26 Maret 2025

TNI dan Penanggulangan Narkotik: Realita yang Tak Bisa Dihindari

TNI dan Penanggulangan Narkotik: Realita yang Tak Bisa Dihindari

Jakarta 26 Maret 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

Peredaran narkotik di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan yang signifikan. Alih-alih mereda, kejahatan narkoba justru makin brutal dan menyusup ke segala lini, termasuk lembaga penegak hukum itu sendiri. Fakta-fakta di pengadilan dan investigasi internal kepolisian telah membuktikan: mulai dari oknum Kapolsek, Kasat Narkoba, hingga perwira tinggi Polri berpangkat jenderal bintang dua, terjerat kasus narkoba, baik sebagai pengguna maupun pelindung sindikat.

Kenyataan ini menggugah pertanyaan besar: apakah lembaga negara yang selama ini diberi kewenangan penuh, seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polri, telah benar-benar mampu memberantas narkoba hingga ke akar-akarnya?

Jawaban dari pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab dengan teori. Data dan fakta sudah bicara sendiri. Peredaran narkotik di Indonesia tetap marak, bahkan kian tak terkendali. Dalam situasi darurat seperti ini, semestinya negara merangkul semua kekuatan nasional—termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI)—untuk ambil bagian dalam perang melawan narkoba. Namun ironisnya, setiap kali TNI menunjukkan keseriusannya untuk ikut serta dalam pemberantasan narkotik, respons yang diterima justru penolakan mentah-mentah. Alasannya? TNI dianggap tidak memiliki kewenangan formal.

Padahal, TNI memiliki tanggung jawab moral dan institusional untuk menjaga ketahanan internalnya dari ancaman narkoba. Jika ada prajurit yang terindikasi sebagai pengguna atau pengedar, TNI tidak akan tinggal diam. Operasi internal dilakukan secara tegas. Dan perlu dicatat: tidak ada satu pun institusi negara yang dapat melarang TNI untuk menertibkan anggotanya dari bahaya narkotik.

Namun di sinilah titik rawan yang harus dipahami negara: ketika TNI melakukan operasi internal, tidak tertutup kemungkinan jejak peredaran narkoba yang ditelusuri oleh TNI merambah ke luar institusi militer. Narkoba tidak mengenal batas sipil-militer. Jaringan distribusinya menyebar lintas institusi, wilayah, dan bahkan lintas negara. Maka, operasi TNI pun bisa meluas keluar, mengikuti arus peredaran narkoba yang sebenarnya.

Inilah potensi konflik yang rawan. Ketika TNI bertindak karena kebutuhan menyelamatkan anggota dan institusinya, namun negara tidak memberikan payung hukum yang jelas, maka benturan kewenangan antar-lembaga menjadi tak terhindarkan. Padahal, niat TNI adalah murni untuk menyelamatkan generasi bangsa—termasuk anggotanya sendiri—dari kerusakan akibat narkoba.

Narkoba adalah ancaman nasional. Ia menyasar siapa saja: sipil, polisi, tentara, pelajar, pejabat, hingga rakyat jelata. Jika ancamannya menyeluruh, maka respons negara pun harus menyeluruh. Sudah waktunya negara mengakhiri ego sektoral dalam perang melawan narkoba. Jangan sampai karena persoalan administratif kewenangan, kita justru menutup pintu bagi kekuatan negara yang sebenarnya sanggup membantu.

Memberi ruang formal bagi TNI untuk ambil bagian dalam penanggulangan narkoba bukanlah bentuk militerisasi, melainkan tindakan realistis dalam menghadapi krisis. Negara yang kuat adalah negara yang mampu mengerahkan seluruh elemen kekuatannya untuk menghadapi ancaman besar.

Jika narkoba sudah menyasar jantung pertahanan dan penegakan hukum, maka sudah saatnya kita berkata: cukup. Dan cukup hanya bisa diakhiri jika semua kekuatan bangsa—termasuk TNI—ikut terlibat aktif dan diberi mandat penuh dalam perang melawan narkoba.

*)Kabais TNI 2011-2013

TNI di Ranah Siber Bukan Hal Baru: Hanya Mereka yang Takut TNI Kuat yang Mempermasalahkan

TNI di Ranah Siber Bukan Hal Baru: Hanya Mereka yang Takut TNI Kuat yang Mempermasalahkan

Jakarta 26 Maret 2025 

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM , CPARB

Polemik seputar keterlibatan TNI dalam ruang siber adalah bentuk kemunafikan publik yang tidak paham sejarah, doktrin militer, dan realitas di lapangan. Keterlibatan TNI dalam operasi siber bukan barang baru—ini hanya soal nama dan nomenklatur. Dalam praktik harian, TNI sudah sejak lama beroperasi di ruang digital dan elektromagnetik dengan istilah seperti Electronic Warfare (Perang Elektronika) di TNI AL, Signal Intelligence (SIGINT) di tubuh intelijen TNI, dan kegiatan persandian yang sejak lama menjadi jantung pengamanan komunikasi strategis negara.

Mereka yang menentang kehadiran TNI di ruang siber seolah hidup dalam kebodohan kolektif atau memang dengan sengaja ingin melemahkan pertahanan negara. Apakah mereka tidak tahu bahwa sejak dulu TNI telah memonitor spektrum elektromagnetik musuh? Apakah mereka pura-pura tidak sadar bahwa komunikasi, pergerakan, dan strategi militer modern sangat bergantung pada penguasaan ruang digital?

Persandian adalah napas harian TNI. Kode, enkripsi, pengamanan komunikasi sudah melekat dalam setiap operasi militer, jauh sebelum dunia mengenal istilah "cyber war". Sekarang, ketika TNI diberi dasar hukum dan ruang yang jelas dalam UU untuk beroperasi di ranah siber, justru ada pihak-pihak yang menggonggong dan mencoba membatasi. Siapa mereka? Tidak lain dan tidak bukan adalah mereka yang tidak ingin TNI menjadi kuat. Mereka takut ketika TNI punya kapabilitas penuh untuk mendeteksi, menyerang, dan bertahan dalam medan perang yang tak kasat mata ini.

Mereka ingin memonopoli ruang siber untuk kepentingan politik atau bahkan bisnis pribadi, lalu menyebar opini bahwa TNI akan "melanggar HAM digital" atau "tidak netral" bila masuk ruang siber. Ini tuduhan murahan yang tidak berdasar. Justru dengan keterlibatan TNI, ruang siber Indonesia akan jauh lebih aman dari sabotase, spionase, dan infiltrasi asing.

Jadi, mari kita tegas: keterlibatan TNI dalam ruang siber bukan ancaman, tapi justru bentuk kedaulatan digital.Negara lain bahkan menjadikan militer sebagai kekuatan utama di ruang siber. Mengapa Indonesia harus mundur hanya karena tekanan dari mereka yang takut kehilangan pengaruh?

Hanya mereka yang takut TNI kuat, yang menggugat kehadiran TNI di medan perang siber.

 

Kenapa Kompolnas Dibiayai APBN, Tapi Polri Tidak? Sebuah Celah dalam Undang-Undang

Kenapa Kompolnas Dibiayai APBN, Tapi Polri Tidak? Sebuah Celah dalam Undang-Undang

Jakarta 26 Maret 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, ada satu hal menarik yang mungkin luput dari perhatian banyak orang. Undang-undang ini menyebutkan secara jelas bahwa Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dibiayai oleh APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Tapi anehnya, tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan secara tegas bahwa Polri juga dibiayai dari APBN.

Kenapa ini penting? Bukankah sudah jelas bahwa Polri sebagai lembaga negara pasti dibiayai negara? Memang benar, dalam praktiknya Polri dibiayai negara. Tapi, ketiadaan pasal yang secara eksplisit menyebutkan hal tersebut bisa menimbulkan persoalan besar di kemudian hari. Ini bukan sekadar soal administrasi keuangan, tapi soal legitimasi dan pengawasan publik.

Kompolnas Lebih Jelas daripada Polri?

Kita tahu bahwa Kompolnas adalah lembaga yang tugasnya memberi saran dan masukan kepada Presiden tentang kebijakan kepolisian. Ia bukan lembaga penegak hukum, tidak punya pasukan, tidak menyidik, tidak mengatur lalu lintas, dan tidak menangkap penjahat. Tapi justru pembiayaan Kompolnas diatur dengan sangat tegas dalam Pasal 40 UU Polri, yaitu:

"Segala pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas Komisi Kepolisian Nasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara."

Sementara itu, Polri — yang punya ratusan ribu personel, senjata, kendaraan, dan peran vital menjaga keamanan negara — tidak diatur secara eksplisit soal sumber dananya dalam undang-undang yang sama. Celah ini bisa jadi pintu masuk masalah di masa depan.

Apa Risikonya Kalau Polri Tidak Dibiayai APBN?

Kalau tafsir hukum mengatakan bahwa Polri tidak diwajibkan dibiayai APBN, maka secara teori, Polri bisa mencari dana dari mana saja. Ini berbahaya. Kenapa?

  1. Polri bisa punya “bos lain” selain negara. Jika Polri menerima dana dari swasta atau kelompok tertentu, akan muncul potensi konflik kepentingan. Polri bisa lebih tunduk pada penyandang dana ketimbang pada konstitusi.
  2. Potensi korupsi dan tidak transparan. Dana dari APBN diawasi oleh DPR, BPK, dan publik. Tapi dana dari luar? Siapa yang mengawasi? Di sinilah potensi penyimpangan muncul.
  3. Netralitas Polri terancam. Jika ada kesatuan Polri yang dibiayai oleh pengusaha atau politisi, maka netralitasnya dalam menegakkan hukum bisa dipertanyakan.
  4. Bisa merusak kepercayaan masyarakat. Warga akan bertanya, Polri bekerja untuk siapa? Untuk rakyat, atau untuk donatur?


TNI pun dibiayai APBN

 

BAB VIII UU 34/2004 TTG TNI 

         PEMBIAYAAN

Pasal 66

(1) TNI dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(2) Keperluan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Departemen Pertahanan.

 

Pasal 67

(1) Dalam hal pemenuhan dukungan anggaran TNI, Panglima mengajukan kepada Menteri Pertahanan untuk dibiayai seluruhnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(2) Dalam ...


Saatnya Revisi UU Polri

Masalah ini bisa diatasi dengan menambahkan satu pasal saja dalam UU Polri, yang berbunyi misalnya:

"Segala pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara."

Dengan pasal ini, kita punya kepastian hukum bahwa Polri adalah benar-benar alat negara yang dibiayai negara dan diawasi oleh negara, bukan institusi yang bisa mencari dana ke sana kemari.

Penutup

Dalam sistem demokrasi, pengawasan publik terhadap lembaga penegak hukum adalah syarat mutlak. Salah satu bentuk pengawasan itu adalah lewat mekanisme anggaran negara. Kalau Kompolnas yang hanya lembaga penasihat saja diatur jelas pembiayaannya, maka Polri yang menjalankan fungsi keamanan nasional justru lebih wajib lagi untuk ditegaskan secara eksplisit dalam undang-undang.

Menutup celah hukum ini bukan hanya soal administrasi. Ini soal menjaga netralitas, profesionalisme, dan integritas lembaga yang sangat penting bagi bangsa Indonesia.

Personel Militer di Bakamla: Harus Alih Status atau Kembali ke TNI AL

Personel Militer di Bakamla: Harus Alih Status atau Kembali ke TNI AL

Jakarta 26 Maret 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB, 

Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan sebagai institusi sipil. Secara struktural dan administratif, Bakamla berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui koordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Artinya, KKP adalah induk kelembagaan dari Bakamla, bukan sekadar mitra kerja.

Namun, keberadaan personel militer aktif, khususnya dari TNI Angkatan Laut (TNI AL), yang bertugas di Bakamla, kini menimbulkan permasalahan hukum yang serius seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang TNI yang baru.

Ketentuan Baru dalam UU TNI: Penempatan Militer di Institusi Sipil Dilarang

UU TNI yang baru melarang secara tegas penempatan prajurit aktif di kementerian dan lembaga sipil, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun salah satu pengecualiannya  adalah penempatan militer di institusi keamanan laut. Akan tetapi hingga saat ini, institusi yang dimaksud belum terbentuk secara hukum, dan belum ada peraturan perundang-undangan yang menetapkannya.

Dengan demikian, Bakamla belum dapat dikategorikan sebagai institusi keamanan laut dalam pengertian UU TNI, sebab:

  1. Bakamla dibentuk berdasarkan UU Kelautan, bukan sebagai lembaga militer.
  2. Secara struktural Bakamla berada di bawah kendali  Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang merupakan kementerian sipil.
  3. Tidak ada dasar hukum yang menyatakan Bakamla sebagai institusi militer yang sah secara konstitusional untuk ditempati prajurit TNI secara permanen.
  4. Tidak mungkin aka nada intitusi militer dilaut diluar struktur TNI AL. UUD 45 mengatur bahwa intitusi militer di Indonesia hanya ada TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Oleh karena itu militer aktif di Bamla harus Kembali ke Angkatan Laut atau alih statsu jadi asn dan berkiprah di kem KKP, bila diperlukan disana.

Konsekuensi Hukum: Personel Militer Harus Dikembalikan ke TNI AL

Karena hingga saat ini institusi keamanan laut sebagaimana dimaksud dalam UU TNI belum dibentuk, dan juga sangat tidak mungkin akan adanya intitusi militer aktif diluar Angkatan Laut maka semua personel militer aktif yang berada di Bakamla wajib dikembalikan ke TNI AL, kecuali mereka menjalani proses alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Dengan kata lain, hanya ada dua pilihan konstitusional bagi personel TNI yang bertugas di Bakamla:

  1. Alih status menjadi ASN di bawah Bakamla/KKP, dengan mengikuti prosedur hukum dan administrasi yang sah.
  2. Kembali ke institusi induk, yaitu TNI Angkatan Laut, karena tidak ada dasar hukum untuk menempatkan mereka secara tetap di lembaga sipil seperti KKP.

Kewajiban Kementerian Kelautan dan Perikanan

Sebagai induk kelembagaan dari BakamlaKKP memiliki tanggung jawab penuh untuk menertibkan status personel militer yang masih aktif dan bertugas di Bakamla. Tidak ada lagi dasar hukum bagi KKP untuk mempertahankan keberadaan prajurit aktif di bawah strukturnya.

Oleh karena itu, KKP wajib segera mengembalikan semua personel militer aktif ke TNI AL yang tidak menjalani alih status. Penundaan terhadap langkah ini hanya akan menimbulkan kerancuan hukum dan mencederai prinsip supremasi hukum serta profesionalisme kelembagaan.

Penutup

Hingga saat ini, institusi keamanan laut yang sah sebagaimana diatur dalam UU TNI belum terbentuk. Maka dari itu, keberadaan prajurit TNI aktif di Bakamla yang berada di bawah KKP tidak lagi memiliki dasar hukum yang sah. Bakamla sebagai lembaga sipil harus diisi oleh personel sipil atau personel militer yang telah alih status.

Sambil menunggu pembentukan institusi keamanan laut yang sah secara hukum, langkah yang paling konstitusional dan profesional adalah mengembalikan personel militer ke TNI AL atau mengalihstatuskan mereka menjadi ASN. KKP sebagai induk Bakamla tidak boleh lagi menunda pelaksanaan tanggung jawab hukumnya dalam menegakkan aturan ini.


 

20 Maret 2025

TNI AL sebagai Satu-Satunya Lembaga Keamanan Laut dalam Revisi UU TNI 2025

TNI AL sebagai Satu-Satunya Lembaga Keamanan Laut dalam Revisi UU TNI 2025

Jakarta 20 Maret 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM CPARB*

Pendahuluan

Revisi UU TNI tahun 2025 membawa perubahan signifikan dalam peran Tentara Nasional Indonesia, salah satunya adalah diperbolehkannya prajurit TNI aktif untuk menempati jabatan di lembaga di luar struktur TNI dalam keadaan aktif. Salah satu lembaga yang disebut dalam kategori ini adalah Lembaga Keamanan Laut.

Namun, pertanyaan utama yang muncul adalah: Lembaga Keamanan Laut yang dimaksud itu yang mana?
Jika yang dimaksud adalah Badan Keamanan Laut (BAKAMLA), maka ini merupakan kekeliruan besar.

  • BAKAMLA bukanlah lembaga keamanan laut karena selama ini berada di bawah struktur Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang bertanggung jawab atas kebijakan kelautan, bukan keamanan laut.
  • BAKAMLA lebih tepat disebut sebagai lembaga patroli dan koordinasi keamanan laut, bukan lembaga yang benar-benar memiliki kewenangan dalam pertahanan dan penegakan hukum maritim.

Jadi, jika kita mencari lembaga yang benar-benar dapat disebut sebagai Lembaga Keamanan Laut, satu-satunya kandidat yang paling sah adalah TNI Angkatan Laut (TNI AL).

Artikel ini akan menjelaskan mengapa hanya TNI AL yang dapat disebut sebagai Lembaga Keamanan Laut di Indonesia berdasarkan revisi UU TNI 2025 serta mengapa BAKAMLA harus beralih masuk ke dalam struktur militer di bawah TNI AL agar dapat benar-benar berfungsi sebagai lembaga keamanan laut.

1. Definisi Lembaga Keamanan Laut dalam Konteks Hukum dan Pertahanan

Lembaga yang dapat disebut sebagai Lembaga Keamanan Laut harus memenuhi beberapa kriteria:

 Memiliki kewenangan penuh untuk menjaga keamanan dan kedaulatan laut.
 Dapat melakukan operasi militer dan non-militer di laut.
 Berwenang dalam menghadapi ancaman baik dari dalam maupun luar negeri.
 Mampu menegakkan hukum maritim dalam kondisi tertentu.

 Kesimpulan: TNI AL adalah satu-satunya lembaga di Indonesia yang memenuhi seluruh kriteria ini.

2. Dasar Hukum yang Memastikan TNI AL sebagai Lembaga Keamanan Laut

Dalam Revisi UU TNI 2025, sangat TNI AL adalah satu-satunya lembaga yang memiliki peran utama dalam keamanan laut:

 Pasal 9 UU 34/2004 ttg TNI :
TNI AL bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan internasional yang telah diratifikasi.

 Pasal 7  UU 34/2004 ttg TNI :
TNI AL berwenang melaksanakan operasi militer dan operasi militer selain perang dilaut.

 Kesimpulan: Revisi UU TNI 2025 mengakhiri kebingungan mengenai lembaga mana yang berhak disebut sebagai Lembaga Keamanan Laut, dan jawabannya adalah TNI AL.

3. Mengapa BAKAMLA Tidak Bisa Disebut sebagai Lembaga Keamanan Laut?

BAKAMLA selama ini sering disebut sebagai lembaga keamanan laut, tetapi ini tidak benar, karena:

 BAKAMLA berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
 BAKAMLA hanya memiliki tugas koordinatif dan patroli keamanan laut, bukan kewenangan penuh dalam keamanan dan pertahanan.
 BAKAMLA tidak memiliki kemampuan tempur, kekuatan militer, atau otoritas dalam operasi militer maritim.
 BAKAMLA tidak memiliki kewenangan penyidikan atau penegakan hukum sendiri; semua kasus harus diserahkan ke lembaga lain seperti Polairud atau Kejaksaan.

 Kesimpulan: BAKAMLA bukan Lembaga Keamanan Laut karena hanya berada di lingkup pengawasan sipil, bukan pertahanan dan keamanan negara.

4. Mengapa BAKAMLA Harus Masuk ke dalam TNI AL?

Dengan revisi UU TNI 2025, BAKAMLA harus mengalami alih status menjadi bagian dari TNI AL karena:

1️Alih Status Menjadi Lembaga Militer

  • Jika tetap di bawah KKP, BAKAMLA tidak bisa memenuhi fungsi keamanan laut yang sebenarnya.
  • Dengan perubahan status menjadi militer, BAKAMLA harus diletakkan di bawah kendali TNI AL agar memiliki kewenangan lebih besar dalam pengamanan laut.

2️Efisiensi Operasional

  • TNI AL memiliki infrastruktur dan sumber daya lebih lengkap dibandingkan dengan BAKAMLA.
  • Jika BAKAMLA tetap terpisah, maka akan ada duplikasi tugas dan ketidakefisienan dalam pengamanan laut.

3️Penghapusan Dualisme Kewenangan

  • Saat ini, ada tumpang tindih antara TNI AL, BAKAMLA, Polairud, dan PSDKP , KPLP dalam urusan keamanan laut.
  • Dengan bergabung ke TNI AL, BAKAMLA akan menjadi bagian dari sistem pertahanan negara, bukan hanya lembaga sipil koordinatif.

 Kesimpulan: Jika BAKAMLA ingin menjadi bagian dari keamanan laut yang sesungguhnya, maka satu-satunya solusi adalah beralih ke dalam struktur TNI AL.

5. Kesimpulan Akhir

🔴 Revisi UU TNI 2025 menetapkan bahwa TNI AL adalah satu-satunya Lembaga Keamanan Laut di Indonesia.
🔴 BAKAMLA yang selama ini berada di bawah KKP tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga keamanan laut karena bukan bagian dari sistem pertahanan negara.
 Dengan perubahan status menjadi lembaga militer, BAKAMLA harus masuk ke dalam struktur TNI AL agar dapat menjalankan fungsi keamanan laut yang sesungguhnya.
 Dengan penggabungan ini, tidak akan ada lagi tumpang tindih kewenangan dan sistem pengamanan laut bisa lebih efisien dan efektif.

📌 Kesimpulannya, keamanan laut bukanlah urusan sipil semata, melainkan bagian dari strategi pertahanan negara yang harus dikendalikan oleh TNI AL.

🚢⚓ Dengan revisi UU TNI 2025, Indonesia akhirnya memiliki satu kekuatan utama dalam menjaga keamanan lautnya—yaitu TNI Angkatan Laut.

*)Pengamat Maritim

 

KEBOHONGAN BESAR BAKAMLA: PUBLIK SERTA DPR, DAN KEMHAN TERTIPU.

KEBOHONGAN BESAR BAKAMLA: PUBLIK SERTA DPR, DAN KEMHAN TERTIPU.

Jakarta 20 Maret 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

Pendahuluan

Keamanan maritim merupakan salah satu aspek krusial dalam menjaga kedaulatan negara dan mengatur aktivitas di perairan Indonesia. Berbagai institusi telah diberikan kewenangan untuk menjalankan fungsi mereka di laut, seperti TNI Angkatan Laut (TNI AL), Polisi Air dan Udara (Polairud), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP), serta Pengawas Perikanan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Setiap institusi ini memiliki dasar hukum yang kuat dalam undang-undang untuk melaksanakan tugasnya, termasuk penggunaan kapal dan senjata dalam menjalankan operasi mereka.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Badan Keamanan Laut (Bakamla) muncul sebagai institusi yang mengklaim diri sebagai “Indonesian Coast Guard”, meskipun tidak ada satu pun pasal dalam UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang memberikan status tersebut kepada Bakamla. Bakamla telah menuliskan "Coast Guard" pada lambung kapalnya, sehingga menimbulkan kesalahpahaman besar di dalam negeri dan dunia internasional.

Akibat pencitraan yang menyesatkan ini, Kementerian Pertahanan (Kemhan) tertipu dan menganggap Bakamla sebagai lembaga penjaga laut dengan kewenangan seperti TNI AL, sehingga memberikan izin penggunaan senjata kepada Bakamla. Padahal, izin penggunaan senjata dalam institusi negara harus berdasarkan Undang-Undang, bukan sekadar keputusan administratif atau politis.

Tidak berhenti di situ, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga tertipu dan mengalokasikan anggaran untuk pembelian senjata dan kapal Bakamla, padahal dalam UU 32/2014 tidak ada satu pun pasal yang menyatakan bahwa Bakamla boleh memiliki senjata dan kapal. Dengan kata lain, pengadaan senjata dan kapal oleh Bakamla adalah bentuk penyalahgunaan wewenang dan manipulasi anggaran yang berpotensi sebagai tindakan korupsi.

Jika situasi ini tidak segera diperbaiki, Indonesia bukan hanya menghadapi kebingungan hukum dan tumpang tindih kewenangan, tetapi juga risiko diplomatik di mata dunia internasional. Bakamla telah menyesatkan banyak pihak, termasuk pemerintah, parlemen, dan rakyat Indonesia, dengan menciptakan kesan seolah-olah ia adalah Coast Guard resmi Indonesia, padahal tidak memiliki dasar hukum yang sah.

Artikel ini akan mengungkap bagaimana Bakamla telah menipu publik, memanipulasi data ke Kemhan dan DPR, serta melakukan penyalahgunaan anggaran dalam pembelian kapal dan persenjataan. Dengan pemahaman yang lebih jelas, diharapkan pemerintah dapat mengambil langkah tegas untuk menghapus klaim palsu Bakamla sebagai "Coast Guard", membatalkan izin penggunaan senjata, serta menyelidiki potensi korupsi dalam pengadaan kapal.

🚨 Indonesia harus segera bertindak sebelum skandal ini semakin mempermalukan negara di tingkat internasional! 🚨

1. Bakamla Menipu Publik dengan Klaim Sebagai "Coast Guard"

Bakamla telah menciptakan ilusi palsu bahwa dirinya adalah Indonesian Coast Guard dengan menuliskan "Coast Guard" pada lambung kapalnyaFaktanya, tidak ada satu pun pasal dalam UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang menyebut Bakamla sebagai Coast Guard Indonesia.

 Bakamla bukan bagian dari sistem Coast Guard yang sah menurut hukum internasional.
 Penggunaan istilah "Coast Guard" tanpa dasar hukum yang jelas dapat membuat dunia internasional salah paham, mengira bahwa Bakamla memiliki kewenangan seperti US Coast Guard atau Japan Coast Guard.
 Ini adalah manipulasi yang menciptakan kebingungan di dalam negeri dan di mata dunia.

🚨 Akibatnya, banyak pihak, termasuk Kemhan dan DPR, tertipu oleh klaim palsu ini! 🚨

2. Kemhan Tertipu, Mengira Bakamla Adalah Coast Guard Sejati

Dengan pencitraan sebagai "Coast Guard", Bakamla berhasil menipu Kementerian Pertahanan (Kemhan), yang kemudian menganggap bahwa Bakamla adalah lembaga penegak hukum laut yang sejajar dengan TNI AL.

 Kemhan akhirnya memberikan izin bagi Bakamla untuk memiliki senjata, meskipun tidak ada dasar hukumnya dalam UU 32/2014.
 Hal ini adalah kesalahan fatal, karena dalam sistem hukum Indonesia, izin penggunaan senjata hanya bisa diberikan kepada institusi yang memiliki dasar hukum yang jelas dalam Undang-Undang!

🚨 Artinya, izin senjata yang diberikan kepada Bakamla tidak sah secara hukum! 🚨

3. DPR Tertipu, Memberikan Anggaran untuk Pembelian Senjata dan Kapal Bakamla secara Ilegal

Setelah Kemhan tertipu dan memberikan izin penggunaan senjata, DPR juga tertipu dan ikut memberikan anggaran bagi Bakamla untuk membeli Senjata dan kapal.

 Padahal, dalam UU 32/2014, tidak ada satu pun pasal yang menyebut bahwa Bakamla berhak memiliki senjata dan kapal.
 Artinya, setiap pengadaan senjata dan kapal untuk Bakamla adalah bentuk penyimpangan anggaran dan manipulasi data!
 DPR telah mengalokasikan dana negara untuk sesuatu yang secara hukum tidak diperbolehkan, yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang.

🚨 Ini adalah indikasi nyata korupsi! Anggaran yang dikeluarkan untuk kapal Bakamla bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan dana negara! 🚨

4. Pembelian Kapal oleh Bakamla = Korupsi & Manipulasi Data

Berdasarkan hukum yang berlaku, pembelian kapal oleh Bakamla adalah tindakan korupsi karena:
 Tidak ada landasan hukum dalam UU 32/2014 yang membolehkan Bakamla memiliki kapal.
 Anggaran yang dikeluarkan DPR untuk kapal Bakamla adalah hasil manipulasi dan informasi yang menyesatkan.
 Pembelian kapal dilakukan di luar ketentuan yang diatur dalam UU, sehingga merupakan penyalahgunaan dana negara.

 Dengan demikian, setiap pejabat yang terlibat dalam proses pembelian kapal untuk Bakamla dapat diperiksa atas dugaan tindak pidana korupsi!

5. Penggunaan Senjata & Kapal Harus Berdasarkan Undang-Undang, Bukan Keputusan Kemhan!

Di Indonesia, izin penggunaan kapal dan senjata oleh institusi negara selalu didasarkan pada Undang-Undang yang sah, bukan hanya keputusan politik atau administratif. Berikut adalah contoh institusi yang memiliki kewenangan menggunakan kapal dan senjata berdasarkan aturan yang jelas:

 1. TNI AL (Tentara Nasional Indonesia - Angkatan Laut)

  • Dasar hukum: UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI
  • Kewenangan:
    • Melakukan operasi militer di laut.
    • Menggunakan kapal perang (KRI) dan senjata lengkap.
    • Menjaga kedaulatan negara di perairan Indonesia dan ZEE.

 2. Polairud (Polisi Air dan Udara - Polri)

  • Dasar hukum: UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
  • Kewenangan:
    • Melakukan penegakan hukum di laut.
    • Menggunakan kapal patroli dan senjata api untuk operasi keamanan.

 3. Bea Cukai (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai - Kemenkeu)

  • Dasar hukum: Pasal 75 UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
  • Kewenangan:
    • Menggunakan kapal patroli untuk pengawasan perairan.
    • Dapat dilengkapi dengan senjata api sesuai ketentuan peraturan pemerintah.

 4. KPLP (Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai - Kementerian Perhubungan)

  • Dasar hukum: Pasal 279 UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
  • Kewenangan:
    • Menggunakan kapal negara untuk pengawasan keselamatan pelayaran.

 5. Pengawas Perikanan (Kementerian Kelautan dan Perikanan - KKP)

  • Dasar hukum: Pasal 66C UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
  • Kewenangan:
    • Dapat dilengkapi dengan kapal pengawas perikanan dan senjata api.

 Semua institusi di atas memiliki dasar hukum yang jelas untuk menggunakan senjata dan kapal dalam operasinya. Bakamla tidak memiliki ketentuan serupa dalam UU 32/2014 tentang Kelautan.

6.    Internasional Akan Tertipu, Indonesia Akan Malu!

  • Negara-negara lain dapat salah memahami bahwa Bakamla adalah Coast Guard yang sah, padahal tidak memiliki kewenangan hukum yang jelas.
  • Ini bisa berdampak buruk bagi kerja sama internasional dan kredibilitas Indonesia di dunia maritim global.
  • Jika terus dibiarkan, ini bisa menjadi skandal besar yang akan memalukan Indonesia di mata dunia.

·        

7.           Pelanggaran Hukum oleh Bakamla : Sejak 2014 Bakamla Tidak Beralih Status Menjadi ASN Sesuai UU 34/2004 tentang TNI

Sejak pembentukannya berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang KelautanBadan Keamanan Laut (Bakamla) seharusnya tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku bagi institusi sipil. Namun, hingga kini Bakamla tetap tidak beralih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagaimana seharusnya diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

1. Bakamla Berada di Institusi Sipil, Harus Berstatus ASN

·       Bakamla dibentuk di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang merupakan institusi sipil. Berdasarkan aturan hukum yang berlaku, setiap personel dalam institusi sipil wajib berstatus ASN, bukan personel dengan status militer atau status yang tidak jelas seperti yang terjadi pada Bakamla saat ini.

·        Sebagai bagian dari lembaga sipil, Bakamla tidak bisa memiliki personel dengan status yang tidak sesuai dengan ketentuan ASN.

·       🚨 Namun, hingga kini, Bakamla masih mempertahankan struktur yang tidak jelas, di mana banyak personelnya bukan ASN, tetapi juga bukan bagian dari institusi militer resmi.

2. Pelanggaran Terhadap UU 34/2004 tentang TNI

·       Bakamla awalnya berisi banyak personel yang berasal dari TNI. Namun, berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, seluruh prajurit TNI yang bertugas di lembaga sipil harus kembali ke TNI atau beralih status menjadi ASN.

·        Pasal 47 Ayat (1) UU 34/2004 tentang TNI menyatakan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.
 Pasal 47 Ayat (2) menyebutkan bahwa prajurit aktif TNI boleh menduduki jabatan pada 10 lembaga, dimana Kementrian kelautan dan Perikanan tidak termasuk didalamnya.

 

Dengan tetap mempertahankan personel TNI tanpa beralih status ke ASN atau kembali ke TNI, Bakamla secara terang-terangan telah melanggar UU 34/2004!

 

3. Mengapa Ini Masalah Besar?

·       Bakamla selama hampir 10 tahun (sejak 2014 hingga sekarang) tetap tidak berubah menjadi institusi yang sepenuhnya sipil, padahal berada di bawah kementerian yang sipil.

·        Bakamla tetap mempertahankan sistem yang tidak sah, dengan personel yang tidak sepenuhnya ASN dan juga bukan bagian dari TNI secara resmi.
 Bakamla telah melanggar aturan hukum yang jelas mengatur bahwa institusi sipil harus berisi pegawai ASN.
 Bakamla menciptakan kebingungan hukum dengan bertindak seperti institusi militer padahal tidak memiliki dasar hukum untuk itu.

·       🚨 Artinya, Bakamla selama ini telah beroperasi di luar hukum dan menciptakan status hukum yang tidak sah bagi personelnya!

8. Bakamla Melakukan Penipuan dengan Penggunaan Tulisan "Coast Guard" dan "KN" pada Kapalnya

Selain melakukan pelanggaran hukum dengan tidak beralih status menjadi ASN sesuai UU 34/2004Bakamla juga melakukan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penipuan dengan mencantumkan tulisan "Coast Guard" dan "KN" (Kapal Negara) pada kapal-kapalnya tanpa dasar hukum yang sah.

🚨 Dalam hukum Indonesia, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai penipuan berdasarkan ketentuan dalam KUHP dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 🚨

1. Penggunaan Tulisan "Coast Guard" dan "KN" Tidak Memiliki Dasar Hukum

UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang menjadi dasar pembentukan Bakamla, tidak pernah menyebutkan bahwa Bakamla adalah "Coast Guard" Indonesia.

  • Tidak ada satu pun pasal dalam UU 32/2014 yang menetapkan Bakamla sebagai "Indonesian Coast Guard".
  • Tidak ada satu pun peraturan yang memberikan hak kepada Bakamla untuk menggunakan tulisan "KN" pada kapal-kapalnya.
  • Hanya instansi dengan kewenangan yang jelas, seperti TNI AL, KPLP, dan Bea Cukai, yang berhak menggunakan penamaan resmi pada kapal mereka.

 Dengan tetap menggunakan tulisan "Coast Guard" dan "KN" tanpa dasar hukum, Bakamla telah menyebarkan informasi yang menyesatkan kepada publik dan dunia internasional.

2. Penipuan Berdasarkan KUHP

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan Bakamla dapat dikategorikan sebagai penipuan dan penyebaran berita bohong yang dapat merugikan masyarakat dan pemerintah.

Pasal 378 KUHP – Penipuan

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang, atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

 Dengan mencantumkan tulisan "Coast Guard" dan "KN" tanpa dasar hukum, Bakamla telah menggunakan "martabat palsu" dan melakukan rangkaian kebohongan untuk mendapatkan legitimasi yang tidak sah.

3. Penipuan Berdasarkan UU ITE

Selain melanggar KUHP, tindakan Bakamla juga dapat dikategorikan sebagai penyebaran informasi palsu atau menyesatkan, yang diatur dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pasal 28 Ayat (1) UU ITE – Penyebaran Berita Bohong

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

 Bakamla telah menyebarkan informasi yang menyesatkan kepada publik dan dunia internasional dengan menggunakan istilah "Coast Guard" tanpa dasar hukum.

 Pelanggaran terhadap pasal ini dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 45A UU ITE, dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

4. Dampak Hukum dari Tindakan Bakamla

🚨 Akibat dari tindakan penipuan ini, Bakamla telah:
 Menyesatkan publik Indonesia dan dunia internasional tentang status hukumnya sebagai "Coast Guard".
 Mengelabui DPR dan pemerintah dalam alokasi anggaran untuk kapal dan senjata.
 Beroperasi di luar hukum dengan menggunakan simbol yang tidak sah di kapal-kapalnya.

9. Solusi: Batalkan Izin Senjata & Kapal Bakamla, Kembalikan Bakamla ke TNI AL! Hentikan kebohongan 

Karena Bakamla tidak bisa menegakkan hukum, tidak bisa juga melakukan operasi militer, telah menyesatkan publik dengan klaim Coast Guard palsu, dan telah melakukan penyalahgunaan anggaran dalam pembelian kapal dan senjata, maka solusi terbaik adalah:

 Larang tulisan "Coast Guard" dari kapal Bakamla agar tidak menyesatkan dunia internasional.
 Larang Bakamla menggunakan kode KN tanpa dasar hukum yang jelas. 
 Batalkan izin penggunaan senjata yang diberikan oleh Kemhan karena tidak memiliki dasar hukum dalam UU 32/2014.
 Menghapus semua tulisan "Coast Guard" dari kapal Bakamla agar tidak menyesatkan dunia inter
 Menghapus status "KN" dari kapal Bakamla karena tidak diatur dalam UU 32/2014.
 Menyelidiki dan menindak oknum yang bertanggung jawab atas pengadaan kapal Bakamla.

Pemerintah Harus Menertibkan Bakamla!

 Bakamla harus segera menyesuaikan status personelnya dengan ketentuan UU 5/2014 tentang ASN.
 Personel yang berasal dari TNI harus segera dikembalikan ke institusi asalnya sesuai dengan UU 34/2004 tentang TNI.
 Jika Bakamla ingin tetap beroperasi sebagai institusi sipil, maka seluruh personelnya harus berstatus ASN.

🚨 Tidak ada jalan lain: Bakamla harus segera dihentikan dari praktik ilegal ini dan dikembalikan ke jalur hukum yang benar! 🚨

 Mengembalikan Bakamla ke dalam struktur TNI AL agar memiliki fungsi yang jelas dan sesuai dengan hukum! Dan sekaligus merupakan tindakan nyata dalam pelaksanaan penghematan anggaran belanja negara.

10. Kesimpulan: Bongkar Kepalsuan, Selamatkan Kredibilitas Indonesia!

🚨 Bakamla telah menipu publik dan dunia internasional dengan klaim palsunya sebagai "Coast Guard". Akibatnya, Kemhan dan DPR ikut tertipu dan memberikan izin penggunaan senjata serta anggaran pembelian kapal secara ilegal. Jika tidak segera ditertibkan, ini akan menciptakan kebingungan hukum, tumpang tindih kewenangan, potensi korupsi, dan mempermalukan Indonesia di tingkat internasional. 

🚨Kembalikan Bakamla ke dalam struktur TNI AL agar memiliki legalitas yang sah.

🚢 Pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas! STOP PENYESATAN PUBLIK! SELAMATKAN NAMA BAIK INDONESIA!

*)KABAIS TNI 2011-2013