30 November 2024

Punahnya Peradilan Koneksitas Akibat Putusan MK yang Memperkuat Kewenangan KPK dalam Pasal 42 UU KPK

 Punahnya Peradilan Koneksitas Akibat Putusan MK yang Memperkuat Kewenangan KPK dalam Pasal 42 UU KPK

 

Jakarta 30 November 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb *)

 

Pendahuluan

Peradilan koneksitas adalah mekanisme penting dalam sistem hukum Indonesia untuk menangani tindak pidana yang melibatkan dua yurisdiksi berbeda: peradilan umum dan peradilan militer. Mekanisme ini dirancang untuk menjaga keadilan dan kepastian hukum, serta menghormati prinsip kompetensi absolut, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945.

Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperkuat kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK telah menghilangkan esensi peradilan koneksitas. Putusan ini memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi, termasuk yang melibatkan anggota militer, jika kasus ditemukan terlebih dahulu oleh KPK. Akibatnya, pelaksanaan peradilan koneksitas terancam punah karena pengabaian mekanisme yang seharusnya dijalankan oleh Jaksa Agung dan lembaga terkait.

Putusan ini bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang secara eksplisit mengatur bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) merupakan bagian dari peradilan umum dan hanya dapat mengadili warga sipil. Ini menegaskan bahwa KPK tidak dapat menjalankan peradilan koneksitas karena peradilan koneksitas mengharuskan partisipasi hakim militer untuk menangani perkara lintas yurisdiksi.

 

Peradilan Koneksitas: Pengertian dan Dasar Hukum

1. Pengertian Peradilan Koneksitas

Peradilan koneksitas adalah mekanisme hukum untuk menangani perkara tindak pidana yang melibatkan:

  1. Subjek hukum sipil, yang tunduk pada peradilan umum.
  2. Subjek hukum militer, yang tunduk pada peradilan militer.

Mekanisme ini bertujuan untuk:

  • Mengintegrasikan proses hukum dalam satu pengadilan untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum.
  • Mencegah tumpang tindih yurisdiksi antara peradilan umum dan peradilan militer.
  • Menghindari kesenjangan hukum yang merugikan salah satu pihak.

 

2. Dasar Hukum Peradilan Koneksitas

  1. KUHAP (Pasal 89-91):
    • Pasal 89: Penyidikan dilakukan oleh penyidik yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.
    • Pasal 90: Jaksa Agung menentukan yurisdiksi pengadilan (peradilan umum atau peradilan militer).
    • Pasal 91: Keputusan Jaksa Agung bersifat final.
  2. Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor):
    • Jaksa Agung bertanggung jawab mengoordinasikan penyidikan, penuntutan, dan pengadilan dalam kasus koneksitas.
  3. Pasal 35 Ayat (1) huruf g UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan:
    • Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk:

"Mengoordinasikan, mengendalikan, dan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana yang dilakukan bersama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer."

  1. Pasal 69 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer:
    • Penyidik dalam tindak pidana militer adalah Ankum, Polisi Militer, dan Oditur.

 

3. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Berdasarkan UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, pengadilan tindak pidana korupsi adalah pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum. Beberapa ketentuan penting dari UU ini adalah:

  1. Pasal 1:
    • Hakim di Pengadilan Tipikor terdiri dari:
      1. Hakim karier: Hakim di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung.
      2. Hakim ad hoc: Orang yang diangkat sebagai hakim tindak pidana korupsi berdasarkan persyaratan dalam undang-undang.
  2. Pasal 2:
    • Pengadilan Tipikor adalah pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum.

Makna UU Pengadilan Tipikor:

  • Pengadilan Tipikor hanya dapat mengadili warga sipil, sesuai dengan kompetensi absolut peradilan umum.
  • Tidak ada hakim militer di Pengadilan Tipikor, sehingga tidak mungkin menjalankan mekanisme koneksitas.
  • Hal ini membedakan Pengadilan Tipikor dari pengadilan koneksitas di lingkungan peradilan umum, yang mensyaratkan adanya hakim militer.

 

Putusan MK dan Dualitas Peradilan

1. Dampak Putusan MK

Putusan MK memperkuat kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi lintas yurisdiksi tanpa memperhatikan mekanisme koneksitas. Hal ini menciptakan beberapa konsekuensi serius:

  1. Dualitas Peradilan
    • Kasus korupsi yang melibatkan sipil dan militer akan diadili secara terpisah:
      • Warga sipil diadili di Pengadilan Tipikor.
      • Anggota militer diadili di peradilan militer.
    • Hal ini bertentangan dengan tujuan koneksitas, yaitu mengintegrasikan proses hukum dalam satu pengadilan.
  2. Ketidakmungkinan Menjalankan Koneksitas di Pengadilan Tipikor
    • Berdasarkan UU No. 46 Tahun 2009, semua hakim di Pengadilan Tipikor adalah sipil. Tidak ada ruang untuk keterlibatan hakim militer, yang merupakan syarat utama dalam peradilan koneksitas.
  3. Ketidakadilan bagi TNI
    • Jika kerugian negara lebih banyak disebabkan oleh warga sipil, TNI sebagai pihak yang dirugikan tidak dapat menuntut warga sipil yang diadili secara terpisah di Pengadilan Tipikor.
  4. Preseden Bagi Polisi Militer
    • Ketika KPK tidak menyerahkan perkara kepada Jaksa Agung, Polisi Militer (POM) dapat melakukan hal serupa, yakni menyidik dan mengadili sendiri anggota militer yang terlibat. Hal ini menciptakan dualitas peradilan yang tidak terintegrasi.

 

Solusi untuk Memulihkan Mekanisme Koneksitas

  1. Revisi UU KPK
    • Pasal 42 UU KPK harus diselaraskan dengan KUHAP, UU Tipikor, dan UU Kejaksaan untuk memastikan mekanisme koneksitas tetap berada di bawah kendali Jaksa Agung.
  2. Penguatan Peran Jaksa Agung
    • Jaksa Agung harus diberi wewenang penuh untuk menentukan penyelesaian kasus lintas yurisdiksi melalui koordinasi dengan KPK dan Polisi Militer.
  3. Regulasi Pelaksanaan Koneksitas
    • Peraturan pelaksana harus memastikan bahwa mekanisme koneksitas melibatkan hakim militer di pengadilan umum untuk menangani perkara lintas yurisdiksi.
  4. Penegasan Kompetensi Absolut
    • Regulasi tambahan harus memastikan bahwa anggota militer tetap diproses di peradilan militer kecuali ada keputusan koneksitas yang sah.

 

Kesimpulan

Putusan MK terkait Pasal 42 UU KPK telah menciptakan ketidakpastian hukum dengan menghilangkan mekanisme peradilan koneksitas. Ketentuan bahwa Pengadilan Tipikor berada di lingkungan peradilan umum dan hanya melibatkan hakim sipil menunjukkan bahwa KPK tidak dapat menjalankan mekanisme koneksitas.

Dualitas peradilan akibat putusan ini bertentangan dengan tujuan koneksitas yang dirancang untuk mengintegrasikan proses hukum. Revisi UU KPK dan penguatan peran Jaksa Agung sesuai dengan Pasal 35 Ayat (1) huruf g UU Kejaksaan adalah langkah mendesak untuk memulihkan keadilan dan kepastian hukum dalam sistem peradilan Indonesia.

*) Kabais TNI 2011-2013

 

29 November 2024

Peradilan Koneksitas: Kewenangan Siapa?

 Peradilan Koneksitas: Kewenangan Siapa?

 

Jakarta 29 November 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb*)

 

Pendahuluan

Peradilan koneksitas adalah mekanisme hukum untuk menyelesaikan tindak pidana yang melibatkan subjek hukum dari dua yurisdiksi berbeda, yaitu peradilan umum dan peradilan militer. Dalam sistem hukum Indonesia, konsep ini digunakan untuk memastikan bahwa keadilan tetap terjaga tanpa mengabaikan prinsip kompetensi absolut. Prinsip ini mengatur bahwa anggota militer tunduk pada peradilan militer, sedangkan warga sipil tunduk pada peradilan umum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945.

Namun, perkembangan hukum, terutama terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menguatkan Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), menimbulkan kontroversi. MK memutuskan bahwa KPK berwenang menangani tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi jika ditemukan terlebih dahulu oleh KPK. Keputusan ini menimbulkan benturan antara KPKPolisi Militer, dan Jaksa Agung, yang telah memiliki peran dan kewenangan dalam mekanisme koneksitas, sebagaimana diatur dalam KUHAPUU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Makalah ini bertujuan untuk membahas: Siapa yang paling berwenang dalam peradilan koneksitas?

 

Konsep Peradilan Koneksitas

1. Definisi Peradilan Koneksitas

Peradilan koneksitas adalah mekanisme hukum untuk menangani perkara pidana yang melibatkan:

  1. Subjek hukum sipil yang tunduk pada peradilan umum.
  2. Subjek hukum militer yang tunduk pada peradilan militer.

Konsep ini bertujuan untuk menyelesaikan perkara dengan mengintegrasikan proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan dalam satu yurisdiksi, tanpa mengabaikan prinsip kompetensi absolut.

 

2. Dasar Hukum Peradilan Koneksitas

Beberapa undang-undang dan peraturan terkait koneksitas adalah:

  1. KUHAP (Pasal 89-91): Mengatur mekanisme penyidikan dan penentuan yurisdiksi oleh Jaksa Agung.
  2. UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer: Menegaskan penyidikan terhadap anggota militer dilakukan oleh Polisi Militer, Ankum, dan Oditur.
  3. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor): Menempatkan Jaksa Agung sebagai koordinator utama dalam koneksitas kasus korupsi lintas yurisdiksi.
  4. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan: Menyebutkan kewenangan Jaksa Agung dalam mengoordinasikan penyidikan koneksitas.

 

3. Prinsip Kompetensi Absolut

Prinsip kompetensi absolut memastikan bahwa:

  1. Anggota militer diproses di peradilan militer.
  2. Warga sipil diproses di peradilan umum.

Mekanisme koneksitas tidak boleh melanggar prinsip ini, tetapi harus memungkinkan penanganan kasus secara adil dan terkoordinasi.

 

Peran dan Kewenangan dalam Peradilan Koneksitas

1. KUHAP

KUHAP mengatur mekanisme koneksitas dalam Pasal 89 hingga 91:

  1. Pasal 89: Penyidikan dilakukan oleh penyidik yang ditunjuk oleh Jaksa Agung dalam kasus yang melibatkan peradilan umum dan peradilan militer.
  2. Pasal 90: Jaksa Agung menentukan apakah perkara diajukan ke peradilan umum atau peradilan militer.
  3. Pasal 91: Keputusan Jaksa Agung mengenai penentuan yurisdiksi bersifat final.

 

2. UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

Pasal 69 UU ini menetapkan bahwa penyidik dalam tindak pidana militer adalah:

  1. Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum),
  2. Polisi Militer, dan
  3. Oditur.

 

3. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)

Pasal 39 UU Tipikor memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan subjek hukum dari peradilan umum dan militer.

 

4. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Pasal 8 Ayat (2) UU Kejaksaan menyebutkan bahwa Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengoordinasikan dan mengendalikan penyidikan kasus koneksitas.

 

5. UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK

Pasal 42 UU KPK memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi, tetapi tidak mengatur mekanisme penyelesaian konflik yurisdiksi dengan tegas.

 

Benturan Kewenangan dalam Peradilan Koneksitas

1. Benturan dengan Polisi Militer

Polisi Militer memiliki kewenangan eksklusif untuk menyidik tindak pidana anggota militer. Namun, jika KPK menangani kasus lintas yurisdiksi, hal ini dapat melanggar ketentuan Pasal 69 UU Peradilan Militer.

 

2. Benturan dengan Jaksa Agung

Jaksa Agung memiliki peran utama dalam mekanisme koneksitas sebagaimana diatur dalam KUHAP, UU Tipikor, dan UU Kejaksaan. Namun, kewenangan ini berpotensi diabaikan jika KPK mengambil alih penanganan kasus tanpa koordinasi.

 

3. Tumpang Tindih Yurisdiksi

Ketika dua lembaga (Polisi Militer dan KPK) menangani kasus yang sama, hal ini menciptakan ketidakpastian hukum dan konflik prosedural.

 

Analisis Kewenangan: Siapa yang Berwenang?

Berdasarkan analisis peraturan:

  1. Jaksa Agung adalah otoritas tertinggi dalam mekanisme koneksitas, sebagaimana ditegaskan dalam KUHAP, UU Tipikor, dan UU Kejaksaan.
  2. Polisi Militer tetap berwenang untuk menyidik tindak pidana anggota militer, tetapi harus berkoordinasi dengan Jaksa Agung dalam kasus koneksitas.
  3. KPK memiliki kewenangan menangani tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi, tetapi kewenangan ini harus tunduk pada mekanisme koneksitas yang diatur oleh Jaksa Agung.

 

Kesimpulan

Kewenangan utama dalam peradilan koneksitas berada pada Jaksa Agung, sebagaimana diatur dalam KUHAP, UU Tipikor, dan UU Kejaksaan. Jaksa Agung bertugas mengoordinasikan penyidikan, menentukan yurisdiksi pengadilan, dan memastikan mekanisme koneksitas berjalan sesuai prinsip kompetensi absolut.

Namun, Putusan MK yang memperkuat kewenangan KPK dalam Pasal 42 UU KPK telah menciptakan konflik kewenangan, terutama dengan Polisi Militer dan Jaksa Agung. Untuk menghindari konflik dan tumpang tindih yurisdiksi, diperlukan revisi UU KPK agar selaras dengan KUHAP dan peraturan terkait lainnya.

Hanya dengan koordinasi yang terintegrasi dan penghormatan terhadap prinsip kompetensi absolut, peradilan koneksitas dapat berjalan efektif dan menjaga kepastian hukum.

*) Kabais TNI 2011-2013

Putusan MK tentang Koneksitas Membenturkan KPK dengan Polisi Militer dan Kejaksaan

Putusan MK tentang Koneksitas Membenturkan KPK dengan Polisi Militer dan Kejaksaan

 

Jakarta 29 November 2024

Oleh  Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb *)

 

Pendahuluan

Pada tanggal 29 November 2024 Mahkama Konstitusi telah membuat Keputusan fenomenal yang mengakibatkan terjadinya benturan kewenangan antara Komisi Pemberantasn Korupsi dengan Kejaksaan dan Polisi Militer (TNI). 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dapat digunakan untuk menangani tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi, termasuk yang melibatkan anggota militer jika kasus ditemukan terlebih dahulu oleh KPK, telah memunculkan persoalan besar dalam penegakan hukum. Putusan ini menciptakan konflik serius antara KPKPolisi Militer, dan Kejaksaan, serta melanggar prinsip kompetensi absolut yang dijamin dalam Pasal 24 UUD 1945.

Putusan ini tidak mempertimbangkan keberadaan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer)UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yang semuanya telah secara rinci mengatur pembagian kewenangan dan yurisdiksi, khususnya dalam mekanisme koneksitas

 

1. Kewenangan Penyidik dalam UU Peradilan Militer

Pasal 69 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menyebutkan bahwa penyidik tindak pidana anggota militer adalah:

  1. Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum),
  2. Polisi Militer, dan
  3. Oditur.

Makna Pasal 69 UU Peradilan Militer

  1. Penyidik internal militer memiliki kewenangan eksklusif untuk menyelidiki tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer, termasuk tindak pidana korupsi.
  2. Penyidikan ini menjadi dasar untuk mempertahankan prinsip kompetensi absolut, yaitu bahwa anggota militer hanya dapat diproses di peradilan militer.

Ketentuan ini sejalan dengan:

  • Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa peradilan di Indonesia terbagi atas peradilan umum, militer, agama, dan tata usaha negara.
  • Pasal 9 UU Peradilan Militer, yang menyatakan bahwa tindak pidana oleh anggota militer tunduk pada peradilan militer.

Namun, putusan MK yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk menyidik tindak pidana anggota militer melanggar ketentuan ini dan mengesampingkan mekanisme yang telah diatur dalam hukum.

 

2. Peran Jaksa Agung dalam Koneksitas: UU Tipikor dan UU Kejaksaan

Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor

UU Tipikor memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menangani kasus koneksitas melalui mekanisme koordinasi dan pengendalian. Isi Pasal 39 menyebutkan:

"Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer."

Makna Pasal 39 UU Tipikor

  1. Jaksa Agung menjadi otoritas utama dalam menentukan bagaimana kasus yang melibatkan yurisdiksi peradilan umum (sipil) dan peradilan militer ditangani.
  2. Mekanisme ini memastikan bahwa proses hukum menghormati prinsip kompetensi absolut, tanpa melanggar yurisdiksi masing-masing peradilan.

 

Pasal 8 Ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

UU Kejaksaan secara eksplisit menyatakan bahwa Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk menangani kasus tindak pidana lintas yurisdiksi melalui mekanisme koneksitas. Pasal ini berbunyi:

"Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengoordinasikan dan mengendalikan penyidikan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer."

Makna Pasal 8 Ayat (2) UU Kejaksaan

  1. Kewenangan Jaksa Agung dalam kasus koneksitas memastikan bahwa proses hukum lintas yurisdiksi berjalan secara terkoordinasi dan tidak melanggar kompetensi absolut.
  2. Pasal ini memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk mengatur mekanisme kerja sama antara Polisi Militer, Kejaksaan, dan peradilan umum.

Namun, hakim MK dalam putusannya tidak mempertimbangkan peran penting Jaksa Agung sebagaimana diatur dalam UU Kejaksaan, sehingga mekanisme koneksitas yang telah diatur secara jelas menjadi terabaikan.

 

3. Pasal 42 UU KPK: Tumpang Tindih Kewenangan

UU KPK memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani kasus korupsi lintas yurisdiksi melalui Pasal 42, yang berbunyi:

"Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum."

Pasal 42 UU KPK memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi. Namun, pasal ini tidak memiliki mekanisme yang jelas untuk menyelesaikan konflik yurisdiksi antara peradilan umum dan peradilan militer. Akibatnya:

  1. KPK cenderung mengabaikan peran Jaksa Agung, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU Tipikor dan Pasal 8 UU Kejaksaan.
  2. Tidak ada jaminan bahwa prinsip kompetensi absolut peradilan militer akan dihormati.

 

4. Hakim MK Tidak Mempertimbangkan UU yang Relevan

Putusan MK ini menunjukkan bahwa hakim MK tidak mempertimbangkan secara memadai keberadaan UU yang relevan, yaitu:

  1. UU Peradilan Militer
    Hakim MK mengabaikan Pasal 69 UU Peradilan Militer, yang memberikan kewenangan penyidikan kepada Ankum, Polisi Militer, dan Oditur untuk kasus anggota militer.
  2. UU Tipikor
    Pasal 39 UU Tipikor memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk mengoordinasikan penyidikan tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi. Mekanisme ini diabaikan oleh putusan MK.
  3. UU Kejaksaan
    Pasal 8 Ayat (2) UU Kejaksaan menegaskan peran Jaksa Agung sebagai pengendali utama dalam penyelesaian konflik yurisdiksi. Hakim MK tidak mempertimbangkan peran sentral ini dalam mekanisme koneksitas.
  4. UUD 1945
    Hakim MK tidak memperhatikan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan pembagian yurisdiksi peradilan berdasarkan subjek hukum. Dengan memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani kasus anggota militer, putusan ini melanggar prinsip kompetensi absolut yang dijamin konstitusi.

 

5. Solusi untuk Menghindari Konflik

  1. Revisi UU KPK
    Pasal 42 UU KPK harus diselaraskan dengan Pasal 69 UU Peradilan Militer, Pasal 39 UU Tipikor, dan Pasal 8 UU Kejaksaan untuk menjaga mekanisme koneksitas yang jelas dan menghormati kompetensi absolut.
  2. Penguatan Mekanisme Koneksitas
    Peraturan pelaksana yang mempertegas peran KPK, Polisi Militer, dan Kejaksaan dalam kasus lintas yurisdiksi harus segera diterbitkan untuk mencegah konflik kelembagaan.
  3. Penegakan Kompetensi Absolut
    Regulasi tambahan harus memastikan bahwa kasus anggota militer tetap diproses di peradilan militer, kecuali ada keputusan koneksitas yang sah.

Kesimpulan

Putusan MK terkait Pasal 42 UU KPK membenturkan KPK dengan Polisi Militer dan Kejaksaan karena tidak mempertimbangkan UU Peradilan MiliterUU TipikorUU Kejaksaan, dan UUD 1945 yang mengatur prinsip kompetensi absolut. Konflik yurisdiksi yang terjadi akibat putusan ini menciptakan ketidakpastian hukum dan melemahkan integritas sistem peradilan.

Revisi UU KPK dan penegasan mekanisme koneksitas menjadi langkah mendesak untuk menjaga efisiensi, keadilan, dan konsistensi dalam penegakan hukum, terutama dalam tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi.

*)Kabais TNI 2011-2013

 

15 November 2024

Strategic Diplomacy and National Interests: A Comprehensive Response to Criticism of Indonesia’s South China Sea Policy

Strategic Diplomacy and National Interests: A Comprehensive Response to Criticism of Indonesia’s South China Sea Policy

 

Jakarta 15 November 2024

By: Rear Admiral (Ret) Soleman B. Ponto. *)

 

President Prabowo Subianto’s joint statement with China on maritime cooperation in the South China Sea has ignited intense debate. Critics, including Aristyo Darmawan, suggest that the statement reflects a policy shift or diplomatic missteps that could undermine Indonesia’s sovereignty.[1] However, these critiques fail to account for the strategic considerations underpinning Indonesia’s approach, which balances de jure legal principles with de facto realities to safeguard national interests. This article addresses the criticisms paragraph by paragraph, emphasizing intelligence perspectives, legal philosophy, and practical geopolitics. Special attention is given to Aristyo’s critique, including his labeling of certain actions as "stupid."

 

Critique 1: “President Prabowo Subianto has dazed and confused many foreign policy observers with an apparent dramatic shift in Indonesia’s South China Sea policy while in Beijing.”

Response:
The perception of confusion stems from a misunderstanding of strategic ambiguity—a diplomatic tool that allows Indonesia to engage constructively with China while preserving its sovereignty and territorial integrity.

  • Intelligence Perspective:
    Strategic ambiguity is essential in navigating complex geopolitical disputes. It enables Indonesia to address de facto challenges posed by China’s assertiveness without jeopardizing its de jure claims under UNCLOS.
  • Legal Philosophy:
    Niccolò Machiavelli in The Prince emphasizes pragmatism in leadership. The ambiguity reflects Indonesia’s prioritization of long-term sovereignty over immediate clarity, preserving flexibility in negotiations.

 

Critique 2: “Indonesia Foreign Ministry officials were caught off guard, if not shocked, after an official statement released on the final day of Prabowo’s trip appeared to recognize China’s expansive ‘nine-dash line’ claim…”

Response:
The swift clarification by the Foreign Ministry demonstrates Indonesia’s institutional commitment to defending its legal stance under UNCLOS. This is not evidence of disarray but of coordinated diplomacy addressing misinterpretations.

  • Legal Theory:
    Hans Kelsen’s Pure Theory of Law underscores that legal norms remain unaffected by political statements. The Ministry’s clarification ensures alignment with UNCLOS and reinforces Indonesia’s sovereignty.
  • Intelligence Perspective:
    Proactive clarifications mitigate potential misinterpretations, preemptively countering attempts by external actors to exploit perceived weaknesses in Indonesia’s policy.

 

Critique 3: “The announcement’s language was ambiguous so the practical implications remain unclear.”

Response:
Ambiguity in diplomatic language is deliberate, allowing Indonesia to engage with China while avoiding rigid positions that could escalate tensions or limit future strategic options.

  • Philosophical Insight:
    Aristotle’s phronesis (practical wisdom) supports adaptive decision-making in dynamic contexts. Ambiguity ensures Indonesia retains leverage while addressing sensitive disputes.
  • De Facto Realities:
    Recognizing disputes does not legitimize illegitimate claims. Instead, it acknowledges the geopolitical realities necessary for constructive engagement.

 

Critique 4: “This, plus earlier signals Indonesia might be taking a tougher line on defending its maritime territory…”

Response:
The combination of diplomatic engagement and assertive maritime defense reflects Indonesia’s dual strategy of safeguarding sovereignty while fostering regional stability.

  • Legal Philosophy:
    Immanuel Kant’s Perpetual Peace advocates for cooperation under international law. Indonesia’s adherence to UNCLOS while asserting its maritime boundaries exemplifies this principle.
  • Intelligence Perspective:
    A balanced approach ensures that Indonesia protects its territorial integrity without alienating key regional partners or escalating conflicts unnecessarily.

 

Critique 5: “Was this a simple slapdash slip by a president determined to take the lead on foreign policy…?”

Response:
This characterization overlooks the deliberate and calculated nature of President Prabowo’s actions. The joint statement reflects strategic pragmatism rather than impulsive decision-making.

  • Philosophical Perspective:
    Niccolò Machiavelli’s The Prince advises leaders to adapt to shifting realities while safeguarding their state’s interests. Prabowo’s leadership embodies this adaptability.
  • Intelligence Perspective:
    Leadership-driven diplomacy signals Indonesia’s resolve to both domestic and international audiences, ensuring its sovereignty and strategic influence.

Critique 6: “China has long made expansive territorial claims to waters in the South China Sea…”

Response:
China’s Nine-Dash Line represents a de facto challenge that Indonesia must address. However, Indonesia’s rejection of these claims under UNCLOS remains firm.

  • Legal Theory:
    The 2016 Permanent Court of Arbitration ruling invalidates the Nine-Dash Line, providing Indonesia with a robust legal basis to counter China’s claims.
  • Intelligence Perspective:
    Engaging diplomatically prevents unilateral Chinese actions while ensuring Indonesia remains a central player in regional geopolitics.

 

Responding to Aristyo Darmawan’s Critique

Aristyo Darmawan raises two main concerns: that acknowledging overlapping claims could lead to boundary negotiations and that resource-sharing agreements risk undermining Indonesia’s sovereignty. He also controversially labels resource-sharing as “stupid.” While his arguments highlight important legal considerations, they fail to fully appreciate the broader strategic and diplomatic context.

 

1. “Accepting an overlapping claim implies Indonesia might be open to negotiations on the maritime boundary.”

Response:
Acknowledging overlapping claims does not signify a willingness to negotiate sovereignty. Instead, it reflects a diplomatic acknowledgment of disputes, ensuring constructive dialogue without compromising Indonesia’s legal rights.

  • Legal Philosophy:
    Lon Fuller’s Morality of Law underscores the importance of adapting legal frameworks to practical challenges. This acknowledgment ensures that Indonesia maintains its legal position under UNCLOS while addressing de facto disputes.
  • Intelligence Perspective:
    Recognizing disputes tactically buys time, allowing Indonesia to strengthen its strategic posture and avoid unilateral escalations.

 

2. “Opening the door to sharing resources in the area…is like a random person arguing that part of your house is theirs.”

Response:
Aristyo’s analogy oversimplifies the strategic rationale behind resource-sharing agreements. These agreements allow Indonesia to benefit economically while maintaining sovereignty and influence.

  • Legal Philosophy:
    John Rawls’ A Theory of Justice supports equitable cooperation that benefits all parties without undermining sovereignty. Joint development agreements align with this principle.
  • De Facto Realities:
    Resource-sharing agreements prevent unilateral exploitation by China, reinforcing Indonesia’s operational presence in contested areas.
  • Intelligence Perspective:
    These agreements are strategic tools to counteract de facto threats, ensuring Indonesia retains control and influence while deriving tangible benefits.

 

3. Aristyo’s Labeling of Resource-Sharing as “Stupid”

Response:
Labeling resource-sharing as "stupid" dismisses the nuanced strategic benefits these agreements offer. Such actions are pragmatic measures that strengthen Indonesia’s position without conceding sovereignty.

  • Legal and Strategic Realities:
    Joint resource management enables Indonesia to maintain a presence in contested waters while deriving economic benefits, ensuring long-term resilience.
  • Philosophical Perspective:
    Pragmatism, as advocated by thinkers like Machiavelli and Rawls, underpins Indonesia’s approach to balancing economic cooperation with sovereignty preservation.
  • Intelligence Perspective:
    Resource-sharing agreements provide operational control over contested areas, preventing unilateral actions by adversaries.

 

Conclusion: Balancing Sovereignty and Strategic Realities

President Prabowo Subianto’s approach to the South China Sea reflects a nuanced strategy that combines legal adherence with practical engagement to address de facto challenges. Critics, including Aristyo Darmawan, raise important concerns but overlook the broader strategic considerations underpinning Indonesia’s actions.

  1. Legal Integrity:
    Indonesia’s commitment to UNCLOS ensures its sovereignty and territorial claims remain intact.
  2. Strategic Pragmatism:
    Acknowledging disputes and exploring resource-sharing agreements are tools to secure mutual benefits while maintaining de jure rights.
  3. Intelligence-Driven Diplomacy:
    Strategic ambiguity and calculated engagement enable Indonesia to counter threats effectively, safeguard sovereignty, and maintain stability.

By balancing assertiveness with pragmatism, Indonesia demonstrates its commitment to national interests, ensuring sovereignty, security, and prosperity in an increasingly contested global landscape. Aristyo’s critique highlights valid concerns, but the broader context reveals a calculated and resilient approach to securing Indonesia’s long-term strategic goals.

*)Kabais TNI 2011-2013



[1] https://asiatimes.com/2024/11/did-prabowo-just-yield-to-china-in-the-north-natuna-sea/