, tidak diawaki oleh personil militer aktif.

*)Kabais TNI 2011-2013