30 Agustus 2025

“Krisis Kepercayaan Publik terhadap DPR: Implikasi Politik, Ancaman Keamanan, dan Opsi Strategi Presiden”

 “Krisis Kepercayaan Publik terhadap DPR: Implikasi Politik, Ancaman Keamanan, dan Opsi Strategi Presiden”

Pendahuluan

Situasi nasional Indonesia saat ini berada pada kondisi yang sangat dinamis dan rentan eskalasi konflik sosial-politik. Gelombang demonstrasi yang bermula di Jakarta telah meluas ke berbagai wilayah Indonesia, termasuk Makassar, NTB, Cirebon, Pekalongan, Solo, Bandung, Jambi, dan sejumlah daerah lainnya. Eskalasi aksi massa yang diwarnai pembakaran kantor DPRD dan penyerangan markas kepolisian menunjukkan adanya krisis kepercayaan publikterhadap lembaga negara, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Polri.

DPR kini menjadi simbol kemarahan publik. Persepsi masyarakat tentang rakusnya fasilitas dan tunjangan DPR, lemahnya transparansi, serta prioritas kebijakan yang dianggap lebih mementingkan kepentingan kelompok elite dibanding kesejahteraan rakyat, memicu ledakan sosial yang sulit dikendalikan. Di sisi lain, Polri sebagai institusi penegak hukum juga turut menjadi sasaran amarah, akibat berbagai kasus kekerasan aparat dan penanganan massa yang dinilai represif.

Kondisi ini semakin kompleks karena terdapat indikasi kuat adanya penunggang isu dan potensi manuver aktor-aktor eksternal, baik dari jejaring oligarki sumber daya alam (sawit, batubara, dan migas) maupun kemungkinan infiltrasi intelijen asing. Ketika pusat perhatian pemerintah tersita untuk mengendalikan kerusuhan, ada risiko pengambilalihan konsesi strategis dan pelemahan kendali negara atas aset vital nasional.

Dalam konteks ini, Presiden berada pada posisi krusial sebagai pemegang komando tertinggi pengambilan keputusan strategis. Keputusan terhadap DPR harus bersifat tegas, terukur, dan cepat untuk meredam eskalasi nasional, memulihkan stabilitas politik, serta menjaga kedaulatan negara. Langkah-langkah taktis harus memadukan pendekatan politik, hukum, keamanan, dan komunikasi publik.

Pendahuluan ini menjadi dasar bagi analisis berikutnya, yang akan memaparkan:

  1. Peta situasi nasional dan penyebaran kerusuhan.
  2. Indikasi jaringan aktor DPR dan oligarki SDA.
  3. Potensi manuver intelijen asing dan penunggang isu.
  4. Skenario opsi strategis Presiden untuk meredam konflik, memulihkan kepercayaan publik, dan mengamankan kepentingan nasional.

I. Situasi Aktual DPR: Simbol Rakus dan Tidak Peka

Berdasarkan data lapangan dan laporan media:

  • DPR menjadi sasaran utama kebencian publik karena:
    • Kenaikan fasilitas dan tunjangan anggota DPR di tengah kesulitan ekonomi rakyat.
    • Minimnya transparansi anggaran dan akuntabilitas.
    • Kesan DPR lebih sibuk dengan kepentingan kelompoknya sendiri ketimbang kepentingan rakyat.
  • Kantor DPRD di berbagai daerah menjadi sasaran pembakaran, penyerangan, dan penjarahan:
    • Makassar, NTB, Cirebon, Pekalongan, Solo, Bandung, Jambi, dan beberapa daerah lainnya.
  • Di mata publik, DPR dan Polri kini dianggap dua simbol ketidakadilan.

II. Risiko Jika Presiden Tidak Bertindak

Jika Presiden pasif atau hanya memberi pernyataan umum, ada tiga risiko besar:

  1. Krisis Legitimasi Nasional
    • Publik akan menilai Presiden melindungi DPR → turunnya kepercayaan terhadap pemerintah pusat.
  2. Eskalasi Konflik Horizontal
    • Aksi pembakaran DPRD di daerah bisa menyebar lebih luas ke kabupaten lain.
    • Aparat keamanan akan semakin sulit mengendalikan massa.
  3. Ruang Manuver Intelijen Asing dan Oligarki SDA
    • Situasi kacau akan dimanfaatkan untuk melobi izin sawit, tambang, dan migas secara diam-diam.
    • Jika Presiden terlihat lemah, kepentingan nasional bisa disabotase.

III. Opsi Langkah Presiden terhadap DPR

Ada tiga tingkat opsi — politik, hukum, dan komunikasi publik — yang bisa dijalankan secara paralel.

A. Langkah Politik

  1. Memanggil Pimpinan DPR dan Fraksi
    • Presiden perlu memanggil ketua DPR, pimpinan fraksi, dan ketua DPRD provinsi/kabupaten untuk rapat darurat di Istana.
    • Pesan utamanya:
      • Hentikan eskalasi politik,
      • Batalkan atau tunda fasilitas DPR,
      • Komitmen untuk mendukung kebijakan pengendalian SDA.
  2. Tekan DPR untuk Transparansi
    • Instruksikan Menteri Keuangan dan BPK untuk audit anggaran DPR dan DPRD secara terbuka.
    • Publikasi hasil audit untuk memulihkan kepercayaan rakyat.
  3. Bangun Koalisi Nasional Sementara
    • Presiden dapat membentuk “Forum Bersama Stabilitas Nasional”:
      • Presiden, DPR, DPD, MPR, KPU, BIN, BAIS, TNI, dan Polri.
    • Tujuannya untuk meredam konflik elite dan memulihkan legitimasi pemerintah.

B. Langkah Hukum

  1. Audit Harta Anggota DPR dan DPRD
    • Libatkan KPK, PPATK, dan BPKP untuk menelusuri sumber kekayaan anggota DPR.
    • Jika ditemukan indikasi korupsi, proses hukum tegas tanpa pandang bulu.
  2. Evaluasi Regulasi Terkait Fasilitas DPR
    • Ajukan revisi terhadap Perpres dan Peraturan DPR yang mengatur tunjangan dan fasilitas anggota.
    • Batasi hak istimewa DPR agar selaras dengan kondisi ekonomi nasional.
  3. Perkuat UU Anti-Konflik Kepentingan
    • Dorong RUU untuk melarang anggota DPR terlibat langsung dalam bisnis sawit, tambang, dan migas.

C. Langkah Komunikasi Publik

  1. Presiden Bicara Langsung kepada Rakyat
    • Sampaikan pidato nasional yang menegaskan:
      • Presiden memihak rakyat, bukan DPR.
      • Ada komitmen audit fasilitas DPR dan konsesi SDA.
      • Akan dilakukan reformasi tata kelola legislatif.
  2. Libatkan Tokoh Agama dan Masyarakat
    • Gunakan jejaring NU, Muhammadiyah, MUI, dan tokoh lokal untuk meredam emosi publik.
  3. Bangun Pusat Informasi Nasional
    • Koordinasikan Kominfo, BIN, dan BSSN untuk mengontrol narasi publik dan melawan propaganda.

IV. Shock Therapy: “Pukul Meja” terhadap DPR

Jika situasi makin memburuk, Presiden bisa menjalankan opsi radikal:

  1. Pembekuan Anggaran Tambahan DPR
    • Presiden mengeluarkan Perppu untuk menunda anggaran fasilitas DPR sampai kondisi sosial stabil.
  2. Bentuk “Satgas Pengawasan DPR”
    • Libatkan KPK, BIN, dan BPK untuk memonitor kebijakan DPR secara real-time.
  3. Evaluasi UU MD3 dan Tata Tertib DPR
    • Jika DPR tidak kooperatif, Presiden bisa memanfaatkan dukungan publik untuk menekan revisi UU yang memberi hak istimewa berlebihan kepada DPR.

V. Rekomendasi Intelijen

  1. BIN dan BAIS → Pantau lobi-lobi DPR dengan oligarki sawit, tambang, dan migas.
  2. PPATK → Telusuri aliran dana mencurigakan yang terkait elite DPR.
  3. BSSN → Deteksi koordinasi opini publik, termasuk botnet atau propaganda asing yang menargetkan DPR.
  4. TNI dan Polri → Amankan gedung DPR dan DPRD di seluruh Indonesia untuk mencegah pembakaran lanjutan.

Kesimpulan

Presiden harus mengambil kendali atas DPR.
DPR sekarang adalah simbol kemarahan publik, dan jika tidak ditangani, akan menimbulkan krisis legitimasi nasional.
Langkah Presiden harus tegas dan bertahap:

  • Politik: panggil, tekan, dan audit DPR.
  • Hukum: proses indikasi korupsi dan fasilitas berlebihan.
  • Publik: bicara langsung ke rakyat dan bangun kepercayaan.
  • Shock therapy: gunakan Perppu jika DPR melawan.

 

Reformasi Anggaran DPR: Kembalikan Fungsi, Hentikan Privilege

"Reformasi Anggaran DPR: Uang Rakyat Harus Kembali ke Rakyat"

Jakarta 30 Agustus 2025

Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB

KABAIS TNI 2011-2013

Pendahuluan

Rakyat Indonesia hari ini menanggung beban fiskal yang semakin berat: kenaikan harga, pemotongan anggaran daerah, dan tekanan ekonomi global. Di tengah situasi ini, muncul ketidakadilan struktural dalam pengelolaan anggaran negara, khususnya pada anggaran DPR RI.
Selama ini, sebagian besar anggaran DPR lebih banyak digunakan untuk hak keuangan anggota, bukan untuk memperkuat fungsi kelembagaan DPR sebagai wakil rakyat.

Saatnya publik bersuara. Anggaran DPR harus direformasi agar berpihak pada kepentingan rakyat, bukan menjadi fasilitas istimewa bagi elite politik.

Masalah Utama

  1. Dominasi Hak Keuangan Anggota
    Saat ini, ±65% anggaran DPR terserap untuk gaji, tunjangan, fasilitas pribadi, dan tunjangan reses.
    Padahal, dalam sistem tata kelola negara yang ideal, anggaran legislatif seharusnya difokuskan untuk fungsi kelembagaan: penyusunan undang-undang, pengawasan kebijakan, dan penyerapan aspirasi publik.
  2. Tunjangan Reses yang Tidak Proporsional
    • Setiap anggota DPR menerima tunjangan reses ±Rp1,1 miliar hingga Rp3,7 miliar per tahun.
    • Tidak ada mekanisme pertanggungjawaban publik yang jelas.
    • Aspirasi rakyat yang dikumpulkan saat reses jarang terlihat dampaknya pada kebijakan.
  3. Minim Transparansi dan Akuntabilitas
    • Laporan keuangan DPR sulit diakses publik.
    • Audit memang dilakukan BPK, tetapi hasilnya jarang dipublikasikan secara detail.
    • Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap DPR.

Tuntutan Publik.
Kami menyerukan reformasi total pengelolaan anggaran DPR berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, dan akuntabilitas.
Beberapa tuntutan utama:

1. Hentikan Sistem Privilege Individu

  • Hak keuangan anggota DPR harus disederhanakan dan dihilangkan pos-pos yang berlebihan.
  • Dana tunjangan reses dan perjalanan dinas tidak boleh diberikan tunai ke anggota.

2. Kelola Dana Berbasis Kelembagaan

  • Semua anggaran dikelola Sekretariat Jenderal DPR.
  • Anggota DPR hanya mengajukan rencana kegiatan, sementara pembayaran langsung dilakukan oleh lembaga.

3. Wajibkan Transparansi Digital

  • Bentuk Dashboard Publik DPR:
    • Laporan keuangan real-time.
    • Aspirasi reses dipublikasikan.
    • Data penggunaan anggaran dapat diakses publik tanpa batas.

4. Sesuaikan Besaran Anggaran dengan Kinerja

  • Terapkan performance-based budgeting:
    • Jumlah anggaran DPR harus sebanding dengan produktivitas legislatif.
    • Evaluasi publikasi: berapa RUU disahkan, berapa kebijakan diawasi, berapa aspirasi diakomodasi.

5. Audit Independen dan Publikasi Hasilnya

  • Libatkan BPK, KPK, dan auditor independen.
  • Hasil audit DPR wajib diumumkan ke publik setiap tahun.

Seruan untuk Publik.

Rakyat berhak mengetahui bagaimana uang pajak digunakan.
Jika DPR mengklaim sebagai wakil rakyat, maka setiap rupiah yang digunakan harus jelas tujuannya dan terukur hasilnya.
Sudah saatnya masyarakat:

  • Mendesak transparansi anggaran DPR.
  • Mengawasi penggunaan tunjangan reses.
  • Menolak pemborosan APBN untuk kepentingan politik individu.

“Uang rakyat harus kembali ke rakyat, bukan untuk memperkaya elite.”

Penutup

Reformasi anggaran DPR bukan sekadar isu teknis, tetapi soal keadilan sosial dan integritas demokrasi.
Jika DPR tidak segera melakukan perbaikan, kepercayaan publik akan semakin runtuh dan legitimasi lembaga legislatif akan dipertanyakan.
Kami mengajak seluruh elemen masyarakat, media, akademisi, dan organisasi sipil untuk bersatu mendorong transparansi dan menuntut pengelolaan anggaran DPR yang lebih adil dan akuntabel.

 

 

28 Agustus 2025

Tanggapan atas Pernyataan Kepala Bakamla Mengenai Status “Indonesian Coast Guard”

Tanggapan atas Pernyataan Kepala Bakamla Mengenai Status “Indonesian Coast Guard”

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, S.T., S.H., M.H. Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI Ahli Hukum Laut

Jakarta, 28-08-2025

Sebagai mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI dan ahli hukum laut, saya merasa perlu memberikan tanggapan keras atas pernyataan Kepala Bakamla dalam video publikasi kerja sama dengan Vietnam Coast Guard (VCG), yang menyebut Bakamla sebagai “Indonesian Coast Guard”.

Pernyataan tersebut tidak memiliki dasar hukum, menyesatkan publik internasional, dan termasuk bentuk pembohongan publik yang dapat merugikan reputasi serta kredibilitas Indonesia di mata dunia.

1. Bakamla Bukan dan Tidak Pernah Menjadi “Indonesian Coast Guard”

Bakamla dibentuk melalui UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, khususnya Pasal 59 ayat (3), yang menyatakan bahwa Bakamla adalah lembaga pemerintah non-kementerian yang melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan yurisdiksi Indonesia. Bakamla berada di bawah koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), bukan Kementerian Perhubungan, dan tidak memiliki kewenangan pengawasan pelayaran.

2. Vietnam Coast Guard Semi-Militer: Mitra Tepat adalah TNI AL

Vietnam Coast Guard (VCG) berada di bawah Kementerian Pertahanan Vietnam dan bersifat semi-militer. Apabila kerja sama dilakukan dengan lembaga semi-militer seperti VCG, maka mitra yang setara dan tepat dari pihak Indonesia adalah TNI Angkatan Laut (TNI AL), bukan Bakamla.

3. KPLP adalah Indonesian Coast Guard yang Sah

Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) di bawah Kementerian Perhubungan adalah satu-satunya institusi yang sah sebagai Indonesian Coast Guard. KPLP diatur dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan revisinya tahun 2024. KPLP memiliki mandat mengawasi, memeriksa, dan menindak kapal yang berlayar, serta diakui oleh International Maritime Organization (IMO) sebagai otoritas coast guard Indonesia. Sebaliknya, Bakamla tidak terdaftar di IMO.

4. Coast Guard Dunia Berada di Bawah Kementerian Transportasi

Secara global, coast guard umumnya berada di bawah Kementerian Transportasi atau lembaga sipil serupa, karena fungsi utamanya adalah mengawasi kapal dan memastikan

keselamatan pelayaran. Contohnya: Japan Coast Guard di bawah Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism; Philippine Coast Guard di bawah Department of Transportation; dan Canadian Coast Guard dibentuk di bawah Kementerian Transportasi.

5. Pernyataan Kepala Bakamla = Pembohongan Publik

Klaim Kepala Bakamla kepada Vietnam Coast Guard yang menyebut Bakamla sebagai Indonesian Coast Guard adalah keliru secara hukum, menyesatkan publik internasional, dan termasuk pembohongan publik. Dalam konteks diplomasi maritim, tindakan ini berpotensi melemahkan posisi strategis Indonesia di kawasan ALKI, ZEE, dan Laut Natuna Utara.

6. Seruan dan Peringatan Tegas

1. Bakamla harus menghentikan klaim sebagai “Indonesian Coast Guard” dalam forum internasional.
2. KPLP adalah otoritas sah yang diakui UU, IMO, dan praktik global sebagai coast guard Indonesia.

3. Jika kerja sama dilakukan dengan lembaga semi-militer seperti VCG, maka TNI AL adalah mitra yang tepat, bukan Bakamla.
4. Kementerian Perhubungan dan Kementerian Luar Negeri harus segera meluruskan informasi resmi kepada Vietnam Coast Guard dan negara mitra lainnya.

“Sebagai mantan Kabais TNI dan ahli hukum laut, saya menegaskan bahwa pernyataan Kepala Bakamla adalah bentuk pembohongan publik. Bakamla bukanlah Indonesian Coast Guard. Otoritas coast guard Indonesia yang sah, diakui undang-undang dan IMO, adalah KPLP. Jika kerja sama dilakukan dengan lembaga semi-militer, mitra yang tepat adalah TNI AL, bukan Bakamla.”

Tanggapan Terkait Publikasi Bakamla melalui Program “Garda Samudra”

Tanggapan Terkait Publikasi Bakamla melalui Program “Garda Samudra”

Jakarta 28 Agustus 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto, S.T., S.H., M.H., CPM, CParb

Pendahuluan

Publikasi Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI) melalui program “Garda Samudra” yang tayang di kanal YouTube resminya menampilkan aktivitas Bakamla dalam melakukan patroli keamanan lautpemeriksaan kapalpenyitaan muatan, dan penindakan terhadap dugaan pelanggaran hukum maritim.

Secara visual, tayangan tersebut benar menampilkan kegiatan operasional Bakamla. Namun, narasi yang dibangunmenimbulkan kesan bahwa Bakamla adalah penegak hukum tunggal di laut, padahal secara hukum kewenangan Bakamla terbatas pada patroli keamanan dan koordinasi antar-instansi, bukan penyidikan dan penegakan hukum pidana.

Sebagai ahli hukum laut, saya merasa perlu meluruskan batas kewenangan Bakamla agar masyarakat memperoleh pemahaman yang benar dan pemerintah dapat memperbaiki pola komunikasi publik.

Bakamla dan Batas Kewenangannya

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan

  • Pasal 60 → Bakamla bertugas melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di perairan Indonesia.
  • Pasal 63 → Dalam penegakan hukum, Bakamla wajib berkoordinasi dengan:
    • Polairud (Polri) untuk tindak pidana umum,
    • KPLP untuk keselamatan pelayaran,
    • PSDKP untuk kasus perikanan, dan
    • TNI AL untuk perlindungan kedaulatan.

Artinya, Bakamla bukan penyidik dan tidak berwenang melakukan penindakan pidana secara sepihak.

Hak Kapal Asing di Laut Indonesia

1. Lintas Damai di Laut Teritorial

Berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan UNCLOS 1982:

  • Kapal asing memiliki hak lintas damai (innocent passage) di laut teritorial Indonesia.
  • Hak tersebut hanya hilang jika kapal melakukan tindakan non-damai seperti:
    • Spionase,
    • Illegal fishing,
    • Penyelundupan,
    • Ancaman keamanan.

Jika kapal asing hanya melintas damai, Bakamla tidak boleh menghentikan atau memeriksa kapal tersebut.

2. Kebebasan Navigasi di ZEE dan Laut Lepas

Berdasarkan Pasal 58 & 87 UNCLOS 1982:

  • Di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan laut lepas, semua kapal asing memiliki hak kebebasan navigasi.
  • Negara pantai hanya boleh melakukan intervensi jika terjadi pelanggaran nyata, misalnya illegal fishing atau pencemaran laut.

Artinya, tindakan Bakamla menghentikan kapal asing di ZEE tanpa dasar pelanggaran yang jelas berpotensi melanggar hukum internasional.

Pasal-Pasal yang Berpotensi Dilanggar

1. UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

  • Pasal 11 → Hak kapal asing untuk lintas damai.
  • Melarang penghentian kapal asing tanpa pelanggaran nyata.

2. UNCLOS 1982

  • Pasal 17 → Hak lintas damai di laut teritorial.
  • Pasal 58 & 87 → Hak kebebasan navigasi di ZEE & laut lepas.

3. UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan

  • Pasal 60 → Kewenangan Bakamla sebatas patroli, bukan penyidikan.

4. KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981)

  • Pasal 6 → Penyidik hanyalah Polri dan PPNS, bukan Bakamla.

Ancaman Hukumnya

Jika Bakamla melampaui kewenangan:

  • Pasal 421 KUHP → Penyalahgunaan wewenang: pidana penjara 2 tahun 8 bulan.
  • Pasal 333 KUHP → Penahanan orang tanpa dasar hukum: pidana penjara 8 tahun.
  • Pasal 55 UU KIP → Penyampaian informasi menyesatkan:
    pidana penjara 1 tahun atau denda Rp5 juta.

Dampak Diplomatik

Tindakan Bakamla yang menghentikan kapal asing tanpa bukti pelanggaran nyata berpotensi menimbulkan:

  1. Protes diplomatik dari negara bendera kapal.
  2. Sengketa internasional melalui ITLOS (International Tribunal for the Law of the Sea).
  3. Penurunan reputasi Indonesia sebagai negara kepulauan yang meratifikasi UNCLOS 1982.

Kesimpulan

Publikasi Bakamla melalui program “Garda Samudra”:
Benar menampilkan aktivitas patroli Bakamla.
 Namun, salah dalam membangun narasi yang memberi kesan Bakamla adalah penegak hukum tunggal di laut.

Padahal menurut hukum:

  • Bakamla = Koordinator Patroli, bukan penyidik.
  • Bakamla = Bukan penegak hukum tunggal.
  • Setiap tindakan penindakan kapal asing harus berkoordinasi dengan Polairud, KPLP, PSDKP, dan TNI AL.

Jadi, perbuatan Bakamla dapat digolongkan kepada PEMBOHONGAN PUBLIK. Semoga dengan membaca tanggapan, ini para pemimpin Bakamla segera kembali ke jalan menyadari kekeliruannya dan segera kembali kejalan yang benar.