Kewajiban TNI: Perspektif Intelijen dan Perspektif Hukum terhadap Putusan MK terkait Pasal 42 UU KPK
Jakarta, 1 Desember 2024
Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb*)
Pendahuluan
Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki tanggung jawab menjaga tegaknya UUD 1945 sebagai landasan tertinggi hukum di Indonesia. Namun, putusan MK terkait Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menciptakan konflik serius dalam sistem hukum nasional. Dalam putusannya, MK memberikan kewenangan penuh kepada KPK untuk menangani tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi, termasuk yang melibatkan anggota militer.
Putusan ini menimbulkan sejumlah permasalahan mendasar:
- Bertentangan dengan prinsip kompetensi absolut, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, yang memisahkan yurisdiksi peradilan umum dan militer.
- Mengabaikan mekanisme peradilan koneksitas, yang seharusnya menjadi pedoman dalam menangani kasus yang melibatkan pihak militer dan sipil.
- Tidak memaknai Pasal 42 UU KPK sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai jembatan koordinasi antara KPK dan Kejaksaan.
Korupsi sering dianggap sebagai extraordinary crime karena dampaknya yang destruktif terhadap ekonomi, pemerintahan, dan kepercayaan publik. Namun, extraordinary crime tetap harus ditangani dalam kerangka konstitusi. Extraordinary crime tidak dapat dijadikan alasan untuk melanggar prinsip dasar kompetensi absolut yang dijamin oleh UUD 1945.
Dari perspektif intelijen, keputusan ini juga menunjukkan adanya indikasi upaya sistematis untuk melemahkan TNI sebagai institusi kunci dalam menjaga kedaulatan negara. TNI memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk menjaga supremasi hukum dan konstitusi, termasuk dalam menghadapi situasi di mana MK gagal menjalankan tugas utamanya.
1. Kompetensi Absolut dan Maknanya
1.1 Definisi Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut adalah prinsip hukum yang mengatur batas kewenangan sistem peradilan berdasarkan jenis perkara atau subjek hukumnya. Prinsip ini bertujuan:
- Menjamin keadilan dan kejelasan yurisdiksi, sehingga setiap perkara diselesaikan di pengadilan yang tepat sesuai dengan jenis perkara dan subjek hukum.
- Mencegah dualitas dan tumpang tindih yurisdiksi, yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum.
1.2 Landasan Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut diatur dalam:
- Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945:
"Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi." - Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer:
"Peradilan militer berwenang memeriksa dan mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI."
1.3 Signifikansi Kompetensi Absolut
- Melindungi Independensi Institusi:
Anggota militer tunduk pada peradilan militer untuk menjaga kedisiplinan dan kewibawaan TNI. - Mencegah Penyalahgunaan Kekuasaan:
Kompetensi absolut memastikan anggota militer tidak diadili oleh sistem peradilan yang tidak memahami karakteristik kedisiplinan militer. - Menjamin Kepastian Hukum:
Dengan pembagian yurisdiksi yang jelas, proses hukum berjalan tanpa konflik yurisdiksi.
2. Apa Itu Peradilan Koneksitas?
2.1 Definisi Peradilan Koneksitas
Peradilan koneksitas adalah mekanisme hukum yang digunakan untuk menangani kasus pidana yang melibatkan pelaku dari dua yurisdiksi berbeda, yaitu:
- Orang yang tunduk pada peradilan umum (warga sipil).
- Orang yang tunduk pada peradilan militer (anggota TNI).
Mekanisme ini bertujuan untuk:
- Mengintegrasikan penegakan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh warga sipil dan anggota militer.
- Menjamin keadilan hukum, dengan tetap menghormati kompetensi absolut masing-masing yurisdiksi.
2.2 Dasar Hukum Peradilan Koneksitas
Mekanisme peradilan koneksitas diatur dalam beberapa peraturan:
- Pasal 89 KUHAP:
"Dalam hal suatu tindak pidana dilakukan bersama-sama oleh mereka yang tunduk pada peradilan umum dan mereka yang tunduk pada peradilan militer, maka yang berwenang mengadili perkara tersebut adalah peradilan umum, dengan melibatkan hakim militer." - Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor:
"Jaksa Agung mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer." - Pasal 35 Ayat (1) huruf g UU Kejaksaan:
"Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengoordinasikan, mengendalikan, dan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana yang dilakukan bersama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer."
2.3 Mekanisme Peradilan Koneksitas
- Pengendalian oleh Kejaksaan:
Jaksa Agung bertindak sebagai pengendali utama dalam kasus koneksitas untuk menjamin integrasi proses hukum. - Keterlibatan Hakim Militer:
Peradilan koneksitas yang dilaksanakan di peradilan umum tetap melibatkan hakim militer untuk memastikan kompetensi absolut tidak dilanggar. - Pemrosesan Terpadu:
Peradilan koneksitas memungkinkan penanganan kasus secara terpadu, sehingga pelaku dari yurisdiksi berbeda dapat diadili dalam satu proses hukum.
3. Perspektif Hukum: Penjelasan Pasal 42 UU KPK dan Mekanisme Koneksitas
Pasal 42 UU KPK
Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK berbunyi:
"Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum."
Seharusnya Pasal 42 ini dimaknai sebagai kewajiban KPK berkoordinasi dengan Kejaksaan dan Polisi Militer apabila KPK menemukan adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Penjelasan atas setiap frasa dalam Pasal 42 UU KPK adalah sebagai berikut:
- "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang":
- Kewenangan KPK dalam pasal ini tidak bersifat mutlak, melainkan:
- Koordinatif: Sebagai penghubung antara instansi terkait, terutama Kejaksaan dan Polisi Militer, untuk menangani kasus lintas yurisdiksi.
- Pengendalian: Memastikan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan berjalan terintegrasi tanpa melanggar prinsip kompetensi absolut.
- "Mengoordinasikan dan mengendalikan":
- Koordinasi: KPK wajib melibatkan Kejaksaan dan Polisi Militer untuk menyelaraskan jalur hukum dalam kasus lintas yurisdiksi.
- Pengendalian: Tidak berarti mengambil alih kewenangan, tetapi memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai mekanisme koneksitas.
- "Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan":
- Penyelidikan: Informasi awal tentang kasus harus diteruskan ke lembaga yang berwenang sesuai yurisdiksi (Kejaksaan atau Polisi Militer).
- Penyidikan: KPK wajib bekerja sama dengan Kejaksaan dan Polisi Militer untuk menangani kasus secara terkoordinasi.
- Penuntutan: Kejaksaan bertanggung jawab untuk memastikan kasus lintas yurisdiksi diproses sesuai mekanisme koneksitas.
- "Tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum":
- Frasa ini menegaskan perlunya mekanisme koneksitas untuk menjaga keseimbangan yurisdiksi dan menghormati kompetensi absolut.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Pasal 42 UU KPK menyatakan bahwa:
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan untuk menangani tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi, termasuk kasus yang melibatkan pelaku dari peradilan umum (sipil) dan peradilan militer.
- MK menyatakan bahwa KPK dapat menjalankan kewenangan tersebut, termasuk ketika kasus pertama kali ditemukan oleh KPK, tanpa harus melalui mekanisme koneksitas sebagaimana diatur dalam KUHAP dan UU Kejaksaan.
- Putusan ini menafsirkan Pasal 42 UU KPK sebagai pemberian kewenangan langsung kepada KPK untuk:
- Mengoordinasikan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus lintas yurisdiksi.
- Mengendalikan sepenuhnya proses hukum, termasuk pada tindak pidana korupsi yang melibatkan anggota militer dan sipil.
- MK berargumen bahwa korupsi adalah extraordinary crime yang membutuhkan mekanisme penanganan luar biasa, sehingga kewenangan penuh harus diberikan kepada KPK untuk memastikan efektivitas pemberantasan korupsi.
5. Kesalahan MK dalam Penafsiran Pasal 42 UU KPK
5.1 Mengabaikan Kompetensi Absolut
Putusan MK memberikan kewenangan mutlak kepada KPK untuk menangani kasus lintas yurisdiksi tanpa mempertimbangkan:
- Anggota militer tunduk pada peradilan militer, sebagaimana dijamin oleh Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945.
- Kompetensi absolut yang melindungi integritas yurisdiksi peradilan militer.
5.2 Mengesampingkan Peran Kejaksaan
Putusan MK mengabaikan peran penting Kejaksaan yang diatur dalam:
- Pasal 39 UU Tipikor: Jaksa Agung bertanggung jawab mengoordinasikan dan mengendalikan kasus koneksitas.
- Pasal 35 Ayat (1) huruf g UU Kejaksaan: Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk menangani kasus yang melibatkan subjek hukum dari peradilan umum dan militer.
5.3 Tidak Menghormati Mekanisme Koneksitas
Dengan memberikan kewenangan penuh kepada KPK, MK menciptakan dualitas yurisdiksi yang merusak harmoni sistem hukum.
6. Putusan MK Bertentangan dengan UUD 1945
Putusan MK yang mengizinkan KPK memproses kasus yang melibatkan anggota militer jika KPK menemukan kasus lebih dahulu bertentangan dengan UUD 1945 karena:
- Melanggar Asas Kompetensi Absolut:
Kompetensi absolut adalah amanat Pasal 24 UUD 1945, yang memisahkan yurisdiksi peradilan umum dan militer berdasarkan subjek hukumnya. - Merusak Prinsip Kekuasaan Kehakiman yang Independen:
Peradilan militer adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Penyerahan yurisdiksi ke peradilan umum oleh KPK mengabaikan independensi peradilan militer. - Konflik dengan UU Peradilan Militer dan UU TNI:
UU Peradilan Militer dan UU TNI secara jelas menetapkan bahwa anggota militer tunduk pada peradilan militer, tanpa terkecuali. Putusan MK ini menciptakan konflik hukum karena mengabaikan ketentuan tersebut.
7. Peran dan Kewenangan Kejaksaan dalam Penanganan Kasus Koneksitas
Kewenangan Kejaksaan dalam sistem hukum Indonesia diatur secara rinci dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti KUHAP, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Aturan-aturan ini menegaskan posisi sentral Kejaksaan dalam mengoordinasikan kasus-kasus lintas yurisdiksi.
7.1 Kewenangan Kejaksaan Menurut KUHAP
KUHAP memberikan peran koordinatif kepada Kejaksaan dalam penanganan perkara pidana, termasuk tindak pidana korupsi yang melibatkan subjek hukum dari peradilan militer dan peradilan umum.
- Pasal 89 KUHAP:
"Dalam hal suatu tindak pidana dilakukan bersama-sama oleh mereka yang tunduk pada peradilan umum dan mereka yang tunduk pada peradilan militer, maka yang berwenang mengadili perkara tersebut adalah peradilan umum, dengan melibatkan hakim militer."
Makna Pasal 89 KUHAP:
- Kasus lintas yurisdiksi harus dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, dengan melibatkan hakim militer untuk menjaga prinsip koneksitas.
- Kejaksaan bertanggung jawab untuk mengintegrasikan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
7.2. Kewenangan Kejaksaan Menurut UU Tipikor
UU Tipikor menegaskan peran penting Kejaksaan dalam kasus korupsi, terutama yang melibatkan subjek hukum dari peradilan umum dan militer.
- Pasal 39 UU Tipikor:
"Jaksa Agung mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer."
Makna Pasal 39 UU Tipikor:
- Kejaksaan adalah institusi utama dalam mengelola kasus koneksitas.
- KPK wajib berkoordinasi dengan Jaksa Agung untuk memastikan penanganan kasus lintas yurisdiksi tidak melanggar prinsip kompetensi absolut.
7.3. Kewenangan Kejaksaan Menurut UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
UU Kejaksaan mempertegas posisi Jaksa Agung dalam menangani kasus-kasus lintas yurisdiksi yang melibatkan peradilan umum dan militer.
- Pasal 35 Ayat (1) huruf g UU Kejaksaan:
"Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengoordinasikan, mengendalikan, dan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana yang dilakukan bersama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer."
Makna Pasal 35 Ayat (1) huruf g UU Kejaksaan:
- Jaksa Agung adalah koordinator utama dalam kasus koneksitas.
- KPK tidak dapat bertindak sendiri tanpa melibatkan Kejaksaan.
- Penanganan kasus lintas yurisdiksi harus dilakukan melalui mekanisme yang jelas dan terkoordinasi, dengan menghormati prinsip kompetensi absolut.
8. Perspektif Intelijen: Putusan MK, Ancaman Sistematis terhadap TNI
Korupsi sering dianggap sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa karena dampaknya yang destruktif terhadap ekonomi, pemerintahan, dan kepercayaan publik. Namun, meskipun korupsi adalah extraordinary crime, penanganannya tetap harus berada dalam kerangka konstitusi. Extraordinary crime tidak dapat dijadikan alasan untuk melanggar prinsip dasar kompetensi absolut yang dijamin oleh UUD 1945.
Dari perspektif intelijen, keputusan yang melanggar kompetensi absolut ini menunjukkan adanya indikasi upaya sistematis untuk melemahkan TNI sebagai garda terdepan dalam menjaga kedaulatan negara. TNI memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk menjaga supremasi hukum dan konstitusi, termasuk dalam menghadapi situasi di mana MK gagal menjalankan tugas utamanya.
8.1. Upaya Melemahkan TNI
Putusan MK ini menunjukkan indikasi adanya upaya sistematis untuk melemahkan TNI, baik melalui tekanan domestik maupun eksternal. Indikasi tersebut meliputi:
- Pengurangan Kemandirian Hukum:
Dengan menyeret anggota TNI ke peradilan umum, otoritas peradilan militer dilemahkan. - Intervensi Eksternal:
Membuka peluang bagi aktor asing atau domestik untuk memengaruhi institusi TNI melalui jalur hukum.
8.2. Ancaman terhadap Kedaulatan Negara
Putusan MK yang mengabaikan mekanisme koneksitas dan kompetensi absolut melemahkan posisi TNI dalam menjaga kedaulatan negara. Dampaknya meliputi:
- Erosi Kepercayaan Publik:
Jika anggota TNI sering diseret ke peradilan umum, masyarakat dapat kehilangan kepercayaan pada kemampuan TNI menjaga integritasnya. - Ketergantungan pada Peradilan Umum:
TNI menjadi rentan terhadap pengaruh eksternal dalam proses hukum.
8.3. Hakim MK: Penjaga Konstitusi atau Pelanggar Konstitusi?
Hakim MK adalah intelektual hukum yang dipilih berdasarkan kapasitas luar biasa mereka dalam memahami dan menerapkan konstitusi. Namun, dalam kasus ini mereka seharusnya:
- Memastikan konstitusi tidak dilanggar, termasuk prinsip kompetensi absolut.
- Melindungi integritas institusi negara seperti TNI dari ancaman hukum yang tidak sah.
Namun, keputusan ini justru bertentangan dengan fungsi MK. Dari perspektif intelijen, pelanggaran konstitusi oleh lembaga yang seharusnya menjaganya menunjukkan adanya desakan atau tekanan eksternal.
9. Kewajiban TNI dalam Menjaga Konstitusi
Sebagai institusi yang bertanggung jawab atas kedaulatan negara, TNI memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk menjaga supremasi hukum.
Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi:
9.1. Mempertahankan Kompetensi Absolut
TNI wajib memproses anggota militernya melalui peradilan militer, terlepas dari putusan MK. Hal ini dilakukan untuk:
- Menghormati prinsip kompetensi absolut.
- Menjaga integritas institusi militer.
9.2. Melibatkan Kejaksaan
TNI harus bekerja sama dengan Kejaksaan untuk memastikan bahwa kasus koneksitas diproses sesuai mekanisme yang diatur dalam KUHAP dan UU Tipikor.
9.3. Operasi Intelijen
TNI dapat melaksanakan operasi intelijen untuk:
- Identifikasi Aktor: Mengidentifikasi pihak-pihak di balik keputusan yang melemahkan kompetensi absolut.
- Counter-Intelligence: Menangkal intervensi eksternal yang bertujuan melemahkan kedaulatan hukum militer.
- Silent Operation: Melaksanakan operasi intelijen khusus untuk memastikan kebijakan yang melanggar konstitusi tidak diimplementasikan.
9.4. Mencerahkan Pandangan Masyarakat
TNI harus menjelaskan kepada masyarakat bahwa pelanggaran kompetensi absolut adalah ancaman terhadap keadilan dan kedaulatan negara.
"TNI tidak akan tinggal diam menghadapi ancaman hukum yang merusak kedaulatan negara. Setiap upaya yang mengganggu integritas hukum militer akan direspons dengan tindakan tegas demi menjaga kehormatan dan keutuhan bangsa."
Kesimpulan
Pasal 42 UU KPK seharusnya dimaknai sebagai aturan koordinasi antara KPK, Kejaksaan, dan Polisi Militer untuk memastikan penghormatan terhadap prinsip kompetensi absolut dan mekanisme koneksitas. Namun, putusan MK yang memberikan kewenangan mutlak kepada KPK adalah pelanggaran serius terhadap UUD 1945.
Sebagai penjaga kedaulatan, TNI memiliki hak moral dan konstitusional untuk mempertahankan supremasi konstitusi. Jika putusan MK merusak harmoni hukum, TNI memiliki kewajiban untuk mengambil langkah tegas guna menjaga integritas hukum dan keamanan negara.
"TNI adalah benteng terakhir yang akan menjaga kedaulatan bangsa dengan segala macam cara yang diperlukan."
*)Kabais TNI 2011-2013