oleh :
Laksda TNI Soleman B. Ponto ST, SH, MH
Indonesia sebagai negara kepulauan terdiri dari 80 % wilayah laut dan 20 % wilayah darat. Dengan luas wilayah laut yang sedemikian besarnya, maka transportasi laut menjadi sangat penting. Hasil dari investasi Kementerian Maritim dan Investasi pun hanya bisa dibawa ke luar negeri dengan menggunakan transportasi laut.
Transportasi laut itu dilakukan dengan menggunakan kapal yang berlayar dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya dengan membawa barang dagangan dan orang. Tibanya kapal pada pelabuhan tujuan sangat tergantung pada keselamatan dan keamanan kapal itu selama di laut.
Ancaman keamanan di laut.
Sekarang ini kita disuguhkan situasi di Laut Cina Selatan yang semakin memanas dengan hadirnya kapal-kapal Angkatan Laut Cina dan kapal-kapal Angkatan Laut Amerika. Pada saat yang sama di laut juga terjadi permasalahan pembajakan, keselamatan pelayaran, perampokan bersenjata terhadap kapal, tindakan teroris, penyelundupan dan perdagangan manusia, pencemaran lingkungan laut, dan ancaman terhadap pengelolaan sumber daya alam kelautan seperti: illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF).
Kondisi seperti ini oleh banyak pihak disebut sebagai isu keamanan laut. Isu Keamanan Laut ini bahkan sering disebut-sebut sebagai sebuah bidang yang sangat luas dalam penegakan hukum di wilayah laut. Isu ini disebut-sebut sangat lintas sektor dan semakin kompleks dengan keterlibatan unsur asing.
Bahkan Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya pada 2008 mengenai Kelautan dan Hukum Laut mengakui bahwa tidak ada definisi "Keamanan Laut" yang diterima secara universal. Secara sempit dapat diartikan perlindungan ancaman serangan terhadap kedaulatan wilayah negara pantai.
Untuk menganalisis situasi seperti itu, saya menggunakan salah satu dari ilmu intelijen yang dikenal dengan nama FOG, yang merupakan singkatan dari Fact, Opinion dan Guess. Setiap perbincangan dan perdebatan yang terjadi dipilah-pilah mana yang merupakan Fact, mana yang Opinion dan mana yang Guess.
Fact atau fakta adalah hal-hal yang tidak terbantahkan. Setiap orang akan memliki pandangan yang sama ketika menilai dan melihatnya. Opinion dan Guess atau Opini dan Perkiraan adalah hal yang sangat subjektif. Setiap orang tidak akan sama dalam menilai dan melihatnya.
Perhatian penuh harus dicurahkan kepada Fact yang ditemui. Dari Fact yang ditemui inilah dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Opinion dan Guess diabaikan saja, karena tidak bermanfaat.
Sekarang mari kita lihat bersama hal-hal yang sangat sering diperbincangkan sekarang ini yaitu hal-hal yang menyangkut masalah Keamanan Laut, Keamanan Maritim, Keamanan Regional, Pengelolaan Keamanan Maritim, Tata Kelola Keamanan Laut, Tata Kelola Keamanan dan Keselamatan dan Penegakan Hukum. Kesemuanya ini masuk dalam kategori Opini saja. Karena setiap orang bisa membuat kriterianya masing-masing.Tidak ada satu kriteria yang pasti.
Kepala Bakamla misalnya sering menyampaikan delapan (8) isu Keamanan Laut, yang menurut ilmu intelijen itu semua hanya merupakan Opini saja. Isu yang sering disampaikan itu misalnya tentang adanya permasalahan pembajakan, keselamatan pelayaran, perampokan bersenjata terhadap kapal, tindakan teroris, penyelundupan dan perdagangan manusia, pencemaran lingkungan laut, dan ancaman terhadap pengelolaan sumber daya alam kelautan seperti illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF). Semua itu hanya berupa Opini.
Contohnya apa yang dimaksud dengan penyelundupan dan perdagangan manusia menurut Bakamla belum tentu sama dengan apa yang dimaksud oleh Bea Cukai, atau Polri misalnya. Tapi satu hal yang pasti adalah bahwa penyelundupan dan perdagangan manusia adalah pelanggaran terhadap UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Semua orang akan memiliki pandangan yang sama bahwa perdagangan manusia adalah pelanggaran terhadap UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Inilah yang dikategorikan sebagai Fact atau Fakta. Jadi adalah fakta bahwa di laut ada pelanggaran terhadap UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Mengalir dari hal yang sering dipublikasikan itu, yang merupakan Fact adalah:
1. Adanya kapal perang Amerika dan adanya kapal perang Tiongkok Laut Cina Selatan. Artinya ada ancaman militer yang diatur oleh UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No. 34/2004 tentang TNI, yang dapat membahayakan Kedaulatan Indonesia.
2. Permasalahan pembajakan, adalah pelanggaran terhadap hukum pidana.
3. Kecelakaan di laut, adalah pelanggaran terhadap UU No. 17/2008 tentang Pelayaran.
4. Perampokan bersenjata terhadap kapal adalah pelanggaran terhadap hukum pidana.
5. Tindakan teroris, adalah pelanggaran terhadap UU No. 5/2018 tentang Tindak Pidana Teroris.
6. Penyelundupan dan perdagangan manusia, adalah pelanggaran terhadap UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
7. Pencemaran lingkungan laut, adalah pelanggaran terhadap UU No. 32/ 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
8. Ancaman terhadap pengelolaan sumber daya alam kelautan seperti illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF) adalah pelanggaran terhadap UU No. 45/2009 tentang Perubahan atas UU 31/2004 tentang Perikanan.
9. Klaim batas Maritim adalah pelanggaran terhadap UU No. 43/2008 tentang Batas Wilayah.
Jadi sangat jelas bahwa isu Keamanan Laut yang selalu disuarakan serta memanasnya situasi di Laut Cina Selatan faktanya adalah Pelanggaran terhadap Undang-Undang atau Pelanggaran Hukum.
Dengan demikian maka faktor yang memengaruhi keselamatan dan keamanan kapal selama di laut adalah Penegakan Hukum di laut.
Menyadari akan pentingnya penegakan hukum di laut, pemerintah Indonesia berupaya keras untuk menyelesaikan carut-marut dalam penegakan hukum di laut itu.
Menata keamanan laut.
Keamana laut Indonesia sudah mulai terganggu sejak tahun 1970 an, Keamanan Laut Indonesa mulai terganggu. Untuk mengatasi gangguan keamanan di laut ini pemerintah memandang perlu untuk meningkatkan kegiatan Penegakan Hukum diwilayah laut Indonesia. Hal itu dilaksanakan dengan melakukan degan berbagai cara yaitu :
1. Membentuk BAdan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla)
Menyadari bahwa kewenangan Penegakan Hukum itu dimiliki oleh beberapa instansi, maka pemerintah membentuk suatu Badan yang tugasnya adalah untuk Mengkoordinasikan pelaksanaan Penegakan Hukum di Laut.
Pada sekitar tahun 1972-an, dilaut ada 4 instansi yang memiliki kewenangan sebagai Penyidik yaitu TNI AL, Polairud, KPLP, dan Bea Cukai. Masing-masing instansi memiliki kewenangan sebagai Penyidik untuk melakukan penegakan hukum di laut. TNI AL memiliki kewenangan memeriksa kapal berdasarkan TZMKO, Polairud memiliki kewenangan Pemidanaan, KPLP memiliki kewenangan untuk menegakan aturan Keselamatan Pelayaran dan Beacukai memiliki kewenangan untuk memeriksa semua barang yang masuk kewilayah Indonesia.
Jadi dapat dibayangkan ketika ada penyeludupan barang yang dilakukan dengan kapal penyeludup laut, maka ke 4 instansi itu semuanya merasa memiliki kewenangan untuk menangkap kapal yang melaukan penyeludupan itu. TNI AL merasa punya kwewnangan utk memeriksa semua kapal yang masuk ke wilayah perairan Indonesia. Polairud merasa punya kewenangan untuk memeriksa pelanggaran pidana, KPLP merasa memiliki kewenangan utuk memeriksa kelengkapan kapal, dan Bea Cukai merasa memiliki kewenangan untuk memeriksa semua barang yang ada dikapal penyeludup itu. Akibatnya ke 4 instansi itu saling berebut untuk menangkap kapal penyeludup itu. Demikian pula benturan antara ke 4 instansi itupun tidak jarang juga terjadi. Itulah sebabnya maka pemeritah merasa perlu untuk membentuk suatu Badan yang bertugas utuk Mengkoordinasikan Pelaksanaan Penegakan Hukum di Laut. Untuk itu maka dibentuklah Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla)
1.1 Bakorkamla Periode – 1
Menyadari akan pentingnya Penegakan Hukum di laut, maka pada tahun 1972 para Menteri yang terkait langsung dengan Pelaksanaan Penegakan Hukum dilaut bersepakat untuk membentuk Badan Koordinasi. Ada 5 menteri terkait yang melakukan kesepakatan itu yaitu, Menhankam/Pangab yang membawahi Kapal-kapal TNI AL dan Kapal-kapal Polairud, Menteri Perhubungan yang membawahi Kapal-kapal KPLP, Menteri Keuangan yang membawahi kapal-kapal Bea Cukai, serta Menteri Kehakiman yang akan mengadili para penyeludup yang tertangkap, serta Jaksa Agung, yang akan menjadi penuntut ketika para penyeludup itu dibawa kepengadilan. Kesepakatan untuk membentuk Badan Koordinasi Keamanan Laut ( Bakorkamla) dikukuhkan oleh Keputusan Bersama antara Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung, Nomor: KEP/B/45/XII/1972; SK/901/M/1972; KEP.779/MK/III/12/1972; J.S.8/72/1;KEP-085/J.A/12/1972 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Keamanan di Laut dan Komando Pelaksana Operasi Bersama Keamanan di Laut.
Panglima Komando Operasi Keamanan Laut (Pangkoopskamla) dipegang oleh Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), sedangkan Pelaksana Harian (Lakshar) dipegang oleh Panglima Armada (Pangarma), yang dalam kegiatan sehari-hari dilaksanakan oleh Komandan Gugus Keamanan Laut (Guskamla). Para Komandan Lantamal bertindak sebagai Komandan Satuan Tugas Gugus Keamanan Laut (Dansatgaskamla), para Komandan Lanal bertindak sebagai Komandan Kelompok Gugus Keamanan Laut (Danpokgaskamla) sementara para Komandan Posal bertindak sebagai Komandan Unit Gugus Keamanan Laut (DanUGK).
Bakorkamla-periode 1 ini mengalami kegagalan sehingga pada tahun 2005 dibentuk lagi Bakorkamla – periode 2.
1.2. Pelajaran dari kegagalan Bakorkamla periode – 1
Sangat jelas terlihat bahwa organisasi Bakorkamla Periode-1 ini melekat pada organisasi TNI AL. Sehingga secara otomatis pelaksanaan tugas TNI AL sekaligus merupakan Pelaksanaan tugas Bakorkamla.
Oleh karena prisnsip organisasi TNI AL bersifat SATU KOMANDO, akibatnya dalam pelaksanaan tugas Bakorkamla pun secara otomatis menganut prinsip SATU KOMANDO.
Dengan prinsip SATU KOMANDO itu maka instansi-instansi yang tergabung dalam Bakorkamla suka tidak suka diperlakukan sebagai “bawahan” dari TNI AL. Jadilah “seakan-akan” TNI AL memliki kewenangan untuk melakukan pemidanaan, memeriksa barang masuk, memeriksa kelengkapan kapal dll. Inilah yang dikenal dengan sebutan single agency multi task yaitu TNI AL dengan bermacam-macam kewenangan. Padahal sejatinya kewenangan itu berada pada masing-masing instansi yang tergabung dalam Bakorkamla.
Prinsip SATU KOMANDO atau single agency multi task ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip KOORDINASI yang menjadi dasar pembentukan Bakorkamla, tetapi juga bertentangan dengan prinsip penegakan Hukum, yaitu KOORDINASI.
Selain itu Penegakan Hukum Itulah sebabnya prinsip SATU KOMANDO ini ternyata bertentangan dengan prinsip dasar pembentukan Bakorkamla. Prinsip dasar pembentukan Bakorkamla adalah KOORDINASI, karena kedudukan dan kewenangan instansi-instansi yang tergabung dalam Bakorkamla “sama tingginya”.
Prinsip “SATU KOMANDO” atau Single agency multi task ini bertentangan dengan prisnsip Penegakan Hukum. Prinsip dalam Penegakan Hukum adalah KOORDINASI. Itulah sebabnya Bakorkamla Periode-1 dipandang perlu untuk disempurnakan.
Prinsip “SATU KOMANDO” atau Single agency multi task juga mengartikan bahwa dalam melaksanakan penegakan Hukum Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata, sebagai pemegang Komando memiliki “bawahan” yaitu Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung.
Padahal sesungguhnya dalam melaksanakan Penegakan hukum ke 5 Menteri itu memiliki kewenangan dan kedudukan yang sama tingginya. Itulah sebabnya diperlukan adanya KOORDINASI.
Adanya prisnp Prinsip “SATU KOMANDO” atau Single agency multi task inilah yang mengakibatkan Bakorkamla-periode 1 ini mengalami kegagalan.
1.3. Bakorkamla Periode – 2
Menyadari bahwa Pelaksanan Penegakan Hukum tidak bisa dilakukan dengan menyatukan semua instansi dibawa satu komando, atau dengan single agency multy tasik, maka dibentuklah Bakorkamla Periode – 2 dalam rangka meningkatkan koordinasi antar berbagai instansi pemerintah di bidang Penegakan Hukum untuk menjamin Keamanan Laut.
Bakorkamla Periode – 2 ini diresmikan pada tanggal 29 Desember 2005, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut ( BAKORKAMLA ).
Untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dibuat pada Bakorkamla – periode 1, Prinsip KOORDINASI pada pembentukan Bakorkamla – periode 2 ini lebih dipertegas lagi. Dasar hukum Pembentukan Bakorkamla Periode-2 ini yaitu pasal 24 ayat (1) dan ayat (3) Undang – undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang selengkapnya berbunyi :
Pasal 24
1. Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi hukum internasional lainnya, dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
3. Apabila diperlukan, untuk pelaksanaan penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Selain itu, Bakorkamla-periode-2 ini tidak lagi melekat pada organsasi TNI AL, tapi langsung dikendalikan oleh Menteri Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Artinya prisnsip satu Komando atau single agency multy task yang dianut oleh Bakorkamla-periode 1 sudah ditinggalkan. Bakorkamla Periode 2 ini betul-betul menganut prisnsip KOORDINASI.
Prinsip KOORDINASI dalam Penegakan Hukum mutlak harus dilaksanakan karena menurut UU no 10 tahaun 2004 yang diperbaharui menjadi UU 12/2011 tentang Pembentukan Aturan Perundangan, bahwa kekuatan hukum sesama UU sama kuatnya. Itulah sebabnya sesame UU hanya bisa di KOORDINASIKAN. Tidak ada satu UU pun yang kekuatan hukumnya diatas UU yang lainnya.
Bakorkamla Periode-2 yang berjalan dibawah koordinasi Menko Polhukam, identik dengan Bakorkamla Periode-I, dalam operasinya di laut harus mengkoordinasikan operasi Kapal-kapal dari insansi yang memiiki kewenangan sebagai Penyidik yaitu dari TNI AL, Polairud, KPLP, dan Bea Cukai.
Menurut Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Bakorkamla, Bakorkamla menyelenggarakan fungsi :
a. Perumusan dan penetapan kebijakan umum di bidang Keamanan Laut;
b. Koordinasi kegiatan dan pelaksanaan tugas di bidang keamanan laut yang meliputi kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan pemerintah diwilayah perairan Indonesia;
c. Pemberian dukungan teknis dan administrasi di bidang keamanan laut secara terpadu.
Mengalir dari isi pasal 2, 3, dan 4 tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa Bakorkamla adalah lembaga non struktural yang bertugas melakukan Koordinasi pelaksanaan kegiatan Operasi Keamanan Laut secara terpadu diwilayah perairan Indonesia;
Operasi Keamanan Laut, menurut angka 4 pasal 1 Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2005 tentang Bakorkamla, adalah upaya dan tindakan terencana yang diselenggarakan secara khusus dan untuk sasaran atau tujuan tertentu oleh masing-masing instansi yang berwenang (operasi keamanan laut mandiri) dan/atau oleh dua atau lebih instansi secara bersama (operasi keamanan taut bersama) dalam rangka penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum, serta keselamatan pelayaran dan pengamanan terhadap aktivitas masyarakat dan pemerintah di wilayah perairan Indonesia.”
Koordinasi Keamanan Laut menurut angka 2 pasal 1 Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2005 tentang Bakorkamla adalah upaya untuk memadukan kegiatan dan operasi keamanan laut yang dilakukan oleh instansi pemerintah masing-masing sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kegiatan Keamanan Laut, menurut angka 3 pasal 1 Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2005 tentang Bakorkamla, adalah adalah segala upaya tindakan terencana yang diselenggarakan secara rutin dan fungsional oleh masing-masing instansi sesuai lingkup tugas pokok masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada saat Bakorkamla periode – 2, dibentuk, aturan perundangan yang berhubungan dengan laut dan harus di Koordinasikan oleh Bakorkamla sedikitnya ada 17 (tujuh belas) Peraturan Perundang-undangan nasional antara lain :
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landasan Kontingen Indonesia,
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982,
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
6. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan
7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
8. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
10. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 11. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI
12. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
13. Undang-Undang Nomor12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
14. Undang-Undang Nomor34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
15. Undang-Undang Nomor26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
16. Undang-Undang NomorI Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil,
17. Undang-Undang Nomor17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
2. Pemberdayaan Bakorkamla dan Perkuatan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP)
Dalam pelaksanaan tugasnya, Bakorkamla periode-2 ini tidak berdaya dalam menghadapi instansi yang berada dibawa Koordinasinya. Hal ini disebabkan karena instansi yang ada dibawa koordinasi Bakorkamla memiliki kewenangan yang diatur oleh Undang-undang, sedangkan Bakorkamla sendiri hanya dibentuk berdasarkan Perpres. Disamping itu juga pelaksanaan operasi kapal-kapal para Penyidik dilaut saat itu juga tidak ada Koordinatornya. Sehingga kapal-kapal itu beroperasi sesuai dengan perintah dari instansi induknya masing-masing. Itulah sebabnya agar supaya kekuatan hukum kewenangan Bakorkamla seimbang dengan kekuatan hukum kewenangan instansi-instansi yang ada dalam koordinasinya, serta diperlukan adanya Koordinator penyidik dilaut, maka dipandang perlu adanya PEMBERDAYAAN BAKORKAMLA dan PERKUATAN KPLP.
Pemberdayaan Bakorkamla dilakukan dengan cara meningkatkan landasan hukum pembentukan Bakorkamla dari yang semula hanya berupa Perpres ditingkatkan menjadi Undang-undang. Sedangkan Perkuatan KPLP adalah dengan menetapkan KPLP sebagai Koordinator Penyidik dilaut yang juga harus ditetapkan oleh Undang-undang.
3. Penerbitan Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Agar supaya pemberdayaan Bakorkamla dan Perkuatan KPLP ini memiliki landasan hukum yang kuat, maka maka dibuatlah Undang-undang yang baru yaitu Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Pemberdayaan Bakorkamla dan Perkuatan KPLP yang diatur oleh Undang-undang ini kemudian disebut dengan nama PENJAGA LAUT DAN PANTAI atau SEA AND COAST GUARD. Hal ini terlihat pada Penjelasan UU 17/2008 tentang Pelayaran.
Isi dari sebagian penjelasan berbunyi :
“Selain hal tersebut di atas, yang juga diatur secara tegas dan jelas dalam Undang-Undang ini adalah pembentukan institusi di bidang PENJAGAAN LAUT DAN PANTAI (SEA AND COAST GUARD) yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri. Penjaga Laut dan Pantai memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi koordinasi di bidang penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran. Penjagaan Laut dan Pantai tersebut merupakan pemberdayaan badan koordinasi keamanan laut dan perkuatan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai.
Diharapkan dengan pengaturan ini penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dapat dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi dengan baik sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan penegakan hukum di laut yang dapat mengurangi citra Indonesia dalam pergaulan antarbangsa”.
Mengalir dari “penjelasan UU 17/2008 ttg Pelayaran” bahwa Penjaga Laut dan Pantai atau Sea and Coast Guard (bukan KPLP) yang memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi koordinasi di bidang penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran, dibentuk untuk melaksanakan Penegakan Aturan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran dhi UU 17/2008 tentang Pelayaran yang “terkoordinasi” dengan pelaksanaan penegakan hukum “diluar” UU 17/2008 tentang Pelayaran sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam pelaksanaan Penegakan Hukum dilaut.
Beberapa “Phrasa” penting yang yang ada dalam UU 17/2008 tentang Pelayaran yang harus mendapat perhatian dan dimengerti adalah :
3.1. Penegakan Aturan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran.
Keselamatan dan Keamanan Pelayaran diatur oleh UU 17/2008 tentang Pelayaran, maka Penegakan Aturan Keselamatan dan keamanan Pelayaran dapat diartikan sebagai Penjagaan dan Penegakan aturan UU 17/2008 tentang Pelayaran.
Undang-undang atau Legislasi adalah Hukum yang yang telah disahkan oleh badan legislative, maka Penjagaan dan Penegakan aturan Undang-undang dapat dikatakan sebagai Penegakan Hukum.
Jadi Penegakan Aturan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah Penjagaan dan Penegakan aturan UU 17/2008 tentang Pelayaran yang juga . adalah Penegakan Hukum tentang Keselamatan dan Keamanan Pelayaran
3.2. Penegakan Hukum diluar Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah Penjagaan dan Penegakan aturan yang diatur oleh Undang-undang selain UU 17/2008 tentang Pelayaran. Misalnya penjagaan dan penegakan aturan yang diatur oleh UU 45/2019 tentang Perikanan.
3.3. Penegakan Hukum dilaut dan pantai, adalah penjagaan dan penegakan semua aturan dilaut dan pantai yang diatur oleh Undang-undang, atau Penjagaan dan Penegakan aturan perundangan di laut dan pantai. (UU17/2008 ttg Pelayaran + UU diluar UU 17/2008 ttg Pelayaran)
3.4. Penjagaan dan Penegakan aturan perundangan di laut dan pantai. (UU17/2008 ttg Pelayaran + UU diluar UU 17/2008 ttg Pelayaran) dilaksanakan untuk menjamin terselenggaranya Keselamatan dan keamanan di laut. (ayat 1 ps 276 UU 17/2008 ttg Pelayaran)
3.5. Penjaga laut dan Pantai (Sea dan Coast Guard) dibentuk dalam rangka melaksanakan Penjagaan dan Penegakan aturan perundangan di laut untuk menjamin terselenggaranya Keselamatan dan keamanan di laut. (ayat 3 ps 276 UU 17/2008 ttg Pelayaran)
3.6. Keselamatan dan keamanan terdiri dari Keselamatan dan keamanan Pelayaran serta Keselamatan dan Keamanan di laut yang merupakan salah satu dari sub sistim dari Pelayaran (angka 1 pasal 1 UU 17/2008 ttg pelayaran)
3.7. Keselamatan dan keamanan di laut adalah kondisi yang tercapai akibat adanya Penjagaan dan Penegakan aturan perundangan di laut yang dilakukan oleh Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard)
3.8. Keselamatan dan Keamanan Pelayaran meliputi keselamatan dan keamanan angkutan di perairan, pelabuhan, serta perlindungan lingkungan maritim. ( ayat 1 pasal 116 UU 17/2008 ttg Pelayaran) atau Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah terpenuhinya kondisi dari keselamatan dan keamanan angkutan di perairan, pelabuhan, serta perlindungan lingkungan maritim. ( ayat 1 pasal 116 UU 17/2008 ttg Pelayaran).
Adanya Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) sebagai “Koordinator” para Penyidik dilaut ini seirama dengan keinginan Kepala Bakamla yang sering menyampaikan kemedia bahwa untuk Penegakan Hukum dilaut diperlukan adanya “Ketua Kelas”.
Ternyata diperlukan adanya “Ketua Kelas” itu sudah terpikirkan sejak dulu, bukan baru sekarang ini.
4. Tugas Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard)
Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) dibentuk menjadi “Ketua kelas” di laut yang salah satu tugasnya adalah sebagai “Koordinator” para Penyidik dilaut dalam rangka melaksanakan Penegakan Hukum dilaut dan pantai atau untuk melaksanakan penjagaan dan penegakan aturan perundangan dilaut dan pantai, untuk menjamin terselenggaranya Keselamatan dan Keamanan di laut yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Tugas Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) diatur pada pasal 276 UU 17/2008 tentang Pelayaran yang selengkapnya berbunyi :
Pasal 276
1. Untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai.
2. Pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penjaga laut dan pantai.
3. Penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.
Pada “Penjelasan UU 17/2008 tentang Pelayaran” disebutkan bahwa Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) memiliki fungsi Komando dalam menegakan aturan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran yang diatur oleh UU 17/2008 tentang Pelayaran serta memiliki fungsi untuk melakukan “Koordinasi” Penegakan hukum diluar aturan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran atau selain UU 17/2008 tentang Pelayaran.
Jadi bila dilaut terjadi Pelanggaran terhadap UU 17/2008 tentang Pelayaran, maka pelaksanaan penegakan hukumnya dilaksanakan oleh Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard). Sedangkan apabila terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang yang lain selain UU 17/2008 tentang Pelayaran maka Penjaga Laut dan Pantai bertindak sebagai “Koordinator”.
4.1 Tugas Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) sebagai Komando dan sebagai Koordinaor Penegakan Hukum di laut dan pantai.
Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) memiliki tugas sebagai Komando dalam menegakan aturan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran yang diatur oleh UU 17/2008 tentang Pelayaran serta memiliki tugas untuk melakukan “Koordinasi” Penegakan hukum diluar aturan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran atau selain UU 17/2008 tentang Pelayaran.
Tugas Penjaga laut dan Pantai sebagai “komando” dalam melaksanakan penegakan hukum yang menyangkut keselamatan dan keamanan pelayaran diatur pada ayat 1 pasal 277 UU 17/2008 tentang Pelayaran yang selengkapnya berbunyi :
Pasal 277
1. Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (1) penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas:
a. melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran;
b. melakukan pengawasan, pencegahan, dan penanggulangan pencemaran di laut;
c. pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas kapal;
d. pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut;
e. pengamanan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; dan
f. mendukung pelaksanaan kegiatan pencarian dan pertolongan jiwa di laut.
Sedangkan tugas Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) sebagai “Koordinator” dalam melakukan penegakan hukum diluar dari UU 17/2008 tentang Pelayaran (antara lain UU 32/ 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, KUHP, UU 17/ 2006 tentang Perubahan atas UU 10/1995 tentang Kepabeanan,) diatur pada ayat 2 pasal 277 UU 17/2008 tentang Pelayaran yang selengkapnya berbunyi :
Pasal 277
2. Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (1) penjaga laut dan pantai melaksanakan koordinasi untuk:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan umum penegakan hukum di laut;
b. menyusun kebijakan dan standar prosedur operasi penegakan hukum di laut secara terpadu;
c. kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan Pemerintah di wilayah perairan Indonesia; dan
d. memberikan dukungan teknis administrasi di bidang penegakan hukum di laut secara terpadu.
4.2 Kewenangan Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast guard).
Kewenangan Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) sebagai organisasi Penegak Hukum dan Personil Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur pada ayat 1 dan ayat 2 pasal 278 UU 17/2008 tentang Pelayaran yang selengkapnya berbunyi :
Pasal 278
. 1. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277, penjaga laut dan pantai mempunyai kewenangan untuk:
a. melaksanakan patroli laut;
b. melakukan pengejaran seketika (hot pursuit);
c. memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan
d. melakukan penyidikan.
2. Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan penjaga laut dan pantai diatur dengan Peraturan Pemerintah
Dalam pasal 278 ini sangat jelas diatur bahwa organisasi Penjaga laut dan pantai (Sea anda Coast Guard) dapat melakukan pengejaran seketika atau hot pursuit sekaligus boleh melakukan Penyidikan.
Menurut angka 5 Menurut angka 5 pasal 111 UNCLOS, Hak Pengejaran Seketika (Right of hot pursuit), hanya oleh kapal-kapal perang atau pesawat udara militer atau kapal-kapal atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah dan berwenang untuk melakukan tugas itu.
Status Kapal-kapal Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) adalah Kapal Negara yang ditandai dengan tanda “KN” pada lambung kapal. Dengan tanda “yang jelas” ( tanda yang diatur oleh pasal 279 Undang-undang 17/2008 tentang Pelayaran) itu maka kapal-kapal Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) boleh melakukan pengejaran seketika atau hot pursuit.
Penjaga laut dan pantai (Sea and Coast Guard) juga adalah penyidik, dan personilnya adalah Pejabat Penyidik Pegawai negeri sipil (PPNS) sebagaimana yang diatur pada pasal 278 UU 17/2008 tentang. Itulah sebabnya Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) boleh melakukan Penyidikan.
4.3. Penepatan Armada serta status kapal Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard)
Dalam melaksanakan tugasnya Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) dapat dilengkapi dengan pesawat terbang dan kapal dengan status Kapal Negara (KN) serta pangkalan armada kapal yang berada diseluruh wilayah Indonesia. Hal itu diatur pada pasal 279 yang selengkapnya berbunyi :
Pasal 279
Dalam rangka melaksanakan tugasnya penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 didukung oleh prasarana berupa pangkalan armada penjaga laut dan pantai yang berlokasi di seluruh wilayah Indonesia, dan dapat menggunakan kapal dan pesawat udara yang berstatus sebagai kapal negara atau pesawat udara negara.
4.4. Wilayah penugasan Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard).
Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) bertugas diwilayah laut teritorial dan pantai serta wilayah laut yurisdiksi.
4.4.1. Wilayah laut teritorial dan pantai.
Wilayah penugasan Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) diwilayah Laut territorial dan pantai di atur oleh ayat 1 pasal 4 UU 17/2008 tentang Pelayaran yang selengkapnya berbunyi :
Pasal 4
Undang-Undang ini berlaku untuk :
1. Semua kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim di perairan Indonesia;
4.4.2. Wilayah laut yurisdiksi.
Wilayah penugasan Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) diwilayah Laut Yurisdiksi di atur oleh UU 5/1983 tentang ZEE dan UU 1/1973 tentang Landas Kontinen.
Wilayah Yurisdiksi diatur oleh angka 1 pasal 1 UU 43/2008 tentang Wilayah Negara yang selengkapnya berbunyi :
“Wilayah Yurisdiksi adalah wilayah di luar Wilayah Negara yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan di mana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum”
Dengan demikian yang termasuk wilayah Yurisdiksi adalah Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas kontinen. Dengan perkataan lain, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen adalah wilayah laut Yurisdiksi.
ZEE secara khusus diatur oleh UU 5/1983 tentang ZEE sedangkan Landas Kontinen secara khusus diatur oleh UU 1/1973 tentang Landas Kontinen.
UU 5/1983 tentang ZEE dan UU 1/1973 tentang Landas Kontinen, dalam hal Keselamatan dan Keamanan Pelayaran tunduk kepada UU 17/2008 tentang pelayaran. Artinya, UU 17/2008 tentang Pelayaran yang mengatur keselamatan dan Keamanan Pelayaran juga berlaku di wilayah laut ZEE dan wilayah laut Landas kontinen.
Tunduknya UU 5/1983 tentang ZEE dan UU 1/1973 tentang Landas Kontinen, kepada UU 17/2008 tentang Pelayaran ini diatur pada penjelasan UU 17/2008 tentang Pelayaran yang selengkapnya berbunyi :
Dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Pelayaran ini, berbagai ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pelayaran, antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wet Borepublikek Van Koophandel), Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan sepanjang menyangkut aspek keselamatan dan k eamanan pelayaran tunduk pada pengaturan Undang-Undang tentang Pelayaran ini.
Akan tetapi sangat disayangkan, amanat UU 17/2008 tentang Pelayaran untuk membentuk Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) belum dilaksanakan sudah diterbitkan lagi sebuah Undang-undang lain yaitu UU 32/2014 tentang Kelautan yang mengamanatkan pembentukan Bakamla.
5. Penerbitan Undang undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan.
Dalam Undang-undang ini pembentukan badan baru dengan nama Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) diatur pada BAB IX PERTAHANAN, KEAMANAN, PENEGAKAN HUKUM, DAN KESELAMATAN DI LAUT beserta pasal-pasalnya. Melalui bunyi pasa-pasal itu dapat terlihat urgensinya dibentuknya Bakamla.
5.1 Pasal 58 Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan.
(1) Untuk mengelola kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara di wilayah Laut, dibentuk sistem pertahanan laut.
(2) Sistem pertahanan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.
(3) Sistem pertahanan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mengalir dari ayat 1 dan ayat 2 pasal 58 Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan ini dapat diketahui bahwa akan dibentuk Pertahanan laut berdasarkan UU 32/2014 tentang Kelautan. Pertahanan laut itu akan diselenggarakan oleh Kemhan dan TNI. Nah disini sudah timbul permasalahan, masalah pertama, apa yang dimaksud dengan Pertahanan laut, tidak jelas dalam UU ini. Masalah kedua Kemhan dalam menyelenggarakan Pertahanan Negara tunduk pada UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara, sedangkan TNI tunduk pada UU 34/2004 tentang TNI. Sehingga untuk apa lagi membuat Pertahanan laut yang tidak jelas bentuknya itu ?
Pada ayat 3 pasal 58 Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya Pertahanan laut yang dibentuk berdasarkan UU 32/1014 ini akan dilaksanakan oleh Undang-undang yang lain, bukan oleh UU 32/2014 tentang Kelautan. Pertanyaan lanjutnya adalah UU mana yang mengatur tentang Pertahanan Laut ? Tidak ada satupun UU RI yang mengatur Pertahanan Laut. Dengan demikian pasal 58 ini tidak ada maknanya sama sekali, sehingga untuk apa ditulis, karena tidak bisa dioperasionalkan.
Sebagai pembanding mari kita lihat UU 17/2008 tentang Pelayaran. Hal yang bersangkutan dengan Pertahanan dan Keamanan Negara dijelaskan pada penjelasan yang berbunyi :
Atas dasar hal tersebut di atas, maka disusunlah Undang-Undang tentang Pelayaran yang merupakan penyempurnan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992, sehingga penyelenggaraan pelayaran sebagai sebuah sistem dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat, bangsa dan negara, memupuk dan mengembangkan jiwa kebaharian, dengan mengutamakan kepentingan umum, dan kelestarian lingkungan, koordinasi antara pusat dan daerah, serta pertahanan keamanan negara.
Dari penjelasan ini sangat terlihat bahwa UU 17/2008 tentang Pelayaran dapat BERMAFAAT BAGI PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA. ARTINYA UNTUK kepentingan PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA semua yang diatur dalam UU 17/2008 dapat dimanfaatkan atau dapat digunakan Misalkan Pelabuhan, dapat di dimanfaatkan untuk pangkalan militer. Kapal-kapal niaga dapat dimobilisasikan menjadi komponen cadangan untuk membantu komponen utama yaitu TNI AL. Demikian pula Kapal-kapal dan personil Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) dapat disiapkan untuk menjadi komponen cadangan TNIAL
Jadi sangat terlihat perbedaan antara UU 172008 tentang Pelayaran dan UU 32/2014 tentang Kelautan. UU 17/2008 tentang Pelayaran dapat dimanfaatkan untuk memperkuat Pertahanan dan Keamanan negara, sedangkan UU 32/2014 tentang Kelautan tidak bisa dimanfaatkan untuk memperkuat Pertahanan dan Keamanan negara karena tidak jelas apa yang diatur.
5.2 Pasal 59 Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan.
Ayat (1) Pasal 59 Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan berbunyi :
“Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, dasar Laut, dan tanah di bawahnya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.”
Artinya Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, dasar Laut, dan tanah di bawahnya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, tidak dilakukan berdasarkan Undang-undang nomor 32 tentang Kelautan, tapi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. Lalu, untuk apa ayat (1) Undang-undang nomor 32 tahun 2014 dibuat ?? Tidak jelas.
Ayat (2) Pasal 59 Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan berbunyi :
“Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan hukum internasional”.
Artinya Penegakan kedaulatan dan hukum hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia tidak dilakukan berdasarkan Undang-undang nomor 32 tentang Kelautan, tapi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. Lalu, untuk apa ayat (2) Undang-undang nomor 32 tahun 2014 dibuat ?? Tidak jelas.
Ayat (3) Pasal 59 Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan berbunyi
“Dalam rangka penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi, khususnya dalam melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia, dibentuk Badan Keamanan Laut”.
Artinya Badan Keamanan Laut dibentuk untuk melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan wilayah perairan dan wilayah yuridiksi.
Apa yang dimaksud dengan patroli keamanan dan keselamatan ?? Tidak jelas dalam undang-undang ini.
Kata patroli menurut KBBI patroli/pat·ro·li/ n 1 perondaan. Bila demikian maka Bakamla tugasnya hanya melakukan perondaan saja.
Bandingkan dengan tugas Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard)
Pasal 277 UU 17/2008 tentang Pelayaran.
1. Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (1) penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas:
a. melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran;
b. melakukan pengawasan, pencegahan, dan penanggulangan pencemaran di laut;
c. pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas kapal;
d. pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut;
e. pengamanan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; dan
f. mendukung pelaksanaan kegiatan pencarian dan pertolongan jiwa di laut.
2. Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (1) penjaga laut dan pantai melaksanakan koordinasi untuk:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan umum penegakan hukum di laut;
b. menyusun kebijakan dan standar prosedur operasi hukum di laut secara terpadu;
c. kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan Pemerintah di wilayah perairan Indonesia; dan
d. memberikan dukungan teknis administrasi di bidang penegakan hukum di laut secara terpadu.
5.3 Pasal 61 Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan berbunyi :
“Badan Keamanan Laut mempunyai tugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia”.
Artinya tugas Badan Keamanan Laut melakukan patroli keamanan keselamatan. Sedangkan arti kata patroli menurut KBBI adalah perondaan. Lalu untuk apa Badan Keamanan Laut dibentuk kalau tugasnya hanya untuk melakukan perondaan ?? Tidak jelas.
Apa yang dimaksud dengan patroli keamanan dan keselamatan diwilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia ? Tidak jelas.
Jadi Isi dari Pasal 61 Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan tidak jelas sehingga tidak bisa dioperasionalkan.
5.4 Pasal 62 Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan berbunyi :
Dalam melaksanakan tugas, Badan Keamanan Laut menyelenggarakan fungsi:
a. menyusun kebijakan nasional di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia;
Apa yang dimaksud dengan Kebijakan Nasional Keamanan dan Keselamatan ? Tidak jelas.
Bila “diasumsikan bahwa keamanan dan keselamatan berhubungan dengan Penegakan hukum di wilayah yurisdiksi”, demikian pula bila “diasumsikan bahwa keamanan dan keselamatan berhubungan dengan Penegakan kedaulatan dilaut” maka hal ini bertabrakan dengan TNI AL. Kewenangan TNI AL menegakan hukum di wilayah laut yurisdiksi nasional, dan menegakan kedaulatan di laut diatur pada huruf a dan b ayat 9 UU 34/2004 tentang TNI yang berbunyi :
Angkatan Laut bertugas:
a. melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan;
b. menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi;
Bila “diasumsikan bahwa keamanan dan keselamatan berhubungan dengan Penegakan hukum di wilayah laut teritorial”, maka itu akan bertabrakan dengan Polri. Kewenanan Polri untuk menegakan hukum diseluruh wilayah negara Republik Indonesia termasuk wilayah laut terirorial. Kewenangan Polri itu diatur oleh ayat 1 pasal 6 UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesa bunyinya sebagai berikut :
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan peran dan fungsi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 5 meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
b. Menyelenggarakan sistem peringatan dini keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia;
Apa yang dimaksud dengan peringatan dini keamanan dan keselamatan ?? Tidak jelas, sehingga tidak bisa dioperasionalkan.
c. Melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia;
Apa yang dimaksud dengan melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum menurut UU 32/20014 tetang Kelautan ? Tidak jelas.
Penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaranhukum adalah kewenangan penyidik, sebagaimana yang diatur pada pasal 6 KUHAP yang selengkapnya berbunyi Penyidik mempunyai wewenang untuk a. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
Bagaimana mungkin Bakamla yang bukan Penyidik dapat melakukan penindakan pelanggaran hukum ??. Oleh karena Bakamla bukan penyidik, Bakamla tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia
Koordinator penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia adalah Penjaga Laut dan Pantai sebagaimana yang diatur pada pasal 277 UU 17/2008 tentang Pelayaran.
d. menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli perairan oleh instansi terkait;
Apa yang dimaksud dengan “patrol perairan” ? Tidak jelas
Instansi terkait mana saja yang akan disinergikan dan dimonitor oleh Bakamla ?? Tidak Jelas
e. memberikan dukungan teknis dan operasional kepada instansi terkait;
Dukungan teknis seperti apa yang akan diberikan oleh Bakamla ? atau apa bentuk dukungan teknis yang akan diberikan itu ? Tidak jelas
Instansi terkait mana yang akan diberi dukungan teknis ? Tidak jelas
f. memberikan bantuan pencarian dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; dan
Bagaimana caranya Bakamla memberikan bantuan pencarian dan pertolongan diwilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia sedangkan Bakamla sendiri tidak dilengkapi kapal ?
Tidak ada satupun pasal dalam UU 32/2014 tentang Kelautan yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Bakamla dilengkapi dengan kapal.
f. Pelaksanakan tugas lain dalam sistem Pertahanan nasional.
Apa yang dimaksud dengan sistim Pertahanan Nasional ? Tidak jelas, Indonesia TIDAK menganut sistim Pertahanan nasional, tapi menganut sistim Pertahanan Negara yang diatur oleh UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara.
Bagaimana bentuk sistim pertahanan nasional ? Tidak jelas.
Apa tugas lain yang dimaksud ? Karena Sistim Pertahanan Nasional itu sendiri belum ada sampai saat ini
5.5 Ayat 1 Pasal 63 Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan berbunyi :
(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62, Badan Keamanan Laut berwenang :
a. melakukan pengejaran seketika;
Menurut angka 5 pasal 111 UNCLOS, Hak Pengejaran Seketika ( Right of hot pursuit), hanya oleh kapal-kapal perang atau pesawat udara militer atau kapal-kapal atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah dan berwenang untuk melakukan tugas itu. Sedangkan UU 32/2014 tentang Kelautan tidak diatur Tanda Kapal untuk Bakamla.
Dengan demikian pengejaran seketika yang dilakukan Bakamla itu bertentangan degnan UNCLOS 82.
Menurut ayat 1 pasal 279 Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, bahwa Penjaga Laut dan Pantai (PLP) dapat menggunakan kapal dan pesawat udara yang berstatus sebagai Kapal Negara (KN) atau pesawat udara negara. Jadi tanda “KN” adalah tanda kapal untuk Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) bukan untuk kapal Bakamla.
Dengan demikian maka tanda kapal “KN” yang saat ini digunakan oleh kapal-kapal Bakamla adalah Palsu
Oleh karena Kapal-kapal Bakamla tidak memliki tanda yang jelas, karena tanda Kapal Negara (KN) yang dipakai saat ini adalah palsu, maka kapal- kapal Bakamla tidak berhak melakukan hot pursuit. Atau dengan perkataan lain, pelaksanaan hot pursuit yang akan dilakukan oleh Bakamla justru melanggar hukum.
b. Memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut; dan
Ayat (1) Pasal 7 KUHAP menyatakan bahwa hanya Penyidik Wewenang untuk menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diritersangka; melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; melakukan pemeriksaan sertadan penyitaan surat.
Oleh karena Bakamla bukan penyidik, maka Bakamla tidak berwenang untuk memberhentikan, memeriksa, menangkap, kapal. Penangkapan kapal oleh Bakamla adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan dapat dikatagorikan sebagai Perompak dilaut.
c. mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.
Apa yang dimaksud dengan sistim informasi keamanan dan keselamatan ? Tidak jelas dalam Undang-undang ini.
Yang akan diintegrasikan itu sistim informasi dari instansi mana saja ?? Tidak jelas
Mengapa harus diintegrasikan ? Hasil integarasi itu untuk siapa ?Apa urgensinya sistim informasi dan keselamatan itu diitegrasikan? Tidak jelas dalam Undang-undang ini.
5.6 Ayat 2 Pasal 63 Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan berbunyi :
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terintegrasi dan terpadu dalam satu kesatuan komando dan kendali.
Dari bunyi pasal ini terlihat jelas bahwa prinsip dari UU 32/2014 tentang Kelautan ini adalah ingin menyatukan semua instansi dibawa satu Komando. Bakamla inginnya dibuat sebagai satu-satunya penguasa dilaut. Hal ini seirama dengan jargon yang sering digunakan yaitu single agen multi task.
Menyatukan semua instansi dibawa satu komando ini seperti mengulangi lagi apa yang pernah dibuat pada Bakorkamla – Periode 1, yang telah terbukti gagal total. Mengapa prinsip yang sudah terbukti gagal masih mau diulang lagi ?
Penegakan Hukum tidak mugkin dilakukan dengan prinsip satu komando, atau single agent multy task. Dalam penegakan hukum prinsip yang bisa digunakan adalah single agent single task. Hal itu disebabkan karena setiap “agency” atau setiap instansi diatur oleh Undang-undang, yg kekuatan hukumnya sama kuatnya. Contohnya, TNI diatur oleh UU 34/2004 tentang TNI, Polri diatur oleh UU 2/2002 tentang Polri, yang masing masing sudah punya tugas sendiri-sendiri dan punya kekuatan hukum yang sama kuatnya.
Prinsip single agency telah terbukti gagal total, sehingga tidak perlu diulangi lagi.
5.7 Pasal 64 Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan berbunyi :
Kebijakan nasional di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a ditetapkan oleh Presiden.
Tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan Keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia. Sehingga “Kebijakan” seperti apa yang dibutuhkan untuk ditetapkan oeh Presien menjadi tidak jelas.
6. REKOMENDASI PENATAAN KEAMANAN LAUT INDONESIA.
6.1. Gunakan UU 17/2008 tentang Pelayaran untuk menata Keamanan Laut Indonesia.
Laut Indonesia atau Perairan Indonesia diatur oleh UU 6/1996 tentang Perairan Indonesia. Penataan Keamanan laut diatur oleh Ayat 1 pasal 24 UU nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang selengkapnya berbunyi :
(1) Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi hukum internasional lainnya, dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Mengalir dari Ayat 1 pasal 24 UU nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dapat diketahui bahwa Penataan Keamanan laut dilaksanakan dengan melakukan Penegakan Kedaulatan dan Penegakan Hukum.
Penegakan Kedaulatan di laut nantinya dilaksanakan oleh TNI AL berdasarkan UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU 34/2004 tentang TNI.
Penegakan Hukum dilaut yang merupakan Penjagaan dan Penegakan aturan Perundangan dilaut dilakukan oleh Penjaga Laut dan Pantai berdasarkan ayat 1 pasal 276 UU 17/2008 tentang Pelayaran.
Dalam melaksanakan Penegakan Hukum dilaut, Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran atau menegakan UU 17/2008 tentang Pelayaran dan fungsi koordinasi di bidang penegakan hukum di luar keselamatan dan keamanan pelayaran atau diuar UU 17/2008 tentang Pelayaran.
Ada sedikitnya sedikitnya 16 Undang-undang yang pelaksanaan penegakan hukumnya harus di koordinasikan termasuk didalamnya delapan Undang-undang yang dianggap sebagai isu Keamanan Laut yaitu :
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landasan Kontingen Indonesia.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
6. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan.
7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
8. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
10. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 11. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
12. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
13. Undang-Undang Nomor12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
14. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
15. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
16. Undang-Undang Nomor Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Jadi sangat jelas bahwa untuk Penataan Keamanan Laut Indonesia dapat menggunakan UU 17/2008 tentang Pelayaran.
UU 32/2014 tentang Kelautan khususnya yang mengatur tentang Bakamla mulai dari pasal 58 – 64, beberapa materi pasalnya tidak jelas maksudnya. Bahkan ada materi pasalnya yang bertentangan dengan beberapa Undang-undang yaitu :
1. UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara.
2. UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara.
3. UU 34/2004 tentang TNI.
4. UU 8/1981 tentang KUHAP
5. UNCLOS
Itulah sebabnya UU 32/2014 tentang Kelautan ini tidak bisa dioperasionalkan. Dengan demikian Bakamla pun tidak bisa dioperasionalkan.
Akan tetapi, faktanya Bakamla sudah ada dilaut. Untuk itu diperlukan adanya transformasi Bakamla untuk menjadi Coast Guard Indonesia.
6.2 TRANSFORMASI BAKAMLA JADI COAST GUARD INDONESIA
Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya pesan khusus kepada Laksamana Madya Aan Kurnia yang baru dilantik sebagai Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla). yaitu Jokowi ingin Bakamla bisa segera bertransformasi menjadi Indonesian Coast Guard, sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai wewenang sebagai koordinator penegakan hukum di perairan nasional. Presiden Jokowi menginginkan Bakamla segera bertransformasi menjadi Indonesia Coast Guard.
Transformasi menurut KBBI ,transformasi/trans·for·ma·si/ n 1 perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya).
Jadi Bakamla bertransformasi menjadi Indonesia Coast Guard artinya Bakamla berubah bentuk menjadi Indonesia Sea and Coast Guard dapat dilakukan dengan 3 langkah yaitu :
1. Langkah pertama, adalah dengan berobah phisik. Yaitu semua kapal Bakamla diberi tanda ‘KN” dan di beri tulisan Sea and Coast Guard. Untuk hal ini sangat mudah dilakukan karena semua kapal Bakamla saat ini sudah menggunakan tanda “KN” dan bertuliskan “Coast Guard”
2. Langkah kedua adalah merubah landasan hukum pembentukan Bakamla dari yang sebelumnya menggunakan UU 32/2014 tentang Kelautan bertrasnformasi atau berubah menjadi UU 17/2008 tentang Pelayaran, sekali gus Namanya pun bertransformasi dari Bakamla menjadi Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard). Untuk transformasi ini dapat dilakukan dengan membuat Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diatur oleh Pasal 281 UU 17/2008 tenang Pelayaran yang menyatakan bahwa: “Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan serta organisasi dan tata kerja Penjaga laut dan Pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
3. Langkah ketiga adalah semua personil, khususnya personil militer yang akan menjadi anggota Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) harus beralih status menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena akan mendapat status sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Pejabat PPNS). Status ini tidak akan pernah didapat bila personil tersebut tidak berstatus sebagai PNS.
Dengan demikian transformasi Bakamla pada dasarnya adalah merobah bentuk dari Bakamla yang dibentuk berdasarkan UU 32/2014 tentang Kelautan menjadi menjadi Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk berasarkan UU 17/2008 tentang Pelayaran.
7. Kesimpulan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penataan Keamanan laut Indonesia harus dilakukan dengan melakukan Penegakan Kedaulatan dan Penegakan hukum sebagaimana yang diatur oleh UU 6/1996 tentang Perairan. Penegakan Kedaulatan di laut dilaksanakan oleh TNI AL berdasarkan UU 3/2002 tentang Pertahanan negara dan UU 34/2004 tentang TNI, sedangkan Penegakan Hukum dilaut dan pantai dilaksanakan oleh Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) berdasarkan UU 17/2008 tentang Pelayaran. Prinsip Penegakan hukum adalah KOORDINASI, dimana setiap instansi memiliki tugas dan kewenangan masing-masing, sehingga diperlukan adanya KOORDINATOR. Prinsip ini dikenal dengan sebutan single agency single task.
Sedangkan dalam penegakan kedaulatan dilaksanakan dengan cara operasi militer, yang prinsipnya selalu dibawa satu KOMANDO untuk melaksanakan berbagai macam tugas. Prinsip ini yang dikenal dengan sebutan single agency multy task. Prinsip ini pernah digunakan oleh Bakorkamla-periode 1 untuk melakukan Penegakan Hukum. Dan kemudian terbukti bahwa Bakorkamla periode -1 ini gagal total. Artinya bahwa prinsip single agency multy task tidak cocok dipakai dalam melaksanakan penegakan hukum.
UU 32/2014 tentang Kelautan prisnipnya adalah single agency multi task, yang sudah terbukti mengalami kegagalan dalam melaksanakan penegakan hukum. Itulah sebabnya salah satu penyebab tidak bisa digunakannya UU 32/2014 tentang Kelautan dalam melaksanakan penegakan hukum karena prinsip yang dianutnya tidak cocok untuk pelaksanaan penegakan hukum. Akibatnya, Bakamla tidak bisa melakukan penegakan hukum.
Koordinator Penegakan hukum dilaut di laksanakan oleh Penjaga laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) dibentuk berdasarkan UU 17/2008 tentang Pelayaran, yang merupakan trasnsformasi dari Bakamla. (SBP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar