28 September 2025

Reformasi TNI dalam Konteks Penempatan TNI Aktif di Luar Struktur dan Kedudukan Peradilan Militer

Reformasi TNI dalam Konteks Penempatan TNI Aktif di Luar Struktur dan Kedudukan Peradilan Militer

Jakarta 29 September 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
KABAIS TNI 2011-2013

A. Pendahuluan

Reformasi TNI merupakan bagian integral dari agenda reformasi nasional pasca runtuhnya Orde Baru. Melalui TAP MPR VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, bangsa Indonesia menegaskan berakhirnya Dwifungsi ABRI. Tujuan utama reformasi adalah menempatkan TNI hanya pada fungsi pertahanan negara, Polri pada fungsi keamanan dalam negeri, serta memastikan supremasi sipil dalam tata kelola negara.

Namun, dinamika kebutuhan negara menunjukkan bahwa amanat tersebut tidak sepenuhnya dapat dijalankan secara kaku. Hadirnya UU No. 3 Tahun 2025 Pasal 47 ayat (1)  memperluas ruang penempatan prajurit TNI aktif di luar struktur TNI pada 15 kementerian/lembaga, sementara kedudukan peradilan militer tetap dipertahankan sesuai Pasal 24 UUD 1945. Kondisi ini menimbulkan kontradiksi normatif dengan TAP MPR, tetapi pada saat yang sama menunjukkan kebutuhan praktis dalam penyelenggaraan pertahanan negara.

B. Landasan Reformasi

Reformasi TNI didasarkan pada tiga pilar utama:

  1. Profesionalisme militer – TNI fokus pada pertahanan negara.
  2. Supremasi sipil – pembatasan prajurit aktif dari jabatan sipil.
  3. Equality before the law – idealnya prajurit tunduk pada peradilan umum.

Namun, dalam hierarki hukum, UUD 1945 menempati posisi tertinggi. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 secara tegas menetapkan peradilan militer sebagai salah satu lingkungan peradilan, sehingga TAP MPR tidak dapat menghapus eksistensinya.

C. Pengertian Asas Resiprokal

Asas resiprokal berasal dari kata reciprocity, yang berarti hubungan timbal balik atau saling membutuhkan. Dalam konteks ketatanegaraan, asas ini dipakai untuk mengukur apakah penempatan prajurit TNI aktif di luar struktur organisasinya sah secara normatif maupun fungsional.

Prinsipnya:

  • Saling membutuhkan (dua arah) → penempatan prajurit aktif dibenarkan.
  • Satu arah (non-resiprokal) → prajurit harus alih status menjadi pejabat sipil.

Tolok Ukur

Ada lima tolok ukur penerapan asas resiprokal:

Untuk menilai apakah hubungan TNI dengan sebuah lembaga memenuhi asas resiprokal, dapat digunakan lima tolok ukur:

  1. Tugas Pokok Lembaga – apakah berkaitan langsung dengan pertahanan, keamanan strategis, atau operasi militer.
  2. Kebutuhan Alutsista/Doktrin Militer – apakah lembaga membutuhkan kemampuan militer, sistem komando, atau alutsista TNI.
  3. Sifat Ancaman – apakah ancaman yang dihadapi lembaga bisa mencapai level militer/bersenjata.
  4. Kebutuhan Koordinasi Strategis – apakah lembaga tidak efektif tanpa kehadiran TNI sebagai simpul koordinasi.
  5. Efektivitas & Efisiensi – apakah lembaga akan lumpuh tanpa TNI, dan apakah TNI juga kehilangan legitimasi/fungsi vital tanpa lembaga tersebut.

Analisis Pasal 47 Ayat (1) UU No. 3 Tahun 2025 dengan Asas Resiprokal 

 

Bunyi Pasal 47 Ayat (1) UU 3/2025

“Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, pencarian dan pertolongan, narkotika nasional, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.”

 

Ketentuan ini memperluas ruang penempatan prajurit aktif di luar struktur TNI.

Analisis 15 Lembaga dengan 5 Tolok Ukur

Berdasarkan Pasal 47 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2025, terdapat 15 lembaga yang menjadi ruang penempatan prajurit aktif. Jika dihadapkan pada lima tolok ukur di atas, analisisnya adalah sebagai berikut:

1. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polkam)

  1. Tupoksi: Koordinasi politik, hukum, dan keamanan negara. → Strategis, terkait pertahanan & keamanan.
  2. Kebutuhan Militer: Membutuhkan doktrin militer dalam analisis keamanan nasional.
  3. Sifat Ancaman: Menghadapi ancaman hibrida (politik, siber, pertahanan).
  4. Koordinasi Strategis: Simpul utama koordinasi Presiden dengan TNI/Polri.
  5. Efektivitas: Tanpa TNI, koordinasi lemah; TNI juga butuh Menko Polkam sebagai forum koordinatif.

2. Kementerian Pertahanan (Kemhan)

  1. Tupoksi: Penyusunan kebijakan pertahanan negara. → Inti tupoksi TNI.
  2. Kebutuhan Militer: Sangat membutuhkan alutsista, doktrin militer, komando.
  3. Sifat Ancaman: Ancaman militer/hard power.
  4. Koordinasi Strategis: Penentu kebijakan pertahanan nasional.
  5. Efektivitas: Tanpa TNI, Kemhan tidak punya pelaksana; TNI tanpa Kemhan tidak punya legitimasi anggaran & kebijakan.

3. Dewan Pertahanan Nasional (DPN)

  1. Tupoksi: Memberi nasihat Presiden dalam penetapan kebijakan pertahanan.
  2. Kebutuhan Militer: Membutuhkan analisis kekuatan militer.
  3. Sifat Ancaman: Fokus ancaman pertahanan.
  4. Koordinasi Strategis: Forum utama kebijakan pertahanan nasional.
  5. Efektivitas: Tanpa TNI, DPN kehilangan basis analisis; TNI butuh DPN agar aspirasinya tersalur ke Presiden.

4. Sekretariat Militer Presiden (Setmilpres)

  1. Tupoksi: Dukungan administratif & pengamanan Presiden.
  2. Kebutuhan Militer: Membutuhkan keahlian militer untuk VVIP protection.
  3. Sifat Ancaman: Ancaman fisik/bersenjata.
  4. Koordinasi Strategis: Simpul koordinasi Presiden dengan TNI.
  5. Efektivitas: Tanpa TNI, pengamanan Presiden rawan; TNI butuh Setmilpres untuk legitimasi tugas pengamanan.

5. Badan Intelijen Negara (BIN)

  1. Tupoksi: Intelijen strategis nasional.
  2. Kebutuhan Militer: Membutuhkan dukungan intelijen militer.
  3. Sifat Ancaman: Ancaman hibrida (spionase, terorisme, konflik militer).
  4. Koordinasi Strategis: Simpul intelijen negara.
  5. Efektivitas: Tanpa TNI, intelijen BIN kurang kuat; TNI butuh BIN untuk early warning.

6. Badan Siber dan Sandi Negara

  1. Tupoksi: Keamanan siber dan kriptografi nasional.
  2. Kebutuhan Militer: Sangat membutuhkan untuk komunikasi dan operasi militer.
  3. Sifat Ancaman: Ancaman hibrida (cyber warfare, espionage).
  4. Koordinasi Strategis: Simpul pertahanan siber.
  5. Efektivitas: Tanpa TNI, sandi kurang implementatif; TNI tanpa sandi rawan kebocoran operasi.

7. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas)

  1. Tupoksi: Pendidikan strategis, ketahanan nasional.
  2. Kebutuhan Militer: Membutuhkan doktrin militer dalam kurikulum.
  3. Sifat Ancaman: Ancaman jangka panjang, geopolitik, militer.
  4. Koordinasi Strategis: Forum kaderisasi elite sipil-militer.
  5. Efektivitas: Tanpa TNI, Lemhanas pincang; TNI butuh Lemhanas untuk kaderisasi perwira.

8. Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas)

  1. Tupoksi: SAR darat, laut, udara.
  2. Kebutuhan Militer: Membutuhkan alutsista TNI (kapal, helikopter).
  3. Sifat Ancaman: Ancaman bencana, bukan militer.
  4. Koordinasi Strategis: Koordinasi sipil, tapi sering bersinggungan dengan TNI.
  5. Efektivitas: Tanpa TNI, Basarnas terbatas; TNI butuh Basarnas untuk legitimasi operasi SAR sipil.

9. Badan Narkotika Nasional (BNN)

  1. Tupoksi: Pencegahan & pemberantasan narkotika.
  2. Kebutuhan Militer: Sesekali butuh TNI untuk operasi besar.
  3. Sifat Ancaman: Kriminal transnasional (sipil, bukan militer).
  4. Koordinasi Strategis: Lebih ke Polri dan kementerian sipil.
  5. Efektivitas: Tanpa TNI, BNN masih bisa berjalan; TNI tidak butuh BNN untuk pertahanan.

10. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)

  1. Tupoksi: Pengelolaan wilayah perbatasan (administratif & pembangunan).
  2. Kebutuhan Militer: Kadang perlu TNI untuk jaga batas negara.
  3. Sifat Ancaman: Administratif-sipil.
  4. Koordinasi Strategis: Lebih ke pembangunan sipil.
  5. Efektivitas: Tanpa TNI, BNPP tetap jalan; TNI tidak butuh BNPP untuk kedaulatan.

11. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

  1. Tupoksi: Penanggulangan bencana alam & non-alam.
  2. Kebutuhan Militer: Membutuhkan TNI untuk logistik & evakuasi.
  3. Sifat Ancaman: Sipil (bencana alam, pandemi).
  4. Koordinasi Strategis: Simpul sipil, bukan pertahanan.
  5. Efektivitas: Tanpa TNI, BNPB terbatas; TNI tidak butuh BNPB untuk pertahanan.

12. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

  1. Tupoksi: Pencegahan & penindakan terorisme.
  2. Kebutuhan Militer: Dibutuhkan bila teror bersenjata (setara insurgensi).
  3. Sifat Ancaman: Hibrida, kadang militeristik.
  4. Koordinasi Strategis: Koordinasi dengan Polri dan TNI.
  5. Efektivitas: Tanpa TNI, BNPT lemah bila menghadapi ancaman bersenjata; TNI butuh BNPT untuk kebijakan kontra-teror.

13. Badan Keamanan Laut (Bakamla)

  1. Tupoksi: Coast guard sipil.
  2. Kebutuhan Militer: Butuh TNI AL bila ancaman laut bersenjata.
  3. Sifat Ancaman: Sipil (illegal fishing, penyelundupan).
  4. Koordinasi Strategis: Tumpang tindih dengan TNI AL.
  5. Efektivitas: Tanpa TNI, Bakamla lemah; TNI AL tidak butuh Bakamla untuk menjaga laut.

14. Kejaksaan Republik Indonesia (Jampidmil)

  1. Tupoksi: Penuntutan perkara pidana, termasuk pidana militer.
  2. Kebutuhan Militer: Mutlak butuh TNI untuk Jampidmil.
  3. Sifat Ancaman: Hukum, tetapi terkait disiplin militer.
  4. Koordinasi Strategis: Menjaga keseimbangan sipil-militer dalam hukum.
  5. Efektivitas: Tanpa TNI, Jampidmil tidak ada makna; TNI butuh Kejaksaan untuk kepastian hukum militer.

15. Mahkamah Agung (Peradilan Militer)

  1. Tupoksi: Kekuasaan kehakiman, termasuk peradilan militer.
  2. Kebutuhan Militer: Hakim militer dibutuhkan untuk mengadili prajurit.
  3. Sifat Ancaman: Hukum, disiplin keprajuritan.
  4. Koordinasi Strategis: Bagian dari sistem peradilan nasional.
  5. Efektivitas: Tanpa peradilan militer, prajurit tidak punya forum hukum; TNI butuh MA karena Pasal 24 UUD 1945 menetapkan peradilan militer sebagai kompetensi absolut.

Lembaga yang Resiprokal (Saling Membutuhkan), TNI Aktif dapat ditempatkan tanpa alih status.

Beberapa lembaga memiliki hubungan timbal balik dengan TNI sehingga penempatan prajurit aktif di dalamnya dapat dibenarkan. Kementerian Pertahanan (Kemhan)Dewan Pertahanan Nasional (DPN), dan Kemenko Polhukammisalnya, secara langsung berkaitan dengan penyusunan, koordinasi, dan implementasi kebijakan pertahanan. Tanpa keterlibatan TNI, lembaga-lembaga tersebut kehilangan pelaksana teknis, sementara TNI sendiri tidak dapat menjalankan tugas pertahanan tanpa arahan kebijakan dan legitimasi anggaran dari lembaga-lembaga itu.

Demikian pula, Setmilpres dibutuhkan untuk pengamanan Presiden yang bersifat VVIP, sementara TNI membutuhkan legitimasi formal dari Setmilpres untuk melaksanakan tugas pengamanan tersebut. BIN dan Badan Siber & Sandi Negara juga tidak bisa dilepaskan dari peran TNI, karena operasi militer modern bergantung pada intelijen strategis dan sistem komunikasi yang aman. Lemhanas berfungsi sebagai wadah pendidikan strategis yang tidak bisa mengabaikan kaderisasi perwira tinggi TNI. Basarnas dan BNPT juga sering membutuhkan kekuatan militer dalam menghadapi situasi darurat, baik dalam konteks SAR maupun terorisme bersenjata.

Dalam bidang hukum, Kejaksaan (Jampidmil) dan Mahkamah Agung (Peradilan Militer) merupakan kebutuhan konstitusional TNI. Jampidmil memastikan adanya representasi militer dalam proses penuntutan, sementara peradilan militer adalah kompetensi absolut yang dijamin UUD 1945 Pasal 24 untuk mengadili prajurit. Tanpa kedua institusi ini, kepastian hukum bagi prajurit tidak akan terjamin.

Lembaga yang Non-Resiprokal (Hanya Satu Arah) TNI Aktif ditempatkan wajib alih status.

Sebaliknya, ada lembaga-lembaga yang hanya membutuhkan TNI, tetapi TNI tidak membutuhkan lembaga tersebut untuk melaksanakan tugas pokoknya. Misalnya, BNPB membutuhkan TNI untuk operasi logistik dan evakuasi dalam bencana, tetapi TNI dapat melaksanakan fungsi pertahanan tanpa keberadaan BNPB. BNN juga sesekali membutuhkan TNI untuk operasi besar narkotika, namun dari perspektif TNI, lembaga ini tidak memberikan dukungan strategis terhadap tugas pertahanan. Hal yang sama berlaku pada BNPP yang fokus pada pengelolaan administratif perbatasan, serta Bakamla yang memiliki fungsi coast guard sipil namun seringkali tumpang tindih dengan TNI AL yang memang sudah memegang mandat pertahanan laut.

Untuk lembaga-lembaga ini, penempatan prajurit TNI aktif tidak sejalan dengan asas resiprokal. Oleh karena itu, jika prajurit ditempatkan di BNPB, BNN, BNPP, atau Bakamla, mereka wajib alih status agar tidak menyalahi semangat reformasi.

Dengan demikian lembaga tesebut adalah :

  • 11 lembaga resiprokal (sah): Kemhan, DPN, Menko Polkam, Setmilpres, BIN, BSSN, Lemhanas, Basarnas, BNPT, Kejaksaan (Jampidmil), Mahkamah Agung (Peradilan Militer).
  • 4 lembaga non-resiprokal (alih status): BNPB, BNN, BNPP, Bakamla.

Dengan demikian, asas resiprokal menjadi filter yang mencegah lahirnya kembali Dwifungsi ABRI, sekaligus tetap mengakomodasi kebutuhan praktis pertahanan negara.

Peradilan Militer dalam Perspektif Reformasi

Peradilan Militer: Kompetensi Absolut Konstitusi
TAP MPR VII/2000 mengamanatkan agar prajurit TNI yang melakukan tindak pidana diadili di peradilan umum demi menegakkan prinsip kesetaraan hukum. Akan tetapi, hal ini tidak dapat dijalankan karena Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyatakan adanya empat lingkungan peradilan: umum, agama, militer, dan tata usaha negara. Dari sini jelas bahwa setiap prajurit yang berstatus militer harus diadili di peradilan militer, terlepas dari jenis pelanggaran hukum yang dilakukan. Peradilan militer merupakan kompetensi absolut yang dijamin oleh konstitusi, sehingga TAP MPR tidak dapat menundukkan atau menghapusnya. Akibatnya, semua tindak pidana prajurit—baik pidana umum maupun pidana militer—tetap berada dalam yurisdiksi peradilan militer.

Dengan logika hierarki hukum, UUD 1945 lebih tinggi kedudukannya dibanding TAP MPR, sehingga amanat reformasi yang ingin menghapus peradilan militer tidak dapat dilaksanakan. Peradilan militer justru menjadi instrumen konstitusional untuk menjaga disiplin dan legitimasi hukum di tubuh TNI.

Kesimpulan.

Reformasi TNI membawa perubahan fundamental: berakhirnya Dwifungsi ABRI, pemisahan TNI–Polri, serta penegasan supremasi sipil. Namun, penerapan reformasi menghadapi kompromi konstitusional:

  • Penempatan prajurit di luar struktur melalui Pasal 47 UU 3/2025 tetap dimungkinkan dengan asas resiprokal.
  • Peradilan militer tetap eksis karena dijamin Pasal 24 UUD 1945.

Dengan demikian, reformasi TNI tidak sepenuhnya dapat menyingkirkan keterlibatan militer dalam lembaga sipil maupun peradilan khusus. Reformasi dijalankan melalui pola kompromi antara amanat TAP MPR, kebutuhan pertahanan negara, dan supremasi konstitusi.

Analisis dengan lima tolok ukur menunjukkan bahwa tidak semua lembaga dalam Pasal 47 UU No. 3/2025 relevan bagi TNI. Ada sebelas lembaga yang bersifat resiprokal dan memang mendukung langsung tupoksi TNI, sehingga penempatan prajurit aktif di sana sah dan konstitusional. Namun, ada empat lembaga lain (BNPB, BNN, BNPP, dan Bakamla) yang tidak memiliki hubungan timbal balik dengan TNI. Penempatan prajurit di lembaga-lembaga tersebut seharusnya hanya bisa dilakukan dengan syarat alih status.

Dengan demikian, Pasal 47 UU No. 3/2025 hanya dapat dibaca konstitusional jika ditafsirkan dengan asas resiprokal. Reformasi TNI tetap dapat dipertahankan, peradilan militer tetap dijalankan sesuai UUD 1945, dan supremasi sipil tidak perlu dikorbankan.

 

 

Reformasi TNI dan Polri di Persimpangan Jalan

 Reformasi TNI dan Polri di Persimpangan Jalan

Jakarta 28 September 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.

Pendahuluan

“Reformasi TNI–Polri adalah ujian sejarah: apakah kita ingin membangun negara hukum yang kokoh, atau kembali ke masa ketika kekuasaan aparat lebih kuat dari hukum.”

Reformasi 1998 merupakan tonggak sejarah yang mengubah arah perjalanan bangsa. Salah satu agenda terpentingnya adalah reformasi sektor keamanan, dengan memisahkan TNI dan Polri dari wadah lama ABRI. Melalui TAP MPR VI/MPR/2000 dan TAP MPR VII/MPR/2000, bangsa ini menegaskan pembagian peran: TNI sebagai alat pertahanan negara, Polri sebagai alat keamanan dan penegakan hukum.

Ketetapan itu juga menegaskan prinsip alih status sebagai pagar konstitusional: TNI dan Polri hanya boleh menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri. Prinsip ini bukan sekadar aturan hukum, melainkan pilar utama menjaga netralitas, profesionalisme, dan tegaknya Sishankamrata sebagai palang pintu NKRI.

Namun dua dekade kemudian, arah reformasi justru berada di persimpangan jalanUU TNI dan UU Polri membuka celah bagi aparat aktif menduduki jabatan sipil tanpa alih status. Bahkan, dalam UU Polri masih terdapat kekosongan norma anggaran, yang memungkinkan Polri menerima hibah dari pihak swasta dan menimbulkan potensi konflik loyalitas.

Pertanyaan besar pun muncul: Mau ke mana reformasi TNI dan Polri? Apakah tetap setia pada semangat reformasi 1998, ataukah membiarkan pagar konstitusional TAP MPR runtuh oleh undang-undang yang justru melawannya?

1. Landasan Reformasi: TAP MPR VI dan VII

Reformasi 1998 lahir dari tuntutan rakyat untuk mengakhiri dominasi militer dalam kehidupan sipil dan politik. Sebagai jawaban, Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan dua ketetapan penting:

  • TAP MPR VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.
  • TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.

Dua TAP ini menjadi fondasi reformasi sektor keamanan. Inti pokoknya adalah:

  • TNI menjadi alat negara di bidang pertahanan.
  • Polri menjadi alat negara di bidang keamanan dan penegakan hukum.
  • Keduanya tetap alat negara dalam Sishankamrata, bersama rakyat sebagai kekuatan pendukung.

Dan yang paling penting, TAP MPR VII mewajibkan alih status:

  • Pasal 5 ayat (5): “Anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun.”
  • Pasal 10 ayat (3): “Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.”

Alih status ini adalah pagar konstitusional untuk menjaga netralitas dan profesionalisme.

2. Penyimpangan dalam UU TNI dan UU Polri

Namun, ketika undang-undang organik lahir, semangat reformasi ini mulai dibelokkan.

  • UU TNI (UU No. 34 Tahun 2004 Pasal 47 ayat (1)–(2)) → membuka peluang penempatan prajurit TNI aktif di lembaga sipil tanpa alih status.
  • UU Polri (UU No. 2 Tahun 2002 Pasal 28 ayat (3)) → melegalkan penempatan anggota Polri aktif di luar struktur kepolisian, juga tanpa alih status.

Dengan norma ini, TAP MPR yang jelas-jelas melarang, dilawan oleh UU yang justru melegalkan. Inilah titik awal penggagalan reformasi melalui jalur legislasi.

3. Kekosongan Norma Anggaran Polri

Selain soal alih status, UU Polri juga menyisakan kekosongan norma terkait asal-usul anggaran. Tidak ada pasal yang tegas menyebutkan bahwa anggaran Polri hanya berasal dari APBN.

Akibatnya, Polri dapat menerima sumber pembiayaan dari luar, termasuk hibah swasta. Kasus nyata: hibah tanah dari PT Agung Sedayu untuk pembangunan asrama Brimob.

Praktik ini berbahaya karena menimbulkan konflik loyalitas. Polri sebagai alat negara seharusnya hanya loyal kepada rakyat melalui mekanisme negara, tetapi dengan menerima hibah, loyalitas itu bisa bergeser kepada pemberi bantuan. Netralitas Polri pun terancam.

4. Reformasi di Persimpangan Jalan

Kondisi ini menempatkan reformasi sektor keamanan pada persimpangan jalan:

  • TAP MPR VI dan VII masih berlaku dan tegas mewajibkan alih status bagi TNI–Polri yang masuk ranah sipil.
  • UU TNI dan UU Polri justru membuka celah legalisasi penempatan aparat aktif di luar struktur.

Pertanyaan fundamental pun muncul: Mau ke mana reformasi TNI dan Polri?

5. Ujian Kenegarawanan Presiden

Di sinilah peran kenegarawanan Presiden diuji. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dihadapkan pada dua pilihan besar:

  1. Menjaga semangat reformasi, dengan menegakkan TAP MPR VI dan VII sebagai landasan konstitusional, serta mendorong revisi UU TNI dan UU Polri agar kembali selaras. atau,
  2. Membiarkan penggagalan reformasi, dengan memperkuat UU TNI dan UU Polri yang nyata-nyata melawan TAP MPR, sehingga legitimasi penempatan aparat aktif di sipil semakin dianggap sah.

Kesimpulan.

Reformasi TNI dan Polri hari ini benar-benar berada di persimpangan jalan. Jika TAP MPR VI dan VII dikhianati, maka Sishankamrata sebagai palang pintu NKRI runtuh. Namun jika Presiden berani menjaga dan mengembalikan UU ke jalur TAP MPR, maka semangat reformasi 1998 bisa tetap terjaga.

Mau ke mana reformasi Polri dan TNI? Jawabannya kini ada pada kenegarawanan Presiden: mempertahankan semangat reformasi, atau membiarkan reformasi digagalkan oleh UU yang melawan TAP MPR.

“Reformasi TNI dan Polri bukan untuk memisahkan kekuatan bangsa, tetapi untuk menempatkan mereka di jalur yang benar: TNI menjaga kedaulatan, Polri menjaga hukum, rakyat menjaga kepercayaan.”