9 November 2025

Jaksa Terpasung, Hakim Terkunci: Dampak Pernyataan Prof. Edward Omar Sharif Hiariej Tentang Polri

 Jaksa Terpasung, Hakim Terkunci: Dampak Pernyataan Prof. Edward Omar Sharif Hiariej Tentang Polri

Jakarta 09 Novenber 2025
Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.
KABAIS TNI 2011-2013

Dalam sebuah pernyataannya yang dimuat di Tribratanews Polri dan JPNN.com,
Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, menyampaikan bahwa:

“Polri ini sebagai penyidik utama dalam segala tindak pidana. Dalam sistem peradilan pidana terpadu, berkas perkara hanya diterima oleh jaksa dari penyidik Polri, bukan dari pihak lain. Sudah tepat karena penyidik adalah Polri, penuntut adalah jaksa, dan yang memutus perkara adalah hakim.”

Pernyataan tersebut menimbulkan gelombang keprihatinan di kalangan akademisi dan praktisi hukum, sebab secara tersirat mengandung konsep pemusatan kekuasaan penyidikan pada satu lembaga — Polri.
Sekilas, kalimat itu tampak sederhana dan sistematis. Namun jika dibaca dengan kaca mata hukum acara dan konstitusi, gagasan itu menabrak tatanan sistem peradilan pidana terpadu yang diatur dalam KUHAP dan UUD 1945.

Polri Bukan Penyidik Tunggal.

Benar bahwa Polri adalah penyidik, tetapi Polri hanyalah penyidik umum, bukan penyidik tunggal.
Pasal 6 ayat (1) KUHAP menyebut dua kategori penyidik:

  1. Penyidik umum, yaitu pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
  2. Penyidik khusus, yaitu pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan oleh undang-undang.

Artinya, Polri berbagi ruang penyidikan dengan lembaga lain seperti PPNSKPKBNN, dan POM TNI, masing-masing diatur dalam undang-undang sektoral (lex specialis).
Misalnya:

  • UU No. 17 Tahun 2008 jo. UU No. 66 Tahun 2024 tentang Pelayaran memberi kewenangan PPNS Hubla untuk menyidik pelanggaran di laut.
  • UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup memberi kewenangan PPNS Lingkungan.
  • UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan memberi kewenangan PPNS Perikanan.
  • UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberi kewenangan penyidikan kepada BNN.

Semua lembaga itu memiliki yurisdiksi penyidikan yang sah dan diakui oleh KUHAP.

Pertentangan dengan UUD 1945.

1. Melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 – Prinsip Negara Hukum.

Pasal ini menegaskan Indonesia adalah negara hukum.
Negara hukum menuntut kekuasaan dipisahkan dan saling mengawasi (checks and balances).
Jika seluruh perkara hanya dapat disidik dan dilimpahkan oleh Polri, maka Polri menjadi pemegang kendali tunggal atas keadilan pidana — sebuah bentuk rule by institution, bukan rule of law.

2. Melanggar Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 – Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandaikan Hakim bebas menilai kebenaran dari berbagai sumber penyidikan yang sah.
Namun bila seluruh perkara bersumber dari Polri, maka Hakim kehilangan pluralitas sumber fakta hukum.
Kemerdekaan Hakim berubah menjadi formalitas belaka, karena fakta hukum dikonstruksi oleh satu lembaga eksekutif.

3. Melanggar Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 – Pembatasan Tugas Polri.

Pasal ini menyatakan Polri bertugas memelihara keamanan, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Namun tidak memberi mandat bagi Polri untuk menguasai seluruh rantai proses peradilan pidana.
Menjadikan Polri satu-satunya penyidik berarti memperluas tafsir pasal ini melebihi batas konstitusionalnya.

4. Menyimpangi Prinsip Pemisahan Kekuasaan.

Kejaksaan merupakan lembaga penuntut umum independen, sementara peradilan adalah kekuasaan yudikatif yang merdeka.
Bila Jaksa hanya menerima berkas dari Polri, maka fungsi Kejaksaan sebagai pengendali perkara (dominus litis) hilang, dan Hakim pun terkunci, karena hanya memeriksa perkara hasil satu lembaga.
Terjadi pemusatan kekuasaan hukum — situasi yang konstitusi justru hendak hindari.

Jaksa Terpasung, Hakim Terkunci.

Dari sinilah lahir istilah Jaksa terpasung dan Hakim terkunci.
Jaksa terpasung karena kehilangan hak menerima berkas dari penyidik khusus (PPNS, KPK, BNN, POM TNI).
Padahal Pasal 110 KUHAP tidak membedakan sumber berkas perkara.
Hakim terkunci karena seluruh perkara yang masuk ke pengadilan bersumber dari hasil penyidikan Polri, sehingga Hakim tidak lagi memiliki variasi sumber fakta hukum.
Ini melahirkan epistemic monopoly — monopoli atas kebenaran hukum — yang berbahaya bagi keadilan substantif.

Dampak Sistemik: Polri Mengendalikan Perkara, Polri jadi superbody.

Jika konsep ini diterapkan dalam RUU KUHAP, maka:

  • PPNS dan lembaga khusus kehilangan yurisdiksi penyidikan.
  • Jaksa kehilangan otonomi penuntutan.
  • Hakim hanya menilai perkara versi Polri.
    Keadilan pun kehilangan keseimbangan, karena Polri mengendalikan perkara dari hulu hingga ke hilir.

Jalan Keluarnya

1. Kembalikan Polri ke Fungsi Asalnya sebagai Penyidik Umum.

Polri adalah penyidik umum, bukan penyidik utama. Dengan demikian PPNS, Penyidik KPK, BNN, POM TNI  dapat disebut sebagai penyidik khusus. PPNS tetap tidak boleh dinegasikan. 
Hubungan antarpenyidik harus bersifat koordinatif, bukan subordinatif.

2. Tegaskan Peran Jaksa sebagai Dominus Litis.

Jaksa harus tetap menjadi pengendali perkara.
RUU KUHAP perlu menegaskan bahwa penuntut umum menerima berkas perkara dari penyidik umum dan/atau penyidik khusus sesuai peraturan perundang-undangan.
Ini untuk mencegah monopoli perkara di tingkat penyidikan.

3. Bangun Sistem Koordinatif Horizontal.

Sistem peradilan pidana harus kembali ke semangat integrated but balanced — terintegrasi, tetapi seimbang.
Polri, Jaksa, PPNS, dan Hakim masing-masing menjalankan fungsi secara koordinatif tanpa saling menguasai.

4. Perkuat Prinsip Checks and Balances

Dalam revisi hukum acara, perlu ditegaskan mekanisme pengawasan antar lembaga penegak hukum untuk mencegah lahirnya superbody baru dalam bentuk lembaga penyidik tunggal.

Penutup.

Pernyataan Prof. Edward Omar Sharif Hiariej bahwa “berkas perkara hanya diterima oleh Jaksa dari penyidik Polri”bukan sekadar pandangan hukum,
tetapi gagasan yang jika diterapkan akan mengubah wajah sistem peradilan pidana Indonesia.
Ia menyalahi KUHAP, bertentangan dengan UUD 1945, dan mengancam asas pemisahan kekuasaan.

Polri memang penting — tetapi bukan satu-satunya penjaga kebenaran.
Jaksa, Hakim, dan penyidik khusus harus tetap berdiri sejajar.
Sebab dalam negara hukum, keadilan bukan hasil komando, melainkan hasil keseimbangan.

“Negara hukum yang adil bukan tentang siapa yang berkuasa,
melainkan tentang bagaimana kekuasaan itu saling mengawasi.”

8 November 2025

TANGGAPAN AKADEMIK: JAKSA WAJAR ALERGI TERHADAP ISTILAH PENYIDIK UTAMA DAN KEKELIRUAN KONSEP KOORDINASI POLRI TERHADAP PPNS

TANGGAPAN AKADEMIK: JAKSA WAJAR ALERGI TERHADAP ISTILAH PENYIDIK UTAMA DAN KEKELIRUAN KONSEP KOORDINASI POLRI TERHADAP PPNS

Jakarta 8 November 2025
Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
Kabais TNI 2011-2013


1. Pernyataan Prof. Omar Syarif Hieraj dan Permasalahan Pokok.

Dalam salah satu pernyataan publiknya, Prof. Omar Syarif Hieraj menyebut bahwa Jaksa tidak perlu alergi terhadap istilah “penyidik utama,” karena hal itu telah diatur oleh Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yang menegaskan bahwa Polri adalah penegak hukum. Menurutnya, frasa “menegakkan hukum” berarti menjalankan fungsi penyidikan, sehingga Polri sah disebut sebagai primary investigator atau penyidik utama.

Pernyataan tersebut tampak sederhana, tetapi secara konstitusional, yuridis, dan konseptual adalah keliru.
Penegakan hukum adalah konsep luas yang mencakup penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan, hingga pelaksanaan putusan.
Penyidikan hanyalah salah satu tahap dari penegakan hukum, dan tidak dapat dipahami sebagai keseluruhan fungsi “menegakkan hukum.”
Dengan demikian, frasa “penegak hukum” dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 tidak dapat dimaknai sebagai “penyidik utama”, karena menyalahi makna konstitusional dan struktur sistem peradilan pidana.

2. Menegakkan Hukum Bukan Berarti Menjadi Penyidik Utama.

Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 berbunyi:

“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

Pasal ini bersifat deklaratif, bukan atributif.
Artinya, ia menyebut fungsi umum Polri, bukan pemberian kewenangan konstitusional khusus untuk menjadi satu-satunya lembaga penyidik.
Frasa “menegakkan hukum” di sini bermakna fungsi sosial dan administratif untuk menjamin ketertiban hukum dalam masyarakat, bukan tindakan hukum acara berupa penyidikan pidana.

Dalam konteks sistem hukum civil law seperti Indonesia, “menegakkan hukum” berarti melaksanakan keseluruhan sistem hukum: mulai dari penyusunan norma, penerapan oleh aparat, penuntutan oleh jaksa, hingga pemutusan oleh hakim.
Sementara itu, penyidikan hanyalah salah satu tahap dari penegakan hukum pidana, yang tunduk pada pengawasan yuridis oleh Kejaksaan dan pengujian oleh pengadilan.

Dengan demikian, Polri memang berfungsi sebagai penegak hukum, tetapi tidak berarti Polri menjadi penyidik utama.

3. Kesalahan Penafsiran atas Istilah “Primary Investigator”

Istilah primary investigator dalam sistem hukum internasional bukanlah jabatan struktural atau kedudukan hierarkis, melainkan fungsi koordinatif dalam suatu kasus.
Di Amerika Serikat, misalnya, FBI bisa menjadi primary investigator dalam kasus federal, tetapi tetap berada di bawah kendali Jaksa Federal (U.S. Attorney).
Di Inggris, lead investigator tetap tunduk pada Crown Prosecution Service (CPS).

Dalam konteks ini, primary investigator berarti penanggung jawab penyidikan atas kasus tertentu, bukan penyidik tunggal yang berkuasa atas semua lembaga.

Apabila diterjemahkan sebagai “penyidik utama,” maka tafsir tersebut menjadi salah kaprah, karena:

  1. Mengubah makna koordinasi menjadi hierarki,
  2. Menempatkan Polri di atas Kejaksaan dan lembaga lain,
  3. Menghapus prinsip keseimbangan dan pengawasan yudisial, dan
  4. Menyimpang dari sistem due process of law yang dianut KUHAP.

4. Jaksa Wajar “Alergi” terhadap Frasa “Penyidik Utama”

Sikap “alergi” Kejaksaan terhadap istilah “penyidik utama” bukan karena rivalitas antar lembaga, melainkan karena tanggung jawab konstitusional.
Kejaksaan berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 berfungsi sebagai pengendali perkara pidana (dominus litis) — yaitu pihak yang mengawasi seluruh proses penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan putusan.
Sementara Polri, melalui Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002, memang diberi kewenangan menyidik tindak pidana umum, tetapi tetap di bawah pengawasan yuridis Kejaksaan.

Jika Polri dianggap “penyidik utama,” maka fungsi pengawasan yuridis Kejaksaan akan hilang.
Penyidikan menjadi tindakan yang menentukan sendiri hasilnya, tanpa mekanisme koreksi atau pengujian.
Inilah alasan fundamental mengapa Jaksa pantas “alergi” terhadap istilah penyidik utama — karena konsep itu menghapus keseimbangan konstitusional dalam sistem peradilan pidana.

5. Kesalahan Tafsir “Menegakkan Hukum” sebagai Penyidikan

Pernyataan Prof. Omar bahwa “menegakkan hukum berarti melakukan penyidikan” menunjukkan kesalahan konseptual.
Dalam teori hukum publik, law enforcement meliputi berbagai fungsi: administratif, preventif, represif, dan yudisial.
Penyidikan hanyalah tindakan represif untuk mengungkap tindak pidana, sedangkan “menegakkan hukum” adalah prinsip konstitusional yang berlaku bagi seluruh penegak hukum — termasuk jaksa dan hakim.

Dengan demikian, menegakkan hukum bukanlah monopoli Polri, melainkan fungsi bersama seluruh lembaga hukum dalam rantai sistem peradilan pidana.
Menafsirkan sebaliknya berarti menjadikan Polri lembaga tunggal penegak hukum, yang bertentangan dengan prinsip checks and balances dan semangat reformasi 1998.

6. TAP MPR VII/MPR/2000 Menolak Polri yang Dominan

TAP MPR VII/MPR/2000 menegaskan bahwa Polri adalah alat negara yang:

“… berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta bersikap profesional dan netral.”

Kata “netral” di sini sangat penting.
Netralitas berarti Polri tidak boleh menjadi lembaga dominan dalam sistem penegakan hukum.
Penegakan hukum harus bersifat kolaboratif dan koordinatif, bukan hierarkis atau komando tunggal.
Maka, konsep “penyidik utama” dan “koordinasi Polri atas PPNS” jelas berlawanan dengan TAP MPR ini.

7. Polri Tidak Berwenang Mengkoordinasikan PPNS.

Pasal 7 ayat (2) KUHAP dan Pasal 16 ayat (1) huruf f UU No. 2 Tahun 2002 memang menyebut Polri melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap PPNS.
Namun, pengertian “koordinasi” di sini bersifat administratif, bukan yuridis atau struktural.

Dalam praktik modern, PPNS memiliki kedudukan sejajar, bukan di bawah Polri.
PPNS dibentuk oleh berbagai undang-undang sektoral, antara lain:

  • UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
  • UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup,
  • UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan,
  • UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dan sebagainya.

Setiap PPNS mendapatkan kewenangan penyidikan yang otonom berdasarkan undang-undangnya masing-masing.
PPNS tidak tunduk secara struktural kepada Polri, karena pembinaan teknisnya dilakukan oleh kementerian atau lembaga induknya.

Dengan demikian, Polri tidak memiliki dasar hukum untuk mengkoordinasikan PPNS secara substantif.
Koordinasi yang sah hanyalah dalam bentuk pertukaran data, pelimpahan perkara, atau kerja sama administratif, bukan komando penyidikan.

8. PPNS Setara dengan KPK dan POM TNI

Secara prinsip, PPNS, KPK, dan POM TNI sama-sama lembaga penyidik yang dibentuk dengan undang-undang.
Ketiganya melaksanakan penyidikan yang bersifat lex specialis, sesuai bidangnya masing-masing:

  • KPK berwenang menyidik tindak pidana korupsi (UU No. 19 Tahun 2019),
  • POM TNI menyidik tindak pidana militer (UU No. 31 Tahun 1997),
  • PPNS menyidik pelanggaran administratif sektoral sesuai undang-undang sektornya.

Ketiganya tidak memerlukan koordinasi substantif dari Polri karena setara dalam hierarki hukum.
Masing-masing lembaga berdiri di atas dasar hukum mandiri, bukan subordinat.
Jika Polri dianggap berhak mengkoordinasikan PPNS, maka logika yang sama harus berlaku untuk KPK dan POM TNI — padahal kedua lembaga itu tegas tidak berada di bawah koordinasi Polri.

Oleh karena itu, koordinasi Polri terhadap PPNS adalah tafsir keliru, dan secara hukum bertentangan dengan asas kesetaraan lembaga penegak hukum.

9. Koordinasi Bukan Komando.

Dalam hukum administrasi, koordinasi tidak berarti komando.
Koordinasi hanya mencakup hubungan fungsional dan pertukaran informasi antarlembaga, bukan kewenangan instruktif atau perintah operasional.
Namun, praktik selama ini menempatkan Polri seolah-olah berwenang memberikan perintah kepada PPNS, padahal tidak ada dasar hukum yang memberi kewenangan tersebut.

Tafsir yang salah terhadap kata “koordinasi” ini telah:

  1. Menimbulkan kesan Polri sebagai super-body penyidik,
  2. Melemahkan independensi PPNS di bawah kementerian, dan
  3. Melanggar prinsip pemisahan kekuasaan dalam penegakan hukum.

Konsep yang benar adalah koordinasi horizontal antar lembaga penyidik, bukan koordinasi vertikal yang bersifat subordinatif.

10. Perspektif Konstitusional dan Reformasi.

Reformasi 1998 dan TAP MPR VI dan VII/MPR/2000 secara tegas menghapus konsep komando tunggal dalam penegakan hukum.
Pemutusan hubungan TNI–Polri dimaksudkan agar tidak ada lembaga yang memonopoli fungsi pertahanan, keamanan, maupun hukum.
Jika Polri mengklaim berhak mengkoordinasikan PPNS, maka itu sama saja menghidupkan kembali pola sentralisasi kekuasaan ala ABRI sebelum reformasi.

Dalam paradigma rule of lawtidak boleh ada satu lembaga pun yang mengendalikan seluruh proses penegakan hukum.
Kekuasaan harus tersebar, saling mengontrol, dan berada dalam keseimbangan.
Itulah makna hakiki dari Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: “Indonesia adalah negara hukum.”

11. Kesimpulan Akademik.

  1. Jaksa wajar alergi terhadap istilah “penyidik utama”, karena istilah itu secara konseptual menyalahi sistem peradilan pidana dan menghapus fungsi kontrol Kejaksaan.
  2. Frasa “menegakkan hukum” dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 tidak dapat dimaknai sebagai “penyidikan.”Ia bersifat fungsional, bukan atribusi kewenangan.
  3. Polri tidak dapat menjadi penyidik utama maupun pengkoordinasi PPNS, karena tidak memiliki dasar konstitusional maupun legal.
  4. PPNS memiliki kedudukan setara dengan KPK dan POM TNI, karena sama-sama dibentuk oleh undang-undang yang bersifat lex specialis.
  5. Koordinasi Polri terhadap PPNS hanya bersifat administratif, bukan hierarkis.
  6. Penegakan hukum di Indonesia bersifat horizontal, bukan vertikal. Semua lembaga penegak hukum memiliki kedudukan setara dalam sistem hukum terpadu.
  7. Menjadikan Polri sebagai penyidik utama atau pengendali PPNS akan melanggar prinsip reformasi dan TAP MPR VII/MPR/2000.

12. Penutup.

Dengan demikian, pernyataan bahwa “menegakkan hukum berarti menjadi penyidik utama” adalah kesalahan konseptual yang berpotensi membahayakan struktur hukum nasional.
Sikap “alergi” Kejaksaan terhadap istilah itu justru merupakan bentuk tanggung jawab konstitusional untuk menjaga keseimbangan antar lembaga penegak hukum.

Polri tetaplah penegak hukum penting dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, namun bukan penyidik tunggal atau pengendali penyidikan nasional.
Dalam semangat reformasi, semua lembaga penegak hukum berdiri sejajar dan saling mengawasi — bukan saling mendominasi.

 

7 November 2025

Filsafat Militer Indonesia: Tentara Dibina untuk Perang, Bukan untuk Damai

 Filsafat Militer Indonesia: Tentara Dibina untuk Perang, Bukan untuk Damai

Sebuah Telaah Filosofis tentang Kekerasan, Kemanusiaan, dan Kedaulatan Negara

Jakarta 7 November 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B  Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPSRB

 

Bab I – Pendahuluan: Antara Hak Asasi dan Kewajiban Asasi

Setiap bangsa ingin damai, tetapi tidak ada damai tanpa kekuatan yang siap mempertahankannya.
Militer dibentuk bukan karena negara menginginkan perang, melainkan karena perdamaian hanya bisa dijaga oleh mereka yang siap berperang.
Tidak ada pembinaan militer untuk masa damai; seluruh pembinaan militer adalah persiapan untuk perang.

Kenyataan ini sering dilupakan oleh banyak pihak yang menilai militer dari perspektif sipil dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam pandangan sipil, kekerasan adalah kejahatan. Dalam pandangan militer, kekerasan yang dikendalikan adalah alat moral tertinggi untuk menjaga kehidupan.

Militer hidup dalam dunia yang tidak mengenal netralitas. Ia berdiri di antara hidup dan mati, antara kedaulatan dan kehancuran.
Karena itu, pembinaan militer tidak bisa dilakukan dengan prinsip kelembutan atau kompromi moral, melainkan dengan disiplin keras dan kekerasan terukur — karena hanya melalui tekanan itulah lahir kekuatan yang tahan uji.

“Perdamaian adalah buah dari kekuatan; bukan dari kelemahan.”

Inilah dasar yang membedakan filsafat militer dari filsafat HAM.
Yang satu menempatkan hak individu sebagai pusat moralitas; yang lain menempatkan kewajiban pengorbanan sebagai puncak kemanusiaan.

Bab II – Landasan Ontologis: Hakikat Keberadaan Militer

Ontologi bertanya: “Apa yang ada?”
Militer ada karena dunia ini tidak pernah benar-benar damai.

Thomas Hobbes dalam Leviathan menulis bahwa keadaan alami manusia adalah bellum omnium contra omnes — perang semua melawan semua.¹
Manusia membentuk negara untuk keluar dari kekacauan itu, dan negara pun membutuhkan alat kekerasan sah — yaitu militer — agar ketertiban dapat dijaga.

Dengan demikian, militer bukanlah ciptaan perang, melainkan syarat ontologis bagi eksistensi negara.
Negara tanpa militer ibarat tubuh tanpa sistem imun: tampak sehat, tetapi mati perlahan.

Ontologi militer didasarkan pada tiga pilar:

  1. Ancaman selalu ada – baik fisik, ideologis, maupun moral.
  2. Kekerasan sah adalah hak negara – hanya negara berdaulat yang boleh memakainya.
  3. Kesiapan perang adalah syarat damai – perdamaian tanpa kekuatan hanyalah ilusi.

Maka, pembinaan militer tidak pernah ditujukan untuk masa damai.
“Damai” dalam konteks militer bukan keadaan pasif, tetapi keadaan siap tempur tanpa peperangan.
Seluruh latihan, doktrin, dan pendidikan prajurit diarahkan untuk menghadapi perang yang selalu mungkin terjadi.

Militer tanpa kesiapan perang bukan penjaga damai, melainkan pengkhianat damai.

Bab III – Landasan Epistemologis: Kekerasan sebagai Metode Pengetahuan

Epistemologi bertanya: “Bagaimana kita tahu?”
Bagi militer, pengetahuan bukan hasil diskusi atau wacana, tetapi hasil penderitaan dan latihan.

Aristoteles menyebut bahwa kebajikan lahir dari kebiasaan.
Dalam militer, kebajikan dibentuk melalui latihan keras, hukuman disiplin, dan ujian fisik serta mental yang berat.
Kekerasan menjadi metode epistemologis — cara mengetahui batas kekuatan manusia.

Nietzsche menulis: *“Apa yang tidak membunuhmu membuatmu lebih kuat.”*²
Militer hidup dari prinsip itu. Kekerasan yang terukur dalam latihan bukan bertujuan menyakiti, melainkan membentuk ketahanan fisik dan moral.

HAM menolak kekerasan karena menganggap manusia sudah baik sejak lahir.
Militer menolak pandangan itu. Ia beranggapan bahwa manusia harus dibentuk agar kuat dan berani menghadapi ancaman.
Kebaikan tidak lahir dari kenyamanan, tetapi dari penderitaan yang diarahkan.

“Disiplin adalah kekerasan yang disucikan oleh tujuan.”

Maka, kekerasan dalam pembinaan militer bukanlah penyimpangan, tetapi metode pendidikan moral tertinggi.
Melalui paksaan, prajurit belajar menguasai diri, menahan rasa takut, dan menempatkan kehormatan di atas rasa sakit.

Bab IV – Landasan Aksiologis: Nilai Kebaikan dalam Kesiapan Perang

Aksiologi membahas nilai dan tujuan.
Bagi HAM, nilai tertinggi adalah kebebasan individu.
Bagi militer, nilai tertinggi adalah pengorbanan demi keselamatan bangsa.

Dalam sistem nilai HAM, paksaan adalah pelanggaran.
Dalam sistem nilai militer, paksaan adalah pendidikan.
HAM memuliakan hak; militer memuliakan kewajiban.

Immanuel Kant menulis bahwa tindakan bermoral adalah tindakan berdasarkan kewajiban, bukan perasaan.³
Prajurit berjuang bukan karena ia ingin, tetapi karena ia wajib.
Ketaatan kepada perintah, meski berarti mengorbankan nyawa, adalah bentuk moralitas tertinggi dalam dunia militer.

Kekerasan yang dijalankan dengan disiplin, di bawah hukum, dan demi tujuan yang sah, bukanlah kejahatan — melainkan puncak keadilan moral.

“Kekerasan yang bermoral adalah dasar bagi kemanusiaan yang kuat.”

Bab V – Pembinaan Militer Hanya untuk Perang

Pembinaan militer tidak pernah dimaksudkan untuk masa damai.
Seluruh sistem pelatihan, kurikulum akademi, dan pembinaan mental diarahkan untuk mempersiapkan perang.
Tidak ada “pendidikan untuk damai” di dalam barak, karena damai bukan keadaan pasif, melainkan hasil dari kesiapan perang yang sempurna.

Setiap aspek pembinaan — fisik, mental, spiritual, taktik, strategi — diarahkan untuk menyiapkan prajurit menghadapi situasi ekstrem.
Bila pembinaan dilunakkan atas nama HAM, maka hasilnya bukan tentara, melainkan pegawai berseragam.

Militer yang dibina untuk damai akan hancur ketika perang datang.
Militer yang dibina untuk perang akan menjaga damai tanpa harus berperang.

Bab VI – Kekerasan Sebagai Unsur Mutlak Pembinaan Militer (Perbandingan Internasional)

Kekerasan yang terukur dalam pembinaan militer bukan hanya khas Indonesia, tetapi norma universal di seluruh dunia.
Baik di Amerika SerikatRusiaTiongkok, maupun Indonesia, semua sistem militer memahami bahwa prajurit tidak akan siap menghadapi kekerasan bila ia tidak dilatih dengan kekerasan.

  1. AS (US Marines): “Train hard, fight easy.” — kekerasan sebagai pembiasaan psikologis terhadap penderitaan.
  2. Rusia (Spetsnaz): kekerasan sebagai seleksi moral dan penyucian kehendak.
  3. Tiongkok (PLA): kekerasan sebagai harmoni kolektif dan disiplin total.
  4. Indonesia (TNI): kekerasan sebagai pendidikan jiwa korsa, keberanian, dan kemanusiaan yang beradab.

Bab VII – Kritik terhadap HAM: Senjata Halus Melemahkan Militer

HAM, bila diterapkan secara liberal dan absolut, bertentangan dengan filsafat militer.
HAM memuja kebebasan individu, sementara militer hidup dari pengorbanan total individu demi negara.

Di tangan kekuatan asing, isu HAM sering dijadikan instrumen politik untuk melemahkan kedaulatan militer nasional.
Tekanan diplomatik, embargo senjata, dan kampanye media internasional sering menggunakan narasi HAM sebagai alat untuk memaksa negara tunduk pada kepentingan luar.

Negara yang memaksa militernya tunduk pada tafsir HAM asing akan kehilangan dua hal sekaligus:

  • Kekuatan tempur, karena pembinaan dilemahkan,
  • Kedaulatan, karena keputusan strategisnya diatur opini luar.

“Negara yang takut dituduh melanggar HAM akan kehilangan keberaniannya.
Negara yang kehilangan keberanian akan kehilangan kemerdekaannya.”

Bab VIII – Pertentangan Filsafat HAM dan Filsafat Militer

Filsafat HAM berakar dari individualisme; filsafat militer berakar dari kolektivisme.
HAM menolak kekerasan; militer dibangun di atas kekerasan yang terkendali.
HAM menuhankan hak; militer menuhankan kewajiban.

Aspek

Filsafat HAM

Filsafat Militer

Ontologis

Manusia individu

Manusia bagian dari negara

Epistemologis

Empati dan dialog

Disiplin dan paksaan

Aksiologis

Kebebasan

Pengorbanan

Politik

Hak individu

Kedaulatan negara

Moral

Non-kekerasan

Kekerasan bermoral

 

Bab IX – Pancasila sebagai Jalan Tengah

Pancasila menolak ekstremitas dua kutub itu.
Ia tidak menolak HAM, tetapi menempatkannya dalam kerangka kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kemanusiaan tanpa kekuatan adalah kelemahan; kekuatan tanpa kemanusiaan adalah kebiadaban.
Pancasila memadukan keduanya.

Kemanusiaan yang beradab hanya dapat dijaga oleh kekuatan yang bermoral.

Maka, pembinaan militer Indonesia harus keras, tetapi beradab; harus disiplin, tetapi bermoral; harus memaksa, tetapi untuk tujuan keadilan.

Bab X – Penutup

Militer dibina untuk perang, bukan untuk damai.
Pembinaan keras adalah syarat lahirnya keberanian dan kekuatan bangsa.
HAM hanya dapat hidup bila ada militer yang siap berperang untuk melindunginya.

Tentara tanpa kekerasan adalah ilusi.
Kekerasan tanpa moral adalah kejahatan.
Tetapi kekerasan yang bermoral adalah dasar bagi kemanusiaan yang sejati.

Referensi :

  1. Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Oxford University Press, 1996).
  2. Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality (Cambridge: Cambridge University Press, 2006).
  3. Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).
  4. G. W. F. Hegel, Philosophy of Right (Oxford: Oxford University Press, 1967).
  5. Carl Schmitt, Political Theology (Chicago: University of Chicago Press, 2005).
  6. Max Weber, Politics as a Vocation (Philadelphia: Fortress Press, 2004).
  7. Notonagoro, Pancasila Dasar Filsafat Negara (Jakarta: BP7, 1983).

 

PEMBINAAN MILITER YANG KERAS: PERSPEKTIF PSIKOLOGIS, KOMANDORIAL, DAN HUKUM MILITER (STUDI KASUS: PRADA LUCKY)

 PEMBINAAN MILITER YANG KERAS: PERSPEKTIF PSIKOLOGIS, KOMANDORIAL, DAN HUKUM MILITER (STUDI KASUS: PRADA LUCKY)

Jakarta 06 November 2025

Oleh : Laksda TNI Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
Kabais TNI 2011-2015

I. Pendahuluan

Sebagai ahli militer dan hukum militer, saya menyatakan bahwa pembinaan dalam dunia militer bersifat keras, terstruktur, dan berbeda secara mendasar dengan pembinaan dalam dunia sipil.

Perbedaan ini lahir dari tujuan militer itu sendiri, yaitu membentuk manusia pejuang yang sanggup hidup dalam tekanan, bahaya, dan kemungkinan kehilangan nyawa demi negara.

Militer hidup dalam sistem rantai komando, di mana ketaatan adalah sumber kekuatan. Oleh karena itu, pembinaan keras bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan strategis untuk mempertahankan disiplin dan keutuhan pasukan.

II. Perbedaan Dunia Militer dan Dunia Sipil

Dunia sipil dibangun atas dasar kebebasan individu, kenyamanan, dan perlindungan hak pribadi.

Sementara dunia militer dibangun atas dasar kesatuan, loyalitas total, dan ketaatan mutlak terhadap perintah.

Dalam dunia sipil, hukuman keras dapat dianggap melanggar hak asasi; tetapi dalam dunia militer, ketegasan adalah bentuk perlindungan terhadap kehormatan dan keselamatan pasukan.

Satu kesalahan individu sipil hanya menimpa dirinya sendiri, sedangkan satu kesalahan seorang prajurit dapat menghancurkan satuan dan menewaskan rekan-rekannya. Karena itu, pelanggaran sekecil apa pun harus ditindak dengan pembinaan keras agar tidak menular dan melemahkan semangat korps.

III. Dasar Psikologis Pembinaan Keras

Kerasnya pembinaan militer memiliki landasan ilmiah dalam teori psikologi.

1.         Teori Stress Inoculation (Donald Meichenbaum, 1977)

Menjelaskan bahwa individu yang terbiasa menghadapi tekanan ekstrem akan membentuk kekebalan mental (mental immunity) terhadap stres dan ketakutan.

Pembinaan keras adalah bentuk “vaksin psikologis” yang melatih prajurit untuk tetap tenang di bawah tekanan perang.

2.         Teori Resilience (Viktor Frankl, 1963)

Ketahanan jiwa tidak lahir dari kenyamanan, tetapi dari penderitaan yang bermakna.

Dalam pembinaan militer, tekanan, rasa sakit, dan ketegangan digunakan secara terukur untuk menanamkan makna perjuangan, loyalitas, dan pengorbanan.

3.         Behavioral Conditioning (B.F. Skinner, 1953)

Disiplin militer dibangun melalui reinforcement atau penguatan perilaku.

Hukuman fisik atau tugas berat dalam pembinaan berfungsi sebagai negative reinforcement agar prajurit belajar menahan diri, taat, dan patuh terhadap komando.

Dengan demikian, pembinaan keras bukanlah penyiksaan, tetapi strategi psikologis yang terbukti efektif untuk membentuk daya tahan tempur (combat resilience).

Apa yang oleh sipil disebut “sadis” sesungguhnya adalah pendidikan mental bertingkat tinggi, di mana rasa sakit dijadikan sarana pembentukan kekuatan batin.

IV. Diskresi Komando: Tidak Ada Format Baku dalam Pembinaan

Dalam sistem militer, tidak ada format tunggal dalam pembinaan.

Setiap komandan memiliki diskresi (command discretion) untuk menentukan metode pembinaan sesuai karakter satuan, kondisi pasukan, dan tingkat kesiapan operasi.

Diskresi komando adalah hak sekaligus tanggung jawab.

Seorang komandan wajib membina anak buahnya agar siap menghadapi segala risiko tugas, dan karena itu, ia memiliki kebebasan untuk menentukan kadar kerasnya pembinaan.

Namun demikian, pembinaan tetap harus dilakukan dalam koridor kedinasan, bukan sebagai pelampiasan pribadi.

Keras yang sah adalah keras yang mendidik; bukan keras yang menyiksa.

V. Persepsi “Sadis”: Bagi Militer Adalah Realistis

Bagi masyarakat sipil, tindakan keras, bentakan, atau hukuman fisik tampak “sadis”.

Namun dalam militer, sadis adalah istilah sipil untuk menggambarkan realisme militer.

Karena perang tidak mengenal kelembutan, dan medan pertempuran tidak mengenal belas kasihan.

Prajurit yang tidak pernah ditempa dengan keras akan mudah menyerah saat ditangkap musuh.

Ia akan cepat mengaku, membocorkan posisi satuannya, dan menghancurkan misi yang dijalankan pasukannya sendiri.

Oleh sebab itu, pembinaan keras bukan hanya penting, tetapi menyelamatkan ribuan nyawa lain.

Itulah sebabnya dalam militer berlaku prinsip:

“Lebih baik menderita dalam latihan, daripada mati dalam pertempuran.”

VI. Kasus Prada Lucky: Di Dalam Barak, Dalam Dinas, Bukan Pembunuhan Berencana

Kasus Prada Lucky harus dilihat dari konteks militer.

Fakta menunjukkan bahwa peristiwa terjadi di dalam barak — artinya di dalam lingkungan dinas dan dalam kerangka pembinaan.

Tidak terdapat niat membunuh yang direncanakan (tidak ada mens rea dolus praemeditatus), sehingga tidak termasuk pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP.

Namun, sesuai Pasal 131 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), atasan yang melakukan pembinaan yang mengakibatkan kematian tetap dapat dijatuhi pidana.

“Apabila tindakan atasan dalam pembinaan mengakibatkan luka berat atau kematian, maka dapat dipidana dengan hukuman paling lama sembilan tahun.”

Dengan demikian:

•          Karena dilakukan di barak, perbuatan tersebut termasuk dalam kedinasan (official duty);

•          Karena tidak ada rencana membunuh, bukan pembunuhan berencana, tetapi perbuatan dalam rangka pembinaan yang berakibat fatal.

•          Oleh karena itu, Pasal 131 ayat (3) KUHPM berlaku sebagai bentuk akuntabilitas komando, bukan kriminalisasi terhadap pembinaan militer.

VII. Aspek Moral dan Tanggung Jawab Komando

Kerasnya pembinaan adalah wujud keyakinan komandan terhadap kemampuan anak buah.

Komandan yang yakin terhadap pasukannya berani membawa mereka ke medan perang; komandan yang ragu berarti gagal membina.

Namun bila kerasnya pembinaan dilakukan tanpa kontrol, tanpa proporsi, atau melampaui batas fisik manusia, maka keras berubah menjadi brutal dan kehilangan nilai pendidikan.

Hukum hadir bukan untuk melemahkan militer, tetapi untuk menjaga kehormatan militer agar keras tetap bermartabat.

VIII. Standar Fisik dan Mental Calon Prajurit

Kerasnya pembinaan militer inilah yang menjadi alasan mengapa setiap calon prajurit TNI wajib memenuhi standar fisik dan mental yang ketat sebelum diterima menjadi anggota.

Seleksi militer tidak hanya menilai kecerdasan atau kemampuan akademik, tetapi juga daya tahan tubuh, kekuatan psikologis, kestabilan emosi, serta kesiapan menghadapi tekanan ekstrem.

Calon yang lemah secara fisik akan hancur di tengah latihan.

Calon yang lemah secara mental akan runtuh di hadapan tekanan komando.

Standar ini bukan bentuk diskriminasi, tetapi upaya preventif untuk memastikan bahwa hanya mereka yang sanggup menjalani sistem pembinaan keras yang boleh mengabdi sebagai tentara.

Militer tidak dapat mentolerir kelemahan fisik maupun mental, karena tugasnya adalah mempertaruhkan nyawa untuk negara.

Dengan kata lain, kesiapan fisik dan mental adalah prasyarat moral sekaligus teknis untuk memasuki dunia militer yang keras dan penuh risiko.

IX. Hubungan Antara Standar Fisik dan Mental dengan Risiko Kematian dalam Pembinaan Keras

Salah satu prinsip dasar dalam dunia militer adalah bahwa pembinaan keras hanya dapat diberikan kepada personel yang telah memenuhi standar fisik dan mental tertentu.

Kerasnya latihan, disiplin, dan sistem hukuman militer didesain untuk individu yang sudah terbukti mampu menanggung tekanan fisik dan psikologis tinggi.

Oleh karena itu, proses seleksi dan pemeriksaan awal (screening) pada saat penerimaan calon prajurit menjadi sangat penting.

Seleksi ini berfungsi untuk menyaring calon yang tidak siap secara fisik maupun mental, agar tidak menjadi korban dari sistem pembinaan militer yang keras.

Apabila seseorang diterima di bawah standar — baik karena kelalaian tim seleksi, tekanan administratif, atau faktor subjektif seperti hubungan keluarga dan status orang tua — maka risiko kematian dalam pembinaan meningkat secara signifikan.

X. Hubungan Standar Fisik–Mental dengan Risiko Kematian

Sistem pembinaan keras diasumsikan diberikan kepada individu yang secara fisiologis dan psikologis siap.

Jika seseorang diterima tanpa memenuhi standar tersebut, maka latihan atau hukuman yang normal bagi prajurit lain bisa menjadi beban fatal baginya.

•          Aspek Fisiologis:

Tubuh yang lemah dapat mengalami gagal jantung, dehidrasi, atau syok panas (heat stroke) saat latihan intensif.

•          Aspek Psikologis:

Individu dengan ketahanan mental rendah cenderung mengalami panik, disosiasi, dan hilang kendali yang memperburuk kondisi fisiknya.

Teori General Adaptation Syndrome (Hans Selye) menjelaskan bahwa stres berlebihan tanpa kemampuan adaptasi akan berakhir pada fase exhaustion, di mana sistem tubuh berhenti bekerja.

Maka, pembinaan keras menuntut kesiapan penuh; ketidaksiapan dapat berakibat fatal.

XI. Penjelasan Medis dan Psikologis: Mengapa Personel di Bawah Standar Rentan Mati dalam Pembinaan

Secara fisiologis, tubuh manusia yang belum terbiasa dengan tekanan ekstrem akan mengalami respon kejut (shock) terhadap beban fisik tinggi, panas ekstrem, dan dehidrasi mendadak yang biasa terjadi dalam pembinaan militer.

Kondisi seperti kelemahan jantung, gangguan elektrolit, anemia laten, atau gangguan adaptasi metabolik dapat menyebabkan kegagalan sistem tubuh saat menjalani latihan keras.

Secara psikologis, individu dengan ketahanan mental rendah (low resilience) akan lebih mudah mengalami panic reaction, kehilangan kendali pernapasan, dan stres akut, yang juga dapat memperburuk kondisi fisik.

Teori General Adaptation Syndrome (Hans Selye, 1950) menjelaskan bahwa stres berlebihan tanpa kemampuan adaptasi menyebabkan tahap exhaustion, di mana sistem tubuh berhenti berfungsi secara normal.

Dalam konteks pembinaan keras militer, calon prajurit di bawah standar dapat mencapai tahap ini lebih cepat, sehingga pembinaan yang normal bagi prajurit lain bisa berakibat fatal bagi dirinya.

XII. Pentingnya Proses Seleksi yang Ketat

Seleksi fisik dan mental berfungsi sebagai filter moral dan medis agar hanya individu yang benar-benar siap yang diterima menjadi prajurit.

Proses ini meliputi:

1.         Pemeriksaan medis menyeluruh: jantung, paru, sistem saraf, daya tahan panas.

2.         Tes psikologi militer: stabilitas emosi, daya tahan stres, agresivitas, dan kemampuan adaptif.

3.         Verifikasi integritas: mencegah intervensi eksternal, nepotisme, atau tekanan keluarga.

Apabila seleksi dilakukan dengan kompromi—misalnya karena tekanan sosial, ekonomi, atau relasi pribadi—maka fungsi pengaman terhadap risiko kematian dalam pembinaan hilang.

XII. Analisis terhadap Kemungkinan Penyimpangan dalam Proses Rekrutmen (Kasus Prada Lucky)

Dalam konteks kasus Prada Lucky, perlu dipertimbangkan kemungkinan bahwa kematian bukan semata akibat metode pembinaan, melainkan juga karena kondisi fisik atau mental yang tidak sesuai standar militer sejak awal.

Berdasarkan informasi umum yang beredar, Prada Lucky diketahui berasal dari keluarga militer.

Secara sosiologis dan administratif, hal seperti ini dapat menimbulkan potensi adanya toleransi atau kelonggaran dalam proses seleksi awal oleh tim penerimaan.

Kemungkinan “kemudahan” atau “kompensasi status keluarga militer” dalam proses rekrutmen bukan hal baru dalam sistem birokrasi militer — walau tentu tidak dibenarkan secara etika maupun doktrin.

Apabila benar terdapat faktor tersebut, maka Prada Lucky sangat mungkin diterima tanpa memenuhi seluruh standar fisik dan mental yang semestinya.

Dalam konteks pembinaan keras yang menjadi bagian dari tradisi militer, individu dengan kondisi fisik atau mental di bawah standar berisiko mengalami kegagalan adaptasi fisiologis dan psikologis terhadap tekanan, sehingga dapat berujung pada kerusakan organ vital, kolaps, atau kematian mendadak.

XIII.  Keterkaitan dengan Tanggung Jawab Hukum dan Moral Komando

Dari perspektif hukum militer, pembinaan keras dalam barak yang berujung pada kematian tetap masuk dalam ruang lingkup Pasal 131 ayat (3) KUHPM.

Namun, bila penyebab kematian juga dipengaruhi oleh kondisi fisik atau mental bawahan yang tidak memenuhi standar sejak awal, maka faktor kelalaian administratif tim seleksi harus dipertimbangkan sebagai sebab ikut (causa concomitans) dalam analisis hukum.

Dalam konteks Prada Lucky:

•          Bila benar bahwa ia tidak memenuhi standar fisik atau mental,

•          Dan bila penerimaannya dipengaruhi oleh hubungan keluarga militer yang menimbulkan kemudahan administrasi, maka faktor kesalahan sistemik pada proses rekrutmen turut berkontribusi terhadap kematian yang terjadi dalam pembinaan.

Artinya, bukan semata-mata metode pembinaan yang harus dipersoalkan, tetapi juga validitas penerimaan personel yang tidak siap menjalani sistem pembinaan keras militer.

XIV. Perspektif Hukum Militer

Pasal 131 ayat (3) KUHPM mengatur:

“Apabila tindakan atasan dalam pembinaan mengakibatkan luka berat atau kematian, maka dapat dipidana dengan hukuman paling lama sembilan tahun.”

Pasal ini menegaskan dua hal:

1.         Pembinaan keras adalah sah selama dilakukan dalam dinas dan dengan tujuan pendidikan militer.

2.         Akibat fatal tetap menimbulkan tanggung jawab hukum, bukan karena niat membunuh, tetapi karena akibat dari pelaksanaan pembinaan.

Dengan demikian, kematian dalam pembinaan dapat terjadi karena:

•          Kelebihan tindakan fisik dalam pembinaan (excess of discipline), atau

•          Kelemahan fisik/mental bawahan yang seharusnya tidak diterima sejak proses seleksi.

Kedua faktor tersebut harus diperiksa secara bersama sebagai sebab hukum.

XV. Pandangan Ahli

1.         Pembinaan keras dalam militer bersifat legal, sah, dan diperlukan, tetapi hanya efektif bila dijalankan terhadap personel yang sudah memenuhi standar fisik dan mental militer.

2.         Personel yang di bawah standar (underqualified) secara fisiologis dan psikologis berpotensi mengalami kegagalan adaptasi dan bahkan kematian dalam pembinaan.

3.         Dalam kasus Prada Lucky, sangat mungkin kematian terjadi karena kombinasi antara kerasnya pembinaan dan lemahnya kondisi fisik/mental sejak awal.

4.         Tim seleksi penerimaan calon prajurit harus dimintai pertanggungjawaban administratif apabila ditemukan adanya kelonggaran penerimaan, terutama bila faktor keluarga atau kedekatan menjadi pertimbangan.

5.         Kematian dalam pembinaan bukan semata akibat kekerasan, tetapi juga akibat ketidaksiapan tubuh dan jiwa menghadapi sistem pelatihan militer yang ekstrem.

XV. Kesimpulan

“Pembinaan keras hanya layak diberikan kepada prajurit yang kuat.

Bila prajurit yang lemah diterima karena kelalaian atau kompromi, maka kerasnya militer akan menjadi maut bagi yang tidak siap.

Karena itu, seleksi adalah benteng pertama, dan pembinaan keras adalah benteng kedua —

keduanya harus berdiri bersama demi kehormatan tentara.”

XVII. Penutup.

1.         Pembinaan militer berbeda secara total dari pembinaan sipil. Ia hidup dari disiplin dan ketaatan, bukan kebebasan individu.

2.         Kerasnya pembinaan memiliki dasar ilmiah dalam psikologi militer: teori stress inoculation, resilience, dan behavioral conditioning.

3.         Tidak ada format baku pembinaan; setiap komandan memiliki diskresi dan tanggung jawab moral untuk menentukan cara terbaik bagi satuannya.

4.         Apa yang tampak “sadis” bagi sipil sesungguhnya merupakan metode pendidikan karakter dan ketahanan mental.

5.         Kasus Prada Lucky terjadi dalam barak dan dalam dinas, sehingga bukan pembunuhan berencana, melainkan pembinaan yang berakibat fatal, yang diatur dalam Pasal 131 ayat (3) KUHPM (pidana maksimum 9 tahun).

6.         Standar fisik dan mental calon prajurit ditetapkan sangat tinggi karena hanya mereka yang mampu menanggung kerasnya pembinaan yang dapat bertahan dalam sistem militer.

7.         Keras dalam militer adalah keharusan, tetapi keras yang kehilangan kendali harus dikoreksi oleh hukum.

8.         “Dalam pandangan sipil, pembinaan militer tampak kejam; dalam pandangan militer, keras adalah kasih sayang dalam bentuk pengorbanan.

Karena hanya melalui tempaan keras lahir prajurit yang tangguh, dan hanya dari prajurit tangguh lahir pasukan yang mampu menegakan kedaulatan, menjaga keutuhan wilayah dan melindungoi segenap bangsa.”