ANALISA PUTUSAN PERKARA GAZALBA SALEH
Oleh :
Laksda TNI (purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb
Pada tanggal 27 Mei 2024, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas I A Khusus, yang memeriksa dan mengadili perkara - perkara tindak pidana korupsi pada peradilan tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa telah menjatuhkan putusan dalam perkara atas nama Terdakwa Gazalba Saleh.
Putusan itu adalah sebagai berikut :
1. Mengabulkan Nota Keberatan dari Terdakwa/Tim Penasihat Hukum
2. Menyatakan Penuntutan dan surat Dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima;
3. Memerintahkan Terdakwa Gazalba Saleh dibebaskan dari tahanan segera.
Berdasarkan Keputusan itu maka terdakwa Gazalba Saleh di bebaskan dari tahanan.
Banyak pihak yang tidak sependapat dengan Keputusan itu. Untuk itulah sangat penting untuk menganalisa putusan itu.
Pertimbangan hukum.
Dari uraian rumusan pertimbangan hukum dalam putusan sela, secara simpel menyatakan bahwa “tidak ada pendelegasian wewenang dari Jaksa Agung” sehingga Dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima, yang mengakibatkan Terdakwa Gazalba Saleh harus segera dibebaskan dari tahanan.
Analisa Pertimbangan Hukum.
Dengan adanya putusan ini maka Pertimbangan Hukum hakim ini perlu dianalisa dengan menggunakan beberapa UU dibawa ini.
1. Jaksa Agung sebagai Penuntut umum.
1.1 Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum diatur pada huruf h ayat (1) pasal 35 UU UU 11/2021 tentang Perubahan atas UU 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang selengkapnya berbunyi :
(1) Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
h. sebagai penyidik dan Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap perkara tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
1.2 Asas Dominus Litis dan Asas Oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa, serta prinsip Single Prosecution System (sistem penuntutan tunggal) yang menempatkan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi merupakan best practices sekaligus standar yang berlaku dalam praktik penuntutan secara internasional.
2. Pendelegasian Kewenangan Jaksa Agung.
Untuk melakukan Penuntutan, Jaksa Agung sebagai Penuntut umum mendelegasikan kewenangan penuntutan kepada penuntut umum sebagaimana yang diatur pada huruf j ayat (1) pasal 35 UU 11/2021 tentang Perubahan atas UU 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang selengkapnya berbunyi :
(1) Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang
j. mendelegasikan sebagian kewenangan Penuntutan kepada Penuntut Umum untuk melakukan Penuntutan;
3. Penuntut Umum.
Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang sebagaimana yang diatur oleh Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 tentang Perubahan atas UU 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang selengkapnya menyatakan :
Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.
4. Jaksa sebagai Penuntut Umum
Pasal 8 ayat (1) UU 11/2021 tentang Perubahan atas UU 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan :
(1) Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.
Dengan demikian, mengalir dari angka 3 dan angka 4 dapat disimpulkan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.
5. Jaksa sebagai Penuntut Umum pada KUHAP
Jaksa sebagai Penuntut Umum pada KUHAP diatur oleh pasal 1 angka 6 huruf “a” dan huruf “b” UU 8/1981 tentang KUHAP yang selengkapnya berbunyi :
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim dikeluarkan dari tahanan.
Dengan demikian yang berwenang melaksanakan Penuntutan pada KUHAP adalah Jaksa yang sudah menerima delegasi kewenangan penuntut umum dari Jaksa Agung yaitu Jaksa yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum.
5. Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi diangkat dan diberhentikan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal itu diatur pada pasal 51 UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selengkapnya menyatakan :
(1) Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi.
(3) Penuntut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jaksa Penuntut Umum.
6. Syarat Kewenangan Jaksa Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kewenangan Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi harus sesuai dengan kewenangan penuntut umum pada KUHAP sebagaimana diatur pada pasal 38 UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selengkapnya menyatakan :
Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang ini.
Ketentuan pasal 38 UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tegas mengatur Kewenangan Jaksa Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi harus sama dengan Kewenangan Penuntut Umum pada KUHAP.
7. Kewenangan Penuntut Umum pada KUHAP.
Kewenangan Penuntut Umum pada KUHAP adalah Jaksa yang “sudah menerima delegasi kewenangan penuntut umum dari Jaksa Agung” yaitu Jaksa yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum.
8. Kewenangan Jaksa Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jaksa Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (lihat angka 5) sehingga BELUM menerima delegasi kewenangan penuntut umum dari Jaksa Agung.
Sebagai contoh : Oditur Jenderal menerima delegasi kewenangan penuntutan dari Jaksa Agung sebagaimana diatur pada huruf i ayat (1) pasal 35 UU 11/2021 tentang Perubahan atas UU 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang selengkapnya berbunyi :
(1) Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang :
i. mendelegasikan sebagian kewenangan Penuntutan kepada Oditur Jenderal untuk melakukan Penuntutan.
9. Argumen berdasarkan Prinsip Lex Specialis Derogat Legi Generali
9.1 Definisi Lex Specialis dan Lex Generalis:
Prinsip lex specialis derogat legi generali berarti bahwa peraturan hukum yang lebih khusus (lex specialis) mengesampingkan peraturan hukum yang lebih umum (lex generalis) ketika terdapat konflik di antara keduanya.
9.2 Kewenangan Jaksa Agung sebagai Lex Specialis:
Dalam konteks penuntutan pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan kewenangan penuntutan kepada Jaksa Agung. Pasal 13 KUHAP menyebutkan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Jaksa Agung (lihat angka 7), yang mencerminkan monopoli penuntutan oleh kejaksaan.
Argumentasi ini berpendapat bahwa dalam hal penuntutan pidana, termasuk tindak pidana korupsi, kewenangan Jaksa Agung sebagai penuntut umum merupakan lex specialis yang lebih spesifik dibandingkan kewenangan penuntutan yang diberikan kepada lembaga lain seperti KPK.
9.3 Kewenangan KPK sebagai Lex Generalis:
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Kewenangan tersebut bersifat umum dalam konteks pemberantasan korupsi dan tidak secara eksplisit mengesampingkan kewenangan Jaksa Agung yang diatur dalam KUHAP.
Oleh karena itu, kewenangan penuntutan oleh KPK dianggap sebagai lex generalis yang harus tunduk pada lex specialis kewenangan penuntutan oleh Jaksa Agung.
10. Penjelasan Perspektif Hukum
10.1. Hierarki dan Konsistensi Peraturan:
Ditinjau dari Hierarki dan Konsistensi Peraturan, bahwa meskipun UU KPK memberikan kewenangan penuntutan kepada KPK, hal ini harus dilakukan dalam kerangka koordinasi dengan Jaksa Agung untuk menjaga konsistensi bahwa Penuntutan adalah monopoli Jaksa Agung dan integritas proses penegakan hukum.
10.2 Tujuan Legislasi dan Efisiensi Penuntutan:
Kewenangan Jaksa Agung sebagai penuntut umum bertujuan untuk memastikan bahwa proses penuntutan berjalan efisien dan konsisten di seluruh yurisdiksi Indonesia. Ini juga untuk menghindari fragmentasi dan potensi konflik yurisdiksi antara lembaga penegak hukum.
Dengan mempertimbangkan bahwa Jaksa Agung memiliki infrastruktur dan sumber daya yang lebih besar untuk mendukung proses penuntutan, dapat menguatkan argumen bahwa penuntutan oleh KPK harus dilakukan dalam kerangka koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
11. Dapat disimpulkan bahwa tanpa Pendelegasian Kewenangan Penuntutan dari Jaksa Agung maka Jaksa Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki kewenangan untuk bertindak sebagai penuntut umum.
12. Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi HARUS MENDAPATKAN PENDELEGASIAN KEWENANGAN DARI JAKSA AGUNG terlebih dahulu untuk DAPAT bertindak sebagai penuntut umum.
13. Itulah sebabnya Dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima, karena Jaksa Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi BELUM MENDAPATKAN PENDELEGASIAN KEWENANGAN DARI JAKSA AGUNG.
14. Jadi tidak salah kalau Gazalba Saleh dibebaskan dari tahanan karena Jaksa Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi BELUM MENDAPATKAN PENDELEGASIAN KEWENANGAN DARI JAKSA AGUNG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar