27 September 2024

Kemunduran Transportasi Laut Akibat Revisi Pasal 276 Ayat 1 UU 17/2008: Sebuah Ironi Regulasi

Kemunduran Transportasi Laut Akibat Revisi Pasal 276 Ayat 1 UU 17/2008: Sebuah Ironi Regulasi


Jakarta 27 September 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) ADV Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb *)


Pendahuluan

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki transportasi laut sebagai tulang punggung penghubung antar pulau dan penggerak utama ekonomi nasional. Pemerintah kerap berbicara tentang pentingnya meningkatkan keberhasilan sektor transportasi, terutama transportasi laut, demi mendukung ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan. Namun, di balik retorika tersebut, revisi Pasal 276 ayat 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran justru secara ironis memutus salah satu mata rantai paling penting dalam transportasi laut, yaitu penegakan hukum dan keselamatan keamanan di laut.


Ironi dalam Kebijakan: Pemutusan Mata Rantai Penting

Pemerintah telah berulang kali menegaskan komitmen mereka untuk memperkuat sektor maritim sebagai bagian dari visi besar Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dalam berbagai pidato, disampaikan bahwa transportasi laut harus ditingkatkan melalui perbaikan infrastruktur, keselamatan dan keamanan pelayaran, keselamatan dan keamanan dilaut dan efisiensi logistik. Namun, ironisnya, revisi Pasal 276 ayat 1 dalam UU 17/2008 yang dilakukan baru-baru ini justru merusak salah satu elemen kunci transportasi laut, yaitu penjagaan dan penegakan hukum di laut yang terpadu dan komprehensif.

Dalam pasal aslinya, penjaga laut dan pantai memiliki tanggung jawab yang luas mencakup keselamatan, keamanan, serta penegakan berbagai peraturan di laut dan pantai secara menyeluruh. Tugas ini menjadi tulang punggung bagi keberhasilan operasional transportasi laut karena menjaga keamanan kapal, muatan, dan pelaut dari berbagai ancaman, baik itu dari aspek keselamatan pelayaran, penyelundupan, hingga perompakan. Namun, dengan revisi tersebut, fungsi ini dipersempit hanya pada penegakan hukum di bidang pelayaran saja. Dengan kata lain, peran penjaga laut dan pantai dalam menjaga keseluruhan keselamtan dan keamanan pelayaran serta keselamatan dan keamanan dilaut diputus, yang secara langsung melemahkan fondasi transportasi laut.


Efek Pemutusan Mata Rantai Terhadap Keberhasilan Transportasi

Pemutusan mata rantai ini memiliki efek domino yang serius terhadap keberhasilan transportasi laut, di antaranya:

  1. Lemahnya Sistem Penegakan Hukum di Laut
    Sebagai negara maritim, ancaman terhadap keselamatan dan keamanan pelayaran serta keselamatan dan keamanan dilaut tidak hanya datang dari aspek teknis pelayaran itu sendiri, tetapi juga dari pelanggaran hukum lainnya, seperti perikanan ilegal, perdagangan manusia, dan penyelundupan barang terlarang. Dengan mempersempit peran penjaga laut dan pantai hanya pada penegakan hukum di bidang pelayaran, penanganan terhadap ancaman-ancaman tersebut menjadi terabaikan. Ironisnya, pada saat pemerintah berbicara tentang peningkatan keberhasilan transportasi, mereka justru menghilangkan salah satu komponen vital yang menjaga keberlanjutan dan keamanan di laut.
  2. Tumpang Tindih Kewenangan dan Ketidakpastian Hukum
    Revisi ini juga menciptakan ketidakpastian hukum, karena peran penjaga laut dan pantai menjadi kabur. Sebelumnya, koordinasi yang terpadu antara kesatuan Penjaga laut dan Pantai , Polisi Perairan, TNI AL dan Bea Cukaidalam m enjaga keamanan laut telah memberikan landasan yang kuat bagi pelaksanaan penegakan hukum di perairan Indonesia. Namun, setelah revisi, terdapat kebingungan mengenai siapa yang bertanggung jawab dan bertindak sebagai koordinator atas penegakan hukum di luar bidang pelayaran. Setiap kapal yang berlayar akan dapat diperiksa berkali - kali oleh setiap penegak hukum dilaut. Misalkan walaupun kapal itu sudah diperiksa oleh TNI AL, Polair pun akan dapat memeriksanya kembali, demikian pula Bea cukai, karena semua petugas merasa memiliki hak yang sama akibat tidak adanya koordinator. Ketidakpastian ini tidak hanya merusak integritas sistem penegakan hukum, tetapi juga menimbulkan potensi konflik antara lembaga-lembaga terkait yang seharusnya bekerja sama. Akibatnya Transportasi laut semakin merana.
  3. Merosotnya Kepercayaan Industri Maritim
    Industri maritim, baik nasional maupun internasional, sangat bergantung pada kepastian hukum dan stabilitas regulasi. Dengan adanya ketidakpastian hukum akibat revisi Pasal 276 ayat 1, industri transportasi laut berisiko kehilangan kepercayaan terhadap mekanisme perlindungan dan keamanan yang diberikan pemerintah. Investor asing yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan infrastruktur pelabuhan, kapal, dan fasilitas maritim lainnya mungkin akan berpikir ulang sebelum berinvestasi di sektor ini, mengingat risiko ketidakpastian yang terus meningkat.
  4. Menurunnya Keselamatan dan Keamanan Pelayaran
    Keselamatan dan keamanan adalah dua pilar utama yang harus dijamin dalam transportasi laut. Revisi Pasal 276 ayat 1 mengabaikan tugas penting penjaga laut dan pantai dalam menegakkan hukum secara komprehensif di laut, yang pada akhirnya berdampak pada meningkatnya potensi kecelakaan dan insiden di laut. Dengan tidak adanya pengawasan terpadu, ancaman terhadap keselamatan pelayaran seperti perompakan, sabotase, dan kecelakaan yang disebabkan oleh pelanggaran hukum akan sulit dikendalikan.


Penutup: Kebutuhan untuk Mengkaji Ulang

Revisi Pasal 276 ayat 1 UU No. 17/2008 justru menunjukkan ironi dalam kebijakan pemerintah yang berbicara tentang peningkatan keberhasilan transportasi laut. Dengan memutus mata rantai penting dalam penjagaan keselamatan dan keamanan laut, pemerintah secara tidak langsung menghancurkan pondasi yang dibutuhkan untuk mencapai visi besar mereka di sektor maritim. Oleh karena itu, sangat mendesak untuk melakukan kajian ulang terhadap revisi ini dan mengembalikan peran penjaga laut dan pantai sebagaimana yang diatur pada pasal 276 ayat 1 UU No. 17/2008 sebelum direvisi (aseli), demi memastikan transportasi laut Indonesia yang aman, efisien, dan berdaya saing di tingkat internasional.

Kepastian hukum adalah kunci bagi keberhasilan transportasi laut, dan pemerintah harus memastikan bahwa regulasi yang ada mendukung, bukan melemahkan, sektor ini.


 *) Kabais TNI 2011 - 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar