26 September 2025

Ingat ! Polri Masih Terikat dalam Sishankamrata dan Tidak Bisa Dilepaskan: Konsekuensi Langsung UUD 1945

 Ingat ! Polri Masih Terikat dalam Sishankamrata dan Tidak Bisa Dilepaskan: Konsekuensi Langsung UUD 1945

Jakarta 26 September 2025

Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
KABAIS TNI 2011-2013

A. Pendahuluan.

“Konstitusi adalah janji bangsa kepada dirinya sendiri; ia bukan untuk dipajang, melainkan untuk dijalankan.”

Reformasi 1998 membawa perubahan mendasar dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Salah satu agenda utama adalah restrukturisasi sektor pertahanan dan keamanan yang diwujudkan melalui Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Tap MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kedua TAP ini menegaskan bahwa:

  1. TNI menjadi alat negara di bidang pertahanan, berada di bawah Presiden.
  2. Polri menjadi alat negara di bidang keamanan, juga berada di bawah Presiden.

Pemisahan ini dimaksudkan untuk mengakhiri dominasi militer dalam kehidupan berbangsa dan menata profesionalisme kedua institusi. TNI difokuskan pada pertahanan negara, sementara Polri difokuskan pada keamanan dan ketertiban masyarakat.

Namun, pascareformasi muncul tafsir keliru yang berkembang di masyarakat maupun dalam praktik kelembagaan, seolah-olah Polri sudah keluar dari Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Pandangan ini keliru karena pemisahan kelembagaan dan organisasi tidak berarti pemisahan dari sistem.

Secara konstitusional, Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 menegaskan:

“Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.”

Rumusan ini bersifat imperatif dan tidak memberi ruang tafsir lain: TNI dan Polri sama-sama kekuatan utama dalam Sishankamrata. Perbedaan hanya terletak pada bidang tugas (Pasal 30 ayat (3) untuk TNI dan Pasal 30 ayat (4) untuk Polri), tetapi keduanya tetap melekat pada sistem pertahanan dan keamanan nasional.

Lebih lanjut, UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara memperkuat hal ini melalui Pasal 4, Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 7 ayat (3):

  • Pasal 4: Pertahanan negara disusun untuk menghadapi segala bentuk ancaman, baik militer maupun nonmiliter.
  • Pasal 7 ayat (2): Dalam ancaman militer, TNI adalah komponen utama.
  • Pasal 7 ayat (3): Dalam ancaman nonmiliter, lembaga pemerintah di luar pertahanan menjadi unsur utama — yang secara normatif menegaskan posisi Polri.

Dengan demikian, walaupun Polri telah dipisahkan dari ABRI secara kelembagaan, Polri tetap menjadi bagian integral dari Sishankamrata. Posisi ini bukan pilihan politik, melainkan perintah konstitusi dan undang-undang.

Konsekuensi logis dari status Polri sebagai komponen utama dalam Sishankamrata adalah bahwa Polri harus tunduk pada Kebijakan Umum Pertahanan Negara (Jakumhaneg) yang ditetapkan Presiden, sebagaimana diatur Pasal 13 UU No. 3 Tahun 2002. Karena Jakumhaneg menjadi acuan perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan pertahanan negara, maka secara otomatis anggaran Polri pun harus diselaraskan dalam kerangka pertahanan negara melalui Kementerian Pertahanan, sebagaimana sudah berlaku pada TNI.

Penjelasan ini menjadi pengingat bahwa pemisahan TNI dan Polri tidak berarti melepaskan Polri dari Sishankamrata. Sebaliknya, Polri masih terikat kuat dalam sistem tersebut, dan hal ini membawa konsekuensi yuridis, konstitusional, serta praktis yang wajib dilaksanakan oleh negara.

B.  Landasan Konstitusional: UUD 1945

  1. Pasal 30 ayat (2):
    “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.”

Norma Pasal ini menegaskan TNI dan Polri sama-sama kekuatan utama dalam Sishankamrata.

  1. Pasal 30 ayat (3):
    “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.”

Norma pasal ini menegaskan fungsi TNI hanya di bidang pertahanan.

  1. Pasal 30 ayat (4):
    “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”

Norma pasal ini menegaskan fungsi Polri di bidang keamanan.

C. Landasan Yuridis: TAP MPR

  1. Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri
    • Memutuskan pemisahan TNI dan Polri dari wadah ABRI.
    • Pemisahan dimaksudkan untuk menegakkan profesionalisme, bukan untuk melepaskan Polri dari sistem pertahanan.

  2. Tap MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri
    • Pasal 2: “Tentara Nasional Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara, dalam melaksanakan tugasnya TNI berada di bawah komando Presiden.”
    • Pasal 6 ayat (1): “Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, dalam melaksanakan tugasnya Polri berada di bawah Presiden.”

Kedua pasal ini menegaskan pemisahan kelembagaan, tetapi tetap sama-sama di bawah Presiden.

D. Landasan Yuridis: UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara

  1. Pasal 4:
    “Pertahanan negara disusun dan diselenggarakan untuk menghadapi segala bentuk ancaman.”

Norma ini menegaskan bahwa pertahanan negara dibentuk untuk menghadapi segala bentuk ancaman baik itu ancaman militer maupun ancaman nonmiliter.

  1. Pasal 7 ayat (2):
    “Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.”

    Norma ini 
    menegaskan bahwa dalam menghadapai ancaman militer, TNI adalah komponen utama.

Ancaman militer → TNI sebagai komponen utama.

  1. Pasal 7 ayat (3):
    “Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa.”

    Norma ini menegaskan bahwa dalam menghadapai ancaman non militer, Polri sebagai  unsur utama.

  2. Pasal 13 ayat (1)–(2):

(1) “Presiden berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem pertahanan negara.”

(2) “Dalam pengelolaan sistem pertahanan negara, Presiden menetapkan kebijakan umum pertahanan negara yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan negara.”

Norma ini menegaskan bahwa Presiden menetapkan Kebijakan Umum Pertahanan Negara (Jakumhaneg) sebagai acuan TNI dan Polri.

  1. Pasal 16 ayat (5)–(6):

(5) “Menteri merumuskan kebijakan umum penggunaan Tentara Nasional Indonesia dan komponen pertahanan lainnya.”

(6) “Menteri menetapkan kebijakan umum penganggaran, pengadaan, perekrutan, serta pembinaan teknologi industri pertahanan untuk Tentara Nasional Indonesia dan komponen pertahanan lainnya.”

Norma ini menegaskan bahwa Menhan merumuskan kebijakan umum penggunaan, penganggaran, pengadaan serta perekrutan  TNI dan “komponen pertahanan lainnya”. Yang dimaksud Komponen Pertahan lainnya adala Polri, karena didalam sishankamrata yang ada Cuma TNI dan Polri. Dengan demikian mau tidak mau penganggaran Polri harus berasal dari Kemhan.

 Pasal 25 ayat (1)–(2):

(1) “Pertahanan negara dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”

(2) “Pembiayaan pertahanan negara ditujukan untuk membangun, memelihara, mengembangkan, dan menggunakan Tentara Nasional Indonesia serta komponen pertahanan lainnya.”

Norma ini menegaskan bahwa Sishankamrata dibiayai dari APBN. Dengan demikian semua pembiayaan untuk membangun, mengembangkan TNI dan POlri semuanya berasal dari APBN melalui kemhan. 

E. Landasan Yuridis: UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri

  1. Pasal 5 ayat (1):
    “Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”
  2. Pasal 8 ayat (1):
    “Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.”

Akan tetapi pada UU 2/2002 tentang Polri ini belum diatur adanya pasal yang mengatur asal -usul anggaran Polri. Ada kekosongan norma tentang asasl usul anggaran Polri. 

F. Landasan Yuridis: UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI

  1. Pasal 66 ayat (1)–(2):
    • (1) “TNI dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”
    • (2) “Keperluan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Departemen Pertahanan.”

Norma tentang penganggaran TNI sudah jelas diatur , sedangkan, Polri belum diatur.

Dengan menampilkan bunyi pasal-pasal ini, terlihat jelas bahwa:

  • UUD 1945 menempatkan Polri bersama TNI dalam Sishankamrata.
  • UU No. 3 Tahun 2002 mempertegas peran Polri dalam menghadapi ancaman nonmiliter.
  • UU No. 34 Tahun 2004 sudah menegaskan anggaran TNI melalui Kemhan.
  • UU No. 2 Tahun 2002 normanya masih kosong soal anggaran Polri. Norma penganggaran inilah yang harus dilengkapi.

G. Konsekuensi Normatif.

Berdasarkan uraian konstitusional dan yuridis di atas, terdapat sejumlah konsekuensi penting terhadap posisi Polri dalam Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata):

1. Konsekuensi Konstitusional

  • Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 menyebut secara eksplisit bahwa Polri bersama TNI adalah kekuatan utama dalam Sishankamrata.
  • Dengan demikian, tidak ada ruang tafsir bahwa Polri berdiri di luar sistem pertahanan negara.
  • Polri tetap melekat dalam sistem, meskipun kelembagaannya dipisahkan dari TNI melalui Tap MPR VI/2000 dan VII/2000.

2. Konsekuensi Yuridis

  • Pasal 7 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2002 menempatkan lembaga pemerintah di luar pertahanan sebagai unsur utama dalam menghadapi ancaman nonmiliter dan secara normatif menunjuk pada Polri.
  • Pasal 16 ayat (5)–(6) UU No. 3 Tahun 2002 menegaskan bahwa Menteri Pertahanan (Menhan) berwenang merumuskan kebijakan umum penggunaan dan penganggaran untuk TNI dan “komponen pertahanan lainnya.” Polri sebagai unsur utama ancaman nonmiliter termasuk dalam kategori ini.
  • Pasal 25 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2002 menyatakan pembiayaan pertahanan negara ditujukan untuk TNI dan komponen pertahanan lainnya termasuk Polri masuk di dalamnya.

Dengan demikian Mmaka, secara yuridis Polri wajib mengikuti mekanisme pertahanan negara, termasuk soal penganggaran.

3. Konsekuensi Praktis

  • Jakumhaneg Presiden (Pasal 13 ayat (2) UU 3/2002) adalah acuan perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan pertahanan negara. Polri harus tunduk pada Jakumhaneg, sama seperti TNI.
  • Agar kebijakan pertahanan menyatu dan tidak terjadi dualisme, anggaran Polri harus masuk dalam kerangka APBN pertahanan negara yang diatur oleh Kemhan.
  • Jika Polri tetap dianggarkan secara terpisah dari mekanisme pertahanan negara, akan timbul ketidakseimbangan dalam pelaksanaan Sishankamrata, mengingat TNI dan Polri adalah dua kekuatan utama yang seharusnya berjalan beriringan.

H. Kekosongan Norma dalam UU Polri

Berbeda dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang sudah jelas mengatur anggaran (Pasal 66 ayat (1)–(2)), UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri tidak memuat ketentuan mengenai sumber anggaran Polri.

  • Pasal 66 UU TNI:
    • (1) “TNI dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”
    • (2) “Keperluan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Departemen Pertahanan.”

Ketentuan ini sudah sejalan dengan Pasal 25 UU No. 3 Tahun 2002, sementara Polri belum memiliki aturan serupa.

I. Usulan Pasal Baru dalam UU Polri

Untuk menghilangkan kekosongan hukum dan menyelaraskan dengan UUD 1945 serta UU No. 3 Tahun 2002, maka dalam UU Polri perlu ditambahkan pasal baru:

Pasal XXX

  1. “Polri dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”
  2. “Keperluan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Departemen Pertahanan.”

Dengan tambahan pasal ini, posisi Polri dalam sistem anggaran pertahanan akan sama dengan TNI, sekaligus menutup celah tafsir bahwa Polri berada di luar Sishankamrata.

J. Implikasi Strategis

  • Menyatukan penganggaran TNI dan Polri melalui Kemhan akan memastikan keselarasan strategi pertahanan-keamanan nasional.
  • Hal ini juga mencegah terjadinya dualisme kebijakan antara pertahanan (TNI) dan keamanan (Polri), yang pada dasarnya harus dikelola sebagai satu kesatuan dalam kerangka Sishankamrata.
  • Secara politik-hukum, langkah ini menegaskan kembali bahwa UUD 1945 bukan sekadar simbol, melainkan perintah normatif yang wajib dilaksanakan secara konsisten.

K. Komparasi Internasional

1. Prancis: Gendarmerie Nationale

  • Gendarmerie adalah pasukan kepolisian dengan status militer.
  • Secara administratif berada di bawah Kementerian Dalam Negeri, namun untuk urusan pertahanan strategis dan anggaran tertentu berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan.
  • Dalam keadaan darurat nasional, Gendarmerie otomatis masuk komando militer.

Pola ini menunjukkan bahwa kepolisian tetap terkait erat dengan sistem pertahanan negara, meskipun kelembagaannya dipisahkan.

2. Singapura: Singapore Police Force (SPF)

  • SPF berada di bawah Ministry of Home Affairs (MHA).
  • Namun, Singapura menganut doktrin Total Defence, di mana semua institusi negara, termasuk polisi, masuk dalam sistem pertahanan nasional.
  • Anggaran dan kebijakan strategis SPF tetap disinkronkan dengan Ministry of Defence (MINDEF), terutama dalam hal penanggulangan ancaman nonmiliter seperti terorisme, serangan siber, dan keamanan maritim.

SPF dipisahkan secara kelembagaan, tetapi tidak pernah keluar dari sistem pertahanan nasional.

3. Jepang: National Police Agency (NPA)

  • NPA adalah lembaga sipil murni, di bawah Cabinet Office (Kantor Perdana Menteri).
  • Namun, Jepang menganut doktrin Comprehensive Security, yang menuntut koordinasi erat antara NPA dan Japan Self-Defense Forces (JSDF) di bawah Kementerian Pertahanan.
  • Dalam situasi ancaman nonmiliter skala besar (bencana alam, serangan siber, terorisme), NPA selalu berada dalam kerangka kebijakan pertahanan nasional.

Meskipun NPA sipil, dalam sistem tetap satu kesatuan dengan pertahanan nasional.

4. Amerika Serikat: Federal Law Enforcement Agencies

  • FBI, DEA, ATF, dan lembaga federal lainnya berada di bawah Department of Justice (DOJ) atau Department of Homeland Security (DHS).
  • Namun, dalam keadaan darurat nasional, semua lembaga keamanan federal masuk dalam kerangka koordinasi Department of Defense (DoD).
  • Kebijakan strategis keamanan nasional ditetapkan Presiden melalui National Security Strategy (NSS) yang menjadi acuan seluruh aparat pertahanan dan keamanan.

Bahkan di negara dengan pemisahan tegas antara sipil dan militer, tetap ada kesatuan sistem melalui strategi nasional.

L. Makna Perbandingan

Dari keempat contoh di atas dapat ditarik kesimpulan:

  1. Tidak ada negara besar yang sepenuhnya memisahkan polisi dari sistem pertahanan nasional.
  2. Polisi tetap berperan sebagai unsur utama dalam menghadapi ancaman nonmiliter, sementara militer menghadapi ancaman militer.
  3. Semua institusi tunduk pada strategi nasional yang ditetapkan kepala negara/pemerintahan, termasuk dalam hal penganggaran.

Hal ini sejalan dengan UUD 1945 Pasal 30 ayat (2) dan UU No. 3 Tahun 2002 Pasal 25 ayat (2), yang menempatkan Polri tetap sebagai bagian dari Sishankamrata dan wajib dibiayai melalui APBN pertahanan negara.

Dari uraian konstitusional, yuridis, dan perbandingan internasional, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Secara Konstitusional
    • Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 menegaskan TNI dan Polri adalah kekuatan utama dalam Sishankamrata.
    • Pasal 30 ayat (3) menegaskan tugas TNI di bidang pertahanan, dan Pasal 30 ayat (4) menegaskan tugas Polri di bidang keamanan.
    • Dengan demikian, pemisahan TNI dan Polri secara kelembagaan pascareformasi tidak berarti Polri keluar dari sistem pertahanan negara.
  2. Secara Yuridis
    • UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara mempertegas:
      • Pasal 4 → pertahanan menghadapi segala bentuk ancaman.
      • Pasal 7 ayat (2) → TNI komponen utama untuk ancaman militer.
      • Pasal 7 ayat (3) → Polri unsur utama untuk ancaman nonmiliter.
      • Pasal 13 → Presiden menetapkan Kebijakan Umum Pertahanan Negara (Jakumhaneg) yang mengikat TNI dan Polri.
      • Pasal 16 ayat (5)–(6) → Menhan menetapkan kebijakan penggunaan dan penganggaran untuk TNI dan komponen pertahanan lainnya.
      • Pasal 25 ayat (2) → pembiayaan pertahanan negara ditujukan untuk TNI dan komponen pertahanan lainnya.
    • Dari frasa “komponen pertahanan lainnya” dalam Pasal 16 dan 25, jelas bahwa Polri termasuk dalam lingkup pertahanan negara.
  3. Secara Praktis
    • Jakumhaneg Presiden adalah kompas pertahanan-keamanan nasional → semua komponen, termasuk Polri, wajib tunduk padanya.
    • Agar tidak terjadi dualisme kebijakan, anggaran Polri harus melekat dalam APBN pertahanan negara melalui Kementerian Pertahanan, sebagaimana sudah berlaku untuk TNI berdasarkan Pasal 66 UU No. 34 Tahun 2004.
    • Kekosongan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri harus diisi dengan pasal baru yang mengatur sumber anggaran Polri dari APBN pertahanan negara.
  4. Secara Perbandingan Internasional
    • Negara-negara besar seperti Prancis, Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat tidak pernah melepaskan kepolisian dari sistem pertahanan nasional.
    • Polisi tetap unsur utama menghadapi ancaman nonmiliter, sementara militer menghadapi ancaman militer.
    • Semua institusi tunduk pada strategi nasional yang ditetapkan kepala negara.

M. Kesimpulan.

Polri masih terikat dan tidak bisa dilepaskan dari Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Hal ini bukan pilihan politik, melainkan konsekuensi langsung UUD 1945 yang diperkuat oleh UU No. 3 Tahun 2002.

Konsekuensinya, Polri wajib tunduk pada Jakumhaneg Presiden, termasuk dalam hal kebijakan anggaran yang ditetapkan melalui Kementerian Pertahanan. Oleh karena itu, revisi terhadap UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri menjadi keniscayaan untuk menambahkan norma baru yang menegaskan bahwa anggaran Polri bersumber dari APBN pertahanan negara melalui Kemhan.

 “Konstitusi adalah perintah, bukan pilihan. Selama Pasal 30 UUD 1945 berlaku, Polri tetap terikat dalam Sishankamrata dan wajib tunduk pada Jakumhaneg Presiden, baik dalam strategi maupun anggaran.”

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar