20 Agustus 2024

Pertentangan Revisi Pasal 1 Angka 59 UU No. 17/2008 Tentang Pelayaran dengan Kompetensi Absolut Kementerian Perhubungan: Implikasi Hukum dan Potensi Judicial Review

Pertentangan Revisi Pasal 1 Angka 59 UU No. 17/2008 Tentang Pelayaran dengan Kompetensi Absolut Kementerian Perhubungan: Implikasi Hukum dan Potensi Judicial Review

 Jakarta 20 Agustus 2024

oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb *)

I. Pendahuluan

Revisi Pasal 1 Angka 59 dalam UU No. 17/2008 tentang Pelayaran membawa konsekuensi besar, baik dari segi pengaturan keselamatan pelayaran maupun kompetensi lembaga-lembaga terkait, khususnya Kementerian Perhubungan. Selain bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UU No. 17/2008, revisi ini juga bertabrakan dengan prinsip kompetensi absolut yang dimiliki oleh Kementerian Perhubungan, khususnya dalam hal pengaturan, pengawasan, dan penegakan hukum di laut. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah serius terkait pengelolaan keselamatan dan keamanan laut.

Akibat dari revisi ini tidak hanya menciptakan kekosongan hukum dalam penegakan keselamatan maritim, tetapi juga berpotensi melanggar asas kompetensi absolut, yang pada akhirnya dapat membuka ruang untuk dilakukan Judicial Review (uji materi) di Mahkamah Konstitusi.

Makalah ini akan mengelaborasi lebih detil mengenai implikasi revisi Pasal 1 Angka 59 terhadap kompetensi absolut Kementerian Perhubungan, serta menjelaskan potensi Judicial Review yang dapat diakibatkan oleh pertentangan antara revisi tersebut dengan berbagai pasal terkait dan keinginan Presiden Joko Widodo.

 

II. Paragraf 14 Penjelasan UU No. 17/2008 Tentang Pelayaran

Dalam penjelasan Paragraf 14 UU No. 17/2008 tentang Pelayaran, disebutkan secara eksplisit bahwa Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) dibentuk sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas penjagaan keamanan dan keselamatan di laut. Lembaga ini memiliki peran strategis dalam menegakkan hukum di perairan Indonesia, yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional berada di bawah Kementerian Perhubungan.

Tujuan dari penjelasan Paragraf 14 ini adalah untuk memastikan adanya satu lembaga yang memiliki tanggung jawab penuh dalam menjaga keselamatan dan penegakan hukum di laut, mencegah tumpang tindih kewenangan, dan menciptakan sistem yang lebih terkoordinasi dalam pengelolaan perairan nasional.

Namun, dengan adanya Revisi Pasal 1 Angka 59, fungsi Penjaga Laut dan Pantai diubah menjadi Pengawas Pelayaran, yang hanya memiliki kewenangan administratif dalam pengawasan pelayaran. Revisi ini secara langsung mengabaikan fungsi-fungsi strategis yang diamanatkan oleh Paragraf 14, dan mempersempit ruang lingkup kewenangan lembaga tersebut.

 

III. Pertentangan Revisi Pasal 1 Angka 59 dengan Pasal-Pasal Lain dalam UU No. 17/2008 Tentang Pelayaran

 

1. Pertentangan dengan Pasal 276

Pasal 276 menyebutkan bahwa Penjaga Laut dan Pantai memiliki kewenangan strategis dalam menjaga keselamatan dan keamanan di laut serta melakukan penegakan hukum. Dalam Pasal ini, peran Penjaga Laut dan Pantai mencakup pengawasan terhadap pelanggaran hukum di laut, serta memberikan perlindungan bagi perairan Indonesia dari ancaman kriminalitas dan pencemaran laut.

Namun, Revisi Pasal 1 Angka 59 mempersempit fungsi Penjaga Laut dan Pantai menjadi hanya Pengawas Pelayaran, yang tidak memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum di laut atau menangani isu-isu keamanan. Ini bertentangan dengan Pasal 276, yang menuntut adanya kewenangan lebih luas untuk menjaga keselamatan dan keamanan maritim.

 

2. Pertentangan dengan Pasal 277

Pasal 277 memberikan tanggung jawab kepada Penjaga Laut dan Pantai untuk mengawasi keselamatan pelayaran, pencemaran laut, lalu lintas kapal, serta mendukung eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut. Lembaga ini juga berperan dalam melakukan pencarian dan penyelamatan di laut.

Revisi Pasal 1 Angka 59 sama sekali tidak mencakup peran-peran penting tersebut. Pengawas Pelayaran, sebagaimana diatur dalam revisi, hanya mengurusi hal-hal administratif terkait peraturan pelayaran, tanpa adanya kewenangan untuk melakukan patroli atau penanganan keselamatan di laut. Ini menimbulkan kesenjangan besar antara revisi dengan tujuan Pasal 277. 

3. Pertentangan dengan Pasal 278

Pasal 278 memberikan kewenangan penuh kepada Penjaga Laut dan Pantai untuk melakukan patroli laut, pemberhentian kapal, pengejaran seketika (hot pursuit), serta penyidikan atas pelanggaran di laut. Ini termasuk dalam lingkup operasional lembaga yang sangat luas, di mana penegakan hukum menjadi bagian utama.

Revisi Pasal 1 Angka 59 tidak memberikan kewenangan untuk melakukan patroli atau penegakan hukum di laut. Pengawas Pelayaran hanya diatur sebagai lembaga pengawas administratif, yang jelas bertentangan dengan Pasal 278.

4. Pertentangan dengan Pasal 279

Pasal 279 mengatur bahwa Penjaga Laut dan Pantai harus dilengkapi dengan prasarana dan armada yang memadai, termasuk kapal dan pesawat udara negara, untuk menjalankan tugasnya menjaga keamanan dan keselamatan di laut. Dukungan infrastruktur yang memadai menjadi krusial dalam memastikan efektivitas lembaga ini.

Namun, revisi Pasal 1 Angka 59 tidak menyebutkan adanya prasarana atau armada untuk Pengawas Pelayaran, yang membatasi fungsi lembaga tersebut hanya pada pengawasan administratif, tanpa dukungan sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan tugas operasional. Ini menciptakan disparitas besar dalam kesiapan operasional lembaga yang diatur dalam Pasal 279.

5. Pertentangan dengan Pasal 280 dan Pasal 281

Pasal 280 mengatur bahwa petugas yang tidak menggunakan atau menunjukkan identitas yang jelas saat bertugas akan dikenakan sanksi administratif. Sementara itu, Pasal 281 menyatakan bahwa tata kerja Penjaga Laut dan Pantai akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah.

Revisi Pasal 1 Angka 59 tidak memberikan ketentuan terkait penggunaan identitas atau sanksi administratif bagi pelanggaran. Pengawas Pelayaran hanya diatur sebagai lembaga administratif tanpa ruang untuk pengembangan operasional lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 281.

IV. Akibat Revisi Terhadap Kompetensi Absolut Kementerian Perhubungan

Revisi Pasal 1 Angka 59 berdampak langsung terhadap kompetensi absolut Kementerian Perhubungan, yang selama ini memiliki kewenangan penuh dalam pengaturan keselamatan pelayaran, penegakan hukum di laut, dan koordinasi lintas lembaga. Dengan adanya revisi ini, terdapat beberapa dampak serius terhadap kompetensi Kementerian Perhubungan:

  1. Pengurangan Kewenangan: Revisi ini secara langsung mengurangi peran Kementerian Perhubungan dalam pengawasan maritim, karena Pengawas Pelayaran hanya diatur sebagai lembaga administratif. Kewenangan untuk melakukan patroli, penyelidikan, dan penegakan hukum di laut yang seharusnya berada di bawah Penjaga Laut dan Pantai, kini tidak lagi berada di bawah kendali Kementerian.
  2. Potensi Tumpang Tindih Kewenangan: Dengan terbatasnya kewenangan Kementerian Perhubungan dalam hal penegakan hukum di laut, ada potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Perhubungan,  dan TNI AL. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan dalam implementasi kebijakan maritim dan menurunkan efektivitas penegakan hukum di laut.
  3. Minimnya Koordinasi: Revisi ini mengurangi peran koordinasi lintas lembaga yang selama ini dipegang oleh Kementerian Perhubungan. Tanpa kewenangan strategis dalam hal penegakan hukum, koordinasi antara Kementerian Perhubungan dengan lembaga-lembaga lain di laut menjadi semakin lemah, yang pada akhirnya dapat memengaruhi upaya nasional dalam menjaga keselamatan dan keamanan di laut.
  4. Ancaman Terhadap Kedaulatan Maritim: Dengan berkurangnya kompetensi Kementerian Perhubungan dan lemahnya koordinasi antar lembaga, Indonesia dapat menghadapi risiko terhadap kedaulatan maritim. Keamanan perairan yang longgar dapat memunculkan peluang bagi aktivitas ilegal seperti perompakan, penyelundupan, pencurian ikan, dan pencemaran laut.

V. Potensi Judicial Review di Mahkamah Konstitusi

Mengacu pada berbagai pertentangan yang diuraikan di atas, terutama yang terkait dengan kompetensi absolut Kementerian Perhubungan, revisi ini sangat mungkin untuk diajukan ke Mahkamah Konstitusi melalui Judicial Review. Ada beberapa alasan kuat yang dapat mendukung proses ini:

  1. Inkonstitusionalitas Revisi: Revisi yang membatasi kewenangan lembaga yang diatur dalam UU Pelayaran dapat dianggap bertentangan dengan asas kepastian hukum, yang diatur dalam Pasal 28D UUD 1945. Sebagai lembaga dengan kompetensi absolut, Kementerian Perhubungan memiliki tanggung jawab utama dalam menjaga keselamatan dan keamanan di laut, yang tidak boleh dihapuskan melalui revisi undang-undang yang bersifat administratif.
  2. Kekosongan Hukum: Revisi Pasal 1 Angka 59 menciptakan kekosongan hukum dalam pengaturan keselamatan pelayaran dan penegakan hukum di laut. Tanpa adanya lembaga yang memiliki kewenangan penuh dalam hal ini, fungsi-fungsi penting yang diatur dalam UU Pelayaran tidak dapat berjalan dengan efektif.
  3. Pertentangan dengan Visi Presiden: Keinginan Presiden Joko Widodo untuk membentuk Bakamla sebagai Coast Guard yang memiliki kewenangan luas di laut juga dapat dijadikan sebagai argumen dalam Judicial Review, karena revisi ini bertentangan dengan arah kebijakan Presiden.

VI. Kesimpulan

Revisi Pasal 1 Angka 59 UU No. 17/2008 tentang Pelayaran tidak hanya bertentangan dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang yang sama, tetapi juga berdampak langsung terhadap kompetensi absolut Kementerian Perhubungan. Pengurangan kewenangan Kementerian Perhubungan dalam pengawasan maritim, potensi tumpang tindih kewenangan, dan lemahnya koordinasi lintas lembaga dapat berdampak buruk pada keselamatan dan keamanan di laut.

Keinginan Presiden Joko Widodo untuk memperkuat Bakamla sebagai Coast Guard Indonesia juga bertentangan dengan arah revisi ini, yang justru mempersempit fungsi lembaga pengawas. Oleh karena itu, terdapat dasar yang kuat untuk membawa revisi ini ke Mahkamah Konstitusi melalui Judicial Review, guna mengembalikan fungsi dan kewenangan yang lebih strategis kepada Kementerian Perhubungan serta memastikan kepastian hukum dalam pengelolaan perairan Indonesia.

*)KABAIS TNI 2011 - 2013

18 Agustus 2024

Buyarnya Mimpi Jokowi : Harapan Indonesia untuk Memiliki Coast Guard Bertaraf Internasional

Buyarnya Mimpi Jokowi : Harapan Indonesia untuk Memiliki Coast Guard Bertaraf Internasional

 

Jakarta 18 Agustus 2024

Oleh:

Laksda TNI (purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb *)

 

Pada bulan Februari 2014, Presiden Joko Widodo memberikan instruksi kepada Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla), Laksamana Madya Aan Kurnia, dengan harapan besar untuk mengubah Bakamla menjadi sebuah Coast Guard Indonesia yang kuat dan setara dengan Coast Guard negara-negara maju. Presiden Jokowi menggarisbawahi bahwa Bakamla adalah embrio dari Coast Guard yang diimpikannya. Sayangnya, setelah sepuluh tahun berlalu, harapan tersebut belum terwujud. Sebentar lagi masa jabatan Presiden Jokowi akan berakhir, namun satu perintah penting ini masih belum berhasil dilaksanakan.

Salah satu hal yang menjadi tolok ukur internasional dalam pembentukan sebuah Coast Guard adalah memiliki kewenangan penuh sebagai penegak hukum, yang termasuk kewenangan sebagai penyidik. Namun, mimpi ini tampaknya semakin jauh dari kenyataan. Revisi kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mengusulkan bahwa Coast Guard akan berada langsung di bawah Presiden, tetapi konsekuensinya tidak akan memiliki kewenangan sebagai penyidik. Ini menimbulkan masalah besar, karena tanpa kewenangan penyidik, Coast Guard Indonesia tidak akan dapat berfungsi sebagaimana mestinya sebagai penegak hukum di laut. Situasi ini serupa dengan yang terjadi bagi Bakamla saat ini, yang juga berada langsung di bawah Presiden tetapi tidak memiliki kewenangan penyidik.

 

Perubahan Nama dan Fungsi: Dari "Coast Guard" ke "Pengawas Pelayaran"

Pada tanggal 16 Agustus 2024, pembahasan mengenai revisi ketiga Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran berlangsung di Kementerian Perhubungan. Salah satu poin menarik dalam revisi ini adalah perubahan Pasal 1 Ayat 59, yang secara mendasar mengubah nama "Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard)" menjadi "Pengawas Pelayaran." Sebelumnya, Pasal 1 Ayat 59 dalam UU Pelayaran menyebutkan bahwa Penjagaan Laut dan Pantai bertanggung jawab atas keselamatan dan penegakan hukum di laut dan pantai, serta berada langsung di bawah Presiden. Namun, dalam revisi ketiga, fungsi tersebut diubah menjadi "Pengawas Pelayaran," yang berfokus hanya pada pengawasan pelayaran dan tidak lagi disebut sebagai Coast Guard.

Perubahan ini tidak hanya menyederhanakan peran Coast Guard menjadi sekadar pengawas, tetapi juga menghilangkan harapan Indonesia untuk memiliki institusi yang berfungsi seperti Coast Guard di negara-negara lain. Apabila revisi ini disetujui, maka kapal yang digunakan oleh institusi ini tentunya akan disebut "Kapal Pengawas Pelayaran," yang serupa dengan "Kapal Pengawas Perikanan" milik Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini tentu menjadi sebuah ironi, mengingat mimpi Presiden Jokowi adalah untuk memiliki Coast Guard yang bertaraf internasional, namun kenyataannya Indonesia justru akan memiliki Pengawas Pelayaran tanpa kewenangan penyidik.

 

Dilema Hukum: Coast Guard Tanpa Kewenangan Penyidik

Jika revisi kedua UU 17/2008 tentang Pelayaran yang mengatur Coast Guard disetujui, maka Coast Guard Indonesia akan tetap berada langsung di bawah Presiden tetapi tanpa kewenangan sebagai penyidik. Hal ini menjadi masalah besar, karena kewenangan penyidik adalah salah satu elemen penting yang harus dimiliki oleh institusi penegak hukum di laut. Hal serupa juga terjadi pada Bakamla, yang meskipun berada langsung di bawah Presiden, tidak memiliki kewenangan penyidik sehingga tidak dapat menjalankan fungsi penegakan hukum dengan optimal. Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut yang sangat luas, membutuhkan institusi yang kuat dan berdaya guna untuk menjaga keamanan serta menegakkan hukum di laut. Sayangnya, dengan tidak dimilikinya kewenangan penyidik personal Coast Guard, fungsi penting ini tidak dapat dijalankan dengan baik.

 

Apa yang Harus Dilakukan untuk Mewujudkan Mimpi Presiden Jokowi?

Untuk mewujudkan mimpi besar Presiden Jokowi agar Indonesia memiliki Coast Guard bertaraf internasional, ada satu langkah sederhana namun krusial yang bisa diambil: Presiden Jokowi bisa mengeluarkan dekrit presiden untuk Kembali ke Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran versi aslinya. Dengan melakukan hal ini, Coast Guard Indonesia akan lahir sebagai institusi yang memiliki kewenangan penuh sebagai penegak hukum, termasuk kewenangan penyidik. Ini adalah momen yang sangat penting dan kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi. Jika langkah ini tidak diambil, Presiden Jokowi mungkin akan dikenang sebagai pemimpin yang gagal mewujudkan salah satu mimpi besarnya selama 10 tahun masa pemerintahannya.

 

Kesimpulan: Antara Harapan dan Kenyataan

Mimpi Presiden Jokowi untuk memiliki Coast Guard yang bertaraf dunia adalah sebuah visi yang penting bagi pelaku usaha maritim Indonesia. Namun, visi ini masih jauh dari kenyataan. Revisi terhadap UU Pelayaran tidak hanya mengubah struktur dan kewenangan Coast Guard, tetapi juga mereduksi fungsi penting institusi ini menjadi sekadar pengawas pelayaran. Tanpa kewenangan penyidik, Coast Guard Indonesia tidak akan mampu menjadi institusi yang berfungsi penuh sebagai penegak hukum di laut.

Kini, keputusan ada di tangan Presiden Jokowi. Apakah beliau akan mengambil langkah yang diperlukan untuk mewujudkan mimpinya, ataukah mimpi itu akan tetap menjadi angan-angan yang tidak pernah terwujud? Jawabannya ada pada tindakan yang akan diambil sebelum masa jabatannya berakhir​.

 

*) Kabais TNI 2011-2013

17 Agustus 2024

REVISI KE 2 UU 17/2008 TENTANG PELAYARAN BUYARKAN HARAPAN KPLP SEBAGAI COAST GUARD INDONESIA, TAPI PASTIKAN KPLP TETAP BERSTATUS SEBAGAI PENYIDIK UU17/2008 TENTANG PELAYARAN BERSAMA TNI AL DAN POLRI NAMUN MEMBUAT INSA DAN PEMILIK KAPAL LAINNYA MENJADI KORBAN

REVISI KE 2 UU 17/2008 TENTANG PELAYARAN BUYARKAN HARAPAN KPLP SEBAGAI COAST GUARD INDONESIA, TAPI PASTIKAN KPLP TETAP BERSTATUS SEBAGAI PENYIDIK UU17/2008 TENTANG PELAYARAN BERSAMA TNI AL DAN POLRI NAMUN MEMBUAT INSA DAN PEMILIK KAPAL LAINNYA MENJADI KORBAN 

 

Cikarang 17 Agustus 2024

 

Oleh :

Laksda TNI (purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPArb.*)

 

Saat ini Pemerintah tengah membahas Revisi ke 2 UU 17/2008 tentang Pelayaran. Besar harapan masyarakat agar revisi ini dapat menghasilkan penegak hukum di laut yang sesuai dengan aturan perundangan yang ada. 

 

Tapi ternyata, yang akan dihasilkan oleh pemerintah bukannya penegak hukum dilaut yang memiliki kewenangan sebagai penyidik, tetapi malah yang akan dihasilkan adalah penegak hukum dilaut yang tidak memilik kewenangan sebagai penyidik, seperti yang sudah ada sekarang ini.  Jadi akan ada dua penegak hukum dilaut yang tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik. Tambah pusying kan ???

 

Untuk itu, saya mengucapkan Selamat kepada Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP), karena walaupun pada  Revisi ke 2 UU 17/2008 tentang Pelayaran, tidak direlakan untuk menjadi Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard), akan tetapi KEWENANGAN PENYIDIK sebagai Pejabat Penyidik Pegawai negeri Sipil dipastikan tetap melekat kepada personal KPLP.

 

Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk oleh revisi ke 2 UU 17/2008 tentang Pelayaran bagaikan kucing tanpa kuku, karena tidak bisa berstatus Penyidik. Serupa nasibnya dengan Bakamla, yang dilahirkan tanpa status sebagai Penyidik.

 

Keadaan itu terjadi karena hal-hal sebagai berikut :

 

1.         PENYIDIK UU 17/2008 TENTANG PELAYARAN. 

 

Penyidik UU 17/2008 tentang Pelayaran diatur pada Pasal 282  UU 17/2008 tentang Pelayaran yang selengkapnya berbunyi :

 

            (1)  Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik lainnya,            pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik             sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. 

 

Mengalir dari pasal 282 UU 17/2008 tentang Pelayaran maka sangat jelas bahwa Penyidik pada UU 17/2008 tentang Pelayaran bukan Penjaga laut ndan Pantai (Sea and Coast Guard) tetapi adalah Pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayarandiberi wewenang khusus sebagai penyidik.

 

Instansi yang leingkup tugasnya dibidang pelayaran adalah Kementrian Perhubungan dalam hal ini Dirjen Perhubungan Laut sebagaimana yang diatur oleh Perpres 23/2022 tentang Kementrian Perhubungan.

 

Selengkapnya materi pasal – pasal dari PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA  NOMOR 23 TAHUN 2022 TENTANG  KEMENTERIAN PERHUBUNGAN adalah sebagai berikut 

 

            Pasal 1 PP 23/2022 Tentang Kemhub

            Kementerian Perhubungan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada                                 Presiden.

 

            Pasal 4 PP 23/2022 Tentang Kemhub

 

            Kementerian Perhubungan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan   pemerintahan             di bidang transportasi untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan                                     pemerintahan negara. 

 

            Pasal 6 PP 23/2022 Tentang Kemhub

 

            Kementerian Perhubungan terdiri atas:
            a. Sekretariat Jenderal;
            b. Direktorat Jenderal Perhubungan Darat; 

            c. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut; 

            d……

 

            Pasal 13 

            (1) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut berada di bawah dan bertanggung jawab                      kepada Menteri. 

 

Kewenangan Penjaga laut dan Pantai untuk melakukan penyidikan diatur pada pasal 278 ayat 1 UU 17/2008 tentang Pelayaran yang selengkapnya berbunyi :

 

            Pasal 278 

            (1)  Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277, penjaga laut                  dan pantai mempunyai kewenangan untuk: 

            a. melaksanakan patroli laut;
            b. melakukan pengejaran seketika (hot pursuit);
            c. memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan 

            d. melakukan penyidikan. 

 

Akan tetapi kewenangan itu hanya bisa dilaksanakan apabila Penjaga laut dan Pantai itu berstatus Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Hal itu diatur pada pasal 278 ayat 2 UU 17/2008 tentang Pelayaran yang selengkapnya berbunyi :

 

             (2)  Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d                     penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai                 Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

 

Dengan demikian tanpa status Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementrian Perhubungan maka Penjaga laut dan Pantai tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik.

 

 

2.         PENJAGAAN LAUT DAN PANTAI (SEA AND COAST GUARD) YANG DIBENTUK OLEH  REVISI KE 2 UU 17/2008 TENTANG PELAYARAN TIDAK BISA BERSTATUS  PENYIDIK

 

Beberapa revisi UU 17/2008 tentang pelayaran yang berhubungan dengan Penegakan hukum dilaut adalah sebagai berikut :

 

            1.         Pasal 1 angka 59 perubahan ke2 UU 17/2008 tentang Pelayaran.

 

            59. Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) adalah Lembaga yang                               melaksanakan dan mengoordinasikan fungsi penjagaan, keselamatan, dan                                    penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai khususnya bidang                           pelayaran, yang dibentuk dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

 

            Jadi sangat jelas bahwa Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang                        dibentuk oleh Revisi ke 3 UU 17/2008 tentang Pelayaran berada langsung dibawa                        Presiden, serta tidak berada dibawa kementrian Perhubungan.

 

            

Oleh karena tidak berada dibawa kementrian Perhubungan maka tidak bisa berstatus sebagai pegawai negeri sipil Kementrian Perhubungan, sehingga secara otomatis Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk oleh Revisi ke 3 UU 17/2008 tentang Pelayaran tidak bisa menyandang status Penyidik,karena bukan berstatus  Pegawai Negeri Sipil Kementrian Perhubungan.

 

            2.         Pasal 276 revisi ke 2 UU 17/2008 tentang Pelayaran.

            (1) Untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan                 dan dikoordinasikan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan                 di laut dan Pantai khususnya bidang Pelayaran.

            (2) Pelaksanaan dan koordinasi fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)                                 dilakukan oleh Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard).

            (3) Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) sebagaimana dimaksud pada  ayat                 (2) dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden.

 

Jadi sangat jelas bahwa Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk oleh Revisi ke 3 UU 17/2008 tentang Pelayaran berada langsung dibawa Presiden, serta tidak berada dibawa Kementrian Perhubungan.

 

Oleh karena tidak berada dibawa kementrian Perhubungan maka tidak bisa berstatus sebagai pegawai negeri sipil Kementrian Perhubungan, sehingga secara otomatis Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk oleh Revisi ke 2 UU 17/2008 tentang Pelayaran tidak bisa menyandang status Penyidik,karena bukan berstatus  Pegawai Negeri Sipil Kementrian Perhubungan.

 

            3.         Ketentuan ayat (2) Pasal 277 diubah serta ditambah 1 (satu) ayat, yakni

            ayat (3) sehingga Pasal 277 berbunyi sebagai berikut:

 

            Pasal 277 Revisi ke 2 UU 17/2008 tentang Pelayaran.

 

            (2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

            276 ayat (1) Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard)

            melaksanakan koordinasi untuk:

            a. merumuskan dan menetapkan kebijakan umum penegakan

            hukum di laut;

            b. menyusun kebijakan dan standar prosedur operasi penegakan

            hukum di laut secara terpadu;

            c. kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran                          hukum serta pengamanan Pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan                            Pemerintah di wilayah Perairan Indonesia;

            d. memberikan dukungan teknis administrasi di bidang penegakan hukum di laut secara                 terpadu; dan

            e. mengoordinasikan lembaga-lembaga lainnya sepanjang terkait dengan pelaksanaan                 fungsi penjagaan, keselamatan Pelayaran, dan penegakan peraturan perundang-                        undangan di bidang Pelayaran.

 

            (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme, tata cara koordinasi, dan lembaga                      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam  Peraturan Pemerintah.

 

Oleh karena Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk oleh Revisi ke 2 UU 17/2008 tentang Pelayaran berada langsung dibawa Presiden, serta tidak berada dibawa kementrian Perhubungan maka tidak bisa berstatus sebagai pegawai negeri sipil Kementrian Perhubungan, sehingga secara otomatis pula Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk oleh Revisi ke  2 UU 17/2008 tentang Pelayaran tidak bisa menyandang status Penyidik, karena bukan berstatus  Pegawai Negeri Sipil Kementrian Perhubungan.

Dengan demikian materi pasal 277 ini tidak bisa dilakukan oleh Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk oleh Revisi ke 2 UU 17/2008 tentang Pelayaran karena tidak berstatus sebagai penyidik.

 

3.         KPLP SEBAGAI PENYIDIK UU 17/2008 TENTANG PELAYARAN. 

 

Penyidik UU 17/2008 tentang Pelayaran diatur pada Pasal 282  UU 17/2008 tentang Pelayaran yang selengkapnya berbunyi :

 

            (1)  Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik lainnya,            pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik             sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. 

 

Mengalir dari pasal 282 UU 17/2008 tentang Pelayaran maka sangat jelas bahwa Penyidik pada UU 17/2008 tentang Pelayaran bukan Penjaga laut ndan Pantai (Sea and Coast Guard) tetapi adalah Pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayarandiberi wewenang khusus sebagai penyidik.

 

Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) adalah pegawai Negeri Sipil dilingkungan kementrian Perhubungan. Dengan demikian secara otomatis KPLP menjadi penyidik UU 17/2008 tentang Pelayaran.

 

4.         LAHIRNYA PREDATOR BARU DILAUT.

Revisi ke 2 UU 17/2008 tentang Pelayaran akan melahirkan Predator Baru yaitu Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk oleh Revisi ke 2 UU 17/2008 tentang Pelayaran.

Dengan demikian akan bertambah satu lagi petugas dilaut yang tidak berstatus PENYIDIK yaitu Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk oleh Revisi ke 2 UU 17/2008 tentang Pelayaran.

 

5.         KERUGIAN BAGI INSA DAN PEMILIK KAPAL LAINNYA.

Sungguh kasihan nasib INSA dan pemilik kapal lainnya di Indonesia. Dulu mereka meminta kepada pemerintah untuk mengurangi petugas dilaut. Pemerintah bukannya mengurangi malah menambah dengan dua petugas dilaut yang TIDAK MEMILIKI KEWENANGAN SEBAGAI PENYIDIK.

Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang diharapkan menjadi komando dan coordinator dalam penegakan hukum dilaut, malah menjadi Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) tanpa kewenangan penyidik seperti yang terjadi kepada Bakamla.

Terbukti sudah bahwa manusia memang bukan keledai, karena keledai, tidak pernah akan terjatuh kedua kalinya pada lobang yang sama. Tidak demikian bagi manusia, kesalahan yang sama sangat senang diulangi Kembali. 

Bila tahun 2014 lahir Bakamla tanpa kewenangan sebagai Penyidik, 10 tahun kemudian, tahun 2024 akan lahir penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) juga tanpa kewenangan sebagai penyidik. 

 

6.         KESIMPULAN.

Ternyata walaupun maksud hati adalah akan melahirkan Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) dengan kewenangan sebagai penyidik, namun apalah daya yang akan terlahir adalah Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) tanpa kewenangan sebagai penyidik.

KPLP mendapat rezeki, tetap sebagai penyidik UU 17/2008 tentang Pelayaran bersama-sama dengan TNI AL dan Polri.


*) Kabais TNI 2011-2013

 

11 Agustus 2024

Indonesia di Persimpangan Jalan: Melanjutkan UUD 1945 Amandemen atau Kembali ke UUD 1945 Asli dan Menyempurnakannya ?

 Indonesia di Persimpangan Jalan: Melanjutkan UUD 1945 Amandemen atau Kembali ke UUD 1945 Asli dan Menyempurnakannya ?

Jakarta 11 Agustus 2024

Oleh :

Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, Carb. *)


Pendahuluan.

Indonesia saat ini berada pada titik kritis dalam perjalanan konstitusionalnya. Pilihan untuk melanjutkan dengan UUD 1945 hasil amandemen atau kembali ke UUD 1945 asli sebelum melakukan penyempurnaan lebih lanjut ?. Hal ini menjadi topik perdebatan yang semakin relevan di tengah dinamika politik dan sosial yang berkembang. Perdebatan ini tidak hanya mencerminkan tantangan yang dihadapi bangsa dalam menjaga keselarasan antara konstitusi dan Pancasila, tetapi juga menggambarkan kekhawatiran yang mendalam tentang masa depan negara ini. Dengan perubahan signifikan yang telah dilakukan pada konstitusi, banyak pihak merasa bahwa beberapa elemen penting yang awalnya dimaksudkan untuk menjaga stabilitas negara kini telah hilang atau setidaknya terabaikan.


Latar Belakang Sejarah: Dari UUD 1945 Asli hingga Amandemen

UUD 1945 asli dirumuskan dalam konteks yang sangat unik, di mana Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya dari penjajahan. Pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno memperkenalkan gagasan tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dalam pidatonya di depan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pancasila diusulkan sebagai landasan filosofis yang mencakup lima sila: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Gagasan ini mencerminkan kebutuhan untuk membangun sebuah negara yang inklusif dan berkeadilan sosial, yang mampu menyatukan berbagai kelompok etnis, agama, dan budaya di Indonesia.[1]

Setelah itu, pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan yang dibentuk oleh BPUPKI berjumlah 9 (Sembilan) orang yang terdiri dari 4 (empat) perwakilan kelompok nasionalis dan 5 perwakilan kelompok Islam menghasilkan Piagam Jakarta, yang menyempurnakan rumusan Pancasila 1 JUni 1945. Piagam ini memperkenalkan konsep "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya," yang kemudian diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" pada 18 Agustus 1945 ketika UUD 1945 disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Perubahan ini dilakukan untuk mengakomodasi pluralitas masyarakat Indonesia dan memastikan bahwa konstitusi yang dihasilkan dapat diterima oleh semua pihak. Perubahan ini pula memperlihatkan pengorbanan kelompok Islam demi tercapainya Persatuan dan kemerdekaan Indonesia. UUD 1945 yang disahkan terdiri dari Pembukaan yang memuat Pancasila, Batang Tubuh dengan 37 pasal, penjelasan yang memberikan interpretasi resmi terhadap isi konstitusi, memastikan bahwa setiap pasal dipahami dan diterapkan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, serta aturan peralihan dan aturan tambahan yang dirancang untuk memastikan transisi yang mulus dari pemerintahan kolonial ke pemerintahan Indonesia yang merdeka.[2]

Namun, perjalanan konstitusi ini tidak selalu mulus. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949, Indonesia mengadopsi Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Perubahan ini mencerminkan ketidakstabilan politik yang terjadi pada masa itu, di mana sistem parlementer yang diterapkan tidak mampu menciptakan stabilitas yang diharapkan. Ketidakstabilan ini diperburuk oleh kegagalan Konstituante dalam merumuskan konstitusi baru, yang akhirnya memuncak pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam dekrit ini, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai konstitusi resmi Indonesia.[3]


Orde Baru dan Penggunaan UUD 1945 sebagai Alat Legitimasi.

Pada masa Orde Baru, UUD 1945 digunakan oleh Presiden Soeharto sebagai alat legitimasi untuk memperkuat kekuasaan dan mengekang oposisi. Dalam kerangka ini, Pancasila dipromosikan secara intensif sebagai ideologi negara yang tidak boleh diganggu gugat. Pemerintah menggunakan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar untuk memonopoli kekuasaan, sementara pada saat yang sama mengabaikan banyak prinsip demokrasi yang tertanam dalam konstitusi. Sebagai contoh, Orde Baru menggunakan prinsip "Demokrasi Pancasila" untuk melegitimasi tindakan otoriter, yang pada akhirnya mengaburkan makna sebenarnya dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.[4]

Selama masa ini, interpretasi terhadap UUD 1945 sering kali disesuaikan dengan kepentingan politik pemerintah. Hal ini berarti bahwa prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi landasan konstitusi sering kali diabaikan atau dimanipulasi untuk kepentingan rezim yang berkuasa.[5]Akibatnya, Pancasila lebih sering digunakan sebagai alat politik daripada sebagai panduan moral dan etika bagi bangsa, yang menyebabkan distorsi dalam penerapan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.


Reformasi 1998 dan Amandemen UUD 1945.

Kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 membuka jalan bagi Reformasi, yang membawa perubahan besar dalam tata kelola negara Indonesia. Era Reformasi memberikan peluang bagi masyarakat untuk menuntut perubahan yang lebih demokratis dan transparan dalam pemerintahan. Salah satu hasil dari tuntutan ini adalah amandemen UUD 1945, yang dilakukan dalam empat tahap antara tahun 1999 dan 2002. Amandemen ini bertujuan untuk memperkuat demokrasi, mengakui hak asasi manusia secara lebih luas, dan memperkenalkan lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah.[6]

Namun, meskipun amandemen ini bertujuan untuk memperbaiki konstitusi, mereka juga membawa tantangan baru. Salah satu perubahan paling kontroversial adalah penghapusan bagian penjelasan yang sebelumnya memberikan interpretasi resmi terhadap setiap pasal dalam UUD 1945. Tanpa penjelasan ini, ruang interpretasi menjadi lebih luas dan berpotensi menyebabkan ketidakkonsistenan dalam penerapan konstitusi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.[7] Selain itu, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang berfungsi sebagai lembaga penasihat tertinggi bagi Presiden, dianggap telah mengurangi mekanisme checks and balances yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dalam pemerintahan.[8]


Adanya Penjelasan dalam UUD 1945 Asli.

UUD 1945 asli dilengkapi dengan Penjelasan yang mencakup penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal. Penjelasan ini memberikan interpretasi resmi terhadap setiap bagian dari konstitusi dan mengaitkannya secara langsung dengan nilai-nilai Pancasila.

Penjelasan hilang dalam UUD 1945 Amandemen:

Salah satu perubahan terbesar dalam amandemen UUD 1945 adalah penghapusan penjelasan tersebut. UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi memiliki penjelasan yang secara eksplisit mengarahkan bagaimana pasal-pasal dalam konstitusi harus dipahami dan diterapkan sesuai dengan Pancasila.

Akibat hilangnya Penjelasan terhadap Pancasila:

Terjadinya Ketidakpastian Hukum: Tanpa penjelasan, interpretasi terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 hasil amandemen menjadi lebih terbuka dan bergantung pada pandangan lembaga-lembaga negara, terutama Mahkamah Konstitusi. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, karena tidak ada lagi panduan eksplisit yang memastikan bahwa setiap pasal diinterpretasikan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Potensi Penyimpangan dari Pancasila: Dengan hilangnya penjelasan, ada risiko bahwa pasal-pasal tertentu dapat diinterpretasikan dengan cara yang menyimpang dari esensi Pancasila. Penafsiran yang tidak konsisten dapat terjadi, terutama jika tidak ada penjelasan resmi yang mengaitkan pasal-pasal tersebut dengan prinsip-prinsip Pancasila seperti keadilan sosial, persatuan, dan kedaulatan rakyat.

Pengurangan Konsistensi Ideologis: Penjelasan dalam UUD 1945 asli berfungsi untuk menjaga konsistensi ideologis antara konstitusi dan Pancasila. Tanpa penjelasan ini, UUD 1945 hasil amandemen bisa mengalami inkonsistensi dalam penerapan nilai-nilai Pancasila, terutama ketika menghadapi perubahan sosial, politik, dan ekonomi.


Adanya Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam UUD 1945 asli.

Dalam UUD 1945 asli, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) adalah lembaga negara yang berfungsi untuk memberikan nasihat kepada Presiden dalam hal-hal yang dianggap penting oleh negara. DPA berperan sebagai salah satu mekanisme checks and balances dalam sistem pemerintahan yang meruopakan  prinsip “hikmat kebijaksanaan” dalam Sila Keempat Pancasila.


DPA hilang dalam UUD 1945 Amandemen:

Amandemen UUD 1945 menghapus DPA dan menggantinya dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), yang memiliki peran lebih terbatas dan tidak setara secara konstitusional dengan DPA.


Akibat hilangnya DPA terhadap Pancasila:

  • Pengurangan Checks and Balances: Tanpa DPA, kekuasaan Presiden menjadi lebih terkonsentrasi. Hal ini dapat menimbulkan risiko pengambilan keputusan yang kurang terinformasi atau kurang bijaksana, yang bisa mengabaikan prinsip “hikmat kebijaksanaan” dalam Sila Keempat Pancasila.
  • Penurunan Legitimasi Nasihat: Hilangnya DPA mengurangi legitimasi nasihat yang diterima oleh Presiden. Ini dapat berdampak pada kualitas keputusan yang diambil, yang mungkin tidak selalu sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab, seperti yang diamanatkan oleh Pancasila.

Adanya Utusan Golongan dalam UUD 1945 Asli

Dalam UUD 1945 asli, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), perwakilan daerah, dan utusan golongan. Utusan golongan ini termasuk perwakilan dari kelompok-kelompok sosial yang tidak terwakili melalui partai politik, seperti kelompok agama, profesi, dan lain-lain.

Utusan Golongan hilang dalam UUD 1945 Amandemen:

Amandemen UUD 1945 menghilangkan utusan golongan, menjadikan MPR hanya terdiri dari anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Akibat terhadap Pancasila:

  • Pengurangan Representasi Kelompok Non-Politik: Tanpa utusan golongan, kelompok-kelompok sosial yang tidak terwakili oleh partai politik atau daerah kehilangan saluran resmi dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional. Ini dapat menyebabkan berkurangnya representasi berbagai kepentingan masyarakat yang lebih luas, yang bertentangan dengan semangat “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dalam Sila Keempat Pancasila.
  • Potensi Ketidakadilan Sosial: Penghapusan utusan golongan dapat mengurangi keadilan sosial dalam representasi politik, yang berisiko menimbulkan kebijakan yang tidak sepenuhnya adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia, bertentangan dengan Sila Kelima Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Pro dan Kontra: Melanjutkan Amandemen atau Kembali ke UUD 1945 Asli ?

Perdebatan antara melanjutkan dengan UUD 1945 hasil amandemen atau kembali ke UUD 1945 asli mencerminkan dua pandangan yang berbeda tentang bagaimana Indonesia harus melangkah ke depan. Di satu sisi, mereka yang mendukung UUD 1945 hasil amandemen berpendapat bahwa amandemen ini telah membawa konstitusi lebih dekat dengan standar demokrasi modern dan memungkinkan negara untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Mereka juga berpendapat bahwa amandemen ini telah memperkuat hak asasi manusia dan memperkenalkan mekanisme checks and balances yang lebih baik dibandingkan dengan UUD 1945 asli.[9]

Di sisi lain, mereka yang mendukung kembali ke UUD 1945 asli berpendapat bahwa amandemen ini telah mengorbankan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi asli. Mereka merasa bahwa UUD 1945 asli, meskipun tidak sempurna, lebih mampu mencerminkan semangat Pancasila dan memberikan dasar yang lebih stabil untuk pemerintahan. Selain itu, mereka berpendapat bahwa kembalinya penjelasan resmi dan DPA akan mengembalikan mekanisme checks and balances yang hilang selama amandemen.[10]


Implikasi dari Setiap Pilihan

Jika Indonesia memilih untuk melanjutkan dengan UUD 1945 hasil amandemen, tantangan utamanya adalah memastikan bahwa konstitusi ini tetap relevan dengan perkembangan zaman tanpa mengorbankan nilai-nilai fundamental yang telah menjadi fondasi negara. Ini berarti bahwa perlu ada upaya berkelanjutan untuk menyesuaikan konstitusi dengan kebutuhan masyarakat, sambil memastikan bahwa interpretasi konstitusi tetap konsisten dengan Pancasila. Selain itu, perlu ada pengawasan ketat terhadap mekanisme checks and balances untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.[11]

Sebaliknya, jika Indonesia memilih untuk kembali ke UUD 1945 asli, tantangannya adalah bagaimana menyempurnakan konstitusi ini tanpa menghilangkan esensi dan semangat Pancasila. Ini mungkin memerlukan penambahan pasal-pasal baru yang disesuaikan dengan perkembangan zaman, tetapi dengan tetap menjaga nilai-nilai dasar yang terkandung dalam konstitusi asli. Kembalinya, penjelasan resmi dan DPA juga dapat membantu menjaga stabilitas dan integritas sistem pemerintahan, serta memastikan bahwa setiap perubahan yang dilakukan pada konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan sejalan dengan Pancasila.[12]


Kesimpulan

Indonesia berada di persimpangan jalan yang kritis dalam perjalanan konstitusionalnya. Pilihan antara melanjutkan dengan UUD 1945 hasil amandemen atau kembali ke UUD 1945 asli lalu menyempurnakannya adalah keputusan yang memiliki dampak besar bagi masa depan negara ini. Apapun pilihan yang diambil, penting bagi bangsa Indonesia untuk mempertimbangkan pilihan yang tidak hanya menjawab tantangan zaman, tetapi juga menjaga integritas dan orisinalitas Pancasila sebagai dasar negara. Langkah yang bijak mungkin adalah kembali ke UUD 1945 asli sebelum melakukan penyempurnaan lebih lanjut, karena ini dapat menawarkan jalan yang lebih jelas dan terarah untuk memastikan bahwa setiap perubahan yang dilakukan pada konstitusi tetap sejalan dengan nilai-nilai yang telah menjadi fondasi negara sejak awal. Dengan pendekatan yang hati-hati dan inklusif, Indonesia dapat memastikan bahwa konstitusinya tetap relevan dan konsisten dengan semangat Pancasila, sehingga dapat menjadi panduan yang kokoh dalam menghadapi dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang terus berkembang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Daftar Pustaka :

  1. Sukarno, "Pidato Lahirnya Pancasila," 1 Juni 1945, dalam Lahirnya Pancasila, disunting oleh M. Yamin (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1947), 15-17.
  2. Ibid., 18-21.
  3. Mohammad Hatta, Memoir: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1981), 95-98.
  4. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), 215-219.
  5. Ibid., 220.
  6. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), 88-90.
  7. Bambang Widjojanto, Demokrasi di Persimpangan Jalan: Studi Kasus Penghapusan DPA (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), 120-125.
  8. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), 92.
  9. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), 220.
  10. Mohammad Hatta, Memoir: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1981), 97.
  11. Bambang Widjojanto, Demokrasi di Persimpangan Jalan: Studi Kasus Penghapusan DPA (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), 122.
  12. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), 222.

 



[1] Sukarno, "Pidato Lahirnya Pancasila," 1 Juni 1945, dalam Lahirnya Pancasila, disunting oleh M. Yamin (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1947), 15-17.

[2] Ibid., 18-21.

[3] Mohammad Hatta, Memoir: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1981), 95-98.

[4] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), 215-219.

[5] Ibid., 220.

[6] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), 88-90.

[7] Bambang Widjojanto, Demokrasi di Persimpangan Jalan: Studi Kasus Penghapusan DPA (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), 120-125.

[8] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), 92.

[9] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), 220.

[10] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), 88-90; Bambang Widjojanto, Demokrasi di Persimpangan Jalan: Studi Kasus Penghapusan DPA (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), 120-125.

 

[11] Bambang Widjojanto, Demokrasi di Persimpangan Jalan: Studi Kasus Penghapusan DPA (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), 122.

[12] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), 222.


*) Kabais TNI 2011-2013

 

2 Agustus 2024

Kemungkinan Tindakan Pembalasan Iran terhadap Penahanan Kapal MT Arman 114 oleh Indonesia.

 

Kemungkinan Tindakan Pembalasan Iran terhadap Penahanan Kapal MT Arman 114 oleh Indonesia.

Jakarta 02 Augustus 2024
Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto ST, SH, MH, CPM, CParb*)

Penahanan kapal MT Arman 114 oleh Bakamla (Badan Keamanan Laut Indonesia) serta proses pengadilan yang masih menyimpan banyak misteri, seperti belum dibuktikannya adanya perubahan baku mutu airlaut sebagaimana yang di tuduhkan,  dapat memicu reaksi dari pihak Iran. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, Iran memiliki beberapa pola tindakan yang mereka gunakan sebagai pembalasan terhadap penahanan kapal mereka. Berikut adalah analisis kemungkinan pembalasan dari Iran dan bagaimana mereka mungkin akan bereaksi dalam konteks ini :

Contoh Tindakan Balasan Iran.

Iran memiliki sejarah melakukan tindakan balasan terhadap penahanan kapal tanker mereka. Berikut beberapa contoh kasus yang pernah terjadi:

  1. Penahanan Stena Impero (Juli 2019)

    • Konteks: Pada 4 Juli 2019, pasukan Inggris menahan kapal tanker Iran Grace 1 di lepas pantai Gibraltar dengan tuduhan melanggar sanksi Uni Eropa terhadap Suriah. Sebagai balasan, pada 19 Juli 2019, Iran menangkap kapal tanker berbendera Inggris Stena Impero di Selat Hormuz.
    • Alasan Iran: Melanggar aturan maritim internasional.
    • Dampak: Ketegangan diplomatik antara Inggris dan Iran meningkat.
  2. Penahanan Kapal Tanker Korea Selatan (Januari 2021)

    • Konteks: Iran menahan kapal tanker berbendera Korea Selatan MT Hankuk Chemi dengan tuduhan mencemari perairan di Teluk Persia.
    • Dampak: Korea Selatan mengirim delegasi ke Iran untuk negosiasi.
  3. Insiden Kapal Tanker di Selat Hormuz (Agustus 2021)

    • Konteks: Iran diduga terlibat dalam serangkaian serangan dan penahanan kapal tanker di Selat Hormuz sebagai respons terhadap meningkatnya ketegangan dengan Barat dan sekutu regional.
  4. Penahanan MV Sothys (November 2021)

    • Konteks: Iran menangkap kapal tanker berbendera Vietnam MV Sothys yang diduga membawa minyak Iran secara ilegal.

Kemungkinan Tindakan Balasan Iran terhadap Indonesia

Penangkapan kapal MT Arman 114 oleh Bakamla berpotensi memicu berbagai reaksi dari Iran:

  1. Penahanan Kapal Asing di Selat Hormuz Iran bisa menahan kapal berbendera Indonesia atau kapal lain yang terkait dengan kepentingan Indonesia yang melintas di Selat Hormuz sebagai bentuk balasan langsung. Seperti yang terjadi pada penahanan kapal Stena Impero, tindakan serupa dapat diambil untuk memberikan tekanan kepada Indonesia.

  2. Peningkatan Patroli dan Pengawasan Iran mungkin akan meningkatkan patroli dan pengawasan terhadap kapal-kapal yang melintas di Selat Hormuz. Ini bisa mencakup inspeksi intensif terhadap kapal berbendera Indonesia atau kapal lain yang dicurigai terkait dengan kepentingan Indonesia.

  3. Diplomasi dan Tekanan Internasional Iran dapat menggunakan saluran diplomatik untuk menekan Indonesia agar membebaskan MT Arman 114. Ini bisa melibatkan negosiasi langsung atau melalui mediasi pihak ketiga. Iran juga bisa membawa isu ini ke forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendapatkan dukungan internasional.

  4. Propaganda dan Kampanye Media Iran mungkin akan melancarkan kampanye media untuk mengecam penahanan MT Arman 114 dan menggambarkannya sebagai tindakan yang tidak adil. Ini bisa bertujuan untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari komunitas internasional dan domestik.

  5. Sanksi Ekonomi dan Pembatasan Perdagangan Jika situasinya eskalatif, Iran dapat mempertimbangkan untuk menerapkan sanksi ekonomi atau pembatasan perdagangan terhadap Indonesia, meskipun ini jarang terjadi dan tergantung pada hubungan ekonomi antara kedua negara.

Dampak terhadap Kapal dan Perusahaan Indonesia di Iran

Jika Iran merasa diperlakukan tidak adil dalam kasus pengadilan MT Arman 114, mereka mungkin mempertimbangkan tindakan balasan yang dapat berdampak pada kapal atau perusahaan Indonesia yang beroperasi di Iran:

  1. Penahanan Kapal Indonesia Kapal-kapal Indonesia yang beroperasi di wilayah Iran atau melintas di Selat Hormuz bisa menjadi target penahanan sebagai balasan.

  2. Sanksi Ekonomi terhadap Perusahaan Indonesia Perusahaan-perusahaan Indonesia yang beroperasi di Iran mungkin menghadapi sanksi ekonomi atau pembatasan operasi sebagai bagian dari tindakan balasan Iran.

  3. Ketegangan Diplomatik Ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Iran dapat meningkat, yang dapat berdampak negatif pada hubungan perdagangan dan investasi antara kedua negara.

Kesimpulan

Kemungkinan besar Iran akan merespons penangkapan MT Arman 114 dengan beberapa bentuk tindakan, baik melalui jalur diplomasi maupun tindakan yang lebih langsung di lapangan seperti penahanan kapal di Selat Hormuz. Namun, tindakan balasan yang lebih agresif seperti penahanan kapal Indonesia akan tergantung pada banyak faktor, termasuk hubungan diplomatik, respons internasional, dan strategi keseluruhan Iran dalam menavigasi ketegangan maritim dan geopolitik.

Indonesia perlu berhati-hati dalam menggunakan alasan embargo untuk menahan kapal MT Arman 114. Alasan penahanan harus didasarkan pada bukti kuat dan sesuai dengan hukum internasional. Mengingat hubungan diplomatik antara kedua negara, penyelesaian melalui jalur diplomasi dan negosiasi lebih disarankan untuk menghindari eskalasi ketegangan dan menjaga hubungan baik antara Indonesia dan Iran.