Syahwat kekuasaan Bakamla nutuk berkuasa dilaut sepertinya tidak pernah padam. Setelah PP 13/2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan Keselamatan dan Penegakan Hukum di wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia tidak bisa diemplementasikan, sekarang muncul ide yang lebih gila lagi, yaitu merevisi UU 32/2014 TENTANG KELAUTAN. Kalau hanya merevisi saja itu biasa, tapi yang terjadi lebah para lagi, yaitu merevisi pada saat yang sama juga berupaya untuk membatalkan beberapa pasal yang ada di UU 17/2008 ttg pelayaran yang kemudian dimasukan kedalam revisi UU 32/2014 ttg. Hal ini kalan terlaksanak akan menjadi ketidak pastianhukum sehingga sangat berpengaruh terhadap pelayaran Indonesia, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap perekonomian bangsa, yang dapat menggagalkan Indonesia sebagai Poros Maritim dunia.
1. Sebagai tolok ukur pertama yang digunakan adalah UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan.
Pasal 7 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan berbunyi sebagai berikut :
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dengan demikian pada prinsipnya, sesama Undang tidak bisa saling meniadakan.
2. Tolok ukur kedua adalah ayat (1) pasal 24 UU 6/1996 tentang Perairan Indonesia.
Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan indonesia dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta sanksi atas pelanggarannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
Dengan demikian maka Penegakan Kedaulatan di laut dilaksanakan oleh TNI AL berdasarkan pasal 9 huruf a UU 34/2004 ttg TNI dan Penegakan hukum dilaksanakan oleh masing-masing Penyidik dari setiap Undang-undang yang dilanggar.
Tanggapan ini dibuat berdasarkan kedua tolok ukur itu.
1. PASAL 72 A REV UU 32/2014 TTG KELAUTAN
Pd saat UU ini berlaku ketentuan ps 1 angka 59, ps 276, ps 277, ps 278, ps 279, ps 280, ps 281 dan ps 283 uu 17/2008 ttg Pelayaran dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Tanggapan :
Pasal ini bertentangan dengan prinsip pada pasal 7 ayat 2 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, sehingga pasal tidak bisa terlaksana karena sesama Undang-undang sama kekuatan hukumnya.
2. PASAL 71 REV UU 32/2014 TTG KELAUTAN
Ketentuan ps 71 ayat 2 dihapus dan ditambahkan baru setelah ayat (2) menjadi ayat (2a) sehingga berbunyi sebagai berikut :
(1) Direktorat kesatuan penjaga laut dan pantai kementrian perhubungan tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai dgn selesainya penyesuaian struktur organisasi, tata kerja, dan personal badan keamanan laut berdasarkan UU ini dihapus
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi bakamla diatur dgn peraturan bakamla
Tanggapan :
Pasal ini bertentangan dengan prinsip pada pasal 7 ayat 2 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, sehingga pasal tidak bisa terlaksana karena sesama Undang-undang sama kekuatan hukumnya.
3. PASAL 64 REV UU 32/2014 TTG KELAUTAN
Ketentuan ps 64 di ubah menjadi kebijakan dan strategi operasi keamanan laut dan penegakan hukum sebagaimana dimaksud dlm ps 62 huruf a ditentukan oleh presiden.
Tanggapan :
Apa yang dimaksud dengan kebijakan strategi operasi keamaman laut ? Apa ancaman yang dihadapi ?
Apabila Operasi Keamanan Laut itu bertuhjuan untuk menegakan kedaulatan di laut maka hal itu bertentangan dengan ps 24 ayat (1) UU 6/1996 tentang Perairan yang mengatur bahwa Penegakan kedaulatan itu dilaksanakan dengan melaksanakn Operasi Penegakan Kedaulatan yang dilaksanakan oleh TNI AL sebagaimana yang diatur olles UU 34/2004 tog TNI.
Apabila Operasi keamanan Laut itu bertujuan untuk menegakan hukum dilaut, maka hal itu bertentangan denna ps 24 ayat (1) UU 6/1996 tentang Perairan yang mengatur bahwa Penegakan hukum dilakukan oleh masing-masing instansi sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh masing-masing UU.
Penegakan hukum dibidang apa yg akan ditentukan oleh presiden ? UU 32/2014 tentang Kelautan itu untuk dilaksanakan oleh Mneteri Kelautan, bukan untuk presiden. Sehingga Presiden tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan kebijakan penegakan hukum.
4. Pasal 63 A REV UU 32/2014 TTG KELAUTAN.
Pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud dlm ps 63 huruf f dilakukan oleh penyidik pada yg diangkat dan diberhentikan oleh Bakamla
Tanggapan :
Bakamla tidak bisa mengangkat penyidik, karena penyidik itu harus diatur oleh UU.
5. Pasal 60-62 Rev UU 32/2014 tentang kelautan bertentangan dengan ps 1 angka 59, ps 276, ps 277, ps 278, ps 279, ps 280, ps 281 dan ps 283 uu 17/2008 ttg Pelayaran.
Pembentukan Coast Guard :
Revisi UU Kelautan bertujuan akan menentukan Bakamla sebagai Cosat Guard. Hal ini bertentangan dengan UU 17/2008 tentang Pelayaran.
Pembentukan Coast Guard sudah diatur pada UU 17/2008 tentang Pelayaran dapat ditemui pada paragraf 14 UU 17/2008 ttg Pelayaran.
Paragraf 14 uu 17/2008 ttg Pelayaran
selain hal tersebut di atas, yang juga diatur secara tegas dan jelas dalam undang-undang ini adalah pembentukan institusi di bidang penjagaan laut dan pantai (sea and coast guard) yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh menteri. penjaga laut dan pantai memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi koordinasi di bidang penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran. penjagaan laut dan pantai tersebut merupakan pemberdayaan badan koordinasi keamanan laut dan perkuatan kesatuan penjagaan laut dan pantai. diharapkan dengan pengaturan ini penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dapat dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi dengan baik sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan penegakan hukum di laut yang dapat mengurangi citra indonesia dalam pergaulan antarbangsa.
Jadi sangat jelas bahwa bila akan membentuk Coast Guard maka harus menggunakan UU 17/2008 tentang Pelayaran.
Pasal 281 UU 17/2008 tentang Pelayaran sangat jelas mengatur tentang tatacara Pembentukan Coast Guard.
KESIMPULAN :
1. Revisi UU 32/2014 ttg Kelautan dapat mengakibatkan hal-hal sbb :
– Revisi itu sia-sia krn tidak dpt merobah apapun
– Tidak berpengaruh kepada Kemhub, dapat diabaikan oleh Kemhub.
– Dapat mengakibatkan ketidak pastian hukum dilaut yg mengakibatkan :
• biaya asuransi angkutan laut akan jadi tinggi
• perusahaan pelayaran akan menjadi korban gakkum yg tidak sah.
• kapten kapal akan selalu jadi tahanan
• harga barang akan mejadi mahal
• Indonesia sbg poros maritim dunia akan gagal
• Investasi yang digagas oleh Kemenkomarinves akan mengalami kegagalan.
2. UU 32/2014 ttg Kelautan pelaksananya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, oleh sebab itu maka Menteri kelautan dan perikanan tidak mungkin mengatur keselamatan dan keamanan pelayaran, serta keselamatan dan keamanan dilaut.
3. Revisi UU 32/2014 ttg Kelautan adalah pekerjaan sia-sia krn melanggar asas-asas hukum sehingga mudah utk di judicial Revieu.
4. Penegakan hukum dilaut berkorelasi langsung dgn sektor maritim yang dipimpin oleh Menkomarinves dan perkembangan perekonomian nasional, sehingga ketidak pastian hukum dilaut pasti akan berpengaruh langsung kepada investasi yang akan berpengaruh pada perekonomian bangsa.
5. Untuk mendukung perkembangan di sektor maritim yang dan perekonomian nasional, Indonesia Sea and Coast Guard harus segera dibentuk.
6. Kalau hanya bertujuan untuk membentuk ISCG, maka dapat dengan mudah dilakukan yaitu dengan menggabungkan Bakamla dan KPLP bdsk ps 281 UU17/2008 ttg Pelayaran oleh Kemhub.
7. ISCG (UU 17/2008 ttg Pelayaran) berkorelasi langsung dgn Imo convension
Tidak ada komentar:
Posting Komentar