3 April 2025

SURAT TERBUKA Kepada Yth. Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jendral TNI Agus Subiyanto Di Tempat

SURAT TERBUKA

Kepada Yth.
Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jendral TNI Agus Subiyanto
Di Tempat

Tembusan:
Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali

Perihal: Penegasan Konstitusionalitas Penempatan Personel Militer Aktif dalam Institusi Keamanan Laut

Dengan hormat,

Melalui surat terbuka ini, izinkan kami menyampaikan pandangan dan keprihatinan mendalam atas perkembangan terakhir terkait revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), khususnya pasal-pasal yang mengatur tentang penempatan prajurit aktif dalam institusi Keamanan Laut.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa:

“Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.”

Pasal ini secara jelas dan limitatif menyebut bahwa hanya tiga angkatanAD, AL, dan AU—yang diakui sebagai institusi militer resmi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Artinya, tidak ada ruang konstitusional bagi pembentukan institusi militer baru di luar ketiga angkatan tersebut, termasuk yang mungkin dinamakan “Keamanan Laut”.

Dalam konteks ini, kami menilai bahwa ketentuan dalam revisi UU TNI yang memperbolehkan militer aktif untuk ditempatkan di institusi keamanan laut memiliki potensi tafsir yang berbahaya. Jika penempatan tersebut dimaknai sebagai bentuk pembentukan institusi militer baru yang menjalankan fungsi keamanan secara operasional di laut, maka itu berarti telah terjadi perluasan struktur militer yang bertentangan dengan Pasal 10 UUD 1945.

Dengan demikian, institusi keamanan laut yang dapat ditempati oleh militer aktif dapat ditafsirkan sebagai institusi militer baru, dan karenanya bertentangan secara langsung dengan UUD 1945. Untuk tetap sejalan dengan konstitusi dan menjaga supremasi hukum, institusi keamanan laut yang akan dibentuk atau dijalankan ke depan haruslah merupakan institusi sipil, bukan militer. Dan sebagai institusi sipil, ia tidak boleh diisi atau dipimpin oleh personel militer aktif.

Bakamla sebagai Institusi Sipil Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014

Perlu ditegaskan bahwa Badan Keamanan Laut (Bakamla) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, tepatnya diatur dalam Pasal 59 hingga Pasal 66. Secara kelembagaan, Bakamla berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang merupakan kementerian sipil. Dengan demikian, berdasarkan dasar hukum pendiriannya maupun posisi strukturalnya, Bakamla merupakan institusi sipil, bukan bagian dari militer atau TNI.

Meskipun dalam pelaksanaan tugasnya Bakamla selalu melibatkan personel aktif dari TNI, hal tersebut tidak menjadikan Bakamla sebagai institusi militer, karena tidak berada dalam struktur organisasi TNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UUD 1945, yang menyatakan bahwa hanya Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara yang berada di bawah kekuasaan militer tertinggi Presiden.

Oleh sebab itu, segala upaya untuk menempatkan personel militer aktif di Bakamla tanpa alih status, apalagi jika dijadikan struktur komando operasional militer, adalah tindakan yang bertentangan dengan asas konstitusionalitas dan prinsip supremasi sipil dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Oleh karena itu, kami menyampaikan beberapa seruan penting:

  1. Seluruh personel militer aktif yang saat ini ditempatkan di Bakamla harus segera dikembalikan ke satuan asalnya, khususnya TNI AL, atau mengajukan alih status menjadi pegawai sipil apabila ingin tetap melanjutkan tugasnya di sektor keamanan laut.
  2. Pemerintah bersama TNI perlu memastikan bahwa institusi keamanan laut yang dimaksud dalam UU TNI yang baru tidak melanggar batas konstitusi, dan tetap berada dalam kerangka supremasi sipil.
  3. Segala bentuk penugasan militer aktif di luar struktur TNI yang sah menurut konstitusi harus ditertibkan, guna menghindari terjadinya pelanggaran prinsip negara hukum dan supremasi konstitusi.

Kami percaya bahwa Bapak Panglima TNI dan KSAL memiliki komitmen tinggi terhadap profesionalitas, kepatuhan hukum, dan kehormatan konstitusi. Karena itu, kami berharap penataan struktur keamanan laut Indonesia ke depan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan mengedepankan semangat konstitusionalisme.

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan sebagai kontribusi terhadap penguatan sistem hukum dan tata kelola pertahanan yang taat asas di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hormat kami,

JAKARTA 3 APRIL 2025

Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM , CPARB

 

Bakamla dan Panglima TNI: Saatnya Personel Militer Aktif Mundur demi Tegaknya Konstitusi

Jakarta 3 april 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

Pernyataan tegas Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto baru-baru ini telah menggugah perhatian publik dan para pemangku kepentingan, khususnya terkait penugasan personel militer aktif di lembaga-lembaga sipil. Panglima menekankan bahwa prajurit aktif yang menduduki jabatan di instansi dan lembaga sipil wajib mengundurkan diri atau pensiun dini, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Ketentuan ini secara jelas menyatakan dalam Pasal 47 ayat (1):

“Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.”

Hanya pada ayat (2) diberikan pengecualian terbatas, yaitu untuk jabatan di Kemenko Polhukam, Kementerian Pertahanan, Sekmil Presiden, BIN, BSSN, Lemhannas, Wantannas, SAR Nasional, BNN, dan Mahkamah AgungTidak satu pun menyebut Bakamla sebagai lembaga yang boleh diisi oleh prajurit aktif.

Bakamla: Institusi Sipil di Bawah KKP

Badan Keamanan Laut (Bakamla) selama ini berada dalam struktur sipil, yaitu di bawah koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Dengan kedudukan seperti itu, Bakamla bukanlah lembaga militer. Namun kenyataannya, dalam beberapa tahun terakhir, banyak posisi strategis Bakamla justru diisi oleh perwira aktif TNI, khususnya dari matra laut.

Keberadaan prajurit aktif di lembaga sipil yang tidak diatur sebagai pengecualian dalam UU TNI merupakan pelanggaran hukum. Bahkan kini, dengan penegasan Panglima TNI, status mereka bukan hanya ilegal, tetapi juga harus segera diakhiri. Panglima telah memberikan pilihan tegas: mengundurkan diri dari dinas aktif atau kembali ke kesatuan asal.

Masalah Serius: Penggunaan Nama Coast Guard Tanpa Dasar Hukum

Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, posisi Bakamla menjadi semakin bermasalah karena pada kapal-kapalnya, Bakamla menggunakan sebutan "Indonesian Coast Guard". Penggunaan nama tersebut tidak memiliki dasar hukum, karena istilah Coast Guard tidak pernah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, maupun dalam peraturan perundang-undangan nasional lainnya.

Hal ini menjadi masalah serius dalam perspektif hukum internasional. Mengapa? Karena secara global, "Coast Guard" diasosiasikan sebagai lembaga nasional yang sah, resmi, dan bertanggung jawab di bidang keselamatan dan penegakan hukum maritim, baik dalam hukum nasional maupun konvensi internasional seperti UNCLOS 1982. Ketika Bakamla menggunakan label tersebut tanpa dasar hukum nasional, maka:

  • Indonesia dianggap memalsukan legitimasi kelembagaan;
  • Tindakan Bakamla dapat dikualifikasikan sebagai penyesatan publik internasional (public deception);
  • Dan lebih jauh lagi, berpotensi mempermalukan nama baik Indonesia di forum-forum internasional.

Mendesak: Revisi Total Status Personel dan Legitimasi Kelembagaan

Dalam kondisi saat ini, langkah segera dan tegas harus diambil:

  1. Seluruh personel militer aktif di Bakamla harus mengundurkan diri atau kembali ke TNI, sesuai perintah Panglima TNI dan amanat Pasal 47 UU TNI.
  2. Pemerintah dan DPR harus segera menata ulang dasar hukum dan nomenklatur Bakamla, termasuk penghapusan penggunaan istilah Coast Guard pada kapal-kapal Bakamla jika tidak dimuat secara legal dalam undang-undang nasional.

Ketaatan Hukum Adalah Wujud Pengabdian Tertinggi

TNI adalah institusi kehormatan. Maka, ketaatan pada konstitusi dan undang-undang bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi bagian dari semangat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Tidak seharusnya prajurit aktif ditempatkan pada posisi yang menyalahi hukum, terlebih dalam institusi sipil yang secara keliru menyematkan gelar "Coast Guard".

Saatnya semua pihak—terutama TNI, KKP, dan pembuat undang-undang—menyudahi kebingungan kelembagaan ini dan mengembalikan posisi Indonesia sebagai negara hukum yang konsisten dan kredibel di mata dunia.

Menimbang Konstitusionalitas Institusi Keamanan Laut: Antara Revisi UU TNI dan Amanat UUD 1945

Perdebatan mengenai institusi keamanan laut kembali mencuat pasca revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam revisi tersebut, disebutkan bahwa militer aktif dapat ditempatkan di institusi keamanan laut, yang memunculkan tanda tanya besar: apakah ini berarti pembentukan institusi militer baru di luar Angkatan Darat, Laut, dan Udara?

Untuk menjawabnya, kita harus kembali kepada konstitusi sebagai hukum dasar negara, khususnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

UUD 1945: Institusi Militer Hanya AD, AL, dan AU

Dalam Pasal 10 UUD 1945, ditegaskan bahwa:

“Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.”

Frasa tersebut sangat eksplisit dan limitatif: hanya tiga angkatan yang diakui secara konstitusional sebagai komponen kekuatan militer Indonesia, yaitu Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Dengan demikian, tidak ada ruang konstitusional untuk pembentukan institusi militer keempat, termasuk yang mungkin disebut sebagai “Keamanan Laut” dalam bentuk militeristik.

Bakamla dan Konsekuensi Konstitusional

Badan Keamanan Laut (Bakamla) dibentuk berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, dan secara struktural berada di bawah koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sebagai badan sipil, Bakamla seharusnya bersifat non-militer. Namun, dalam praktiknya selama ini, Bakamla banyak diisi oleh personel TNI aktif, khususnya dari TNI AL.

Dengan adanya revisi UU TNI, yang pada satu sisi membuka ruang penempatan militer aktif di “institusi keamanan laut”, maka muncul potensi benturan dengan Pasal 10 UUD 1945. Jika penempatan tersebut diartikan sebagai bentuk institusi militer baru yang independen, maka ini jelas bertentangan dengan konstitusi, karena hanya AD, AL, dan AU yang diakui secara konstitusional

Artinya, Bakamla tidak mungkin dan tidak boleh menjadi institusi militer. Maka secara logika hukum dan tata negara, institusi “Keamanan Laut” yang dimaksud dalam revisi UU TNI hanya sah apabila berbentuk institusi sipil, bukan militer. Jika tidak, maka keberadaan dan kewenangannya berpotensi inkonstitusional. Dan bila institusi sipil maka tidak dibenarkan di tempati oleh personil militer aktif. Dengan demikian personil militer aktif Bakamla pun tidak bisa mengawaki intitusi ‘Keamanan Laut” bila nanti dibentuk. Dan perlu diingat juga bahwa Indonesia tidak menganut sistim para militer. Tidak ada satu Undang-undangpun yang mengatur para militer. Dengan kata lain para militer di Indonesia itu inkonstitusional.

Implikasi bagi Personel Bakamla

Situasi ini menimbulkan implikasi serius terhadap status personel Bakamla yang berasal dari militer aktif. Berdasarkan semangat konstitusi dan substansi UU TNI yang telah direvisi, penempatan militer aktif di lembaga sipil tidak lagi diperbolehkan.

Dengan demikian, maka seluruh personel militer aktif yang saat ini bertugas di Bakamla harus segera memilih:

  1. Kembali ke satuan asalnya, yakni ke TNI AD, AL, atau AU sesuai rekrutmen asal; atau
  2. Melakukan alih status menjadi pegawai sipil apabila ingin tetap mengabdi di sektor keamanan laut.

Langkah ini harus segera dilakukan sambil menunggu pembentukan atau penegasan kelembagaan dari institusi “Keamanan Laut” yang disebut dalam UU TNI terbaru.

Kesimpulan: Menjaga Konsistensi Konstitusi

Penting untuk menekankan bahwa dalam negara hukum, segala bentuk organisasi negara harus tunduk pada UUD 1945. Dalam konteks ini, revisi UU TNI yang menyebut “Keamanan Laut” tidak boleh dimaknai sebagai pendirian institusi militer baru, karena itu akan melanggar Pasal 10 UUD 1945.

Oleh sebab itu, institusi keamanan laut—apapun bentuk dan namanya—harus bersifat sipil, dan disusun dengan prinsip profesionalitas, supremasi sipil, serta akuntabilitas publik. Pemerintah perlu mempercepat penataan ini agar tidak terjadi kekacauan hukum dan dualisme otoritas di laut Indonesia. Dan yang terpenting, tidak diawaki oleh personil militer aktif.

*)Kabais TNI 2011-2013