PENGEMBALIAN KEWENANGAN PENUNTUTAN KPK KEPADA KEJAKSAAN
Oleh :
Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb
Latar Belakang
Kewenangan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagaimana telah diubah oleh UU No. 19 Tahun 2019). KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Namun, dengan adanya putusan sela pada tanggal 27 Mei 2024 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas I A Khusus yang membebaskan Terdakwa Gazalba Saleh dengan alasan bahwa penuntutan oleh Jaksa KPK tidah sah karena belum mendapat delegasi kewenangan penuntutan dari Jaksa Agung, maka perlu dipertimbangkan untuk mengembalikan kewenangan penuntutan ini kembali Kepada Kejaksaan Republik Indonesia.
Putusan hakim ini merupakan bukti bahwa kewenangan Penuntutan yang diakui hanya yang berada pada Kejaksaan Republik Indonesia yaitu Jaksa Agung.
Dasar Hukum dan Teori yang Mendukung
1. Teori Kepastian Hukum (Legal Certainty Theory)
Teori ini menekankan pentingnya hukum atau aturan yang jelas, konsisten, dan dapat diprediksi.
Dualisme kewenangan penuntutan antara KPK dan Kejaksaan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan inkonsistensi dalam penerapan hukum. Dengan mengembalikan kewenangan penuntutan kepada Kejaksaan, diharapkan adanya keseragaman dan kepastian dalam proses penuntutan.
2. Teori Monopoli Penuntutan
Teori ini menyatakan bahwa penuntutan pidana seharusnya dilakukan oleh satu lembaga saja untuk menjamin konsistensi dan keseragaman dalam pelaksanaan penuntutan.
Dengan adanya Kejaksaan sebagai lembaga tunggal yang memiliki kewenangan penuntutan akan dapat menghindari konflik kewenangan dan tumpang tindih yurisdiksi, serta memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan lebih efisien.
3. Asas Independensi dan Imparsialitas
3.1 Independensi:
Penuntutan yang dilakukan oleh satu lembaga penuntut umum (Kejaksaan) dapat memastikan bahwa proses penuntutan berjalan independen tanpa campur tangan dari lembaga lain.
3.2 Imparsialitas:
Adanya satu komando dalam penuntutan ditangan kejaksaan, dapat menjamin bahwa semua kasus diperlakukan secara adil dan setara.
4. Undang-Undang yang Relevan
4.1 UUD 1945 Pasal 24 :
Menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Meskipun Pasal 24 ini berbicara tentang independensi kekuasaan kehakiman, dalam sistem peradilan pidana melibatkan berbagai lembaga penegak hukum lain yang bekerja sama untuk menegakkan hukum dan keadilan. Salah satu lembaga penting dalam sistem ini adalah Kejaksaan, yang memiliki fungsi penuntutan.
Fungsi Penuntutan dan Hubungannya dengan Kekuasaan Kehakiman
Penuntutan sebagai Bagian dari Proses Peradilan
- Kejaksaan : Kejaksaan bertindak sebagai penuntut umum yang membawa kasus pidana ke pengadilan. Fungsi utama Kejaksaan adalah menyusun dakwaan, mengajukan bukti, dan menuntut terdakwa berdasarkan hukum yang berlaku.
- Pengadilan: Pengadilan berperan untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan oleh penuntut umum. Hakim bertindak secara independen untuk memutus perkara berdasarkan fakta dan hukum.
4.2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia:
Mengatur bahwa Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan penuntutan umum.
4.3 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana):
Mengatur bahwa penuntutan dilakukan oleh penuntut umum, yaitu Kejaksaan.
Analisa.
Mengalir dari teori kepastian hukum dan teori monopoli penuntutan, serta asas independensi dan imparsialitas, maka pengembalian kewenangan penuntutan dari KPK kepada Kejaksaan memiliki beberapa keuntungan sehingga dapat dipertimbangkan mengingat adanya hal hal sebagai berikut yaitu :
1. Keseragaman dan Konsistensi
Penanganan kasus pidana, termasuk kasus korupsi, akan lebih seragam dan konsisten jika dilakukan oleh satu lembaga penuntut umum. Ini menghindari perbedaan prosedur dan interpretasi hukum antara KPK dan Kejaksaan.
2. Kepastian Hukum
Dengan adanya satu lembaga yang memiliki kewenangan penuntutan, maka masyarakat akan lebih mudah memahami proses hukum, dan ini akan meningkatkan prediktabilitas dan stabilitas hukum. Kepastian hukum yang lebih baik akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia.
3. Efisiensi dalam Penegakan Hukum
Pengembalian kewenangan penuntutan kepada Kejaksaan akan mengurangi potensi duplikasi dan tumpang tindih dalam proses penuntutan. Ini akan mempercepat proses penanganan kasus dan meningkatkan efisiensi administrasi hukum.
4. Transparansi dan Akuntabilitas
Dengan adanya hanya satu lembaga penuntut umum, pengawasan dan akuntabilitas proses penuntutan akan lebih mudah dikelola. Kejaksaan dapat diharapkan untuk mempertahankan standar tinggi dalam transparansi dan akuntabilitas.
Contoh Negara-Negara yang Menggunakan Sistem Satu Lembaga Penuntut Umum
Beberapa negara di dunia menggunakan sistem di mana penuntutan pidana dilakukan oleh satu lembaga penuntut umum untuk memastikan keseragaman, konsistensi, dan efisiensi dalam proses penegakan hukum.
Ini adalah beberapa contoh negara yang menggunakan sistem ini:
1. Jerman
- Lembaga Penuntut Umum: Staatsanwaltschaft
- Di Jerman, Staatsanwaltschaft adalah lembaga yang memiliki kewenangan eksklusif untuk melakukan penuntutan pidana. Mereka bertanggung jawab untuk mengajukan kasus ke pengadilan dan bertindak sebagai penuntut di semua tingkatan pengadilan.
2. Perancis
- Lembaga Penuntut Umum: Ministère Public
- Di Perancis, Ministère Public adalah lembaga yang menangani penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Mereka memiliki monopoli dalam proses penuntutan dan bertindak atas nama negara untuk menegakkan hukum.
3. Belanda
- Lembaga Penuntut Umum: Openbaar Ministerie
- Di Belanda, Openbaar Ministerie (OM) bertanggung jawab untuk melakukan penuntutan dalam semua kasus pidana. OM memiliki kewenangan eksklusif untuk memutuskan apakah suatu kasus harus diajukan ke pengadilan atau tidak.
4. Italia
- Lembaga Penuntut Umum: Pubblico Ministero
- Di Italia, Pubblico Ministero bertugas untuk melakukan penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Mereka memiliki wewenang penuh untuk mengajukan dakwaan dan mengendalikan proses penuntutan.
5. Jepang
- Lembaga Penuntut Umum: Kensatsu
- Di Jepang, Kensatsu (Prosecutors Office) memiliki monopoli dalam penuntutan pidana. Mereka mengendalikan seluruh proses penuntutan dari tahap penyidikan hingga persidangan.
6. Korea Selatan
- Lembaga Penuntut Umum: Prosecution Service
- Korea Selatan menggunakan sistem di mana penuntutan pidana dilakukan oleh Prosecution Service. Mereka memiliki kewenangan penuh untuk mengajukan dakwaan dan bertindak sebagai penuntut di pengadilan.
7. Rusia
- Lembaga Penuntut Umum: Prokuratura
- Di Rusia, Prokuratura memiliki wewenang eksklusif untuk melakukan penuntutan pidana. Mereka mengendalikan proses penuntutan dari awal hingga akhir, memastikan konsistensi dalam penerapan hukum.
8. Kanada
- Lembaga Penuntut Umum: Public Prosecution Service of Canada (PPSC)
- Di Kanada, PPSC bertanggung jawab untuk melakukan penuntutan dalam kasus pidana federal. Mereka memiliki wewenang eksklusif untuk mengajukan dakwaan dalam kasus-kasus yang melibatkan hukum federal.
Alasan Memilih Sistem Satu Lembaga Penuntut Umum
1. Keseragaman dan Konsistensi.
Untuk memastikan bahwa semua kasus ditangani dengan prosedur yang sama dan standar yang sama secara konsisten.
2. Kepastian Hukum
Masyarakat dan pelaku tindak pidana dapat memahami proses hukum dengan lebih baik, meningkatkan prediktabilitas dan stabilitas hukum.
3. Efisiensi Proses Hukum
Mengurangi potensi duplikasi dan tumpang tindih dalam proses penyidikan dan penuntutan, sehingga mempercepat penanganan kasus dan mengurangi biaya administrasi.
4. Transparansi dan Akuntabilitas
Memudahkan pengawasan dan akuntabilitas proses penuntutan, karena semua proses dipusatkan di satu lembaga.
Teori-Teori Hukum yang Menentang Adanya Dua Kewenangan Penuntutan dalam Satu Negara
1. Teori Monopoli Penuntutan
Teori ini menyatakan bahwa hanya satu lembaga yang harus memiliki kewenangan eksklusif untuk melakukan penuntutan pidana. Tujuannya adalah untuk menjaga keseragaman dan konsistensi dalam penegakan hukum.
Kehadiran dua lembaga yang berwenang untuk melakukan penuntutan dapat menyebabkan ketidakseragaman dalam penerapan hukum, konflik kewenangan, dan potensi tumpang tindih yurisdiksi. Ini dapat mengurangi kepastian hukum dan menimbulkan kebingungan di antara para penegak hukum dan masyarakat.
2. Teori Kepastian Hukum (Legal Certainty Theory)
Teori ini menekankan pentingnya hukum yang jelas, konsisten, dan dapat diprediksi. Dengan adanya dua lembaga yang memiliki kewenangan penuntutan, kepastian hukum dapat terancam. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan adanya perbedaan interpretasi hukum, prosedur yang berbeda, dan hasil yang tidak konsisten dalam penanganan kasus pidana.
3. Teori Negara Hukum (Rechtsstaat)
Teori ini menyatakan bahwa negara harus didasarkan pada hukum yang adil dan tidak sewenang-wenang.
Kehadiran lebih dari satu lembaga penuntut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan merusak prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum. Hal ini juga dapat mengurangi transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum.
4. Teori Keadilan Prosedural (Procedural Justice Theory)
Teori ini menekankan bahwa proses hukum harus adil, transparan, dan tidak memihak.
Dua lembaga penuntut dapat memiliki prosedur yang berbeda, yang dapat menyebabkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan dalam perlakuan terhadap terdakwa. Ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana.
Contoh Konkretnya di Indonesia
Di Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia memiliki kewenangan penuntutan umum sebagaimana diatur dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diberi kewenangan untuk melakukan penuntutan dalam kasus korupsi berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK (yang telah diubah oleh UU No. 19 Tahun 2019).
Tantangan dan Konsekuensi
1. Koordinasi dan Konsistensi: Kehadiran dua lembaga penuntut memerlukan koordinasi yang baik untuk menghindari tumpang tindih kewenangan dan untuk memastikan bahwa kasus-kasus ditangani secara konsisten.
2. Konflik Kewenangan: Potensi konflik kewenangan antara Kejaksaan dan KPK bisa terjadi, terutama dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan unsur-unsur korupsi yang tumpang tindih dengan tindak pidana lainnya.
3. Kepastian Hukum: Dualitas ini bisa mengurangi kepastian hukum bagi para pelaku t indak pidana dan masyarakat umum, karena ada kemungkinan perbedaan penanganan antara kedua lembaga tersebut.
Kesimpulan
Meskipun dalam beberapa negara, termasuk Indonesia, terdapat lebih dari satu lembaga yang memiliki kewenangan penuntutan, teori-teori hukum seperti teori monopoli penuntutan, teori kepastian hukum, teori negara hukum, dan teori keadilan prosedural cenderung menentang adanya dua kewenangan penuntutan dalam satu negara. Teori-teori ini menekankan pentingnya keseragaman, konsistensi, kepastian hukum, dan keadilan dalam penegakan hukum pidana. Kehadiran dua lembaga penuntut memerlukan upaya ekstra untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip ini tetap terjaga.
Sistem satu lembaga penuntut umum yang diterapkan di berbagai negara di atas menunjukkan bahwa monopoli penuntutan dapat memberikan manfaat signifikan dalam hal keseragaman, kepastian hukum, efisiensi, dan transparansi dalam penegakan hukum. Negara-negara ini berhasil menerapkan sistem tersebut untuk menjaga integritas dan keadilan dalam sistem peradilan pidana mereka.
Saran
Mengalir dari analisis singkat di atas dan referensi yang ada, disarankan agar Presiden mempertimbangkan untuk mengembalikan kewenangan penuntutan KPK kepada Kejaksaan. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan keseragaman, kepastian hukum, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam penegakan hukum di Indonesia. Implementasi perubahan ini harus diikuti dengan revisi undang-undang yang relevan untuk memastikan bahwa KPK tetap memiliki kewenangan kuat dalam penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi, sementara Kejaksaan menangani penuntutannya. Hal ini merupakan suatu simponi yang indah
Referensi :
- Mertokusumo, Sudikno. (2010). Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty
- Manan, Bagir. (2005). Teori dan Politik Konstitusi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
- Schmidt, Peter H. (2009). Law and Society: A Sociological Perspective. New York: Springer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar