9 April 2025

TANGGAPAN TERHADAP PERNYATAAN MENGENAI PENUGASAN TNI DI BAKAMLA DAN SUPREMASI SIPIL

TANGGAPAN TERHADAP PERNYATAAN MENGENAI PENUGASAN TNI DI BAKAMLA DAN SUPREMASI SIPIL

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.

Pernyataan:

"Dang saya melihat banyak yang tidak tepat mengartikan supremasi sipil. Ini memang kekeliruan faham sejak reformasi 98."

Tanggapan: Pernyataan ini menarik, namun perlu diluruskan. Supremasi sipil bukan sekadar produk Reformasi 1998, melainkan prinsip mendasar dalam sistem negara hukum modern. Konsep ini mengatur bahwa kekuatan militer berada di bawah kendali institusi sipil dalam bingkai hukum, bukan sebaliknya. Jadi, bukan siapa yang memimpin yang menjadi esensi, melainkan bahwa penggunaan kekuatan militer harus tunduk pada hukum dan otoritas sipil yang sah.

Pernyataan:

"Bakamla urusannya dengan keamanan laut. Keamanan laut termasuk keamanan navigasi dari gangguan sabotase, pembajakan, teror, kriminal, penyelundupan barang dan manusia, bea dan cukai, lingkungan hidup dan hayati kemaritiman."

Tanggapan: Kami sepakat bahwa lingkup tugas Bakamla memang terkait dengan keamanan laut yang kompleks. Namun perlu disadari bahwa seluruh gangguan yang disebutkan—pembajakan, penyelundupan, terorisme, hingga pencemaran laut—pada dasarnya adalah tindak pidana.
Maka, pendekatan terhadap masalah ini tetap berada dalam ranah penegakan hukum berdasarkan KUHAP dan peraturan sektoral (Law Enforcemen), bukan operasi militer (Military Operation). Dengan demikian, penugasan prajurit aktif dalam struktur tetap Bakamla perlu mempertimbangkan Pasal 47 UU TNI secara cermat.

Pernyataan:

"Kalau SAR bukan juga organ militer. Tetapi TNI ditugaskan."

Tanggapan: Benar bahwa SAR adalah lembaga sipil, dan dalam praktiknya TNI kerap terlibat dalam operasi SAR. Namun, hal ini sudah diatur secara eksplisit dalam Pasal 47 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004, yang menyebut Search and Rescue Nasional (BASARNAS) sebagai salah satu dari 10 lembaga sipil yang boleh diisi oleh prajurit aktif TNI.
Berbeda dengan itu, Bakamla tidak disebut dalam daftar tersebut, sehingga dasar hukumnya tentu tidak bisa disamakan begitu saja.

Pernyataan:

"Pemahaman presiden pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat laut udara pada UUD adalah dalam konteks pengerahan militer untuk perang dan tugas lain itu bisa sebagai prerogatif presiden."

Tanggapan: Pemahaman ini patut diapresiasi karena menyentuh pasal konstitusi, yaitu Pasal 10 UUD 1945. Namun perlu ditegaskan, meskipun Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas TNI, pelaksanaannya tetap harus merujuk pada undang-undang sesuai ketentuan Pasal 5 UUD 1945.
Dengan kata lain, kekuasaan Presiden tidak berdiri sendiri, melainkan dibatasi dan diarahkan oleh norma hukum, termasuk oleh UU TNI. Karena itu, penugasan prajurit aktif ke lembaga sipil seperti Bakamla harus memenuhi kriteria dan syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Pernyataan:

"Sebetulnya civil supremacy itu adalah supremasi pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Siapapun dia. Seorang jenderal aktif kalau terpilih dalam pemilu dia adalah kuasa supremasi sipil. Jadi tidak dan bukan supremasi orang sipil."

Tanggapan: Gagasan ini menarik namun perlu diberi penekanan bahwa supremasi sipil bukan hanya soal siapa yang dipilih rakyat, melainkan struktur dan prinsip konstitusional yang memastikan bahwa fungsi militer tidak mendominasi ranah sipil.
Konstitusi dan UU TNI mengatur bahwa jika seorang prajurit aktif hendak menduduki jabatan sipil, ia wajib mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu (Pasal 47 ayat 1 UU TNI).
Dengan demikian, legitimasi politik tidak menghapus kewajiban tunduk pada norma hukum.

Pernyataan:

"Bakamla sebagai organ non militer bisa karena kebutuhan dari profesi angkatan maka bisa presiden menugaskan militer sama seperti SAR. Karena dalam SAR belum ada sistem Diklat dan rekrutmen yg memadai makanya diisi militer."

Tanggapan: Alasan kebutuhan praktis tentu bisa dipahami. Namun dalam sistem negara hukum, kebutuhan praktis tidak dapat dijadikan alasan untuk mengesampingkan norma hukum.
Berbeda dengan SAR yang secara eksplisit disebut dalam Pasal 47 ayat (2), Bakamla tidak memiliki dasar hukum sejenis. Maka, jika ada kekurangan dalam sistem pendidikan dan rekrutmen Bakamla, solusinya adalah memperkuat kelembagaan sipil, bukan menugaskan militer di luar koridor hukum.

Pernyataan:

"Jadi sebetulnya semua penugasan militer di luar organisasi militer sudah dipayungi oleh OMSP."

Tanggapan:

Pernyataan ini perlu dikoreksi dan diluruskan secara hukumOMSP (Operasi Militer Selain Perang) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI memang memberikan kerangka operasional pelibatan militer dalam berbagai kegiatan non-perang seperti bantuan kemanusiaan, pengamanan objek vital, atau mengatasi aksi teror.

Namun, penting untuk dipahami bahwa OMSP adalah doktrin operasi militer, bukan dasar legal untuk penempatan struktural prajurit aktif di jabatan sipil. OMSP tidak serta-merta membenarkan penugasan personel TNI secara tetap dan struktural di luar organisasi militer, termasuk di lembaga sipil seperti Bakamla.

Pernyataan:

"Tinggal juklak juknis saja yg hrs dibuat."

Tanggapan:

Pernyataan ini menunjukkan pemahaman yang kurang tepat terhadap hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam sistem hukum Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanganjuklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis)bukanlah dasar hukum yang berdiri sendiri, dan tidak dapat bertentangan atau menggantikan Undang-Undang.

Karena itu, meskipun juklak dan juknis dibuat, substansinya tetap tidak dapat melampaui atau menyimpangi Pasal 47 UU TNI, yang secara tegas menyatakan bahwa:

(1) Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
(2) Prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan pada lembaga tertentu yang disebut secara eksplisit.

Bakamla tidak termasuk dalam daftar tersebut. Maka, tidak mungkin petunjuk teknis dijadikan dasar untuk menempatkan TNI aktif secara tetap di Bakamla.

🔎 Penting: OMSP Harus Berdasarkan Keputusan Politik Negara

Sebagai tambahan yang sangat penting, baik OMP (Operasi Militer untuk Perang) maupun OMSP tidak dapat dilaksanakan secara sepihak oleh TNI, melainkan harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

📘 Pasal 7 ayat (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI:

"Pelaksanaan kebijakan dan keputusan politik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh TNI berdasarkan keputusan politik negara."

Lalu, dijelaskan lebih lanjut dalam:

📌 Penjelasan Pasal 5 UU TNI:

“Yang dimaksud dengan kebijakan dan keputusan politik negara adalah kebijakan dan keputusan Presiden selaku Kepala Negara yang ditetapkan setelah mendapatkan persetujuan DPR, atau kebijakan dan keputusan Presiden yang dibahas bersama DPR sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Artinya:

  • Pelibatan TNI di luar struktur militer, termasuk dalam OMSP, harus berdasarkan keputusan politik negara dalam bentuk Perpres, Keppres, atau keputusan Presiden yang dibahas bersama DPR.
  • Sampai hari ini, tidak ada keputusan politik negara yang secara eksplisit menetapkan Bakamla sebagai lembaga pelibatan TNI aktif secara permanen.
  • Maka, pelibatan personel TNI aktif secara struktural di Bakamla tanpa dasar keputusan politik negara yang sah, melanggar Pasal 7 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 5 UU TNI.

Kesimpulan Tanggapan

  1. OMSP adalah doktrin operasi militer, bukan dasar hukum penempatan struktural TNI di lembaga sipil.
  2. Pelaksanaan OMSP harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 5 UU TNI.
  3. Juklak dan juknis bukan dasar hukum yang dapat menggantikan atau melanggar undang-undang.
  4. Penempatan prajurit aktif di Bakamla tanpa alih status atau tanpa keputusan politik negara adalah tidak sah secara hukum.
  5. Satu-satunya jalan yang sesuai hukum adalah:
    • Personel TNI ditarik kembali ke kesatuannya, atau Diajukan alih status menjadi ASN secara legal dan administratif.

Penutup

Berdasarkan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU TNI, serta prinsip-prinsip hukum yang berlaku, penugasan prajurit TNI aktif secara permanen ke Bakamla tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Bakamla bukan termasuk 10 lembaga yang secara eksplisit disebut dalam pengecualian, dan tidak ada Perpres yang mengatur penugasan prajurit aktif ke Bakamla.

Oleh karena itu, langkah yang paling konstitusional dan sesuai hukum adalah:

  • Menarik personel militer aktif dari Bakamla, atau
  • Melakukan alih status menjadi ASN melalui mekanisme yang sah.

Pernyataan yang menyarankan penarikan personel TNI dari Bakamla bukan hanya tepat, tetapi juga sesuai dengan prinsip negara hukum, asas kepastian hukum, dan penghormatan terhadap konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar