29 April 2025

Pembentukan Coast Guard di Indonesia sia-sia : Pemborosan uang negara.

Pembentukan Coast Guard di Indonesia sia-sia : Pemborosan uang negara.

Jakarta 29 April Februari 2024 

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB


Pendahuluan

Konsep Coast Guard di berbagai negara mengacu pada lembaga maritim yang memiliki otoritas penuh dalam penegakan hukum, keselamatan navigasi, pencarian dan penyelamatan (SAR), serta perlindungan lingkungan maritim. Namun, sistem ini tidak bisa diterapkan di Indonesia karena perbedaan dalam struktur hukum dan pembagian kewenangan pemerintahan.

Dengan lahirnya UU No. 66 Tahun 2024, peran Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) semakin diperkuat sebagai Pengawas Pelayaran, yang dalam beberapa aspek menyerupai Coast Guard di negara lain. Namun, batasan hukum Indonesia tetap membagi kewenangan laut ke berbagai lembaga, sehingga tidak ada peluang untuk membentuk Coast Guard dengan fungsi tunggal seperti di luar negeri.


1. Dasar Hukum: Pasal 17 UUD 1945 dan Pembagian Wewenang Pemerintahan

Pasal 17 UUD 1945 mengatur tentang struktur pemerintahan yang membagi tugas kepada menteri-menteri yang membidangi urusan tertentu.

Pasal 17 UUD 1945:

1.    Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

2.    Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

3.    Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

4.    Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.

Dari pasal ini, sistem hukum Indonesia mengarah pada pembagian tugas yang spesifik dalam urusan kelautan dan keamanan maritim. Hal ini mengakibatkan tugas-tugas penegakan hukum di laut tersebar ke berbagai kementerian dan lembaga, berbeda dengan banyak negara lain yang dapat mengkonsolidasikan fungsi Coast Guard dalam satu institusi.


2. Pembagian Tugas Maritim dalam Sistem Hukum Indonesia

Berbeda dengan negara lain yang memberikan wewenang tunggal kepada Coast Guard, di Indonesia penegakan hukum di laut telah diatur dalam berbagai undang-undang sektoral, yang membagi kewenangan ke beberapa lembaga sebagai berikut:

  1. TNI Angkatan Laut (TNI AL) → UU No. 34/2004 tentang TNI
    • Bertanggung jawab atas pertahanan negara di laut dan menjaga kedaulatan wilayah perairan Indonesia dan menegakan hukum diwilayah laut yurisdiksi nasional
  2. Polisi Air dan Udara (Polairud) → UU No. 2/2002 tentang Kepolisian
    • Menegakkan hukum di laut dalam kasus pidana umum, termasuk penyelundupan dan kejahatan lintas batas.
    • satuan kapal nya dikenal dengan nama Polair.
  3. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) → UU No. 31/2004 tentang Perikanan
    • Mengawasi dan menindak pelanggaran hukum perikanan, seperti Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing.
    • Satuan kapalnya dengan Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP)
  4. Kementerian Perhubungan – KPLP → UU No. 17/2008 tentang Pelayaran & UU No. 66/2024
    • Bertanggung jawab sebagai pengawas pelayaran, termasuk keselamatan kapal dan kepatuhan terhadap regulasi pelayaran.
    • Sattuan Kapalnya dikenal dengan Kesatuan Pengawas Laut dan Pelayaran (KPLP)

Sistem ini menunjukkan bahwa fungsi penegakan hukum di laut dipecah berdasarkan tugas dan fungsi spesifik, sehingga tidak mungkin semua kewenangan dikonsolidasikan dalam satu lembaga Coast Guard tunggal seperti di negara lain.


3. UU No. 66/2024: Coast Guard di Indonesia dan Batasannya

Dengan disahkannya Undang-Undang No. 66 Tahun 2024, terjadi penguatan terhadap peran KPLP sebagai pengawas pelayaran. Beberapa poin utama dari UU ini adalah:

  1. KPLP Ditetapkan sebagai Pengawas Pelayaran
    • Semua kapal yang berlayar di perairan Indonesia wajib berada dalam pengawasan KPLP.
    • KPLP bertanggung jawab atas keselamatan navigasi, pemantauan pelayaran, dan kepatuhan terhadap regulasi pelayaran.
  2. Tetap Tidak Mengubah Pembagian Wewenang di Laut
    • UU ini tidak mengubah sistem hukum yang membagi tugas maritim kepada berbagai lembaga sesuai dengan bidangnya.
    • Jika ada pelanggaran di luar pelayaran, seperti penyelundupan atau perompakan, tetap ditangani oleh lembaga lain yang berwenang.
  3. Menegaskan Bahwa Coast Guard dengan Fungsi Tunggal Tidak Bisa Diterapkan di Indonesia
    • Coast Guard di luar negeri bisa memiliki kewenangan penuh karena tidak terikat dengan sistem pembagian tugas seperti di Indonesia.
    • Dengan sistem pemerintahan berbasis Pasal 17 UUD 1945, tidak mungkin ada Coast Guard di Indonesia yang bisa mengambil alih seluruh fungsi keamanan laut.


4. Mengapa Tidak Ada Peluang untuk Membentuk Coast Guard Seperti di Negara Lain?

Jika ada pihak yang ingin membentuk Coast Guard baru dengan wewenang tunggal seperti di luar negeri, maka hal itu mustahil terjadi karena beberapa alasan hukum:

  1. Bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945
    • Setiap kementerian memiliki urusan sendiri dalam pemerintahan, sehingga Coast Guard dengan otoritas tunggal tidak dapat dibentuk tanpa mengubah UUD 1945.
  2. Harus Mengubah atau Menghapus Undang-Undang Sektoral
    • Agar Coast Guard bisa menjadi satu-satunya lembaga dengan kewenangan penuh, maka semua undang-undang sektoral seperti UU TNI, UU Polri, UU Kelautan, UU Pelayaran, dan UU Perikanan harus dihapus atau direvisi secara drastis.
  3. Bertentangan dengan Prinsip Pemerintahan Indonesia
    • Sistem administrasi pemerintahan Indonesia telah terbentuk berdasarkan konsep pembagian tugas antar lembaga, yang tidak memungkinkan adanya lembaga tunggal yang mengurus semua aspek keamanan maritim.


Karena alasan ini, apa yang diatur dalam UU No. 66/2024 adalah batas maksimum yang bisa dicapai dalam sistem hukum Indonesia. Dengan kata lain, Coast Guard di Indonesia hanya bisa berfungsi dalam bentuk KPLP sebagai pengawas pelayaran, sementara fungsi lainnya tetap dipegang oleh lembaga yang relevan.


Kesimpulan: Coast Guard di Indonesia Berbeda dari Negara Lain

  1. Sistem hukum Indonesia berdasarkan Pasal 17 UUD 1945 membagi kewenangan ke berbagai kementerian, sehingga tidak mungkin ada Coast Guard yang memiliki fungsi tunggal seperti di luar negeri.
  2. Berbagai undang-undang sektoral telah membagi tugas maritim ke berbagai lembaga, termasuk TNI AL, Polairud,  KKP, Bea Cukai dan KPLP.
  3. UU No. 66/2024 memperkuat peran KPLP sebagai pengawas pelayaran, tetapi tidak mengubah pembagian kewenangan di laut.
  4. Jika ingin membentuk Coast Guard seperti di negara lain, maka harus ada perubahan besar dalam sistem hukum Indonesia, termasuk amandemen UUD 1945, yang sangat tidak realistis.
  5. Karena itu, UU No. 66/2024 adalah batas maksimal yang bisa dicapai, dan Coast Guard di Indonesia tetap terbatas pada fungsi KPLP sebagai Pengawas Pelayaran, sementara tugas lainnya tetap dipegang oleh lembaga yang sesuai dengan aturan masing-masing.


Dengan demikian, Indonesia tidak mungkin bisa memiliki Coast Guard dengan konsep tunggal seperti di negara lain, namun penerapan UU No. 66/2024 adalah solusi paling sesuai dalam sistem hukum yang ada, dan paling sesuai dengan konsep Coast Guard seperti negara lain.

Dan untuk apa lagi Coast Guard dibentuk karena semua tugas dilaut sudah terbagi habis. sebagai contoh, Bakamla yang suda terbentuk pun sudah tidak kebagian sebagai "Penyidik dilaut" karena sudah habis terbagi. lalu untuk apa membentuk COAST GUARD lagi ? Itu hanya pemborosan anggaran keuangan saja.

23 April 2025

Tanggapan terhadap Permohonan Uji Materiil Pasal 8 ayat (5) UU No. 11 Tahun 2021

Tanggapan terhadap Permohonan Uji Materiil Pasal 8 ayat (5) UU No. 11 Tahun 2021

Jakarta 23 April 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB

Pendahuluan

Permohonan uji materiil terhadap Pasal 8 ayat (5) UU No. 11 Tahun 2021 yang mewajibkan izin Jaksa Agung sebelum tindakan hukum terhadap jaksa, dikritisi sebagai bentuk potensi impunitas. Namun demikian, perlu ditinjau bahwa ketentuan ini bertujuan menjaga independensi Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum yang berlandaskan sistem hierarkis dan pengawasan internal.

Urgensi Izin Jaksa Agung

Ketentuan izin ini merupakan bentuk perlindungan institusional untuk mencegah kriminalisasi jaksa dalam situasi yang berpotensi dipolitisasi. Banyak negara seperti Jepang dan Belanda juga menerapkan sistem hierarkis di mana jaksa tunduk pada pengawasan administratif. Hal ini selaras dengan teori norma bertingkat Hans Kelsen yang menempatkan perlindungan lembaga sebagai bagian dari tata hukum berjenjang.

Perbedaan Jaksa dengan Polisi atau KPK

Jaksa adalah bagian dari sistem quasi-judicial dan lebih dekat dengan kekuasaan kehakiman dibandingkan polisi. Oleh karena itu, mekanisme kontrol seperti izin dari atasan dibutuhkan sebagai bentuk akuntabilitas internal. Tidak seperti polisi yang berada di bawah kendali eksekutif secara langsung, jaksa menjalankan fungsi penuntutan yang memiliki konsekuensi yuridis dalam sistem peradilan pidana terpadu.

Filsafat dan Teori Hukum

Dalam pandangan filsafat hukum Lon Fuller, hukum harus memberikan kepastian. Mekanisme izin ini justru menjaga kepastian dan mencegah ketakutan dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum. Secara utilitarian, perlindungan ini mencegah kerusakan sistemik akibat intervensi eksternal yang bisa menghancurkan kepercayaan publik terhadap institusi Kejaksaan.

Penolakan terhadap Permohonan

Permohonan ini tidak memenuhi syarat untuk dibatalkan karena: (1) tidak bertentangan langsung dengan UUD 1945, (2) izin bersifat administratif bukan substantif, dan (3) tidak ada pelanggaran terhadap prinsip hak asasi manusia secara langsung. Oleh karena itu, frasa tersebut sah dan konstitusional.

Usulan Alternatif

Sebagai bentuk penguatan kepastian hukum, dapat diusulkan batas waktu bagi Jaksa Agung untuk memberikan keputusan atas permohonan izin, misalnya 7 hari kerja. Ini menjadi jalan tengah untuk tetap melindungi integritas kelembagaan tanpa menimbulkan ketidakpastian hukum.

Penutup

Dengan demikian, ketentuan 'atas izin Jaksa Agung' merupakan bentuk kontrol internal yang sah dalam negara hukum dan tidak bertentangan dengan prinsip equality before the law. Perlindungan administratif ini justru memperkuat sistem penegakan hukum yang profesional dan independen.

Urgensi Izin Jaksa Agung: Menjaga Independensi dan Mencegah Politisasi Hukum

 

Urgensi Izin Jaksa Agung: Menjaga Independensi dan Mencegah Politisasi Hukum


Jakarta 23 April 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

Mahkamah Konstitusi sedang menghadapi permohonan pengujian Pasal 8 ayat (5) UU No. 11 Tahun 2021, yang mensyaratkan "izin Jaksa Agung" untuk memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, atau menahan seorang jaksa. Banyak yang menyuarakan bahwa aturan ini berlebihan. Namun, pandangan demikian gagal melihat fakta bahwa hukum tidak boleh tunduk pada popularitas atau tekanan opini publik. Justru, ketentuan ini adalah tembok terakhir agar institusi Kejaksaan tidak dikoyak-koyak oleh intervensi liar yang membahayakan penegakan hukum itu sendiri.[1]

1. Independensi Jaksa Adalah Harga Mati

Jaksa bukan sekadar aparat hukum biasa. Mereka adalah penuntut umum, representasi negara dalam menyuarakan keadilan di ruang sidang. Jika proses hukum terhadap jaksa bisa dilakukan sembarangan tanpa pengawasan dari atasan tertinggi, maka pintu kriminalisasi terbuka lebar. Jaksa bisa dikriminalkan hanya karena menyentuh kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Karena itu, izin Jaksa Agung justru adalah pagar konstitusional untuk melindungi independensi internal institusi Kejaksaan.[2]

2. Izin Bukan Kebal Hukum, Tapi Mekanisme Pertanggungjawaban

Perlu ditegaskan: ini bukan bentuk impunitas. Ini adalah pengawasan internal. Sama seperti izin Presiden diperlukan untuk memeriksa anggota DPR atau menteri.[3] Tanpa mekanisme seperti ini, hukum bisa menjadi alat dendam politik. Model semacam ini juga diterapkan di banyak negara dengan sistem hukum modern, termasuk Jerman dan Prancis.[4]

3. Menghindari Chaos Antar Lembaga Penegak Hukum

Bayangkan jika Kepolisian bisa seenaknya memeriksa jaksa tanpa kontrol institusional. Apa yang terjadi? Balas membalas perkara. Saling jerat antar penegak hukum. Maka izin Jaksa Agung adalah alat stabilisasi—bukan untuk melindungi kejahatan, tapi untuk menjaga agar hukum tidak menjadi sarana saling menjatuhkan.[5]

4. Pengaturan Waktu Bisa Diatur, Tapi Jangan Hapus Fungsinya

Masalah waktu pemberian izin dapat diatur dalam peraturan pelaksana. Misalnya, batas 7 hari kerja untuk merespons permintaan pemeriksaan. Tapi jangan pernah hapus mekanisme izin itu sendiri. Menghapusnya sama saja melepas rem dalam kendaraan tanpa pengemudi—berbahaya dan menabrak prinsip kehati-hatian hukum.[6]

5. Equality Before the Law Tidak Berarti Perlakuan Sama Tanpa Konteks

Equality before the law bukan berarti semua harus diperlakukan sama secara kaku. Seorang wartawan, seorang hakim, dan seorang jaksa punya fungsi dan tanggung jawab yang berbeda. Maka mekanisme pengawasan internal juga wajar berbeda. Tidak semua yang berbeda berarti diskriminatif. Dalam hukum, perlakuan berbeda itu sah jika didasarkan pada perbedaan fungsi yang relevan.[7]

Penutup: Jangan Bakar Rumah Karena Tikus

Jika ada jaksa yang melanggar hukum, proseslah dia! Tapi jangan hancurkan sistem perlindungan kelembagaan hanya karena segelintir orang. Yang salah adalah oknumnya, bukan sistem izinnya. Tugas kita sebagai bangsa hukum bukan meruntuhkan pagar-pagar akuntabilitas, tapi memperkuatnya agar tidak mudah ditunggangi oleh nafsu kekuasaan dan opini sesaat.

Catatan Kaki

1.     [1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 8 ayat (5).

2.     [2] Komaruddin Hidayat, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Kompas, 2019), 214.

3.     [3] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 20A ayat (3), Pasal 24 ayat (1).

4.     [4] Christoph Safferling, International Criminal Procedure (Oxford: Oxford University Press, 2012), 87–88.

5.     [5] Hans Kelsen, General Theory of Law and State (Cambridge: Harvard University Press, 1945), 352.

6.     [6] Ibid., 354.

7.     [7] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 193.

*)Kabais TNI 2011-2013

17 April 2025

Pertahanan Negara di Persimpangan: Membaca Pertentangan Antara UU 3/2002 dan UU 3/2025

Pertahanan Negara di Persimpangan: Membaca Pertentangan Antara UU 3/2002 dan UU 3/2025

Jakarta 17 April 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*

 

Pertahanan Negara Butuh Garis Komando yang Tegas

Dalam negara demokrasi mana pun, pertahanan negara hanya akan kuat bila garis komando antara pembuat kebijakan dan pelaksana operasional jelas dan tidak saling tumpang tindih.

Indonesia sudah mengatur prinsip itu dengan tegas lewat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Pasal 16 ayat (6) UU 3/2002 menyebutkan:
"Menteri Pertahanan menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan oleh Tentara Nasional Indonesia dan komponen pertahanan lainnya."

Sementara itu, untuk operasional militer, Pasal 18 ayat (2) mengatur:
"Panglima TNI menyelenggarakan perencanaan strategi dan operasi militer, pembinaan profesi dan kekuatan militer, serta memelihara kesiagaan operasional."

Artinya:
- Menhan mengatur kebijakan,
- Panglima TNI mengatur dan menjalankan operasional militer,
- Kesiapan alat utama sistem pertahanan berada di tangan Panglima, bukan Menhan.

UU 3/2025 Mengaburkan Garis Ini

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia, Penjelasan Pasal 3 ayat (2) menyebutkan:
"Yang dimaksud dengan 'berada dalam koordinasi Kementerian Pertahanan' adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perencanaan strategis TNI, yang meliputi aspek pengelolaan pertahanan negara, kebijakan penganggaran, pengadaan, pemeliharaan dan/atau perawatan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi industri pertahanan yang diperlukan oleh TNI dan komponen pertahanan lainnya."

Perhatikan bahwa di dalamnya dimasukkan "pemeliharaan dan/atau perawatan" ke dalam ruang koordinasi Menhan.

Padahal menurut Pasal 18 ayat (2) UU 3/2002, pemeliharaan kesiagaan operasional adalah tugas Panglima TNI.

Inilah sumber pertentangan antara UU 3/2002 dan UU 3/2025.

Mengapa Ini Berbahaya?

Dampak dari pertentangan ini sangat serius:
- Tumpang tindih tugas Menhan dan Panglima TNI.
- Kaburnya pertanggungjawaban atas kesiapan alat tempur.
- Pelemahan profesionalitas TNI.
- Risiko lambatnya respons militer di tengah ancaman.

Pertahanan negara membutuhkan keputusan cepat, rantai komando yang tegas, dan tanggung jawab yang jelas.

PP Bukan Solusi, Revisi UU Adalah Keharusan

Ada yang mengusulkan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengatasi masalah ini. Namun secara hukum, itu keliru.

Menurut Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:
"Peraturan pelaksana tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi."

PP tidak boleh mengubah UU. Karena pertentangan terjadi di tingkat UU, satu-satunya solusi adalah revisi UU atau pengujian materiil ke Mahkamah Konstitusi.

Jalan Keluar

1. Revisi UU No. 3 Tahun 2025, menghapus frasa "pemeliharaan dan/atau perawatan" dari ruang lingkup koordinasi Menhan.
2. Pengujian materiil ke Mahkamah Konstitusi bila revisi tidak segera dilakukan.
3. Tegaskan kembali prinsip hubungan sipil-militer:
   - Menhan menetapkan kebijakan strategis,
   - Panglima TNI menjalankan operasional militer.

Penutup

Pertahanan negara adalah urusan keselamatan bangsa. Ia bukan ruang birokrasi, melainkan medan kejelasan, kecepatan, dan ketegasan.

UU 3/2025 membawa pertahanan negara ke persimpangan.

Kita harus bertindak tegas: mengharmonisasi hukum, menjaga garis komando, dan memastikan bahwa di tengah badai ancaman, bangsa Indonesia berdiri kokoh tanpa keraguan siapa yang bertugas dan siapa yang bertanggung jawab.

*) KABAIS TNI 2011-2013

9 April 2025

TANGGAPAN TERHADAP PERNYATAAN MENGENAI PENUGASAN TNI DI BAKAMLA DAN SUPREMASI SIPIL

TANGGAPAN TERHADAP PERNYATAAN MENGENAI PENUGASAN TNI DI BAKAMLA DAN SUPREMASI SIPIL

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.

Pernyataan:

"Dang saya melihat banyak yang tidak tepat mengartikan supremasi sipil. Ini memang kekeliruan faham sejak reformasi 98."

Tanggapan: Pernyataan ini menarik, namun perlu diluruskan. Supremasi sipil bukan sekadar produk Reformasi 1998, melainkan prinsip mendasar dalam sistem negara hukum modern. Konsep ini mengatur bahwa kekuatan militer berada di bawah kendali institusi sipil dalam bingkai hukum, bukan sebaliknya. Jadi, bukan siapa yang memimpin yang menjadi esensi, melainkan bahwa penggunaan kekuatan militer harus tunduk pada hukum dan otoritas sipil yang sah.

Pernyataan:

"Bakamla urusannya dengan keamanan laut. Keamanan laut termasuk keamanan navigasi dari gangguan sabotase, pembajakan, teror, kriminal, penyelundupan barang dan manusia, bea dan cukai, lingkungan hidup dan hayati kemaritiman."

Tanggapan: Kami sepakat bahwa lingkup tugas Bakamla memang terkait dengan keamanan laut yang kompleks. Namun perlu disadari bahwa seluruh gangguan yang disebutkan—pembajakan, penyelundupan, terorisme, hingga pencemaran laut—pada dasarnya adalah tindak pidana.
Maka, pendekatan terhadap masalah ini tetap berada dalam ranah penegakan hukum berdasarkan KUHAP dan peraturan sektoral (Law Enforcemen), bukan operasi militer (Military Operation). Dengan demikian, penugasan prajurit aktif dalam struktur tetap Bakamla perlu mempertimbangkan Pasal 47 UU TNI secara cermat.

Pernyataan:

"Kalau SAR bukan juga organ militer. Tetapi TNI ditugaskan."

Tanggapan: Benar bahwa SAR adalah lembaga sipil, dan dalam praktiknya TNI kerap terlibat dalam operasi SAR. Namun, hal ini sudah diatur secara eksplisit dalam Pasal 47 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004, yang menyebut Search and Rescue Nasional (BASARNAS) sebagai salah satu dari 10 lembaga sipil yang boleh diisi oleh prajurit aktif TNI.
Berbeda dengan itu, Bakamla tidak disebut dalam daftar tersebut, sehingga dasar hukumnya tentu tidak bisa disamakan begitu saja.

Pernyataan:

"Pemahaman presiden pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat laut udara pada UUD adalah dalam konteks pengerahan militer untuk perang dan tugas lain itu bisa sebagai prerogatif presiden."

Tanggapan: Pemahaman ini patut diapresiasi karena menyentuh pasal konstitusi, yaitu Pasal 10 UUD 1945. Namun perlu ditegaskan, meskipun Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas TNI, pelaksanaannya tetap harus merujuk pada undang-undang sesuai ketentuan Pasal 5 UUD 1945.
Dengan kata lain, kekuasaan Presiden tidak berdiri sendiri, melainkan dibatasi dan diarahkan oleh norma hukum, termasuk oleh UU TNI. Karena itu, penugasan prajurit aktif ke lembaga sipil seperti Bakamla harus memenuhi kriteria dan syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Pernyataan:

"Sebetulnya civil supremacy itu adalah supremasi pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Siapapun dia. Seorang jenderal aktif kalau terpilih dalam pemilu dia adalah kuasa supremasi sipil. Jadi tidak dan bukan supremasi orang sipil."

Tanggapan: Gagasan ini menarik namun perlu diberi penekanan bahwa supremasi sipil bukan hanya soal siapa yang dipilih rakyat, melainkan struktur dan prinsip konstitusional yang memastikan bahwa fungsi militer tidak mendominasi ranah sipil.
Konstitusi dan UU TNI mengatur bahwa jika seorang prajurit aktif hendak menduduki jabatan sipil, ia wajib mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu (Pasal 47 ayat 1 UU TNI).
Dengan demikian, legitimasi politik tidak menghapus kewajiban tunduk pada norma hukum.

Pernyataan:

"Bakamla sebagai organ non militer bisa karena kebutuhan dari profesi angkatan maka bisa presiden menugaskan militer sama seperti SAR. Karena dalam SAR belum ada sistem Diklat dan rekrutmen yg memadai makanya diisi militer."

Tanggapan: Alasan kebutuhan praktis tentu bisa dipahami. Namun dalam sistem negara hukum, kebutuhan praktis tidak dapat dijadikan alasan untuk mengesampingkan norma hukum.
Berbeda dengan SAR yang secara eksplisit disebut dalam Pasal 47 ayat (2), Bakamla tidak memiliki dasar hukum sejenis. Maka, jika ada kekurangan dalam sistem pendidikan dan rekrutmen Bakamla, solusinya adalah memperkuat kelembagaan sipil, bukan menugaskan militer di luar koridor hukum.

Pernyataan:

"Jadi sebetulnya semua penugasan militer di luar organisasi militer sudah dipayungi oleh OMSP."

Tanggapan:

Pernyataan ini perlu dikoreksi dan diluruskan secara hukumOMSP (Operasi Militer Selain Perang) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI memang memberikan kerangka operasional pelibatan militer dalam berbagai kegiatan non-perang seperti bantuan kemanusiaan, pengamanan objek vital, atau mengatasi aksi teror.

Namun, penting untuk dipahami bahwa OMSP adalah doktrin operasi militer, bukan dasar legal untuk penempatan struktural prajurit aktif di jabatan sipil. OMSP tidak serta-merta membenarkan penugasan personel TNI secara tetap dan struktural di luar organisasi militer, termasuk di lembaga sipil seperti Bakamla.

Pernyataan:

"Tinggal juklak juknis saja yg hrs dibuat."

Tanggapan:

Pernyataan ini menunjukkan pemahaman yang kurang tepat terhadap hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam sistem hukum Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanganjuklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis)bukanlah dasar hukum yang berdiri sendiri, dan tidak dapat bertentangan atau menggantikan Undang-Undang.

Karena itu, meskipun juklak dan juknis dibuat, substansinya tetap tidak dapat melampaui atau menyimpangi Pasal 47 UU TNI, yang secara tegas menyatakan bahwa:

(1) Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
(2) Prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan pada lembaga tertentu yang disebut secara eksplisit.

Bakamla tidak termasuk dalam daftar tersebut. Maka, tidak mungkin petunjuk teknis dijadikan dasar untuk menempatkan TNI aktif secara tetap di Bakamla.

🔎 Penting: OMSP Harus Berdasarkan Keputusan Politik Negara

Sebagai tambahan yang sangat penting, baik OMP (Operasi Militer untuk Perang) maupun OMSP tidak dapat dilaksanakan secara sepihak oleh TNI, melainkan harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

📘 Pasal 7 ayat (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI:

"Pelaksanaan kebijakan dan keputusan politik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh TNI berdasarkan keputusan politik negara."

Lalu, dijelaskan lebih lanjut dalam:

📌 Penjelasan Pasal 5 UU TNI:

“Yang dimaksud dengan kebijakan dan keputusan politik negara adalah kebijakan dan keputusan Presiden selaku Kepala Negara yang ditetapkan setelah mendapatkan persetujuan DPR, atau kebijakan dan keputusan Presiden yang dibahas bersama DPR sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Artinya:

  • Pelibatan TNI di luar struktur militer, termasuk dalam OMSP, harus berdasarkan keputusan politik negara dalam bentuk Perpres, Keppres, atau keputusan Presiden yang dibahas bersama DPR.
  • Sampai hari ini, tidak ada keputusan politik negara yang secara eksplisit menetapkan Bakamla sebagai lembaga pelibatan TNI aktif secara permanen.
  • Maka, pelibatan personel TNI aktif secara struktural di Bakamla tanpa dasar keputusan politik negara yang sah, melanggar Pasal 7 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 5 UU TNI.

Kesimpulan Tanggapan

  1. OMSP adalah doktrin operasi militer, bukan dasar hukum penempatan struktural TNI di lembaga sipil.
  2. Pelaksanaan OMSP harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 5 UU TNI.
  3. Juklak dan juknis bukan dasar hukum yang dapat menggantikan atau melanggar undang-undang.
  4. Penempatan prajurit aktif di Bakamla tanpa alih status atau tanpa keputusan politik negara adalah tidak sah secara hukum.
  5. Satu-satunya jalan yang sesuai hukum adalah:
    • Personel TNI ditarik kembali ke kesatuannya, atau Diajukan alih status menjadi ASN secara legal dan administratif.

Penutup

Berdasarkan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU TNI, serta prinsip-prinsip hukum yang berlaku, penugasan prajurit TNI aktif secara permanen ke Bakamla tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Bakamla bukan termasuk 10 lembaga yang secara eksplisit disebut dalam pengecualian, dan tidak ada Perpres yang mengatur penugasan prajurit aktif ke Bakamla.

Oleh karena itu, langkah yang paling konstitusional dan sesuai hukum adalah:

  • Menarik personel militer aktif dari Bakamla, atau
  • Melakukan alih status menjadi ASN melalui mekanisme yang sah.

Pernyataan yang menyarankan penarikan personel TNI dari Bakamla bukan hanya tepat, tetapi juga sesuai dengan prinsip negara hukum, asas kepastian hukum, dan penghormatan terhadap konstitusi

PERTENTANGAN RUU PERUBAHAN UU POLRI DENGAN UUD 1945

PERTENTANGAN RUU PERUBAHAN UU POLRI DENGAN UUD 1945

Jakarta 09 April 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

I. PENDAHULUAN

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah diajukan sebagai bentuk penyesuaian terhadap dinamika sosial, teknologi, dan perkembangan hukum. Namun demikian, terdapat sejumlah ketentuan dalam RUU tersebut yang menimbulkan potensi pertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. RUU ini perlu diuji secara mendalam karena menyangkut prinsip dasar negara hukum, pembagian kekuasaan, hak asasi manusia, dan tatanan sistem hukum nasional.

Selain itu, ditemukan bahwa dalam RUU ini tidak secara eksplisit diatur mengenai sumber pembiayaan Polri dari APBN sebagaimana semestinya ditegaskan dalam undang-undang kelembagaan negara. Hal ini kontras dengan pengaturan mengenai Kompolnas yang justru secara jelas disebutkan mendapatkan anggaran dari APBN.

Potensi Bahaya:

  • Mengabaikan prinsip akuntabilitas keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa semua pengeluaran negara harus ditetapkan dalam APBN.
  • Berpotensi membuka celah pendanaan non-APBN yang tidak dapat diawasi oleh DPR maupun BPK.
  • Melemahkan prinsip transparansi dan pengawasan terhadap belanja aparat penegak hukum.
  • Bertentangan dengan asas negara hukum dan prinsip budgetary control oleh parlemen.
  • Menimbulkan kekaburan mengenai legitimasi operasional dan anggaran institusi kepolisian yang memiliki kewenangan represif.

Dengan tidak disebutkannya pengaturan eksplisit mengenai anggaran Polri dari APBN, maka terdapat risiko serius munculnya sumber-sumber pembiayaan alternatif yang tidak akuntabel serta menimbulkan konflik kepentingan atau bahkan potensi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi struktural.

1. Potensi Konsentrasi Kewenangan Tanpa Mekanisme Checks and Balances

RUU memberikan kewenangan luas kepada Polri dalam bidang:

  • Intelijen keamanan (Intelkam) termasuk pengumpulan informasi, deteksi dini, pengawasan aliran dana,
  • Penindakan di ruang siber,
  • Penyadapan.

🔍 Masalah Konstitusional:

  • RUU ini berpotensi menimbulkan konsentrasi kekuasaan dalam satu institusi, yaitu Polri.
  • Ini bertentangan dengan asas checks and balances dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”

🔧 Catatan Hukum:

  • Tindakan intelijen, penyadapan, dan pemblokiran ruang siber adalah kewenangan yang secara prinsip harus tunduk pada mekanisme peradilan, tidak boleh dilakukan secara bebas.

2. Perluasan Wewenang Polri ke Luar Negeri dan Ruang Siber Tanpa Landasan Konstitusional.

RUU memperluas yurisdiksi Polri hingga:

  • Perwakilan RI di luar negeri,
  • Kapal dan pesawat berbendera Indonesia di wilayah internasional,
  • Ruang Siber.

🔍 Masalah Konstitusional:

  • UUD 1945 tidak memberi mandat eksplisit kepada Polri untuk menjalankan fungsi di luar batas teritorial nasional.
  • Hal ini berpotensi bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara lain, serta prinsip non-intervensi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan persetujuan DPR.

3. Dominasi Polri atas Penyidik Lain Mengikis Independensi Institusi

Pasal 16 dan Pasal 14 RUU menyebutkan Polri memiliki:

  • Kewenangan membina, mengawasi, dan mengendalikan penyidik lain (PPNS, penyidik lembaga khusus),
  • Kewenangan menerima, menolak, atau memberi petunjuk kepada penyidik lembaga lain.

🔍 Masalah Konstitusional:

  • Ini berpotensi mereduksi independensi lembaga-lembaga negara lain, misalnya KPK, Kejaksaan, dan lembaga administrasi sektoral lainnya termasuk penyidik TNI AL.
  • Bertentangan dengan semangat Pasal 24 UUD 1945 mengenai kekuasaan kehakiman yang bebas dari intervensi lembaga lain, serta mengaburkan pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif.

4. Usia Pensiun dan Jabatan Polri: Celah untuk Kepentingan Kekuasaan

RUU memperpanjang usia pensiun perwira tinggi Bintang empat dan pejabat fungsional hingga 65 tahun melalui Keputusan Presiden.

🔍 Masalah Konstitusional:

  • Ini membuka ruang politisasi jabatan Polri, khususnya jika proses perpanjangan tidak disertai kontrol lembaga lain.
  • Bertentangan dengan asas meritokrasi dan sistem rotasi kepemimpinan yang sehat, serta tidak sesuai dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

5. Ancaman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)

Beberapa kewenangan dalam RUU berpotensi melanggar:

  • Hak atas privasi (penyadapan, pengawasan dana),
  • Hak atas informasi dan kebebasan berekspresi (pemutusan akses ruang siber),
  • Prinsip due process of law (tindakan cepat tanpa pengawasan yudisial).

🔍 Masalah Konstitusional:

  • Bertentangan dengan Pasal 28G dan 28I UUD 1945, yang menjamin:
    • Perlindungan atas diri pribadi dan informasi pribadi,
    • Hak untuk bebas dari perlakuan yang sewenang-wenang.

🎯 KESIMPULAN

RUU Perubahan Ketiga atas UU Polri memuat penguatan kelembagaan yang penting. Namun, dari perspektif konstitusional, terdapat sejumlah pasal yang:

  • Berpotensi melanggar prinsip negara hukum dan demokrasi konstitusional,
  • Melemahkan prinsip pemisahan kekuasaan dan independensi kelembagaan,
  • Menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia jika tidak dibarengi mekanisme pengawasan yudisial dan legislatif yang ketat.

Saran:

  • Penataan ulang pasal-pasal yang mengatur wewenang intelijen, ruang siber, penyadapan, dan pengawasan lembaga lain.
  • Perlu mekanisme kontrol oleh DPR dan Mahkamah Agung, termasuk melalui Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang transparan dan akuntabel.
  • Perlu penambahan pasal yang mengatur bahwa seluruh kegiatan Polri dibiayai dari APBN.

*)Kabais TNI 2011-2013