Reformasi TNI dan Polri di Persimpangan Jalan
Jakarta 28 September 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.
Pendahuluan
“Reformasi TNI–Polri adalah ujian sejarah: apakah kita ingin membangun negara hukum yang kokoh, atau kembali ke masa ketika kekuasaan aparat lebih kuat dari hukum.”
Reformasi 1998 merupakan tonggak sejarah yang mengubah arah perjalanan bangsa. Salah satu agenda terpentingnya adalah reformasi sektor keamanan, dengan memisahkan TNI dan Polri dari wadah lama ABRI. Melalui TAP MPR VI/MPR/2000 dan TAP MPR VII/MPR/2000, bangsa ini menegaskan pembagian peran: TNI sebagai alat pertahanan negara, Polri sebagai alat keamanan dan penegakan hukum.
Ketetapan itu juga menegaskan prinsip alih status sebagai pagar konstitusional: TNI dan Polri hanya boleh menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri. Prinsip ini bukan sekadar aturan hukum, melainkan pilar utama menjaga netralitas, profesionalisme, dan tegaknya Sishankamrata sebagai palang pintu NKRI.
Namun dua dekade kemudian, arah reformasi justru berada di persimpangan jalan. UU TNI dan UU Polri membuka celah bagi aparat aktif menduduki jabatan sipil tanpa alih status. Bahkan, dalam UU Polri masih terdapat kekosongan norma anggaran, yang memungkinkan Polri menerima hibah dari pihak swasta dan menimbulkan potensi konflik loyalitas.
Pertanyaan besar pun muncul: Mau ke mana reformasi TNI dan Polri? Apakah tetap setia pada semangat reformasi 1998, ataukah membiarkan pagar konstitusional TAP MPR runtuh oleh undang-undang yang justru melawannya?
1. Landasan Reformasi: TAP MPR VI dan VII
Reformasi 1998 lahir dari tuntutan rakyat untuk mengakhiri dominasi militer dalam kehidupan sipil dan politik. Sebagai jawaban, Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan dua ketetapan penting:
- TAP MPR VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.
- TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.
Dua TAP ini menjadi fondasi reformasi sektor keamanan. Inti pokoknya adalah:
- TNI menjadi alat negara di bidang pertahanan.
- Polri menjadi alat negara di bidang keamanan dan penegakan hukum.
- Keduanya tetap alat negara dalam Sishankamrata, bersama rakyat sebagai kekuatan pendukung.
Dan yang paling penting, TAP MPR VII mewajibkan alih status:
- Pasal 5 ayat (5): “Anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun.”
- Pasal 10 ayat (3): “Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.”
Alih status ini adalah pagar konstitusional untuk menjaga netralitas dan profesionalisme.
2. Penyimpangan dalam UU TNI dan UU Polri
Namun, ketika undang-undang organik lahir, semangat reformasi ini mulai dibelokkan.
- UU TNI (UU No. 34 Tahun 2004 Pasal 47 ayat (1)–(2)) → membuka peluang penempatan prajurit TNI aktif di lembaga sipil tanpa alih status.
- UU Polri (UU No. 2 Tahun 2002 Pasal 28 ayat (3)) → melegalkan penempatan anggota Polri aktif di luar struktur kepolisian, juga tanpa alih status.
Dengan norma ini, TAP MPR yang jelas-jelas melarang, dilawan oleh UU yang justru melegalkan. Inilah titik awal penggagalan reformasi melalui jalur legislasi.
3. Kekosongan Norma Anggaran Polri
Selain soal alih status, UU Polri juga menyisakan kekosongan norma terkait asal-usul anggaran. Tidak ada pasal yang tegas menyebutkan bahwa anggaran Polri hanya berasal dari APBN.
Akibatnya, Polri dapat menerima sumber pembiayaan dari luar, termasuk hibah swasta. Kasus nyata: hibah tanah dari PT Agung Sedayu untuk pembangunan asrama Brimob.
Praktik ini berbahaya karena menimbulkan konflik loyalitas. Polri sebagai alat negara seharusnya hanya loyal kepada rakyat melalui mekanisme negara, tetapi dengan menerima hibah, loyalitas itu bisa bergeser kepada pemberi bantuan. Netralitas Polri pun terancam.
4. Reformasi di Persimpangan Jalan
Kondisi ini menempatkan reformasi sektor keamanan pada persimpangan jalan:
- TAP MPR VI dan VII masih berlaku dan tegas mewajibkan alih status bagi TNI–Polri yang masuk ranah sipil.
- UU TNI dan UU Polri justru membuka celah legalisasi penempatan aparat aktif di luar struktur.
Pertanyaan fundamental pun muncul: Mau ke mana reformasi TNI dan Polri?
5. Ujian Kenegarawanan Presiden
Di sinilah peran kenegarawanan Presiden diuji. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dihadapkan pada dua pilihan besar:
- Menjaga semangat reformasi, dengan menegakkan TAP MPR VI dan VII sebagai landasan konstitusional, serta mendorong revisi UU TNI dan UU Polri agar kembali selaras. atau,
- Membiarkan penggagalan reformasi, dengan memperkuat UU TNI dan UU Polri yang nyata-nyata melawan TAP MPR, sehingga legitimasi penempatan aparat aktif di sipil semakin dianggap sah.
Kesimpulan.
Reformasi TNI dan Polri hari ini benar-benar berada di persimpangan jalan. Jika TAP MPR VI dan VII dikhianati, maka Sishankamrata sebagai palang pintu NKRI runtuh. Namun jika Presiden berani menjaga dan mengembalikan UU ke jalur TAP MPR, maka semangat reformasi 1998 bisa tetap terjaga.
Mau ke mana reformasi Polri dan TNI? Jawabannya kini ada pada kenegarawanan Presiden: mempertahankan semangat reformasi, atau membiarkan reformasi digagalkan oleh UU yang melawan TAP MPR.
“Reformasi TNI dan Polri bukan untuk memisahkan kekuatan bangsa, tetapi untuk menempatkan mereka di jalur yang benar: TNI menjaga kedaulatan, Polri menjaga hukum, rakyat menjaga kepercayaan.”
Mantap pak.
BalasHapus