DAMPAK REVISI KE TIGA UU 2/2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UU 34/2004 TENTANG TNI DAN KUHAP
Malang 25 Juli 2024
Disampaikan di Universitas Brawijaya Malang pada FGD Revisi UU Polri dan dampaknya terhadap KUHAP
Oleh :
Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb*)
Pendahuluan
Dalam rangka meningkatkan kinerja dan adaptasi terhadap perkembangan situasi keamanan negara, Pemerintah Indonesia berencana melakukan revisi terhadap UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Menurut DPR, revisi ini merupakan inisiati dari DPR. Diharapkan Revisi ini dapat memperkuat peran Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, serta menegakan hukum. Namun, perubahan ini menimbulkan berbagai kontroversi, terutama terkait kewenangan Polri dalam melakukan operasi intelijen yang mungkin bertentangan dengan tugas dan fungsi yang diatur dalam konstitusi dan hukum acara pidana (KUHAP).
Pertentangan antara Revisi UU 2/2002 tentang Polri dengan UUD 1945
Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945
Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa "Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum." Ketentuan ini menegaskan bahwa tugas utama Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri serta menegakkan hukum.
Revisi UU No. 2/2002 tentang Polri dengan penambahan kewenangan intelijen mungkin bertentangan dengan ketentuan ini. Ketidakjelasan dalam pembagian tugas antara Polri dan lembaga intelijen lainnya dapat menimbulkan konflik dan ketidakpastian hukum.
Penambahan Kewenangan Intelijen dalam Revisi UU 2/2002 tentang Polri.
Pasal 1 Angka 17 Revisi UU 2/2002 mendefinisikan Intelijen Keamanan Polri (Intelkam Polri) sebagai "intelijen yang diimplementasikan dalam penyelenggaraan fungsi Kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara dalam rangka mewujudkan Keamanan Dalam Negeri." Ketentuan ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan kegiatan intelijen yang bertujuan menjaga keamanan dalam negeri.
Namun, kewenangan tambahan ini perlu dianalisis lebih lanjut untuk memastikan bahwa Polri tidak melampaui batas kewenangannya sebagaiman yang diatur dalam UUD 1945 dan hukum acara pidana.
Pertentangan Antara Penegakan Hukum dengan Operasi Intelijen
Penegakan hukum dan operasi intelijen memiliki perbedaan mendasar dalam hal objek sasaran, prosedur, dan pendekatan terhadap pelanggaran hukum dan ancaman terhadap keamanan nasional.
Penegakan Hukum oleh Polri
Penegakan hukum oleh Polri diatur secara ketat oleh hukum dan ditujukan kepada individu atau kelompok yang telah melakukan pelanggaran hukum. Proses ini harus sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan dilakukan secara transparan serta akuntabel.
- Objek Sasaran: Terfokus pada masyarakat Indonesia yang sudah melakukan pelanggaran hukum. Penegakan hukum ini hanya bisa dimulai jika ada indikasi kuat atau bukti permulaan yang cukup bahwa suatu tindakan pidana telah terjadi.
- Prosedur dan Pendekatan: Prosedur hukum harus diikuti dengan ketat. Setiap tindakan penegakan hukum harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan transparan kepada publik. Bukti yang dikumpulkan harus diperoleh secara sah dan sesuai dengan hukum acara pidana.
- Prinsip-Prinsip Hukum: Berlandaskan pada prinsip legalitas, keterbukaan, due process of law, dan presumption of innocence. Tindakan penegakan hukum harus didasarkan pada hukum yang tertulis dan jelas.
Operasi Intelijen
Operasi intelijen memiliki ruang lingkup yang lebih luas dan ditujukan untuk mengidentifikasi serta menangani ancaman terhadap keamanan nasional, baik dari dalam maupun luar negeri. Operasi ini sering kali dilakukan secara rahasia dan tidak memerlukan bukti pelanggaran hukum yang telah terjadi.
- Objek Sasaran: Dapat mencakup individu atau kelompok dari dalam maupun luar negeri yang belum melakukan pelanggaran hukum namun dianggap sebagai ancaman potensial berdasarkan indikasi awal atau analisis intelijen.
- Prosedur dan Pendekatan: Dilakukan secara rahasia dan tidak selalu mengikuti prosedur hukum yang ketat. Pendekatan yang digunakan lebih fleksibel dan adaptif, sering kali melibatkan tindakan preventif berdasarkan analisis risiko dan indikasi awal ancaman.
- Prinsip-Prinsip Intelijen: Berlandaskan pada prinsip kerahasiaan, fleksibilitas, dan responsivitas terhadap ancaman. Operasi intelijen dilakukan dengan tujuan pencegahan dan penanggulangan ancaman, sering kali mengorbankan prinsip keterbukaan dan presumption of innocence.
Pertentangan antara Revisi UU 2/2002 tentang Polri dengan KUHAP
KUHAP mengatur tentang prosedur penegakan hukum, termasuk penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Beberapa ketentuan dalam RUU Polri memiliki potensi bertentangan dengan KUHAP, terutama dalam hal wewenang penyelidikan dan penyidikan.
Teori Hukum: Sistem Hukum
Teori sistem hukum menekankan bahwa semua peraturan hukum harus saling mendukung dan tidak boleh bertentangan satu sama lain. Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Hans Kelsen, seorang ahli hukum asal Austria, dalam bukunya "Pure Theory of Law." Menurut teori ini, RUU Polri yang memberikan wewenang tambahan kepada Polri dalam hal penyelidikan dan penyidikan harus konsisten dengan ketentuan KUHAP untuk menjaga integritas sistem hukum.
Filsafat Hukum: Kepastian Hukum
Filsafat hukum menempatkan keadilan dan kepastian hukum sebagai nilai utama dalam setiap sistem hukum. John Austin, seorang filsuf hukum dari Inggris, mengembangkan teori ini dalam bukunya "The Province of Jurisprudence Determined." Pertentangan antara RUU Polri dan KUHAP dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang pada akhirnya merugikan hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan.
Asas Hukum: Legalitas dan Fairness
Asas legalitas dan fairness mengharuskan bahwa setiap prosedur penegakan hukum harus sesuai dengan hukum yang berlaku dan adil bagi semua pihak. Asas legalitas pertama kali diuraikan oleh Gustav Radbruch, seorang ahli hukum Jerman, dalam bukunya "Rechtsphilosophie." RUU Polri harus memastikan bahwa wewenang tambahan yang diberikan kepada Polri tidak melanggar ketentuan KUHAP dan tetap menjaga fairness dalam proses penegakan hukum.
Pertentangan antara Revisi UU 2/2002 tentang Polri dengan UU 34/2004 tentang TNI
UU 34/ 2004 tentang TNI
UU TNI mengatur tugas dan wewenang TNI dalam mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keamanan nasional. RUU Revisi UU No. 2/2002 tentang Polri dalam beberapa pasalnya memiliki potensi tumpang tindih dengan tugas dan wewenang TNI.
Teori Hukum : Pemisahan Fungsi
Teori pemisahan fungsi dikemukakan oleh Montesquieu, seorang filsuf politik asal Prancis, dalam bukunya "The Spirit of the Laws." Menurut teori ini, tugas dan wewenang Polri dan TNI harus jelas dan tidak tumpang tindih. RUU Polri harus disusun sedemikian rupa agar tidak melampaui kewenangan TNI, terutama dalam hal penanganan masalah keamanan negara.
Filsafat Hukum: Keadilan dan Kepastian Hukum
Pertentangan antara RUU Polri dan UU TNI dapat menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum jika Polri melampaui batas kewenangannya dalam hal yang seharusnya menjadi domain TNI. John Rawls, dalam bukunya "A Theory of Justice," menekankan pentingnya keadilan sebagai fairness dalam setiap sistem hukum. Hal ini dapat mengganggu efektivitas penegakan hukum dan stabilitas keamanan negara.
Asas Hukum: Legalitas dan Proposionalitas
Asas legalitas dan proposionalitas mengharuskan bahwa setiap tindakan Polri harus berdasarkan hukum yang jelas dan proporsional. Asas proposionalitas pertama kali diuraikan oleh Robert Alexy, seorang ahli hukum Jerman, dalam bukunya "A Theory of Constitutional Rights." RUU Polri harus disusun sedemikian rupa agar tidak melanggar kedua asas ini dan tetap menghormati batas-batas kewenangan TNI.
Potensi Pertentangan antara Revisi UU 2/2002 tentang Polri dengan TNI dan Lembaga Lainnya.
Kewenangan TNI menurut UU 34/2004 tentang TNI
Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, serta melindungi segenap bangsa dari ancaman dan gangguan. Kewenangan TNI termasuk mengatasi ancaman dari luar negeri, terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan nasional.
Potensi Tumpang Tindih dan Konflik Kewenangan
Revisi UU No. 2/2002 memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan operasi intelijen yang mencakup tindakan preventif terhadap ancaman yang juga menjadi bagian dari tugas TNI. Hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Polri dan TNI serta dengan lembaga intelijen lainnya seperti BIN dan BAIS TNI. Potensi konflik ini dapat mengganggu koordinasi antar lembaga dan efektivitas penanganan ancaman nasional.
Dampak Revisi UU 2/2002 tentang Polri terhadap Masyarakat dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Penyalahgunaan Kekuasaan
Kewenangan luas yang tidak transparan dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan. Misalnya, penahanan preventif terhadap individu yang dianggap ancaman tanpa bukti yang cukup dapat melanggar hak atas kebebasan dan proses hukum yang adil.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Penahanan tanpa proses hukum yang jelas melanggar hak atas kebebasan dari penahanan sewenang-wenang dan hak atas proses hukum yang adil seperti yang dilindungi oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Erosi Kepercayaan Publik
Ketidakjelasan dalam penggunaan kewenangan ini dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum dan keamanan. Ketidakpercayaan ini bisa berdampak negatif pada efektivitas penegakan hukum dan stabilitas sosial.
Kesimpulan.
Revisi UU 2/2002 tentang Polri yang memperluas kewenangan Polri tidak memiliki dampak positif dalam pelaksanaan tugas Polri, namun kewenangan luas ini dapat menimbulkan berbagai risiko, termasuk potensi penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, dan konflik kewenangan dengan TNI serta lembaga lain, bahkan dengan kewenangan yang sedemikian luasnya dapat bertentangan dengan KUHAP, dan bahkan dapat mengesampingkan KUHAP dalam pelaksanaan penegakan hukum. Itulah sebabnya ada baiknya tugas, kewenangan dan peran Polri dikembalikan seperti yang diatur pada pasal 30 ayat (4) UUD 45, karena walaupun dipaksakan tetap akan sia sia karena dapat di uji di Mahkama Konstitusi.
Referensi
- Hans Kelsen, "Pure Theory of Law."
- John Austin, "The Province of Jurisprudence Determined."
- Gustav Radbruch, "Rechtsphilosophie."
- Montesquieu, "The Spirit of the Laws."
- John Rawls, "A Theory of Justice."
- Robert Alexy, "A Theory of Constitutional Rights."
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
- Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI)
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara
- Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
*) Kepala Badan Intelijen Strategis TNI 2011 - 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar